"Jadi, apakah kamu bersedia?" Pertanyaan itu kembali membuat dada Kiara terasa sesak. Entahlah ia harus menjawab apa. Yang ia tahu, ia memang harus mengikuti perintah bosnya ini.Namun, di sisi lain, ia juga harus menurut pada perintah Ben. Lelaki itu tentu saja akan semakin posesif terhadap dirinya jika sampai tau permasalahan ini."Kamu sudah saya beri waktu semalaman. Apa susahnya menemukan jawaban? Hanya ada dua opsi. Iya atau tidak. Kamu mau dipecat?"Ancaman itu membuat Kiara terdesak dan memilih untuk memberikan jawaban persetujuan. Kali ini, ia keluar dari ruangan Lehon dengan pikiran yang sangat kacau.Nesya segera menarik gadis itu untuk masuk ke ruangan meeting darurat. Di sana memang tidak ada kamera pengawas. Gadis itu tampak menitikkan air mata. Ia telah benar-benar tahu setiap sudut permasalahan Kiara sejauh ini."K-kiara ... itu ... kamu ada di video itu karena aku. Maafin aku ... sungguh, aku tidak bermaksud mengambil video, hanya ingin mengambil gambar. Tidak bermaks
Seminggu sudah berlalu, pekerjaan Kiara saat ini cukup membuatnya nyaman dan tidak terbebani. Hal itu membuat Ben tak lagi menaruh rasa curiga pada Nesya dan membiarkan segalanya berjalan secara normal. Yang membuat hatinya sedikit panas adalah tentang hubungan Abi dan Riri.Keduanya telah berpisah, namun seolah tak bisa saling melupakan apalagi merelakan. Ia yang ingin ikut campur dengan membuat Abi kapok, malah mendapat tentangan besar dari wanita itu."Biarkan dia terus melakukannya sampai dia bosan. Ketika dia bosan, maka dia akan pergi sendiri."Jawaban itu membuatnya terhenyak. Sesaat, ia baru menyadari jika Riri juga masih tetap mencintai pria itu. Tampak jelas ketika ia baru menyadari wallpaper ponsel yang setiap hari berubah. Pertambahan jumlah mawar putih setiap harinya."Dari dia lagi?" tanya Ben membuat Riri segera menyembunyikan ponselnya di balik tubuhnya."Jangan mengurusi urusan pribadi saya. Urus saja urusan masing-masing. Urusan pekerjaan cukup hanya di tempat kerja.
Sesungguhnya, Ben bukanlah tipe orang yang sabar menunggu apalagi untuk hal-hal yang jawabannya bisa ditentukan dalam puluhan detik. Namun, sepertinya khusus untuk Kiara, ia memberi waktu dua minggu. Kini, waktunya telah tiba.Pagi itu, ia bangun dengan disambut tanggal kalender yang dilingkari tanda merah. Keningnya sedikit mengerut sebelum akhirnya sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis nan manis."Sudah dua minggu? Tidak terasa," gumamnya segera membuka gorden jendela yang ia sibakkan agar sinar matahari bebas memasuki kamarnya.Sudah menjadi kebiasaannya sejak Kiara memiliki kesibukan padat untuk membereskan kamar sendiri. Setelahnya ia bersiap-siap lalu membukakan pintu tatkala pesanan sarapan mereka telah datang."Maaf, aku nggak ada waktu buatin sarapan kita pagi ini," ucap Kiara tidak terlalu nyaman, apalagi yang menerima pesanan itu adalah Ben."Aku maklum, sih. Soalnya aku juga sama, nggak ada waktu." Nesya menyahut dengan cepat membuat mata Kiara dan Ben saling
Tinggal beberapa orang saja yang tersisa di kantor. Hari sudah mulai menggelap, namun Lehon belum ada niat untuk pulang. Entahlah, pikirannya sedikit kacau. Sejak tadi, ia terus memikirkan Kiara, Kiara, dan Kiara. Ia sepertinya menjadi sangat penasaran akan masalah permasalahan gadis itu.Abi masuk ke ruangannya sebab sudah sejak tadi berniat pulang. Namun, tidak adanya tanda-tanda ingin pulang membuat pria itu mengurungkan niat."Aku pulang duluan, ya, Le.""Iya duluan saja, jangan terlalu sibuk dengan pekerjaanmu."Sepuluh menit kemudian, pria itu segera keluar dengan kunci mobilnya. Ia memang tak berniat untuk segera pulang. Mengitari kota dengan pemandangan malam sepertinya lebih baik daripada terbengong seperti orang bodoh.Rasa lapar membawa ia ke sebuah tempat makan sederhana. Ia juga bukan tipe orang yang suka makan di tempat seperti itu. Hal ini membuatnya semakin bingung, hingga akhirnya ia terhenti dan sadar jika seseorang sedang mengikutinya.Nesya, gadis itulah pelakunya.
