“Eh? Kok balik ke kosan?” Bastian bingung sekaligus tak rela.Dia sudah membayangkan akan hidup bersama lagi dengan Naira di satu atap yang sama.“Iya, aku mau tinggal di sana ampe kelar bulananku di sana.” Naira membuat keputusan. “Kenapa? Mau ngelarang? Mau ribut?”Naira menatap penuh menantang ke Bastian, menyebabkan pria itu semakin dilema.Jika dia menyatakan keengganannya, bukankah janjinya tadi ke Naira hanya terdengar omong kosong? Katanya mau melakukan apa pun demi Naira, ya kan?Tak berdaya, Bastian melirik ke Elvita.Memahami kebingungan calon menantunya, Elvita pun bicara ke putrinya, “Emang kurang berapa hari lagi di sana, sayang?”“Sekitar seminggu lagi, Mih.” Naira menjawab ibunya.“Aku ikut tinggal di sana!” Bastian membuat keputusan.Naira dan Elvita sama-sama melongo kaget.“Mana bisa, Om?!” pekik Dania. “Walaupun itu kosan campur, tapi kalo kumpul kebo gitu tanpa surat nikah yah bisa diarak warga, ntar!”Bastian kelimpungan. “Aku… aku bakalan bikin surat nikah untuk
“Nah kan, aku tetap bisa tinggal di sini bareng kamu, tanpa perlu takut diarak warga.” Bastian tersenyum.Nada suaranya terdengar santai, tapi matanya jelas menunjukkan bahwa dia tidak akan melepaskan Naira begitu saja.Naira terdiam, mulutnya ternganga tak percaya. Ini tidak mungkin! Bagaimana bisa Bastian secepat itu memanipulasi keadaan dan menempati kamar sebelahnya?Sial! Dia merasa dikalahkan tanpa bisa berbuat apa-apa. Namun, dia tidak akan menyerah begitu saja."Jadi, Om mau bermain kayak gini, ya?" gumam Naira, matanya memicing, mencoba mencari cara untuk membalas taktik Bastian yang licik.Bastian hanya mengangkat bahu. "Aku kan cuma ingin dekat sama kamu, Nai. Aku nggak akan ganggu kamu di kos. Tapi, kalau ada apa-apa, kamu tau aku selalu ada di sebelah, ya kan?"Naira mendengus kesal. “Om pikir ini lucu? Aku nggak akan tinggal diam, Om. Aku bakal kasih paham apa artinya menghadapi seorang wanita yang sakit hati.”Bastian mendekat, menatap Naira dengan penuh keseriusan, mes
“Iya, maaf, Nai. Kemarin aku salah sama kamu.”Bastian sambil menghela napas panjang, frustasi. Setiap langkah yang dia ambil untuk mendekati Naira seolah hanya membuat mereka semakin jauh.Namun, di balik semua ketegangan ini, Bastian melihat sesuatu yang lain. Meskipun Naira bersikap galak dan jutek, ada rasa sakit di balik setiap ucapan tajamnya.Bastian tahu bahwa Naira sedang melindungi dirinya sendiri, takut terluka lagi.Meski sikap Naira melukai harga dirinya, Bastian mulai menyadari bahwa ini bukan hanya tentang memenangkan hati Naira kembali. Ini tentang membuktikan bahwa dia bisa dipercaya, meski dunia Naira saat ini terasa penuh tembok tinggi.Dan meski setiap hari Bastian harus menelan cemoohan atau penolakan dari Naira, dia takkan mundur.Dia bersumpah, apapun yang terjadi, dia akan terus menunjukkan cintanya, meskipun harus melalui hari-hari berat yang dipenuhi ujian.Naira mungkin bisa bersikap galak dan dingin, tapi Bastian tidak akan berhenti. Jika itu yang diperluka
