“Aku mohon!” Seorang gadis berambut emas menggenggam tangannya di depan dada sambil memejamkan mata, berkonsentrasi memanjatkan doa kepada Sang Dewa Agung.
“Aku mohon!” Tanah yang menjadi tempatnya berpijak, berguncang semakin kencang, membuat jantung gadis berambut emas itu berdegup semakin kencang.
“Dewa Agung, aku mohon!” Gadis itu menutup matanya semakin rapat. Keringat bercucuran, wajah cantiknya kini tertutup dengan debu dan luka basah yang mengucurkan darah segar, sekujur tubuhnya penuh memar karena terhantam puing-puing bangunan yang melesat cepat karena raksasa berzirah emas yang mengayunkan tombaknya, menghancurkan seluruh isi kota. Raksasa itu terus mengaum dan meneriakkan nama seseorang yang tidak ada di sana. “Tyr! Di mana kau?!”
Penduduk kota tersebut berlarian, menjauh dari jangkauan serangan raksasa yang terus berkeliling sambil merusak semua yang ia lihat sambil berulang kali meneriakkan nama Tyr. Gadis berambut emas yang sedari tadi menutup mata, terus berdoa, mengabaikan orang-orang yang berlari tunggang langgang di kanan dan kirinya. Bahkan, senggolan orang-orang terhadap bahu gadis itu, seakan tidak ia rasakan. Gadis berambut emas itu tampak pasrah, namun ia masih tetap berharap Dewa Agung turun ke kota tersebut dan menyelamatkan penduduk yang ketakutan tertimpa bencana layaknya kiamat yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
***
Langit malam yang cerah dan bertabur bintang, menjadi sarang dari jutaan galaksi yang memiliki banyak bintang dan planet yang beredar pada porosnya. Titik-titik kecil beraneka warna yang bersinar terang di atas sana, sebenarnya adalah sebuah bola dengan ukuran supermasif yang memiliki energi panas dan pancaran sinar radioaktif yang mematikan bagi kehidupan berbahan dasar karbon seperti manusia. Di balik gemerlapnya langit malam yang cerah, ada satu pertanyaan yang mengganjal di dalam hati. Di antara milyaran bintang dan triliunan planet, benarkah manusia hanyalah satu-satunya kehidupan di alam semesta? Tidak adakah entitas lain di luar sana yang selain makhluk-makhluk bumi? Apakah mereka benar-benar tidak ada? Atau mungkin sebenarnya ada, namun manusia belum mampu menjangkaunya?
Ada sebuah paradoks populer yang berbunyi, "ke mana semua orang?" Sebuah paradoks yang menjadi perbincangan hangat di kalangan para penikmat konspirasi, paradoks yang diartikan sebagai sebuah petunjuk bahwa sebenarnya manusia bukan satu-satunya entitas cerdas yang mendiami alam semesta. Paradoks tersebut membuat seorang remaja yang sedang berbaring di atas pasir pantai berangan-angan sambil mengarahkan telapak tangan ke langit. Dia membayangkan memiliki saudara yang berasal dari ujung galaksi, berandai-andai jika suatu saat saudara kosmiknya datang mengunjungi bumi.
"He, Cak. Udah ditunggu sama anak-anak itu loh, mereka udah siap. Masa komandan malah berdiri di belakang?" ucap seorang remaja berambut pirang mengagetkan rekannya yang sedang termenung seorang diri.
"Ah kamu itu, Cak, ngagetin aja. Ga tau orang lagi 'tinggi' apa?" sahut pemuda berambut hitam dengan sorot mata indah yang berkilau terkena pantulan sinar lampu pelabuhan yang tidak jauh dari tempatnya berada. Kata "tinggi" yang pemuda itu ucapkan tidak merujuk pada minuman keras atau narkotika, dia hanya suka melamun sendirian, membayangkan kehidupan lain saat teman-temannya sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
"Ya gimana? Kamu dari tadi melamun terus soalnya, aku takut nanti malah ga sadar pas berantem. Kan berabe, Cak Al," ejek remaja pirang itu kepada pemuda berkulit sawo matang yang ia panggil dengan nama Al. Sambil tersenyum masam, dia mengulurkan tangan kepada teman yang berusaha bangkit di bawah kakinya.
