Naira baru saja tersenyum bahagia ketika dia ditatap Emil yang sudah duduk di depannya.‘Gantengnya~’ batin Naira menyeru ketika pandangan mereka bertemu. 'Ya ampun~ aku bisa meleleh ini!'Saat ini mereka memang sedang berada di hotel daerah Argonia. Namun, bukan di kamar, melainkan di restoran.Kalau Emil mengajaknya ke kamar hotel, Naira justru akan heran, karena menurutnya Emil tak mungkin begitu.“Ra, aku beneran minta maaf dulu udah kasar ama kamu, bahkan kita sempat bertengkar ampe se—“Sambil bicara, Emil meraih tangan Naira di atas meja untuk dia genggam lembut.“Udah, gak usah diingat-ingat lagi, Mil.” Naira memotong.Hatinya bergemuruh akan suka cita ketika tangannya diraih Emil. Kini jalannya kembali ke pelukan Emil dan menjalani hari-hari indah seperti dulu akan terbentang lebar untuknya.Yang penting, dia bisa menepis bayangan Bastian yang kerap mengganggu pikirannya.‘Ya ampun! Dia sekarang elus-elus tanganku! Emil, aku cinta kamu!’ Hatinya berbunga-bunga.Dia sudah memb
Naira memasuki rumah dengan wajah masam. Dia melempar tasnya ke sofa dan menghempaskan diri di sampingnya.Elvita yang sedang membaca majalah di ruang keluarga, mengalihkan perhatiannya pada sang putri."Lho, kok pulang dari nge-date malah cemberut? Ada apa, Sayang?" tanya Elvita.Si ibu lekas menaruh majalah di meja untuk fokus pada putrinya yang berwajah kusut.Naira menghela napas panjang. "Gimana gak cemberut? Gara-gara pacar Mami!"Dia masih kesal kalau ingat seperti apa malu yang dia rasakan di hadapan Emil dan pengunjung restoran.Memang, tadi Emil tidak menyalahkannya, tapi tetap saja dia tak enak hati pada mantan yang sebentar lagi kembali jadi pacar."Bastian? Kenapa?"Elvita menghadapkan tubuh ke putrinya di samping, berusaha memberikan perhatian penuh pada Naira.“Dia gak ke sini?” tanya Naira, cukup terkejut karena ibunya tidak mengetahui.Elvita menggelengkan kepala sebagai pengganti jawaban.“Gak telepon Mamih?” Naira masih bertanya.Sekali lagi Elvita menggelengkan kep
“He? Kok malah mau cuti lagi? Bukannya kamu sudah beberapa kali ambil cuti, yah?” Elvita teringat.Naira menghela napas keras-keras ketika dia menarik kursi ruang makan dan duduk di sana sambil melihat ibunya menyiapkan makan pagi.“Lagi malas banget, nih Mih! Boleh, yah! Hari ini aja, deh!” Naira menggaruk rambutnya yang masih acak-acakan.Dia benar-benar malas bertemu Bastian di kantor. Bahkan dia takut tak bisa menahan diri dan meninju muka Bastian jika terlalu kesal nantinya."Kamu masih kesal soal kejadian semalam, ya?" Elvita menoleh ke putrinya sambil menggoreng sosis.Naira mengangguk pelan sambil merebahkan kepalanya di meja.Elvita menghela napas. "Sayang, Mami tau kamu kesal. Tapi ingat, kamu punya tanggung jawab di kantor. Lagian, bukannya besok kamu ada presentasi penting, kan?"Mendengar kata 'presentasi', Naira akhirnya membuka matanya."Aduh, iya ya Mih. Aku hampir lupa!"Setelahnya dia merutuki kenapa setuju saja ketika Bastian memerintahkan dia menghadapi calon klien
