Sri menghela nafas sesaat sebelum mengetuk pintu ruangan Briyan. Terdengar sahutan dari dalam. Briyan tengah fokus dengan komputernya tanpa melihat siapa yang datang."Anda sibuk, Pak?""Oh, kamu, Sri." Laki-laki itu langsung memandang ke arah Sri. Wajahnya tampak pucat."Aku memeriksa laba cafe akhir Minggu ini, dan ... Yah! Sedikit menurun, sejak berdirinya resto baru yang berada tepat di depan gedung kita. Banyak juga pelanggan kita yang mulai beralih ke sana karena di sana menawarkan harga menu yang lebih murah.""Saya tutur prihatin, Pak," ucap Sri tulus. Dia memang mengamati, beberapa hari belakangan, resto tidak seramai biasanya. Kalau hari biasa, para koki dan pelayan tak sempat duduk sejenak karena banyaknya pembeli yang datang.Briyan tersenyum tipis, kemudian dia melonggarkan dasinya dan membuka kancing paling atas, dia merasa tercekik. Sejujurnya, dia merasa tidak sehat, sudah lama dokter menganjurkannya untuk berhenti minum kopi karena masalah lambung yang dideritanya. Aka
Entah apa yang membuat Sri refleks menangkap tubuh besar Briyan, Briyan tak jadi terjatuh membentur lantai, sebaliknya Sri yang terhuyun dan ambruk tak siap menahan berat badan pria itu. Sri bahkan merasakan tulang sikunya ngilu saat terbentur dinginkan lantai granit itu. Sri tak menghiraukan hal itu, dia kemudian bangkit sambil memberi jarak pada Briyan, sementara pria itu berusaha bersandar ke dinding. Dari tadi Sri mengamati ada yang tak beres dengan pria itu, tapi dia tak berniat untuk bertanya secara langsung."Kepalaku pusing!" keluhnya, Briyan memejamkan matanya, keringat menetes satu-satu dari keningnya.Sri yakin, pria itu tengah demam, buktinya dia sempat merasakan tubuh Briyan terasa panas. Insiden jatuh berhimpitan itu bukanlah hal yang romantis, itu murni ketidak sengajaan dan pertolongan refleks pada Briyan."Tubuh Anda panas, Pak. Tunggu sebentar! Saya akan ambilkan Anda minum, Pak! Sebaiknya Anda pulang! Anda tengah demam. Anda perlu istirahat." Sri bangkit dan bergeg
Sri melirik ruangan Briyan yang hanya disekat dengan kaca tebal kedap suara, dia memiringkan kepalanya untuk melihat lebih jelas di balik kaca itu. Mata Sri menangkap tas laki-laki itu sudah bertengger manis di atas meja kerjanya. Artinya pria itu sudah masuk kerja saat ini. Padahal belum dua hari, Briyan memang gila kerja, atau memang dia sembuh lebih cepat dari apa yang Sri duga."Mencariku?" Tiba-tiba suara berat mengalun di telinga Sri."Astagfirullah, Pak?" Sri membarut dadanya kaget, tiba-tiba saja Briyan muncul dari belakang dan berbisik dari balik bahunya, sehingga dia merasa bulu halus di sepanjang lehernya meremang. Dia bahkan sampai menabrak dada pria itu saat berbalik tiba-tiba. Wajah kaget Sri bertemu dengan wajah kekanak-kanakan Briyan. Sejenak Sri melihat, pria itu tengah tebar pesona padanya. Buktinya senyum lebarnya belum surut.Wajah pria itu terlihat lebih segar, seperti biasa, senyum jenaka yang menjadi ciri khasnya sudah terbit manis di bibirnya itu. Dia terlihat