"Konsepnya ga gitu, Cak Fen. Kalo berantem ya berantem, kalo melamun ya melamun, ga bisa disamain," sahut pemuda bernama Alvin sambil meraih tangan Fendi, lalu menariknya perlahan agar dia dapat berdiri.
Dua remaja itu berjalan santai menuju ke kerumunan yang berada di salah satu sudut pelabuhan penyeberangan sebuah kota yang dijuluki sebagai Sunrise of Java sambil bergurau satu sama lain. Saat tiba di kerumunan, seorang teman melemparkan sebuah balok kayu seukuran lengan kepada Alvin dan Fendi.
"Lama banget sih, Komandan, keburu kabur tuh mereka," protes salah seorang pemuda di kerumunan itu.
"Tau tuh, ngelamun terus Cak Al itu," ejek Fendi sambil tertawa terbahak-bahak.
Malam itu, Alvin dan sekumpulan preman SMA bersenjata lengkap berencana menyerang salah satu SMK swasta yang terletak tidak jauh dari Pelabuhan Ketapang, untuk membalaskan dendam salah satu rekan mereka yang dikeroyok beberapa hari yang lalu. Alvin sebenarnya tidak tinggal di kawasan ini, pemuda berusia 18 tahun itu adalah seorang siswa di salah satu SMA di daerah Glenmore yang berjarak sekitar satu setengah jam dari wilayah pelabuhan tempat mereka berada saat ini. Kehadiran Alvin di sini adalah sebuah bentuk solidaritas, karena korban penyerangan adalah sahabatnya ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Julukan "Komandan" yang disematkan kepadanya bukan tanpa alasan, Alvin adalah orang yang cukup disegani di antara sekumpulan preman cilik itu. Meskipun sebenarnya Alvin tidak terlalu pandai berkelahi, tetapi kepiawaian bersilat lidah dan mengambil hati orang lain membuatnya dipandang tinggi di manapun dia berada.
Sayangnya malam itu bukanlah malam keberuntungan bagi Alvin dan kelompoknya. Semangat yang mereka bawa ketika berangkat menyerbu musuh, dibalas dengan kekalahan telak. Tidak hanya kalah dengan memalukan, Alvin dan kelompoknya harus pulang dengan babak belur. Rupanya, semangat saja tidak cukup untuk memenangkan tawuran antar remaja. Perlu kemampuan berkelahi yang cukup serta anggota yang lebih banyak jika ingin menginvasi sekolah lain. Kekalahan itu membuat mereka terkapar di sebuah lapangan basket yang menjadi arena pertarungan, sementara lawan mereka sudah menghilang ditelan malam.
"Jangkrik! Kok bisa kita kalah sih?" gerutu salah seorang rekan Alvin.
"Gimana mau gak kalah?! 20 lawan 100, Bray!" seru rekan yang lain.
"Mereka juga punya atlet silat, Bray, gimana kita mau menang?! Sejak awal, duel ini udah ga adil!" Fendi memukul tiang basket di sampingnya yang menjadi tempat Alvin bersandar.
"Heh! Kaget aku, Bangsul!" Alvin tersentak dan hendak memukul Fendi yang seketika mengangkat tangan guna menangkis serangan dari Alvin.
"Ahhh…" Alvin berdiri tertatih, "balik yuk, Rek, besok senin. Aku besok UTS, kalau ga datang, bisa kena hantam bapakku di rumah!" Alvin melangkah pergi meninggalkan arena pertempuran dengan luka lebam di sekujur tubuh.