Naira sudah mempersiapkan mentalnya untuk mendengarkan ‘ceramah’ dari Bastian. Pastinya mengenai Emil.“Naira, apakah kamu sudah memiliki persiapan untuk besok?” Bastian bertanya.Untuk sesaat, Naira linglung, sama sekali tidak mengira bahwa pertanyaan macam itu yang akan diberikan padanya setelah huru-hara di restoran semalam.“Hah?” Naira mengerjap-kerjapkan matanya.“Telingamu bermasalah?” Bastian terlihat terganggu dengan respon Naira.Segera saja Naira mengerti bahwa responnya sungguh kekanakan.“Maaf, Pak Bos! Persiapan? Oh, sedang saya buat, Pak!” Naira menggunakan kalimat sebaku mungkin untuk menunjukkan profesionalitasnya dalam pekerjaan.Bastian memainkan pena yang ada di tangan.“Ya sudah, cepat kirim persiapanmu ke emailku, akan aku teliti dulu.”Sebagai pemilik perusahaan, Bastian tetap harus memeriksa hasil akhir sebelum diberikan ke klien atau pun konsumen.“Tapi Pak Bos, baru separuh jalan. Belum selesai sepenuhnya.” Naira tidak sedang mengada-ada.Ini juga kesalahanny
Naira terdiam beberapa saat, seakan dia lupa bernapas dan lupa kalau punya lidah untuk membantunya bicara.“Ra? Naira?” Bastian menepuk pelan lengan Naira.Gadis itu segera tersadar.“Oh! Ah, Om, anu … Pak Bos ….” Naira sampai kebingungan saat mendongak menatap Bastian.Sekali lagi dia melirik ke isi map tadi.“P-Pak Bos yakin?” Naira menatap Bastian.Tapi belum juga Bastian menjawabnya, Bastian sudah melangkah ke ruangan kecil yang hanya dibatasi pintu geser dari kaca, ruangan yang biasa dia gunakan untuk santap makan siang jika tidak ingin keluar kantor.“Ke sini, Ra! Temani aku makan!” Bastian memanggil dari ruangan kecil tersebut.Naira baru tersadar bahwa di ruangan itu sudah ada banyak makanan tersaji di meja kecilnya.“Eh? Itu ….” Naira bingung hendak bicara apa.Bastian menggiring Naira ke ruangan kecil tersebut dan Naira patuh didudukkan di salah satu kursi minimalis yang hanya berjumlah 4.“Makan yang banyak, yah!” Bastian mengambil nasi yang sudah dipersiapkan bagian untukn
“Ini … ini bohong, kan?” Bibir Naira bergetar setelah dia mendapatkan kekuatan untuk bicara.Kejutan yang diberikan Bastian kali ini memang sangat mengejutkan dia, tapi berbeda dengan yang sebelumnya. Sangat jauh berbeda.Bastian ingin menutup map itu. "Aku udah tau kamu pasti nggak akan suka hasilnya."Naira mencegah Bastian menutup map cokelat di depannya.Dengan tangan gemetar, Naira mengambil satu demi satu lembaran di sana. Matanya mulai basah saat melihat foto-foto dan hasil tangkap layar dari video antara Emiliano, mantan yang kemarin sudah menjadi kekasihnya lagi, bersama seorang gadis yang sangat dikenalnya—Ivy Moreno, kawan akrabnya sendiri.Dia memang memiliki 2 sahabat, Helena dan Ivy. Belakangan ini, Ivy kerap menghindarinya dengan alasan sibuk tugas kuliah dan bekerja part time di toko sepupunya.Dia jadi bertanya-tanya, apakah ini alasan Ivy menghilang? Dan Emil juga selalu slow respon setiap dihubungi?"Nggak ... ini gak mungkin," bisik Naira, suaranya bergetar, sama s
Di kafe pinggir pantai yang suasananya remang-remang syahdu , Naira sedang adu mulut dengan Ivy.“Jadi emang kau yang biang gatelnya, yah Vy! Gak nyangka aku!” seru Naira ketika dia melihat Ivy sedang duduk berduaan dengan Emil.Tentu saja dua insan itu tidak mengira akan diketemukan Naira malam itu.“Dan kau, Emil! Ternyata ini yang kamu bilang lagi sibuk kerja, yah? Atau sibuk pacaran?” Naira melotot geram ke Emil.Emil hanya bisa diam tak berani banyak menatap mata Naira yang sedang menyala akan amarah. Apalagi ketika telunjuk Naira mendorong-dorong dadanya dengan gerakan emosi. Dia diam tak berkutik, tahu dirinya memang salah.“Eh, Ra, santai dong!” Ivy yang biasanya kalem, kini berani membantah dan beringas ke Naira.Dia mendorong Naira agar Emil tidak didorong lagi menggunakan telunjuk.“Kau nyuruh orang santai, lah kau sendiri santai apa enggak? Dasar kocak! Kukira sahabat, ternyata tukang embat!” Naira tak terima didorong Ivy.“Tukang embat apanya? Jangan fitnah, kau!” Suara I