Setelah menguji Bastan di kampus, Naira mulai merencanakan langkah selanjutnya.‘Ayo otak, pikirkan ujian baru untuk dia!’ batin Naira sambil terus berpikir.Sementara di kampus, banyak mahasiswa yang mengenal Bastian, merasa heran.“Ada apa yah bos E-First malah nongkrong di sini? Apa dia nggak punya kerjaan di kantor?”“Eh, jangan-jangan dia mau rekrut mahasiswa lagi!”“Ya ampun, kalo gitu, aku mau! Ayo kita dekati!”Beberapa mahasiswa yang salah sangka pada Bastian, segera mendekat ke Bastian.“Pak Bastian, kan?” tanya salah seorang mahasiswa.…Setelah selesai dengan kelasnya, Naira berniat untuk sekadar melihat bagaimana Bastian bertahan di kampus tanpa melarikan diri ke pekerjaan atau hal lain.Saat keluar dari gedung fakultasnya, Naira segera melihat Bastian yang dikerumuni oleh sekelompok mahasiswa."Apaan tuh?" gumam Naira pelan, alisnya terangkat.Dari jarak jauh, dia bisa melihat Bastian dikelilingi beberapa mahasiswa yang tampak sangat tertarik berbicara dengannya.Wajah-w
“Kalo gak betah, bisa udahan aja kok, Om. Gak perlu ngikutin aku melulu.” Naira memberikan tatapan menantang.Bastian menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Ini bukan saatnya untuk marah atau menyerah.Dia tahu bahwa jika dia menunjukkan tanda-tanda kesal atau frustasi, itu akan berarti kekalahan."Aku di sini karena aku mau buktiin kalau aku bisa bertahan, Nai," kata Bastian pelan tapi tegas. “Aku nggak akan pergi hanya karena ini. Aku masih mau mendapatkanmu, dan aku masih mau membuktikan kalau aku layak untukmu, Nai.”Naira menatapnya sejenak, lalu mengangguk dengan senyum tipis. “Kita lihat aja besok. Masih ada banyak waktu untuk kamu kasi bukti itu ke aku.”Bastian hanya bisa menatap Naira dengan pandangan tak berdaya, sementara Naira masuk ke dalam kamar dengan tenang setelah mengambil bungkusan yang dibawa Bastian, meninggalkan pria itu di ambang pintu.Hatinya berdesir. ‘Ini baru permulaan, Om. Ujiannya belum kelar.’Dan dengan itu, Bastian menyadari bahwa apa
"Iya, gak pa-pa. Sini, dah!" Emil menggeser sedikit duduknya sehingga Naira bisa lebih nyaman duduk di sebelahnya.Naira tersenyum dan melirik sekilas ke arah Bastian yang masih menatap mereka dari kejauhan.'Aku yakin Om Tian gak akan suka ngeliat aku ngobrol ama Emil, tapi itu bagian dari ujian ini, Om. Coba, aku pengen tau, seberapa tahan kamu, Om.' Dia membatin sambil mempertahankan senyuman terus ada di wajahnya."Gimana kabarmu, Ra? Aku liat kok makin cakep aja, sih? Apa karena kamu udah jadi anak kantoran, yah? Hehe...." Emil memulai obrolan dengan basa-basinya. “Aku baik-baik aja, kok. Dan aku... udah gak kerja, makanya bisa balik ke kampus,” jawab Naira dengan santai, meski ada sedikit nada menggoda dalam suaranya. “Aku denger kamu udah putus dari Ivy? Kapan?”Emil mengangguk dan tersenyum tipis. “Oh, itu udah lama, kok. Halah, nggak penting lagi sekarang. Aku lebih tertarik ngomongin kamu aja, deh.”Naira terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. “Ngomongin aku? Emangnya ada ya
“Kenapa? Aku gak boleh tau?” Naira menatap dengan pandangan mengejek sekaligus menantang ke Bastian.Ketika ponsel Bastian kembali berbunyi lirih, Naira menatap lekat ke pria itu.“Angkat. Buruan angkat dan nyalain loud speaker-nya.” Naira memberikan titah ke Bastian, sesuatu yang tak akan mungkin dia lakukan sebelum ini.Tak ada pilihan, Bastian pun menepikan mobil di tempat aman dan mengambil ponselnya. Dia melakukan seperti yang diperintahkan Naira padanya.“Ya?”“Bastian~ honey~ jahat banget sih kamu baru ngangkat ini. Emang dari tadi ke mana? Lagi apa?” Terdengar suara manja Vera di seberang panggilan.Naira langsung menghirup napas dalam-dalam sambil menatap lurus dengan dingin ke Bastian.Melihat tatapan dingin Naira, Bastian tentu harus memberikan jawaban yang memuaskan Naira.“Ver, nggak usah lagi hubungi aku. Aku udah sibuk dan malas bicara sama kamu.” Bastian dengan tegas mengatakan itu.“Heh?” Di ujung, Vera terdengar tak terima. “Bas, kamu kenapa, sih? Bukannya kencan kit