Kiara keluar dari toilet bertepatan dengan jatuhnya sebuah benda dari tangan pria itu. Ia berpura-pura tidak tahu menahu soal itu dan memanggil Ben untuk menopangnya berjalan.Suasana begitu hening sebab tidak ada perbicangan ringan atau kecil di antara keduanya. Hanya ada suara pergeseran pisau dengan piring. Namun, gadis itu bisa tahu jika ia sedang ditatap secara berulang oleh pria di hadapannya sejak tadi.Canggung? Tentu saja, iya. "Suasananya enak, ya?" tanya Ben. Kalimat pertama setelah mereka menyelesaikan acara makan malam yang menurutnya romantis itu."Heem. Iya.""Kemari," ucap Ben yang bergerak kemudian sedikit menurunkan tubuhnya, kemudian menunduk untuk membuka sepatu gadis itu. "Kamu kenapa nggak bilang kalau nggak nyaman? Padahal, sepatunya bagus banget di kaki kamu.""Bagus tapi aku nggak nyaman.""Sorry. Aku baru sadar. Itu juga karena kamu berusaha melepaskannya tanpa tangan." Sedikit kaget, namun gadis itu berusaha tenang. Ia bingung bagaimana bisa Ben mengetahui
Kiara tampak terbaring lemah, ia dirawat di rumah sakit. Pagi telah datang, cahaya matahari menyinari ruangan itu membuat kedua mata gadis itu sedikit terganggu dan mulai berkedip. Ia mencoba mengucek matanya dan mulai sadar jika tangannya terasa berat. Ia segera memastikan keadaan tangan kanannya yang kini berbalut kain perban yang sangat tebal."Aw ... ssh," desisnya menahan rasa sakit."Kamu udah bangun, Nak?" tanya Mery disambung dengan kedatangan Susi, Jodi, dan yang terakhir Lehon."Ka-kalian ngapain di-sini?" Keadaan ini amat susah dicerna. Perlahan, sebelum mereka memberi jawaban, ia bisa menemukan jawabannya sendiri."Nek, aku berangkat kerja dulu, ya. Ingat ... jangan sampai sakit karena jagain anak orang." Lehon mencium punggung tangan neneknya kemudian berlalu dari sana."Nek, maafin aku ... nggak seharusnya aku ada di sini." Kiara benar-benar merasa canggung dengan keadaan saat ini."Sudah, sudah, jangan bahas soal pekerjaan dulu. Jangan dipikirin. Kamu jaga kesehatan, l
"Aku akan tetap tinggal di apartemen, kasihan kalau nggak ada yang nempatin selama dua puluh hari," ucap Nesya membuat keputusan."Kamu tinggalin aku di sini maksudnya?" tanya Kiara panik. Ia masih tak percaya jika sahabatnya ini datang hanya untuk mengantarkan baju gadis itu dalam isian koper."Kan, aku udah bilang sayang, bakal sering datang ke sini ngunjungin kamu. Ada Bu Mery, Bu Susi, dan Pak Jodi yang jagain kamu. Tapi jangan lupa, ada singa di rumah ini," canda gadis itu membuat semua orang tampak melongo.Ya, Lehon memang telah kembali dari kantor dan berdiri tepat di belakang gadis itu."Apa? Siapa yang kamu maksud singa?" tantang Lehon.Nesya segera mundur kemudian meraih tas kecilnya. "Aku pamit ya semua...." Berlari terbirit-birit sebab tidak sanggup berurusan dengan bosnya itu."Dasar ... hahaha..." Mery tertawa akan kelakuan gadis itu."Kenapa lagi dia bisa ada di sini, Nenek? Rumah ini menjadi sangat ramai dan sempit," cecar Lehon yang sangat tidak terima dengan kebera
