[Hai. Aku belum say thank you karena kamu sudah mau diganggu soal gizi Bapak. Karena kamu gak mau dibayar, aku mau traktir kamu makan siang, kabari kapan ada waktu ya.]
Tristan membaca pesan Tiara. Pesan yang berbeda dari yang biasanya hanya berisi tentang menu makanan dan berita tentang ayahnya.
Sejak menghubunginya satu bulan yang lalu, Tiara sudah mengajak ayahnya jalan-jalan.
[Untuk menghibur dan membuat hati Bapak senang, mengikuti saran dokter.] Begitu yang dia tulis waktu itu.
Tristan tidak bertanya mengapa ayahnya harus dihibur dan dibuat senang hatinya, karena itu urusan pribadi. Tidak pada tempatnya jika ia terlalu terlihat ingin tahu. Toh, hubungan me
Mata Tristan menangkap sosok Tiara di pintu masuk. Dia menoleh ke kanan ke kiri, matanya mencari-cari. Tristan bangkit dari tempat duduk, hendak menghampirinya. Namun Tiara sudah melihatnya, jadi ia hanya melambai lalu kembali duduk.Tiara melangkah mendekati mejanya, dan mengempaskan tubuh di bangku di hadapannya. Tersenyum. Senyum yang menular karena ia jadi menarik bibirnya juga. Mereka berjabat tangan.“Hai apa kabar? Maaf, pagi-pagi ternyata sudah macet. Sudah pesan?”Tristan menggeleng. Menyodorkan menu yang sedari tadi ada di hadapannya.“Belum. Aku sudah tahu mau pesan apa. Ini kamu pilih aja.”Sementara Tiara menunduk membaca menu, Tristan memperhatikannya. Rambutnya yang hitam dibiarkan tergerai melewati bahu.
Dua minggu setelah traktiran santap pagi yang gagal itu, Tristan menerima pesan baru dari Tiara.[Aku sedang di Pacific Place, terjebak 3in1. Sudah keliling semua lantai sampai kaki mau copot. Hari ini kamu praktik sampai jam berapa? Kalau ada waktu luang, gabung makan siang sama aku ya, masih hutang nih.]Tidak seperti para wanita yang mencari-cari alasan untuk menghubunginya, ini adalah kontak pertama Tiara sejak hari itu. Bahkan menanyakan tentang menu diet untuk ayahnya pun tidak. Tristan mengira mungkin kondisi ayah Tiara sudah jauh membaik, sehingga tidak membutuhkan nasihat darinya lagi.Tristan melihat jam yang melingkar di tangannya. Baru jam setengah dua belas. Ia belum lapar. Hari ini ia praktik sampai jam satu di sebuah rumah sakit pemerintah di Jakarta Selatan. Ia telah berencana untuk makan
Makanan dikeluarkan sesuai urutan. Yang pertama kali datang adalah hidangan pembuka. Tiara memesan Green French Salad with French Vinaigrette. Campuran sayuran berdaun segar, mentimun dingin, dan alpukat lemak sehat, disiram dengan saus vinaigrette yang terbuat dari campuran minyak dengan asam ringan seperti cuka atau jus lemon.Melihatnya saja sudah mengundang air liur karena tampak sangat segar.“Bagaimana pilihan pertama aku? Lulus kan, Dok?” Tiara tersenyum lebar.Tristan mengacungkan jempol. “Lulus dengan nilai terbaik.”Lalu tawa mereka berderai.