Para preman SMA yang semula terkapar, mengikuti langkah Alvin sambil bahu membahu menolong rekannya yang tidak sanggup berdiri. Di balik kenakalan mereka, ada sebuah kesatuan dan solidaritas yang terbentuk, yang mungkin tidak dimiliki oleh orang-orang pada zaman ini yang cenderung individualis. Ada alasan kuat yang mendasari keinginan Alvin untuk tetap bersekolah meski dalam keadaan remuk pasca pertarungan. Sebenarnya Alvin tidak terlalu peduli dengan nilai ujian, hanya saja, dia memiliki Ayah super galak yang tidak segan memukulinya menggunakan apapun yang dapat dijangkau oleh tangan Sang Ayah jika dia tahu Alvin mangkir dari kewajibannya menuntut ilmu.
Di balik sifat keras yang dimiliki Sang Ayah, sebenarnya ada sifat yang menjadikan Alvin benar-benar hormat kepada Ayahnya tanpa rekayasa. Sang Ayah tidak pernah menuntut Alvin untuk menjadi orang pandai dan berprestasi, Alvin hanya diminta untuk bersekolah sungguh-sungguh, tidak membolos dan berbuat onar yang menyebabkan ia masuk ke ruang BP. Pikiran terbuka dari Sang Ayah itulah, yang membentuk pribadi Alvin sehingga dia dihormati oleh orang lain. Pesan dari Sang Ayah yang masih sangat dia ingat adalah, "tidak masalah jika Alvin berbuat onar di luar sekolah, asal Alvin tidak menyentuh alkohol, narkoba, dan pergaulan bebas, itu sudah cukup buat Ayah. Tetapi ingat, jangan sampai membawa almamater sekolah ketika sedang berada di luar. Alvin harus bertanggung jawab atas kenakalan Alvin sendiri, jangan membuat Ayah atau pihak sekolah ikut campur dalam urusan Alvin di luar."
Malam itu, Alvin menginap di rumah Fendi, karena tidak mungkin dia pulang ke Glenmore tengah malam. Selain karena tidak membawa kendaraan sendiri, kendaraan umum juga tidak ada yang beroperasi pada larut malam, kecuali bus lintas Jawa dan Bali yang hanya mengangkut penumpang jarak jauh. Sebelum fajar menyingsing, sekitar jam 4.30, Alvin meminta tolong kepada Fendi untuk mengantarnya menuju Stasiun Banyuwangi Baru yang terletak sekitar dua ratus meter di utara pelabuhan. Suasana stasiun kereta pagi ini tidak terlalu ramai, tidak banyak orang bepergian di hari kerja seperti sekarang.
"Kita bakal ngumpulin kekuatan lagi buat balas dendam ke anak SMK itu, Cak Al. Pokoknya tenang aja, lain kali kita pasti menang!" ucap Fendi bersemangat ketika Alvin bersalaman dengannya sebelum memasuki stasiun.
Alvin hanya terkekeh mendengar ucapan Fendi, "udahlah, Cak Fen. Keknya susah kalo mau menang lawan atlet silat. Daripada balas dendam, mending kita lindungi anak-anak yang kelihatan lemah, jangan sampai mereka jalan sendiri pas lewat SMK."
"Ah, ga asik kamu, Cak Al!" Fendi mendengus kesal, ia tidak suka dengan sikap Alvin yang tampak pengecut.
"Bukan maksudku ga asik, Cak Fen. Hanya saja, aku ga ingin anak-anak babak belur lagi kek semalam. Aku pasti bakal dukung kalian buat balas dendam, asal kita bisa memastikan kemenangan!" Alvin menepuk bahu Fendi dengan lembut, "ayolah, Cak Fen! Aku tahu kamu masih dendam sama mereka, tapi ga gini caranya!" Fendi menghela nafas dan mengalihkan pandangan mendengar perkataan Alvin.
"Ingat kata Bapakku, Cak Fen. Anak muda kek kita ini memang labil, emosi kita meledak-ledak. Jangan sampai justru kita dimakan sama emosi diri sendiri. Sudahlah, aku mau masuk stasiun, sebentar lagi kereta mau datang," ucap Alvin sambil kembali menepuk bahu Fendi, sebelum kemudian dia berjalan masuk ke stasiun tanpa menunggu jawaban dari rekannya yang tampak merajuk.