Sudah cukup lama sejak Kiara tak mengunjungi ayahnya. Rasa rindu yang cukup besar sungguh membuatnya terganggu. Walau begitu, sebisa mungkin ia menyembunyikan hal itu di depan orang-orang yang ada di rumah ini.Hari itu, hari libur bagi Nesya untuk membawa Kiara memeriksakan tangannya. Sesungguhnya, hati kecil gadis itu menaruh rasa cemburu dan iri yang teramat dalam. Namun, Kiara bukanlah orang lain yang sepantasnya ia benci."Kamu kok selalu diperhatiin sama Pak Lehon?" tanyanya di atas motor membuat Kiara sedikit mencubitnya. "Apa-apaan sih kamu, Nes. Jangan cemburu loh. Pak Lehon ngelakuin ini semua agar aku cepat-cepat pergi dari rumahnya. Aku juga udah minta tolong sebelumnya, makanya kamu libur sekarang.""Ha, beneran?""Ya, iya dong!""Nah, gimana aku nggak cemburu coba. Kamu bahkan udah minta, berarti dia benar-benar peduli sama kamu, Kia. Masa iya permintaanmu dikabulin segala, kan hebat."Kiara sedikit membengkokkan kepalanya untuk menilik raut wajah sahabatnya di kaca spi
Lutri sudah lebih baik keadaannya sekarang. Ia tak sengaja mendengar percakapan antara dokter dengan perawat yang membuatnya tau akan keberadaan adiknya. Ia tersenyum simpul sebelum akhirnya kembali menutup matanya untuk berpura-pura tidur.Beberapa saat kemudian, ia segera bangun dan memeriksa sendiri keadaannya. Senyumannya melebar tatkala seluruh anggota tubuhnya masih bisa digerakkan dengan mudah. Ia juga segera mencoba berdiri dan memang bisa berjalan seperti biasa walau masih ada bagian tertentu yang terasa sakit.Ia sekarang melepaskan jarum infus di tangannya lalu mencoba ke luar dari sana. Dengan sangat hati-hati, ia mencari ruangan Nesya yang ternyata berada tepat di sampingnya.Senyumannya semakin melebar, ia juga semakin bersemangat untuk melanjutkan aksinya sekarang. Bagaimana tidak, wanita itu bahkan mendapatkan sebuah ide untuk segera menghabisi nyawa sang adik saat itu juga.Melihat Nesya yang tengah terduduk namun dengan wajah yang dipenuhi perban, ia segera mendorong
Jodi diberi izin untuk segera menikah dan menghabiskan waktu bersama selama sebulan. Begitulah Mery yang selalu memberi pengertian dan perhatian lebih pada para pekerjanya. Walaupun, mungkin pekerjaan mereka tak sebanding dengan penghasilan yang dia dapatkan.Sesungguhnya, Lehon tidak begitu setuju dengan keputusan sang nenek. Namun, ia juga harus tetap menerima hal itu sebab tak ingin membuat perdebatan dan perselisihan di antara keduanya."Kalau mereka berdua pergi dalam waktu yang lama, siapa yang bakal ngurusin Nenek?" tanyanya pada Mery."Sudahlah, kamu jangan terlalu memikirkan nenek. Urus saja dulu masalah kematian sahabatmu itu. Siapa yang sebenarnya telah salah."Mendengar perintah sang nenek, kini Lehon memilih untuk setuju. Hingga saat ini, masalah kematian pria itu masih dalam proses. Hal itulah yang membuat Lehon tidak bisa berpikir dengan jernih, sebab ia juga masih harus sibuk dengan kehidupan dan pekerjaannya.Tatkala ia sudah berada di kantor untuk memulai menghandle