Pada kenyataannya, komunikasi Tiara dan Tristan tidak putus setelah pertemuan itu. Mereka memang tidak, belum, bertemu lagi. Namun, ada sesuatu yang mendorong Tiara untuk mengirimkan pesan, terutama ketika ia sedang makan. Entah karena kebiasaan dari awal kontak mereka, atau karena ia… merindukannya?Yang jelas, Tristan memenuhi pikirannya.Sedangkan Tristan, dirinya pun tidak mengerti, mengapa semua pesan Tiara selalu dijawab sendiri olehnya. Tidak pernah sekali pun diserahkan pada admin. Baik itu pertanyaan serius tentang menu diet dan konsultasi gizi untuk ayahnya dulu, apalagi sekarang, ketika obrolan mereka telah semakin meluas. Apakah karena ia… menikmatinya?Yang jelas, Tiara pernah hadir dalam mimpinya.‘Tapi mimpi kan bunga tidur yang tid
Makan siang untuk membayar taruhan pertama disepakati di resto Jepang di sebuah hotel bintang lima di Jakarta Selatan. Ini baru urutan nomor satu. Masih ada sekitar enam atau tujuh lagi setelah ini. Dan mungkin akan bertambah setelah mereka melakukan taruhan lain.[Daftarnya hutangnya sudah mulai panjang nih, harus mulai nyicil bayar.] Begitu pesan Tiara kemarin.[Oh ya, siapa yang kalah lebih banyak?] Jawab Tristan.[Kamu. {emoticon tertawa sampai menangis} Yakin gak sengaja mengalah?][Enggak, memang kamu lebih pinter kok. {emoticon senyum}][Aduh, bagaimana mungkin pak dokter bisa kalah pinter dari yang cuma lulusan SMA.][Biar ‘cuma’ lulusan SMA, tapi pengusaha suk
“Waktu melahirkan Kirana, usiaku baru dua puluh dua. Sendirian dan tidak punya pekerjaan.” Tiara memulai ceritanya.“Ayahnya? Maksudku, tadi kamu mengatakan melahirkan sendirian, apakah suami kamu… meninggal, atau kamu… berpisah dengannya sebelum melahirkan? Maaf, tidak perlu dijawab kalau pertanyaanku terlalu pribadi.”Tiara menggeleng. “Anakku punya ayah, tapi aku tidak ingin membicarakan dia. Kalau bisa, aku ingin melupakan rentang waktu itu, meskipun tidak mungkin, karena setiap kali melihat anakku, aku tahu bahwa itu telah terjadi.”Tristan mengangguk. “Aku menghormati keinginan kamu. Setiap orang boleh punya rahasia yang ingin disimpan sendiri. Aku gak akan bertanya lagi. Maaf ya…” Tiara melihat sorot penyesalan di mata Tristan.&n
[Aku tadi ketemu dengan klien di Monotone.] Pesan dari Tristan.[Oh? Dan?][Tidak apa-apa, cerita saja.] Sebenarnya Tristan ingin mengetik bahwa itu membuatnya teringat pertemuan pertama mereka di lokasi yang sama. Dan, bahwa itu hanya kebetulan berpapasan, bukan pertemuan dengan janji seperti mereka.Namun, entah mengapa Tristan menahan jarinya untuk mengetik lebih banyak. Hatinya tergelitik ingin melihat reaksi Tiara.[Klien ini… perempuan? Atau laki-laki?] Tiara bertanya lagi.Gotcha![Perempuan.] Tristan memutuskan untuk jujur.[Apa yang terjadi?][Tidak ada.]
Bapak kritis.Sejak ditemukan tak sadarkan diri di kamarnya dan langsung dibawa dengan ambulan ke rumah sakit, Bapak tak pernah lagi membuka mata. Dia telah koma.Selama dirawat intensif, Tiara bersikeras menunggunya di ruang tunggu yang disediakan rumah sakit. Hanya pulang tiga hari sekali. Menukar baju kotor yang akan dicuci dengan baju baru untuk tiga hari ke depan. Itu pun dia hanya asal comot yang terlihat mata di lemari, lalu langsung kembali ke rumah sakit.Seluruh kegiatan bisnisnya diserahkan kepada GM produksi dan kepala desain. Saat ini seluruh otaknya yang terisi bayangan Tristan untuk sementara teralihkan.Dan kini, setelah dua minggu di ICU, kondisi Bapak tiba-tiba memburuk.Menyerahkan dia? Akankah
“Hai… sweetheart senang sekali bertemu denganmu lagi,” Marcia memeluk Tiara erat, mencium pipinya kiri dan kanan. “Aduh, sudah berapa lama ini?” “Lima tahun?” Melihat Tiara mengacungkan tangannnya, Marcia membelalak. “Astaga! Waktu benar-benar tidak menunggu.” “Dan kamu…” Marcia menepuk lengan atas Tristan sambil mengernyit, berpura-pura marah. “Berani-beraninya membuat anakku menangis. Apa yang kamu lakukan padanya? Kamu harus menebusnya! Apakah kamu sudah minta maaf?” Tristan mengangkat kedua tangannya dengan sikap menyerah. “Ampun. Aku akan menebusnya seumur hidup. Aku berjanji, itu pertama dan terakhir aku membuatnya menangis. Mulai saat ini, aku hanya akan menyelimutinya dengan cinta. Hanya akan membuatnya tersenyum.” “Nah, itu baru benar!” Marcia masih mengerucutkan bibir. “Sudah kukatakan mataku tidak salah. Aku menangkap binar-binar cinta di mata kalian. Sekarang terbukti, bukan?” “Ya ya…” Tristan dan Tiara tertawa. “Itu juga sebabnya kami kembali ke sini, Tristan ingin