“Agar kamu lebih tenang.” Bastian menarik tuas rem tangan dan mematikan mesin mobil.Naira mencoba membuka pintu mobil tapi tak bisa karena Bastian sudah mengaktifkan mode child safety lock. Dia kesal dan memukul serta menendang apa yang ada di dekatnya.Bastian tidak berusaha mencegahnya.“Coba kamu dengerin suara ombak, Ra.” Bastian memeluk kemudi sambil menatap ke ombak di pantai yang ada di depannya, meski berjarak belasan meter.“Gak mau! Gak peduli!” Naira masih marah.Hendak menendang dasbor seperti tadi, tapi dia jadi malu sendiri karena tingkahnya justru terkesan kekanak-kanakan. Dia pun menampar dasbor sebelum diam melipat kedua tangan di depan dada.“Suara ombak itu keren, loh Ra.” Bastian bicara lagi sebelum dia terdiam.Naira juga terdiam.Suasana sunyi di antara mereka. Hanya ada bunyi ombak yang terdengar.Naira mengingat lagi mengenai Ivy dan Emil, hatinya kembali sakit.“Kenapa Om tau aku di sana?” tanya Naira. “Bahkan mami juga gak tau, loh!”Akhirnya kesunyian dipec
Sebulan kemudian, Bastian berencana membawa Naira ke kantor E-First, tempat di mana mereka pernah bekerja bersama.“Ini beneran gak apa-apa, Tian?” tanya Naira untuk memastikan saja.Mereka sudah selesai berdandan rapi dan siap berangkat bersama ke kantor Bastian.“Tentu aja nggak apa-apa, Nai. Gimanapun, mereka harus tau ini. Nggak mungkin hubungan kita terus disembunyikan dan menjadi diam-diam aja, kan?” Bastian mengambil tangan Naira, ingin menguatkan hati calon istrinya.Saat ini, Naira sudah membubarkan segala ujian dan apa pun tes yang harus dilalui Bastian. Dia tidak lagi menginginkan itu karena dia sadar bahwa dia tak sanggup hidup tanpa Bastian.Pengalaman di ambang batas kematian membuat Naira memahami apa yang paling dia inginkan.“Kalo mereka marah, gimana? Ntar mereka demo, gimana?” Naira masih khawatir.Dulu rumor hubungan mereka sempat membuat geger kantor dan berhasil ditepis dengan berbagai cara. Sekarang justru hendak dibuka terang-terangan. Akan seperti apa respon pa
“Beneran? Len lairan?! Kapan?” Naira bertanya dengan senyum penuh kebahagiaan, seolah rasa sakit yang tadi dialaminya seketika menghilang.“Setelah kamu kelar operasi dan mendadak aja ketubannya pecah sewaktu mau ngantar kamu ke kamarmu ini. Oh ya, bayinya perempuan,” lanjut Bastian.Naira menatap Bastian dengan tatapan penuh arti. Hari ini benar-benar penuh dengan emosi—kesedihan, harapan, dan kebahagiaan yang semuanya berkumpul di satu tempat.Namun, wajah Bastian kembali serius sejenak saat dia menghela napas. “Ada kabar lain yang perlu kamu tau,” ujarnya. “Vera udah ditahan di kantor polisi. Mereka memastikan dia nggak akan kemana-mana, dan proses hukumnya akan segera berjalan. Sidangnya mungkin akan berlangsung dalam beberapa minggu lagi.”Naira terdiam, memikirkan peristiwa yang hampir merenggut nyawanya. Meski dia merasa lega bahwa Vera akan mempertanggungjawabkan perbuatannya, hatinya tetap tergetar.Kejadian ini meninggalkan luka yang dalam, tapi dia merasa lebih kuat ketika