Fendi hanya melihat punggung Alvin dengan perasaan heran, tidak biasanya kawan karibnya itu bersikap dewasa dan bijak. "Apa kepala anak itu semalam terbentur sesuatu?" gumam Ferdi sambil tetap memperhatikan punggung Alvin yang tidak menoleh ke arahnya. Dengan kesal, Fendi segera memutar arah dan memacu motornya sekencang mungkin meninggalkan Stasiun Banyuwangi Baru.
Alvin menyadari sikapnya yang tidak biasa, entah kenapa sejak semalam pikirannya terasa seperti terkena siraman cahaya Sang Bijak. Lamunannya ketika melihat bintang semalam membuat pikirannya jauh lebih jernih dan emosinya benar-benar terjaga. Saat melangkah masuk ke stasiun, Alvin sengaja tidak menengok ke belakang karena dia yakin Fendi merasa sakit hati dengan perkataan yang dia lontarkan. Ketika mendengar suara motor Fendi bergerak menjauh, baru dia mau menengok punggung Fendi. Entah dari mana datangnya, perasaan rindu yang teramat sangat tiba-tiba menghampiri Alvin. Dia merasa tidak akan datang ke tempat ini dalam waktu yang cukup lama. Padahal, biasanya dia bisa langsung berlari ke Stasiun Glenmore saat Fendi menghubunginya.
Setelah memastikan Fendi tidak terlihat lagi, Alvin menghela nafas lalu berbalik, melanjutkan langkahnya yang sempat terjeda. Perlahan, dia memasuki stasiun dengan lampu yang masih menyala karena matahari masih belum terbit dan membeli tiket di loket. Kereta yang akan berangkat ke tujuan kali ini adalah Kereta Tawang Alun jurusan Malang yang akan berangkat dari Stasiun Banyuwangi Baru jam 05.00. Meski Alvin akan turun di Stasiun Glenmore, tapi dia harus tetap membayar tarif penuh hingga ke Malang. Harga tiket yang terjangkau membuat Alvin tidak keberatan membayar sejumlah tarif perjalanan yang tidak dia jalani.
Waktu di jam dinding stasiun sudah menunjukkan pukul 05.00, namun Kereta Tawang Alun yang Alvin tunggu masih belum terlihat. Padahal, Stasiun Banyuwangi Baru adalah stasiun paling ujung di Jawa Timur, seharusnya kereta berangkat tidak jauh dari stasiun ini. Alvin semakin gelisah ketika waktu sudah berjalan sekitar lima belas menit tetapi kereta yang akan ia naiki masih belum terlihat. Perasaan gelisah dan khawatir membuatnya tidak menyadari jika ada sesuatu yang aneh pada stasiun kereta tempatnya berpijak. Kabut tipis tiba-tiba muncul dari utara, orang-orang yang seharusnya menunggu kereta bersama Alvin tidak terlihat lagi. Suasana peron pagi ini benar-benar kosong, bahkan ketika waktu menunjukkan pukul 05.45, matahari masih belum terbit. Alvin terus saja memperhatikan ke arah utara di mana seharusnya Kereta Tawang Alun itu muncul, sambil sesekali menengok ke jam dinding. Dia takut terlambat pergi ke sekolah dan tidak dapat mengikuti UTS, dia khawatir setibanya di rumah, Sang Ayah sudah menunggunya dengan mata yang memerah.