“Ayo… kamu telepon dia!” ulang Naira, membuat Bastian semakin mengernyit kebingungan.“Telepon siapa, sih Nai?” tanya Bastian dengan hati-hati, meskipun dia bisa menebak siapa yang dimaksud Naira.“Vera, dong. Siapa lagi? Telepon dia sekarang,” jawab Naira sambil menyilangkan tangan di dada, menatap Bastian dengan tatapan penuh tantangan.Bastian terdiam sejenak. Vera. Sepupu mantan istrinya yang terus menerus mencoba masuk ke dalam hidupnya, meskipun Bastian sudah berulang kali menegaskan bahwa hubungan mereka hanya sekedar kerabat dari mendiang istrinya. Dia tahu ini adalah ujian lain dari Naira, tetapi kali ini, dia tidak akan mundur.“Emangnya apa yang perlu aku omongin ama dia, Nai?” Bastian sedikit putus asa menatap Naira.Naira mengangkat bahunya, berlagak cuek. “Terserah, pokoknya telepon dia di depanku.”Dengan gerakan cepat, Bastian mengeluarkan ponselnya, mencari kontak Vera, dan menekan tombol panggil.Naira menatapnya, menunggu reaksi Bastian. Sesaat kemudian, suara Vera
Sebulan kemudian, Bastian berencana membawa Naira ke kantor E-First, tempat di mana mereka pernah bekerja bersama.“Ini beneran gak apa-apa, Tian?” tanya Naira untuk memastikan saja.Mereka sudah selesai berdandan rapi dan siap berangkat bersama ke kantor Bastian.“Tentu aja nggak apa-apa, Nai. Gimanapun, mereka harus tau ini. Nggak mungkin hubungan kita terus disembunyikan dan menjadi diam-diam aja, kan?” Bastian mengambil tangan Naira, ingin menguatkan hati calon istrinya.Saat ini, Naira sudah membubarkan segala ujian dan apa pun tes yang harus dilalui Bastian. Dia tidak lagi menginginkan itu karena dia sadar bahwa dia tak sanggup hidup tanpa Bastian.Pengalaman di ambang batas kematian membuat Naira memahami apa yang paling dia inginkan.“Kalo mereka marah, gimana? Ntar mereka demo, gimana?” Naira masih khawatir.Dulu rumor hubungan mereka sempat membuat geger kantor dan berhasil ditepis dengan berbagai cara. Sekarang justru hendak dibuka terang-terangan. Akan seperti apa respon pa
“Beneran? Len lairan?! Kapan?” Naira bertanya dengan senyum penuh kebahagiaan, seolah rasa sakit yang tadi dialaminya seketika menghilang.“Setelah kamu kelar operasi dan mendadak aja ketubannya pecah sewaktu mau ngantar kamu ke kamarmu ini. Oh ya, bayinya perempuan,” lanjut Bastian.Naira menatap Bastian dengan tatapan penuh arti. Hari ini benar-benar penuh dengan emosi—kesedihan, harapan, dan kebahagiaan yang semuanya berkumpul di satu tempat.Namun, wajah Bastian kembali serius sejenak saat dia menghela napas. “Ada kabar lain yang perlu kamu tau,” ujarnya. “Vera udah ditahan di kantor polisi. Mereka memastikan dia nggak akan kemana-mana, dan proses hukumnya akan segera berjalan. Sidangnya mungkin akan berlangsung dalam beberapa minggu lagi.”Naira terdiam, memikirkan peristiwa yang hampir merenggut nyawanya. Meski dia merasa lega bahwa Vera akan mempertanggungjawabkan perbuatannya, hatinya tetap tergetar.Kejadian ini meninggalkan luka yang dalam, tapi dia merasa lebih kuat ketika