Perjalan menuju pantai yang dituju ternyata cukup melelahkan. Hampir empat jam perjalanan dengan bus. Bus pariwisata sengaja disewa untuk membawa karyawan yang cukup banyak. Ada tiga bus yang berangkat selepas Maghrib. Mereka rata-rata dijemput dari tempat tinggal mereka masing-masing yang masih berada di sekitar pusat kota Semarang.Mereka bertolak dari kota Semarang jam tujuh malam dan sampai jam setengah dua belas malam. Bus langsung membawa mereka ke penginapan yang sudah dipesan sebelumnya. Satu kamar diisi tiga orang, hanya orang-orang tertentu yang menempati kamar sendiri. Termasuk Sri yang menjabat sebagai menejer. Setidaknya saat mereka sampai di malam hari, lelah diperjalanan bisa langsung diganti dengan tidur sampai pagi.Susi membawa dua koper berukuran sedang, sedangkan Nadhira telah tidur pulas setelah sempat rewel karena bosan. Setelah disusui, bayi cantik itu tidur dengan nyaman."Kamar Mbak, tepat di samping kamar aku," kata Sri memberikan kunci kamar pada Susi. Wani
Malam yang syahdu, bagi muda-mudi yang ikut menghabiskan akhir tahun di tepi pantai ini. Tak banyak, ada beberapa orang, selebihnya duduk bergerombol membuat api unggun sambil memainkan gitar.Briyan tersenyum, di usianya yang sebentar lagi akan menuju tiga puluh, dia merasa seperti anak ABG yang tengah jalan berdua dengan sang kekasih. Ah! Briyan mungkin terlalu berlebihan menilai ini adalah kencan. Buktinya wanita yang tengah menggendong anaknya itu tampak asik dengan dirinya sendiri. Matanya tak lepas dari ombak yang bergulung serta kerlip bintang yang bertaburan."Berjalanlah di dekatku! Kalau seperti ini aku malah seperti ajudanmu, langkahmu buru-buru sekali."Briyan tanpa permisi menarik lengan Sri. Bahkan Nadhira mengintip di balik baju Sri karena penasaran."Siapa nama anakmu?" Mata Briyan berbinar saat mendapatkan tatapan polos dari Nadhira."Namanya Nadhira," jawab Sri sambil menyingkirkan rambut yang menutupi wajahnya."Namanya cantik, secantik ibunya."Sri mengabaikan ray
Pemandangan pasir putih sangat menggoda. Dari jendela hotel itu, Sri bisa melihat rekan-rekannya yang asik dengan berbagai kegiatan. Anne dan beberapa koki yang lain tengah bermain voli pantai, Susan sang kasir yang terkenal dengan penampilan, tengah asik mengoleskan sesuatu pada kulitnya, ada juga yang duduk berkelompok sambil minum air kelapa muda sambil menikmati pemandangan laut. Namun apa daya, barangkali Sri hanya diizinkan sebentar saja untuk menikmati pasir itu. Tadi malam, dia dan Nadhira kembali ke kamar mereka jam dua dini hari setelah cukup puas berjalan di tepi pantai dan berbincang-bincang dengan Briyan. Briyan mengantar mereka sampai ke pintu kamar, menyerahkan Nadhira yang sudah tertidur lelap di bahunya.Pagi ini, Sri gusar, dia berusaha menenangkan Nadhira yang badannya mendadak panas. Sedangkan Susi sibuk memeras handuk kecil untuk mengompres Nadhira. Namun, Nadhira terus saja menyingkirkan handuk yang baru beberapa detik terletak di dahinya. Mungkin dia merasa tak
Briyan menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Lelah dan mengantuk, itu yang dirasakannya saat ini. Dua hari pergi liburan ke pantai, tapi tak menikmati liburan itu, dia bahkan tak sempat berenang di laut pada sore hari.Briyan mengangkat tangannya dan menjadikannya bantal, wajah tampan itu menengadah menatap langit-langit. Dia sadar hatinya tak lagi tertolong, dia terlanjur jatuh cinta pada wanita biasa yang bahkan pernah menikah dua kali dan telah memiliki anak.Dia bukan laki-laki yang tak laku, bukannya menyombongkan diri, dia bisa saja memilih wanita mana saja yang dia mau. Tapi karena mereka bisa didapatkan dengan terlalu mudah, Briyan merasa bosan dan tak berselera.Senyum terbit di bibir Briyan, mata yang memiliki tatapan tegas itu menerawang.Ah! Sri, bukankah dia terlalu biasa? Kecantikannya biasa saja jika dibandingkan dengan wanita di sekelilingnya. Tubuhnya juga tak lebih aduhai dibandingkan Angel yang menjadi pacarnya waktu SMA dulu, penampilannya apa lagi, dia sangat ta