Suster menatapnya dengan penuh empati. "Nyonya stabil untuk saat ini, Pak. Tapi kami harus memantau dengan ketat. Mengenai janinnya... kita perlu menunggu perkembangan lebih lanjut."Bastian mengangguk pelan, meski hatinya masih penuh kekhawatiran. Naira beserta janinnya harus baik-baik saja, mereka berdua harus baik-baik saja. Itu yang menjadi harapan utama Bastian.***Di kamar VIP yang tenang itu, Naira perlahan membuka matanya. Cahaya lembut dari jendela menembus tirai, menyinari wajahnya yang masih terlihat lemah.Saat kesadarannya mulai kembali, matanya terasa hangat dan basah. Mungkin efek samping dari obat, pikirnya.Tapi begitu dia sadar sepenuhnya, yang pertama kali dia rasakan adalah tangan Bastian yang menggenggam erat tangannya.“Om….” panggilnya dengan suara serak.“Nai… akhirnya kamu sadar.” Suara Bastian bergetar pelan, penuh dengan rasa syukur dan kelegaan.Dia menatap Naira dengan tatapan yang penuh kasih, seolah tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain dia d
“Kamu ngancam aku, Bas? Kamu berani ngancam aku?!” jerit Vera, tak terima.“Jika itu memang harus, maka aku akan melakukannya. Kamu bisa memilih, ingin aku mengambil langkah yang mana.” Bastian menyahut dengan suara dingin.Keributan semakin membesar di bandara, dan Bastian bisa mendengar suara ibunya Vera yang semakin marah, memaki-maki anak buah Bastian.Namun, situasi itu berubah ketika polisi bandara tiba di tempat kejadian setelah mendengar keributan. Mereka segera menahan Vera dan ibunya dari keberangkatan, meminta keduanya untuk tidak meninggalkan negara Scarlet sampai masalah ini selesai.“Aku akan mengurus semuanya,” kata Bastian pada petugas bandara yang mencoba menenangkan situasi. “Jika perlu, aku akan membayar empat kali lipat dari harga tiket yang sudah mereka beli. Yang penting, jangan biarkan mereka terbang.”Polisi dan staf bandara menerima tawaran Bastian. Uang memang bisa menyelesaikan sebagian masalah, pikirnya dengan dingin. Dia menutup telepon, tetapi belum sempa
‘Kumohon… aku ingin… terus bareng Om… selamanya….’ pinta Naira ketika dia memejamkan mata dan membiarkan dokter memulai operasinya.Di luar, Bastian sibuk mondar-mandir di depan kamar operasi.“Haahh… lama banget, sih?” rutuk Bastian, tak sabar.Helena yang juga ada di sana, hanya memutar matanya dengan jengah pada ucapan Bastian.“Ya elah… baru juga 10 menit, udah diprotes lama.” Helena merespon dengan suara nyinyir. “Buruan duduk! Mual aku liat kamu mondar-mandir rempong gitu!”Helena tidak takut sama sekali pada Bastian meski dia tahu siapa Bastian. Baginya, orang yang sudah membuat sahabatnya sedih, tak perlu ditakuti.Mau tak mau, Bastian menghentikan langkahnya yang bagaikan setrika. Dengan hembusan keras dari napasnya, dia pun duduk tak jauh dari Helena.“Bisa tolong ceritain, gimana kok Naira bisa kena tusuk gitu?” Bastian akhirnya teringat bahwa dia belum mengetahui mengenai kronologi dan latar belakang kejadiannya.Helena melirik sinis ke Bastian, menunjukkan permusuhan seca
“A-aku… aku….” Suara Vera bergetar.Vera kaget bercampur syok ketika menatap pisau lipat yang menancap di perut Naira. Meski dia benci Naira, tapi ketika usai menusukkan pisau ke Naira, rasa takut menyergapnya, seolah sebentar lagi dia akan dikejar iblis.“Arghh!” Vera menjerit panik dan bergegas pergi dari sana.Dia memang wanita jahat, tapi untuk berbuat lebih dari sekedar menusuk seseorang, dia tak memiliki nyali mengenai itu.Bahkan, menusuk perut seseorang merupakan kegilaannya paling maksimal dalam hidupnya.Sedangkan di kamar kosnya, napas Naira terengah-engah sambil terus memandangi perutnya.“Perutku… anak…ku….” Naira gemetaran.Takut dan sakit menguasai dirinya. Darah sudah mulai merembes banyak di bajunya.“Gak, gak boleh aku cabut pisaunya. Bahaya….”Di sela-sela kepanikan dan rasa takutnya, dia masih cukup bernalar mengenai itu.Maka, menahan rasa sakit dan dengan langkah tertatih, dia mengambil ponselnya, menghubungi nomor Bastian.“Ya ampun, buruan angkat, sialan! Aku b