Lehon menjadi sangat panik menyaksikan apa yang ada di hadapannya sekarang. Ia tak peduli dengan tragedi dan kasus yang sedang berlangsung. Baginya, yang paling penting saat ini adalah masalah hidup dan mati Abi, Nesya juga Lutri.Dengan segera suara ambulans bergerak mendekat kemudian mengangkut tubuh kedua insan itu. Sementara Ben, ia segera mendekat dengan Kiara lalu membawa gadis itu pergi dari sana.Sesungguhnya, Kiara hendak menolak. Bagaimana pun, ia tahu jika posisinya tidak sedang baik-baik saja sekarang. Ada masalah yang amat berat yang mungkin akan membahayakannya nanti."Ben, maaf ... pergi saja duluan. Aku tidak boleh lari dari masalah ini. Aku harus segera memberikan penjelasan."Mendengar pernyataan Kiara membuat Ben panik serta frustasi. Menurutnya, jalan pikiran Kiara sudah tidak lurus lagi."Aku sudah bilang sebelumnya, Kiara. Jangan sungkan-sungkan denganku. Kalau ada masalah, langsung cerita padaku. LIhatlah hasil perb
Kiara kini mempercayakan hidupnya pada Ben yang ia yakini akan mengubah sikapnya menjadi lebih baik. Sesungguhnya, ia tentu sedikit ragu, apalagi setelah mendengar pesan dari Nesya. Namun, ketika ia sudah melangkah dan berkata iya, maka lebih baik ia lanjutkan langkah itu. Lelaki itu tampak menunggu di meja makan, seperti biasa. Ia segera menyendokkan makanannya sekarang. "Ambil saja untukmu, Kia. Kita makannya bebas mulai sekarang. Bahkan kalau kamu merasa tidak nyaman di sini bersamaku, bisa kok makannya di ruangan lain saja."Mendengar hal itu, ada gurat keraguan yang amat besar di keningnya. Ingin sekali ia beratnya, kenapa tiba-tiba berubah? Namun, itu adalah sebuah hal yang sangat tidak mungkin."Baik. Terima kasih." Hanya itu jawaban yang ke luar dari mulutnya.Kini, acara makan pun berlalu dengan hikmat. Tidak terdengar suara manusia, hanya pergesekan antara sendok dengan piring."Kamu mau Nesya tinggal di sini juga?" t
Ben membuat janji untuk bertemu Lutri di hari itu. Kali ini, ia keluar dari apartemen dengan penampilan yang sangat berbeda. Ia yang biasanya selalu berpakaian santai ketika keluar, kini selalu dengan topi, masker dan hoodie.Orang yang biasanya mengantarkan pesanan ke huniannya yang kebetulan saling berpapasan tentu saja menyapa dan iseng bertanya."Tumben nih Pak Ben keliatan beda gitu? Cool!" ucapnya bersamaan dengan anak yang masih remaja.Ben tidak peduli. Ia segera memalingkan pandangannya, tanpa menatap sedikit pun ke arah dua orang itu. Setelahnya, ia berjalan meninggalkan tempat itu dengan langkah yang sangat cepat."Kenapa dia?" tanya anak itu."Ibu tidak tau, Nak. Padahal, mencurigakan memang. Sudah lama ini dia nggak mempekerjakan ibu. Biasanya ngebersihin rumah, laundry baju, dan jemput makanan untuk mereka. Bayarannya gede.""Kalau gitu, kita buat aja kartu nama usaha kita di sini," ucap anak kecil itu pada ibunya s
Pikiran Lehon sedikit lebih santai setelah ia menyuruh sahabatnya untuk berisitirahat sejenak dan tidak masuk kerja. Setidaknya, untuk saat ini hanya itu yang bisa ia lakukan untuk mengurangi rasa sedih dan lelah Abi.Ia terduduk di kursi kerjanya sembari memikirkan masalah Kiara. Rasa ingin mencari tahu dan memastikan seketika mencuat. Hal itu membuat ia untuk menghubungi Lutri dan memerintahkan untuk datang menghadapnya."Sepertinya kamu sering banget deh dipanggil ke ruangan Pak Lehon? Nggak ada masalah dengan kerjaan, kan?" tanya Ayu selaku kepala di bagian itu dan sebagai bentuk kepedulian terhadap bawahannya."Enggak ada kok, Kak. Aman." Nesya menjawab dengan santai sembari membawa alat tulisnya sebagai bentuk formalitas. Walau ia tahu, ia dipanggil hanya untuk membahas permasalahan tentang Kiara."Baguslah kalau begitu. Tapi tunggu..." ucap Ayu kembali menghentikan langkah buru-buru Nesya. "Kamu nggak ada ... itu kan sama Pak Lehon?" Mengge