Jari Tristan menjalari seluruh lekuk tubuh Tiara, mereka berbaring berhadapan, belum kembali mengenakan pakaian yang berserakan di lantai, masih dipenuhi peluh, masih mengatur napas yang nyaris habis. Tadi Tristan bagai kesetanan, menggumuli Tiara sampai merintih, melenguh, berteriak, hingga suaranya habis. Dan kini, tubuh Tiara tergolek tak bertenaga. “Kamu kuat banget,” Tiara berbisik. “Padahal sudah tidak muda lagi.” Tristan tertawa, “Jangan menganggap remeh orang tua. Aku masih kuat kalau kamu mau nambah. Napasku panjang karena aku sering lari, full marathon 42 km. Bagaimana, masih mau lagi?” Tristan menggoda Tiara, memindahkan jarinya dan memutar-mutar di sekitar areolanya. Tiara menggedikkan bahu, “Rasanya tidak nyaman. Sepertinya lecet, kamu sih terlalu ganas.” “Akibat menahan lima tahun, sayang. Oh bukan, kalau menghitung dari kita kenal, sebenarnya tujuh tahun.” Tristan menggosokkan hidungnya ke hidung Tiara. “Jadi, mulai sekarang kamu harus siap aku sergap untuk dib
“Meskipun telah berpisah, aku tidak langsung mencarimu. Aku ingin melihat apakah takdir akan kembali mempertemukan kita. Jika tidak, berarti kita memang tidak berjodoh, dan aku benar-benar akan menghapus segala harapan. Tetapi ternyata… kita kembali dipertemukan. Dan kali ini, aku tak akan melepaskanmu.” Tristan meremas tangan Tiara. “Tentu saja, jika kamu belum bertemu seseorang, dan jika kamu bersedia.” Tiara menunduk, jantungnya berdentum-dentum. “Waktu kamu ulang tahun, kita tidak berfoto. Sekarang, kita sudah bisa berfoto bersama.” Kata Tristan lagi. “Supaya aku bisa melihat bagaimana wajah kita berdua ketika berdampingan, dan aku bisa memandangainya ketika aku sendirian.” Wajah Tiara seketika merona. “Kamu kok jadi lebay begini, malu ah sudah tua.” Tiara kembali berusaha menarik tangannya, tetapi Tristan malah pindah tempat duduk dari depannya ke sebelahnya. “Melihat reaksi kamu, kamu pasti belum bertemu seseorang, dan kamu bersedia. Ya kan?” Di akhir kalimat, Tristan be
Berbeda dari biasanya, dimana Tiara hampir selalu hadir lebih dulu dan Tristan hampir selalu terlambat, kali ini, Tiara berjalan berlama-lama, ingin membiarkan Tristan menunggunya.Ia bahkan hampir menyesali telah setuju untuk menemuinya lagi, setelah susah payah membakar jembatan, sekarang jembatan itu akan dibangun kembali?Namun, kata-kata Tristan yang mengatakan ‘banyak yang ingin disampaikan’, telah menggelitik rasa penasarannya. Sebanyak apa? Apa yang dia pendam dalam lima tahun ini, dan mengapa harus disampaikan padanya? Bukankah semuanya telah selesai?Tiara tiba di depan Blue Elephant. Seorang penerima tamu menyambutnya dengan senyum ramah.“Selamat siang. Untuk berapa orang, Bu?”“Sepertinya teman saya sudah di sini,” Tiara agak melongokkan kepala. “Entah dia sudah sampai belum…”“Boleh saya cek namanya?”“Tristan.”Penerima tamu itu memeriksa daftar nama di meja, “Sudah datang, mari saya antar, Bu.” Dia berjalan mendahului Tiara.Tiara mengikutinya ke sebuah meja. Ini bahka
Tiara berdiri di depan sebuah jendela lebar yang tirainya disingkapkan, menatap jajaran box berisi bayi-bayi yang terbaring di dalamnya.Kirana berdiri di sebelahnya, berjingkat-jingkat sambil memanjangkan leher.“Yang mana ya Mam?” Kirana bertanya.“Kayaknya yang itu tuh, yang ketiga dari kiri.” Tiara meletakkan telunjuknya di kaca.Kirana menoleh padanya, “Kok Mami milih yang itu?”“Soalnya merah sendiri. Yang lain pada kuning.” Tiara menjelaskan alasan akan bayi yang dipilihnya.Kirana kembali mengalihkan pandang ke box bayi itu, berusa