“Ve-Vera?” Naira membeku di tempatnya.Kenapa pula justru wanita sialan itu yang ada di depan pintunya? Naira kesal bukan main, merasa dia begitu sial karena bertemu Vera lagi.Dia sudah ingin menutup pintu karena malas meladeni Vera, hanya saja si rival cinta sudah lebih dulu menahan daun pintu tertutup."Aku pikir kamu udah pergi dari hidup Bastian. Tapi ternyata kamu masih mencoba mencuri dia dariku? Bahkan hidup bareng di sini? Dasar murahan!"Terdengar jelas dari suara Vera, betapa dia membenci Naira yang telah menjadi penghalang dia dan Bastian.Naira mengangkat alisnya, menatap Vera dengan pandangan dingin. “Murahan? Heh, apa urusanmu, ya? Mendingan jaga tuh mulut.”Ada ketidakrelaan di hatinya ketika dia dihina oleh Vera.Naira tak tahu bahwa Vera sudah mengerahkan segenap sumber dayanya untuk menemukan dia dan Bastian. Semenjak Bastian menegaskan ke Vera untuk berhenti mengganggunya karena sosok Naira yang sudah dipilih Bastian, Vera terus mengusahakan apa pun agar bisa mene
“Hah~ begitu, yah?”Bastian menghela napas panjang, melirik Naira yang sedang duduk di tempat tidur.Jelas, dia terjebak di antara dua dunia—pekerjaan yang sudah mulai merenggut waktunya, dan usahanya untuk membuktikan kepada Naira bahwa dia benar-benar serius dalam hubungannya.Naira yang mendengar pembicaraan itu melalui loud speaker pun berbisik, “Pergi aja, gak apa-apa, kok!”Mata Naira berkedip-kedip menatap Bastian yang termangu memandanginya, seolah pria itu sedang mencari makna tersembunyi dari ucapannya.Setelah diam sejenak, Bastian akhirnya berkata, “Oke, Gandi. Aku akan ke kantor hari ini. Tolong jadwalkan ulang rapat yang tertunda dan kasi tau semua direksi kalau aku akan segera ke sana.”Setelah menutup telepon, Bastian menatap Naira dengan wajah penuh kebingungan. “Aku harus ke kantor, Nai. Udah terlalu lama aku nggak muncul di sana, dan ini masalah penting. Aku janji nggak akan lama-lama, tapi aku harus menyelesaikan semuanya hari ini.”“Iya, aku paham, kok!”Naira yan
"Nai, aku mesum gimana, sih?" Bastian berlagak menderita atas tuduhan Naira.Padahal dia menahan tawa geli."Kamu... kamu bisa-bisanya ambil aku dari... dari kasur! Nih! Aku bangun malah udah di lantai gini!" Naira sewot.Wajahnya cemberut dengan bibir mengerucut karena kesal."Loh Nai, kalau aku bawa kamu turun ke lantai, pastinya kamu bakalan terbangun, dong." Bastian memberikan sanggahan.Ucapan Bastian mengakibatkan Naira harus diam untuk berpikir.'Iya juga, sih!' batin Naira. 'Kalo aku ditarik atau dibopong turun dari kasur, ya kali aku gak ngerasa apa pun? Pastinya aku bakalan kebangun. Tapi... kok bisa gitu, sih?'Masih ada banyak tanda tanya di kepala Naira mengenai dirinya ada di lantai bersama Bastian."Nai, mungkin kamu sendiri yang turun ke bawah untuk tidur sama aku." Bastian justru menambahkan lecutan di hati Naira.Dia yang turun ke lantai untuk bersama Bastian?"Enak aja! Pede amat!" pekik kesal Naira.Tapi kalau dipikir-pikir....'Apa aku punya kecenderungan sleep wal