Suster menatapnya dengan penuh empati. "Nyonya stabil untuk saat ini, Pak. Tapi kami harus memantau dengan ketat. Mengenai janinnya... kita perlu menunggu perkembangan lebih lanjut."Bastian mengangguk pelan, meski hatinya masih penuh kekhawatiran. Naira beserta janinnya harus baik-baik saja, mereka berdua harus baik-baik saja. Itu yang menjadi harapan utama Bastian.***Di kamar VIP yang tenang itu, Naira perlahan membuka matanya. Cahaya lembut dari jendela menembus tirai, menyinari wajahnya yang masih terlihat lemah.Saat kesadarannya mulai kembali, matanya terasa hangat dan basah. Mungkin efek samping dari obat, pikirnya.Tapi begitu dia sadar sepenuhnya, yang pertama kali dia rasakan adalah tangan Bastian yang menggenggam erat tangannya.“Om….” panggilnya dengan suara serak.“Nai… akhirnya kamu sadar.” Suara Bastian bergetar pelan, penuh dengan rasa syukur dan kelegaan.Dia menatap Naira dengan tatapan yang penuh kasih, seolah tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain dia d
“Kamu ngancam aku, Bas? Kamu berani ngancam aku?!” jerit Vera, tak terima.“Jika itu memang harus, maka aku akan melakukannya. Kamu bisa memilih, ingin aku mengambil langkah yang mana.” Bastian menyahut dengan suara dingin.Keributan semakin membesar di bandara, dan Bastian bisa mendengar suara ibunya Vera yang semakin marah, memaki-maki anak buah Bastian.Namun, situasi itu berubah ketika polisi bandara tiba di tempat kejadian setelah mendengar keributan. Mereka segera menahan Vera dan ibunya dari keberangkatan, meminta keduanya untuk tidak meninggalkan negara Scarlet sampai masalah ini selesai.“Aku akan mengurus semuanya,” kata Bastian pada petugas bandara yang mencoba menenangkan situasi. “Jika perlu, aku akan membayar empat kali lipat dari harga tiket yang sudah mereka beli. Yang penting, jangan biarkan mereka terbang.”Polisi dan staf bandara menerima tawaran Bastian. Uang memang bisa menyelesaikan sebagian masalah, pikirnya dengan dingin. Dia menutup telepon, tetapi belum sempa
‘Kumohon… aku ingin… terus bareng Om… selamanya….’ pinta Naira ketika dia memejamkan mata dan membiarkan dokter memulai operasinya.Di luar, Bastian sibuk mondar-mandir di depan kamar operasi.“Haahh… lama banget, sih?” rutuk Bastian, tak sabar.Helena yang juga ada di sana, hanya memutar matanya dengan jengah pada ucapan Bastian.“Ya elah… baru juga 10 menit, udah diprotes lama.” Helena merespon dengan suara nyinyir. “Buruan duduk! Mual aku liat kamu mondar-mandir rempong gitu!”Helena tidak takut sama sekali pada Bastian meski dia tahu siapa Bastian. Baginya, orang yang sudah membuat sahabatnya sedih, tak perlu ditakuti.Mau tak mau, Bastian menghentikan langkahnya yang bagaikan setrika. Dengan hembusan keras dari napasnya, dia pun duduk tak jauh dari Helena.“Bisa tolong ceritain, gimana kok Naira bisa kena tusuk gitu?” Bastian akhirnya teringat bahwa dia belum mengetahui mengenai kronologi dan latar belakang kejadiannya.Helena melirik sinis ke Bastian, menunjukkan permusuhan seca
“A-aku… aku….” Suara Vera bergetar.Vera kaget bercampur syok ketika menatap pisau lipat yang menancap di perut Naira. Meski dia benci Naira, tapi ketika usai menusukkan pisau ke Naira, rasa takut menyergapnya, seolah sebentar lagi dia akan dikejar iblis.“Arghh!” Vera menjerit panik dan bergegas pergi dari sana.Dia memang wanita jahat, tapi untuk berbuat lebih dari sekedar menusuk seseorang, dia tak memiliki nyali mengenai itu.Bahkan, menusuk perut seseorang merupakan kegilaannya paling maksimal dalam hidupnya.Sedangkan di kamar kosnya, napas Naira terengah-engah sambil terus memandangi perutnya.“Perutku… anak…ku….” Naira gemetaran.Takut dan sakit menguasai dirinya. Darah sudah mulai merembes banyak di bajunya.“Gak, gak boleh aku cabut pisaunya. Bahaya….”Di sela-sela kepanikan dan rasa takutnya, dia masih cukup bernalar mengenai itu.Maka, menahan rasa sakit dan dengan langkah tertatih, dia mengambil ponselnya, menghubungi nomor Bastian.“Ya ampun, buruan angkat, sialan! Aku b