Pemakan Riri dihadiri oleh beberapa orang sebab tidak banyak yang tahu akan asal usul wanita itu. Tapi yang pasti, di sana sudah ada Lehon yang juga ikut berduka sembari menunggu kepulangan sahabatnya Abi selaku kekasih dari wanita itu."Tolong beri waktu, setengah jam lagi saja," mohon Lehon pada Ben yang sama sekali tidak peduli.Tak mendapat bantuan dari pria itu, Lehon akhirnya membuang segala kemungkinan yang akan membuat dirinya dipandang rendah. Untuk kali ini, ia akan melakukan apapun demi sahabatnya, setidaknya sebagai pengorbanan pertama di hidupnya."Tolonglah, Ben," pintanya lagi yang sama sekali tak membuahkan hasil. Perlahan, tubuhnya membungkuk sebelum akhirnya berlutut di hadapan pria itu. Semua orang yang ada di sana tentu saja memperhatikan mereka yang akhirnya menjadi bahan tontonan. Tak sedikit yang mempertanyakan alasan Lehon melakukannya."Sahabatku adalah kekasih dari almarhumah, aku hanya ingin pria ini memberi wa
Malam yang berat bagi Kiara sebab ia merasa tenang diperhatikan oleh seseorang. Entah itu siapa. Tatkala nalurinya berkata posisinya tidak aman, ia mencoba memperhatikan sekitar dan tidak menemukan siapapun.Lehon membuat keputusan untuk mengantarkan gadis itu kembali. Sesungguhnya, perasaan Kiara sudah tidak nyaman sejak itu. Namun, benar kata bosnya jika waktunya telah malam dan tidak cukup baik untuk gadis sendirian."Saya turun di sini aja, Pak," katanya segera membuka handle pintu tatkala keduanya berada di persimpangan apartemen."Apa salahnya saya antarkan sampai di depan sana? Malu? Harusnya saya yang merasa seperti itu. Ya sudah, turunlah," ucap Lehon dengan kesal setelah membuat Kiara sedikit ragu untuk turun.Gadis itu segera berterima kasih dan segera bergerak untuk segera menuju apartemen dengan mendapat perhatian dari Lehon yang sama sekali tak ia ketahui. Gadis itu cukup serius dan pikirannya hanya tertuju untuk segera sampai ke rum
Lagi, Ben tidak bisa menjemput Kiara sekarang. Sama seperti kemarin, ia menolak semua ajakan dan bantuan semua orang sampai akhirnya hanya tersisa dirinya. Dan lagi, tatkala keadaan sudah sangat menyepi, pria itu memberi kabar.Kali ini, ia cukup frustasi. Ia tidak cukup berani dan percaya untuk memesan ojek atau taksi online. Gadis itu terduduk dan terjongkok di sana. Ia lapar. Iya, bekal makan siang yang selalu dibedakan dengan Nesya membuatnya kelaparan sebab makanannya yang terbilang ringan."Ada apa?" tanya Dira yang datang dan mendekati mobilnya yang ternyata ada Kiara di sana."Eh, Kak Dira, maaf." Kiara segera menjauh sembari memegangi perutnya."Kamu belum datang jemputan, ya? Maaf aku nggak bisa bantu. Pamit pulang, ya." Wanita itu berlalu dari hadapan Kiara tanpa rasa bersalah sedikit pun.Kiara cukup kaget dengan tingkah wanita itu, berbeda sekali dengan tingkahnya ketika berada di kantor. Memang, baru kali ini ia berpapasan d