And if you should ask mewhich you are,my answer is -you are a scar. -Lang Leav-Pada akhirnya kita harus mengakui bahwa cinta tidak selalu benar. Cinta bisa jatuh di waktu yang salah, pada orang yang keliru, dalam keadaan yang tidak tepat. Pun ketidakbenaran itu tak menutupi kenyataan bahwa cinta itu hadir. Tak pula lalu meniadakan keberadaannya, bagaimana keras pun itu berusaha disingkirkan, dihapus, dilupakan.Pada akhirnya, itu hanya bisa dibiarkan mereda, mengendap, terkikis bersama waktu. Jika itu tak juga lenyap, dan rasa sakitnya terus terasa, kesakitan itu justru membuatnya nyata. Bahwa cinta itu ada. Pernah ada.Sebab siapa yang bisa menjamin apakah sebuah cinta akan berlangsung selamanya. Atau hanya hadir sesaat. Bukan kemampuan kita untuk melepaskan atau terus menggenggamnya yang akan menentukan rentang waktu cinta, melainkan kedalamannya. Terlepas dari apakah cinta itu benar, atau salah.Tiara menelusuri percakapan-percakapan di layar ponselnya. Semua percakapan denga
Satu tahun berlalu dalam sekejap mata, itu bagi orang lain.Bagi Tristan, menghabiskan tiga ratus enam puluh lima hari di Italia setelah kepergian Tiara, itu sangat panjang. Itu adalah lima puluh empat minggu. Itu adalah delapan ribu tujuh ratus enam puluh jam. Itu adalah lima ratus dua puluh lima ribu enam ratus menit. Menit demi menit yang ia lalui dengan bayangan Tiara di mana-mana.Tristan belum pernah merasakan kondisi seperti ini. Bahkan ketika remaja. Ia belum pernah merasakan putus cinta, ia tidak pernah mengalami patah hati. Pacarnya hanya satu, yang langsung dilamar menjadi istrinya, sampai sekarang. Tantri.Pantas saja banyak yang sulit sembuh, bahkan mengakhiri hidup. Ternyata rasanya sangat tidak nyaman seperti ini. Berkali-kali ia berkata pada dirinya sendiri, bahwa hidup akan baik-baik saja.Ternyata hidup tidak baik-baik saja. Hidup terasa pelan. Datar. Membosankan. Waktu seolah merayap. Sangat. Lambat. Tetapi tetap harus dijalani. Tristan menjalani hidupnya karena Tuh
Rindu adalah siksa yang nikmat. Bagi Tiara, merindukan Tristan adalah nikmat yang menyiksa. Menyakitkan. Namun menagihkan.'Kamu harus belajar memaafkan,' nalarnya bicara. ‘Maafkan dirimu sendiri, agar bisa melupakan.’Tetapi hatinya tak setuju.Ini bukan tentang memaafkan. Memaafkan diri sendiri. Memaafkannya. Bukan juga tentang menerima kenyataan dan melupakan. Tetapi tentang rasa. Rasa yang tak mau pergi. Beginikah dulu Bapak merindui Ibu? Menggapai dalam ketiadaan, meraih dalam kehampaan. Rindu yang menetap di masa lalu, sementara raga ada di masa kini. Rindu yang terperangkap antara ruang dan waktu. Tak terkikis. Tak terhapus. Kini Tiara mengerti perasaan Bapak. Manakah yang lebih perih? Cinta yang terputus maut? Atau cinta yang terpenjara etika? Keduanya sama. Tak tersampaikan. Tak terpadukan. Kembali ke Indonesia, Tiara melanjutkan hidup. Hanya karena hidup terus berjalan. Satu tahun sudah ia menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Berusaha memunguti serpihan hatinya. Memilih
“Bagaimana? Apakah hidangannya memenuhi seleramu yang tinggi, Senorita?” Carlos bertanya setelah mereka selesai bersantap. Pertanyaan yang jelas ditujukan pada Tiara.“Lihat saja piring-piring di sini, semua tandas, itu sudah menjawab pertanyaanmu. Dan ralat…” Tiara mengacungkan jari telunjuknya, “Seleraku gak tinggi kok, tidak perlu makanan di restoran mahal, di kaki lima juga oke. Aku hanya suka makan, terutama yang manis-manis.”“Hm… kalau begitu, nanti malam aku bisa mengundangmu bersantap di sini lagi? Hanya kita berdua? Aku akan membuat lebih banyak desserts.” Tanya Carlos. “Bos akan memberiku izin untuk menutup restoran lantai tiga, hanya untuk dia bukan?” Carlos beralih pada Ruby.Ruby mengangguk. “Ya, bukan hanya malam ini, setiap malam pun boleh, asalkan Tiara bersedia.”“Ah, tidak malam ini. Malam ini aku ingin melepas rindu dengan Ruby, kami sudah dua tahun tidak bertemu. Kita mau berbagi cerita sambil berbaring pakai piyama di tempat tidur.” Tiara menolak, dan tersenyum,