Apakah yang paling parah dalam hidup, saat kau sudah menjadi puing lalu berusaha kembali untuk utuh, dengan seenaknya orang lain menghancurkan dirimu. Jangankan untuk tersenyum, membuka mata untuk menatap dunia saja begitu berat.Sri sudah bertekad, demi Nadhira, dia akan mencoba menciptakan kebahagiaannya sendiri tanpa ikut campur orang lain. Dia berusaha mengobati luka hatinya yang menganga dan berdarah. Dia juga berusaha berdamai dengan Novan, menerima ajakan mantan suaminya itu untuk bersahabat agar mereka bisa memberikan perhatian pada anak mereka bersama-sama. Tapi apa ini? Pria itu begitu jahat, memaksakan kehendak, mendatanginya bagaikan seorang Tuan yang menginginkan budaknya.Sri terus saja meronta, tapi Novan malah berlaku seperti orang kesetanan, rambut Sri digenggam erat sehingga wajah wanita itu menengadah secara paksa. Dia menarik leher Sri dengan paksa dan mencium wanita itu dengan kasar. Sri mengutuk pria itu, dengan sekuat tenaga, tidak! Dia tak boleh menunggu orang
"Sah!" Sahutan serempak bergaung di mesjid besar itu. Marisa mengusap air matanya, Sri menangis dan menutup wajahnya sendiri. Bukankah sebuah keajaiban? Hatinya yang awalnya beku luluh karena kegigihan Briyan. Pria itu tak mau mundur sedikit pun, bahkan semakin maju menggapai cinta Sri walaupun ditolak berkali-kali.Sifat Briyan selama bertolak belakang dengan Aryo yang melepaskannya tanpa berpikir dua kali. Mereka memang terlahir dari rahim yang sama, wajah yang sama, tapi nasib yang berbeda serta sikap yang berbeda pula.Ini untuk yang ke-tiga kalinya dia pernah melalui momen ini, dan kali ini pula rasanya Sri masih tak percaya. Ada banyak rasa yang dirasakannya. Sedih, bahagia, haru dan seperti mimpi. Sri terkesiap saat kepalanya diusap lembut, dia menemukan seorang pria tampan dengan wajah teduh dan menenangkan. Wajah itu, yang akan menjadi imam di sisa hidupnya."Ayo! Cium tangan suamimu!"bisik Marisa. Sri tergagap, kemudian dia menyambut uluran tangan Briyan dan membawa ke waj
Teruntuk Marisa istrikuApa kabar Marisa? Aku melihatmu terus dari kejauhan saat kau telah menjadi bintang yang tak mungkin lagi aku raih. Tuhan maha adil dengan segala kuasa-Nya. Memberikan derajat yang tinggi padamu, dan memberikan hukuman yang berat padaku.Apakah dayaku, Marisa. Sejak kepergianmu puluhan tahun silam, saat itu juga hatiku hancur dan menghabiskan malam-malam dengan mabuk minuman keras. Saat kau tak ada, aku merasa benar-benar kehilangan. Aku sudah mencarimu waktu itu untuk meminta maaf, ingin memulai kembali pernikahan yang indah dan penuh maaf. Tapi, kau benar-benar pergi, Marisa.Takdirku tak berhenti begitu saja, aku hancur, terbuang dan menjadi gelandangan. Berbagai penyakit menggerogotiku, jantung dan diabetes serta darah tinggi.Aku tau Marisa, takkan ada maaf untukku lagi, namun di punghujung nafasku, aku ingin meminta maaf kepadamu, aku tak mau mati dengan beban penyesalan yang tak berkesudahan. Andaikan waktu bisa diulang Marisa, aku ingin kita kembali ke m