“Ve-Vera?” Naira membeku di tempatnya.Kenapa pula justru wanita sialan itu yang ada di depan pintunya? Naira kesal bukan main, merasa dia begitu sial karena bertemu Vera lagi.Dia sudah ingin menutup pintu karena malas meladeni Vera, hanya saja si rival cinta sudah lebih dulu menahan daun pintu tertutup."Aku pikir kamu udah pergi dari hidup Bastian. Tapi ternyata kamu masih mencoba mencuri dia dariku? Bahkan hidup bareng di sini? Dasar murahan!"Terdengar jelas dari suara Vera, betapa dia membenci Naira yang telah menjadi penghalang dia dan Bastian.Naira mengangkat alisnya, menatap Vera dengan pandangan dingin. “Murahan? Heh, apa urusanmu, ya? Mendingan jaga tuh mulut.”Ada ketidakrelaan di hatinya ketika dia dihina oleh Vera.Naira tak tahu bahwa Vera sudah mengerahkan segenap sumber dayanya untuk menemukan dia dan Bastian. Semenjak Bastian menegaskan ke Vera untuk berhenti mengganggunya karena sosok Naira yang sudah dipilih Bastian, Vera terus mengusahakan apa pun agar bisa mene
“Hah~ begitu, yah?”Bastian menghela napas panjang, melirik Naira yang sedang duduk di tempat tidur.Jelas, dia terjebak di antara dua dunia—pekerjaan yang sudah mulai merenggut waktunya, dan usahanya untuk membuktikan kepada Naira bahwa dia benar-benar serius dalam hubungannya.Naira yang mendengar pembicaraan itu melalui loud speaker pun berbisik, “Pergi aja, gak apa-apa, kok!”Mata Naira berkedip-kedip menatap Bastian yang termangu memandanginya, seolah pria itu sedang mencari makna tersembunyi dari ucapannya.Setelah diam sejenak, Bastian akhirnya berkata, “Oke, Gandi. Aku akan ke kantor hari ini. Tolong jadwalkan ulang rapat yang tertunda dan kasi tau semua direksi kalau aku akan segera ke sana.”Setelah menutup telepon, Bastian menatap Naira dengan wajah penuh kebingungan. “Aku harus ke kantor, Nai. Udah terlalu lama aku nggak muncul di sana, dan ini masalah penting. Aku janji nggak akan lama-lama, tapi aku harus menyelesaikan semuanya hari ini.”“Iya, aku paham, kok!”Naira yan
"Nai, aku mesum gimana, sih?" Bastian berlagak menderita atas tuduhan Naira.Padahal dia menahan tawa geli."Kamu... kamu bisa-bisanya ambil aku dari... dari kasur! Nih! Aku bangun malah udah di lantai gini!" Naira sewot.Wajahnya cemberut dengan bibir mengerucut karena kesal."Loh Nai, kalau aku bawa kamu turun ke lantai, pastinya kamu bakalan terbangun, dong." Bastian memberikan sanggahan.Ucapan Bastian mengakibatkan Naira harus diam untuk berpikir.'Iya juga, sih!' batin Naira. 'Kalo aku ditarik atau dibopong turun dari kasur, ya kali aku gak ngerasa apa pun? Pastinya aku bakalan kebangun. Tapi... kok bisa gitu, sih?'Masih ada banyak tanda tanya di kepala Naira mengenai dirinya ada di lantai bersama Bastian."Nai, mungkin kamu sendiri yang turun ke bawah untuk tidur sama aku." Bastian justru menambahkan lecutan di hati Naira.Dia yang turun ke lantai untuk bersama Bastian?"Enak aja! Pede amat!" pekik kesal Naira.Tapi kalau dipikir-pikir....'Apa aku punya kecenderungan sleep wal