Alvin berjalan mondar-mandir di antara dua tiang peron. Dia tetap belum sadar, jika stasiun yang seharusnya ramai orang berlalu lalang, terlihat seperti bangunan berhantu dengan kabut tipis yang menyelimuti. Di tengah kegelisahannya, Alvin mendengar suara pemberitahuan yang mengatakan jika Kereta Tawang Alun akan segera tiba di stasiun. Alvin dapat tersenyum lega karena dia bisa segera beranjak dari stasiun ini. Lampu sorot kereta api yang datang dari utara, memecah kabut yang tampak semakin tebal pagi ini. Kereta yang bergerak cepat, mampu menyapu kabut yang ada sehingga penglihatan menjadi sedikit lebih jelas. Dengan cepat Alvin masuk ke dalam gerbong sesaat setelah pintu terbuka. Alvin sama sekali tidak sadar dengan keanehan yang terjadi di sekitarnya. Pintu gerbong yang seharusnya dibuka oleh petugas stasiun, saat ini sedang terbuka dan tertutup tanpa ada seseorang yang mengoperasikan. Alvin baru sadar jika ada sesuatu yang aneh dengan kereta api yang ia naiki ketika sudah berada di dalamnya di mana tidak ada penumpang lain yang ikut dalam perjalanan.
Dengan hati-hati, Alvin mencari nomor tempat duduk sesuai dengan nomor yang tertera pada tiket yang dia pegang. Saat menemukan nomor tempat duduk pun, Alvin terus melihat ke sekeliling karena merasakan hawa yang berbeda di dalam kereta yang dia tumpangi.
"Kenapa aneh banget? Ga ada orang lain di sini. Jangan-jangan…"
Alvin berjalan cepat sambil tetap memperhatikan ke sekitar. Dia mencoba berkeliling, mencari orang lain yang mungkin ikut naik bersamanya. Namun sepanjang gerbong kereta, tidak ada seseorang pun yang ada di dalamnya. Gerbong makan pun kosong, tidak ada petugas yang berjaga sama sekali. Alvin merasa semakin panik, jantungnya berdebar sangat kencang. "Sial, keknya aku salah naik kereta hari ini," gerutunya sambil berjalan perlahan, dia takut jika tiba-tiba ada makhluk halus yang mengejutkannya dari belakang. Saat Alvin tidak sengaja menoleh ke luar jendela, dia sadar jika sesuatu yang lebih aneh sedang terjadi. Langit di luar tampak gelap, matahari belum terbit. Alvin segera merogoh kantong celana dan mengambil ponsel. Saat melihat jam, Alvin semakin terkejut karena waktu telah menunjukkan pukul 08.30 yang berarti dia sudah sangat terlambat untuk sampai ke sekolah.
Alvin bergerak mundur menjauhi jendela, tidak percaya dengan apa yang sedang dia alami saat ini. "Ini antara aku naik kereta hantu, atau dunia udah mau kiamat? Keknya ga mungkin kalau jam segini matahari belum terbit. Gimana kalau ternyata besok matahari terbit dari barat? Wah gila, enggak, jangan sampai itu terjadi!"
Alvin terduduk lemas di kursi penumpang, dia pasrah dengan apa yang mungkin akan menimpanya. Alvin menyandarkan kepala sambil menutup wajah menggunakan tangan, lalu perlahan kesadarannya memudar.