Briyan masih bertahan di posisinya berdiri bahkan setelah Hans berlalu dan lebih dulu masuk rumah. Dia sempat mengangguk sekilas pada wanita cantik yang memakai kebaya hijau muda dan rambut disanggul rapi. Briyan yakin, itulah yang namanya Marisa."Wah, cantik-cantik bunga majikanmu," puji Briyan, hatinya senang sekali saat ini. Sri terlihat biasa saja, tak berniat meluruskan. Dia menggulung selang air kembali dan meletakan pada sebuah wadah yang telah disediakan."Aneh, kamu meninggalkan pekerjaan sebagai menejer demi menjadi pembantu? Kalau begitu bekerja di rumahku saja, setelah ijab qobul." Briyan tersenyum konyol.Sri tak terpengaruh dengan lelucon itu. Biar saja Briyan tau sendiri, supaya laki-laki itu sedikit syok."Kau tinggal di mana?""Di sini!""Ibumu?""Di sini juga," jawab Sri sambil mencuci tangannya."Wah, baik sekali Nyonya Marisa memperbolehkan pembantu tinggal di sini bersama ibunya. Pantas saja Hans memujinya. Jarang-jarang ada orang sebaik itu.""Bapak masuklah dul
Mata sendu itu masih terbuka, ada lelah yang tak bisa dijabarkan di sana. Pada hakikatnya dia adalah pria rupawan yang kesepian. Dulu, sebelum dia tau bahwa dia hanyalah anak angkat, dia sering bertanya pada Hans, "di mana ibu?", dan Hans hanya memberikan senyum hangat tanpa memberi penjelasan.Terkadang dia iri dengan teman-temannya di sekolah, yang bergayut manja digendong oleh ibu mereka. Atau, saat acara piknik bersama keluarga, hanya tendanya dan Hans yang paling sedikit isinya."Dad, ini tidak seru," kata Briyan kecil sambil meletakkan gitar mainannya. Teman-temannya berlarian dengan adik atau kakak mereka, atau ada yang membantu ibunya menyiapkan makan malam, sementara di tenda mereka, Hans sibuk dengan majalah bisnis. Mereka tengah piknik acara sekolah, namun Hans tetap saja bekerja."Tidurlah! Atau bermain dengan temanmu yang lain!"Briyan kecil cemberut, mata bulatnya menatap bosan ke luar tenda miliknya, lampu-lampu taman menerangi tenda-tenda yang berjarak kisaran empat me
Sakit itu, sebuah musuh yang tak berwujud tapi mematikan. Dia mengendap begitu dalam, tak bisa diobati, tak bisa ditawar, hanya bisa menggerogoti jiwa yang penuh putus asa dan semakin melemah. Tak terperi, rasa sakit yang dirasakan Briyan seakan bisa membuatnya mati. Begitu hancurnya dia ketika mengetahui kenyataan yang tak ada kenyataan bahagia sedikit saja di masa lalunya. Andaikan pria tua lumpuh itu tidak dalam keadaan cacat, tentu Briyan telah menghajarnya sampai hatinya puas, tapi, laki-laki tua yang Briyan berat mengakui sebagai kakeknya itu, tak lebih dari seonggok daging hidup yang tak mengerti. Dia lumpuh dan depresi. Dan Briyan tau, orang gila tidak bisa diajak berbicara.Seusai menemui Adhiwijaya, Briyan memacu mobilnya seperti orang kesetanan. Dia tak peduli dengan sumpah serapah serta umpatan kasar orang yang disalip secara ugal-ugalan.Wajah pria tampan itu memerah. Matanya masih basah, urat-urat bertonjolan di sepanjang lehernya.Ini sakit, apa yang lebih menyakitkan d
Bolehkah dia menangis dan meraung sekuat tenaga? Andaikan dia tak bersikeras menyelidiki tentang dirinya, tentu rasanya tidak akan sesakit ini. Pada dasarnya dia hanyalah anak yang dibuang untuk menghilangkan malu. Lalu, apa yang benar-benar dimilikinya di dunia ini, tak ada selain nyawanya sendiri."Maafkan aku! Ampuni aku! Aku ikut membantu Adhiwijaya membuang kalian karena terpaksa, aku mohon! Ampuni aku!" Laki-laki tua itu bersimpuh dan terisak di depan Briyan, hilang sudah ketegasan dan kegagahan yang dia perlihatkan beberapa saat yang lalu. Dia terlihat menyedihkan dengan bersimpuh di kaki orang yang lebih muda pada dirinya."Katakan apa saja yang engkau ketahui, Pak! Aku ingin mendengar langsung dari mulutmu. Aku akan mengampunimu jika kau berkata jujur!" jawab Briyan dingin. Nafasnya, sesak dan seakan jantungnya ingin meledak Manahan marah.Danu bangkit, mengusap air mata dengan sapu tangan yang disimpan di balik jasnya, sedangkan Adhiwijaya memperhatikan mereka dengan tatapan
Marisa muda menyandarkan bahunya yang ramping ke sandaran tempat tidur. Matanya yang sembab melirik laki-laki yang tertidur pulas di sampingnya, seperti biasa, pulang dalam keadaan mabuk minuman keras.Dia dipapah oleh wanita malam yang mengumpati Marisa. Bahkan percakapan hina itu tak mampu dielakkan."Besok aku akan datang lagi ke sini, lakimu belum membayar setelah aku melayaninya, kalau aku tau dia adalah laki-laki kere, dari awal aku sudah menendangnya saat masuk ke dalam kamar. Ternyata apa ini? Gubuk reyot mencerminkan penghuninya yang melarat. Bodohnya aku masih mau mengantar pria payah ini ke rumahnya." Wanita itu menjatuhkan suaminya begitu saja. Marisa tak menjawab. Ini entah yang keberapa kalinya, suaminya diantar oleh pelacur yang berbeda.Marisa melirik pria yang sudah terlelap dalam tidurnya. Dia sudah tak sanggup, tak ada lagi alasan baginya untuk bersama pria itu. Marisa bangkit, kemudian duduk di depan kaca buram yang terdapat di lemari yang sudah tanggal pintunya. D
Dua manusia yang saling berhadapan, saling memandang satu sama lain. Yang satu berwajah datar terkesan bosan, yang satu lagi wajah Briyan yang terlihat tidak bersemangat. Bahkan dia memutar-mutar pulpennya beberapa kali. Terkesan mengabaikan lawan bicaranya."Pak!" sapa wanita yang tak lain adalah Sri. Sudah beberapa menit dia duduk di hadapan pria itu, tapi Briyan terkesan tak peduli."Sebut namaku!" seru Briyan, dia merasa terganggu dengan sapaan resmi itu, sehingga sekat dan jarak di antara mereka semakin jauh."Baiklah! Briyan." Sri menjawab pasrah.Briyan tersenyum tipis, tatapan lembutnya menyapu wajah cantik yang digilainya itu. Kedatangan wanita itu pasti tak jauh dari rencana pengunduran dirinya.Sri memakai blouse merah maroon dan celana panjang warna hitam, rambutnya dikuncir kuda menampakkan anak-anak rambut di kening dan tengkuknya. Bibir mungilnya dipoles dengan warna pink lembut. Wanita sederhana ini selalu sukses memukau setiap laki-laki yang memandangnya."Ini hari t
Kaki keriputnya berjalan terseok. Baju bewarna merah itu sudah berubah warna menjadi kecoklatan karena kotor. Celana hitamnya penuh debu dan kotoran, sedangkan celana bagian kiri sengaja dipotong agar tak mengenai luka yang sudah membusuk. Terlihat luka itu cukup parah, bahkan lalat yang meninggalkan telurnya di sana, telah berhasil membuat telurnya menetas berubah menjadi belatung yang menjijikkan.Dia menyeret kakinya yang terseok. Siapa pun yang berpapasan dengannya menghindar sambil menutup hidung. Pria itu sebenarnya belum terlalu tua, hanya saja rambutnya panjang tak terurus serta sudah memutih. Kalau diamati lebih dekat, bisa dipastikan dia dulunya adalah laki-laki yang rupawan.Dia berjalan terseok-seok, mendekati kerumunan orang-orang yang tengah asik memilih baju obral di kaki lima. Sontak sebagian besar orang itu menghindar, bahkan ada yang tak bisa menahan mual.Pedagang kaki lima itu menjadi kesal karena pembeli pergi gara-gara pria kumal itu."Kau lagi! Pergi!" Bentak p