Sinar matahari pagi yang lembut dan hangat dengan warna cahaya kuning keemasan menyeruak ke dalam kereta melalui jendela kaca membentuk pilar indah dengan debu-debu kosmik yang bergerak mengitarinya seakan ikut menari bergembira menyambut datangnya pagi yang cerah. Kereta Tawang Alun misterius yang ditumpangi Alvin masih belum beranjak dari stasiun tujuan yang aneh dan asing, seperti menunggu penumpang satu-satunya yang masih terlelap di dalam gerbongnya untuk turun. Alvin masih tetap terlelap dengan air liur yang mengalir dari sudut bibirnya membasahi meja yang menempel di dinding kereta, menjadi pemisah di antara dua kursi yang saling berhadapan.Siraman hangat cahaya pagi, perlahan berhasil mengembalikan kesadaran Alvin menuju ke dunia nyata yang masih tidak jelas apakah benar-benar nyata atau tidak. Perlahan Alvin bangkit, mengucek matanya malas sambil melakukan peregangan, membuat
Langit di luar masih cukup gelap, cahaya fajar berwarna jingga belum tampak jelas di ujung khatulistiwa. Meski kehidupan masih belum dimulai, tapi ada satu orang yang sudah bangkit, karena ia harus memulai hari lebih awal dari penduduk lain. Selepas membersihkan diri dengan air sejuk yang membuat badannya sedikit menggigil, seorang pria muda dengan tinggi menjulang dan berkulit coklat bersiap mengenakan pakaian berwarna biru pucat dengan syal yang ia lilitkan di leher. Setelah semuanya siap, ia masih menikmati pagi dengan duduk santai di depan perapian sambil menikmati secangkir minuman hangat berwarna ungu yang entah terbuat dari apa.Sebuah piringan hitam memainkan lagu-lagu klasik dari era 70-an dengan merdu. Pria yang sedang duduk sambil memejamkan mata itu, sesekali memainkan jari jemarinya di udara seperti sedang memainkan tuts piano. Senyum hangat tidak lepas dari wajahnya, ia ta
Langit di luar masih cukup gelap, cahaya fajar berwarna jingga belum tampak jelas di ujung khatulistiwa. Meski kehidupan masih belum dimulai, tapi ada satu orang yang sudah bangkit, karena ia harus memulai hari lebih awal dari penduduk lain. Selepas membersihkan diri dengan air sejuk yang membuat badannya sedikit menggigil, seorang pria muda dengan tinggi menjulang dan berkulit coklat bersiap mengenakan pakaian berwarna biru pucat dengan syal yang ia lilitkan di leher. Setelah semuanya siap, ia masih menikmati pagi dengan duduk santai di depan perapian sambil menikmati secangkir minuman hangat berwarna ungu yang entah terbuat dari apa.Sebuah piringan hitam memainkan lagu-lagu klasik dari era 70-an dengan merdu. Pria yang sedang duduk sambil memejamkan mata itu, sesekali memainkan jari jemarinya di udara seperti sedang memainkan tuts piano. Senyum hangat tidak lepas dari wajahnya, ia ta
Sinar matahari pagi yang lembut dan hangat dengan warna cahaya kuning keemasan menyeruak ke dalam kereta melalui jendela kaca membentuk pilar indah dengan debu-debu kosmik yang bergerak mengitarinya seakan ikut menari bergembira menyambut datangnya pagi yang cerah. Kereta Tawang Alun misterius yang ditumpangi Alvin masih belum beranjak dari stasiun tujuan yang aneh dan asing, seperti menunggu penumpang satu-satunya yang masih terlelap di dalam gerbongnya untuk turun. Alvin masih tetap terlelap dengan air liur yang mengalir dari sudut bibirnya membasahi meja yang menempel di dinding kereta, menjadi pemisah di antara dua kursi yang saling berhadapan.Siraman hangat cahaya pagi, perlahan berhasil mengembalikan kesadaran Alvin menuju ke dunia nyata yang masih tidak jelas apakah benar-benar nyata atau tidak. Perlahan Alvin bangkit, mengucek matanya malas sambil melakukan peregangan, membuat
“Aku mohon!” Seorang gadis berambut emas menggenggam tangannya di depan dada sambil memejamkan mata, berkonsentrasi memanjatkan doa kepada Sang Dewa Agung.“Aku mohon!” Tanah yang menjadi tempatnya berpijak, berguncang semakin kencang, membuat jantung gadis berambut emas itu berdegup semakin kencang.“Dewa Agung, aku mohon!” Gadis itu menutup matanya semakin rapat. Keringat bercucuran, wajah cantiknya kini tertutup dengan debu dan luka basah yang mengucurkan darah segar, sekujur tubuhnya penuh memar karena terhantam puing-puing bangunan yang melesat cepat karena raksasa berzirah emas yang mengayunkan tombaknya, menghancurkan seluruh isi kota. Raksasa itu terus mengaum dan meneriakkan nama seseorang yang tidak ada di sana. “Tyr! Di mana kau?!”Penduduk kot