"Sri tidak seperti kebanyakan anak yang lain. Sri tidak mau diadopsi oleh siapa pun, alasannya karena dia tidak ingin berpisah dengan Bunda Alifa yang telah merawatnya selama ini. Anak itu, anak yang periang, cerdas dan menjadi kebanggan bunda Alifa. Sayangnya, dia tidak mau melanjutkan sekolah dan memilih untuk ikut membantu pekerjaan di panti asuhan ini. Sampai pada suatu hari, dia menemukan jodohnya," tutur bunda Ratmi. Marisa mendengarkannya dengan mata berbinar. Sesekali mengusap air matanya. Air mata haru."Kami ikut menyaksikan pernikahan Sri, walaupun tak ada pesta, kami yakin, Sri sangat beruntung, laki-laki sederhana itu terlihat begitu penyayang dan setia. Mereka sering berkunjung ke sini, kecuali setahun terakhir. Tak ada lagi.""Bisa saya minta alamatnya?" Marisa bertanya tak sabaran.***Sri mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumah yang lebih cocok dinamai istana itu. Sebelum masuk ke gerbang yang begitu besar, mereka melewati jalan sepi yang diapit pohon Cemara di k
Sri menggeliat kemudian bangun dari tidurnya. Setelah shalat subuh tadi, dia kembali tidur mendekap Nadhira yang masih pulas. Hari Sabtu dan Minggu baginya begitu berharga. Di hari Sabtu dan Minggu ini lah dia bisa bermain sepuasnya dengan Nadhira. Wanita cantik yang masih muda itu bangkit menuju kamar mandi, melakukan rutual pagi dan menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri. Hanya segelas susu dan selembar roti tawar, cukup untuk menambah energi pagi ini.Dia teringat akan nasehat Susi, bahwa kebahagiaan itu adalah pilihan, kita yang menciptakan bukan dicari. Mungkin sebaiknya dia mencoba untuk berubah, berdamai dengan masa lalunya sendiri. Toh, kini hidupnya mulai nyaman, Nadhira sudah ada bersamanya, dan dia memiliki gaji yang lumayan.Tiiin! Bunyi klakson menarik perhatian Sri. Dia menyingkap tirai jendela. Dia lupa, ini jadwal Novan untuk berkunjung. Sri mengambil nafas, lalu melepaskan perlahan. Ini saatnya, seperti nasehat Susi, bagaimanapun Novan adalah ayah dari anaknya."S
Sri berlari di lorong rumah sakit. Setelah mendapat kabar dari Briyan bahwa ayahnya masuk rumah sakit tadi malam, Sri tak menunggu lama. Dia langsung meminta Novan kembali mengantarnya pulang. Sri membuka pintu ruang perawatan, dua pasang mata di sana, sama-sama menatap ke arahnya. Sri menata nafasnya, ada senyum lega terukir di bibirnya, melihat Hans sudah tampak membaik. Dia duduk bersandar di tempat tidur rumah sakit, sambil mengunyah buah yang disodorkan Briyan."Bagaimana keadaan Anda, Tuan?" tanya Sri tulus, dia meletakkan rantang berisi makanan yang sengaja dibuatnya sendiri. Baginya, Hans adalah pahlawan yang sangat berjasa."Aku sudah lebih baik, sebenarnya aku ingin pulang, namun bosmu menahanku di sini lebih lama." Hans melirik Briyan yang masih menampakkan wajah tak habis pikir."Syukurlah! Ini, mungkin tak seenak steak buatan Anda. Tapi saya memasaknya dengan sungguh-sungguh!" Sri membuka rantang, wangi rempah tercium menggoda."Apa itu?" tanya Hans penuh minat.Sri ter
Sri mengerutkan keningnya, ada apa Novan datang lagi hari ini, bukannya ini belum waktunya dia berkunjung. Dia tau, hari ini memang tanggal merah sehingga karyawan diliburkan, tapi ini baru dia hari. Paling cepat dia akan berkunjung seminggu setelahnya."Mas?" Sri memandang pria itu, senyum mengembang di bibirnya. Ramah, sangat ramah."Hai!""Silahkan masuk!" Sri memberi jalan, dia masih menyimpan tanda tanya. Banyak perubahan dia lihat dari laki-laki itu, tapi dia enggan menanyakannya."Mau minum apa, Mas?""Air putih saja, aku baru saja minum kopi." Novan langsung mengeluarkan Nadhira dari Baby Walker. Dia mencium pipi gembul Nadhira berkali-kali. Bayi itu, menatap polos ke arahnya dengan matanya yang bening bulat. "Anak papa sekarang udah berat, ya!" Novan mencubit hidung kecil itu, sesekali mencium Nadhira gemas. Sri melirik, ada angin apa, pria itu bisa berubah secepat itu."Kamu nggak kerja?""Saya dapat libur di tanggal merah, Mas," sahut Sri sambil meletakkan air putih di at
Wanita ini, masih saja sesenggukan di pelukannya. Briyan diam mematung tak berkutik. Tanpa disadari, Sri telah mengungkapkan masa lalunya yang kelam. Briyan ikut merasakan bagaimana kesedihan wanita itu, semua yang serba kebetulan ini membuatnya penasaran. Apa benar dia memiliki saudara kembar sehingga Sri sering kali menggila jika mulai berhalusinasi.Tangis wanita itu berhenti, berubah dengan nafasnya yang memberat, Briyan merasakan jemari wanita itu sudah berhasil membuka kancing kemejanya yang paling atas, lalu Briyan merasakan hidung mancung Sri telah merambat ke sisi lehernya. Ini tak bisa dibiarkan."Sadarlah! Aku bukan mantan suamimu!" Briyan mengguncang tubuh Sri, awalnya pandangan sayu itu berubah bingung, lalu matanya membola. Sri kembali terhempas ke dunia nyata, dia menutup mulutnya, wajah putus asa itu begitu menyedihkan. Tanpa pikir panjang, wanita itu memungut tasnya lalu berlari meninggalkan Briyan.Briyan mengacak rambutnya, apa yang terjadi di luar nalar, bagaimana
Masa lalu, adalah sekelumit takdir yang tak bisa diubah. Rasa sakit, rasa kecewa dan pahit yang tak bisa dijabarkan dengan kata-kata, namun hanya bisa dikenang sebagai pembelajaran. Manusia hanya bisa merencanakan masa depan tanpa bisa mengubah masa lalu.Setiap orang ingin terlahir sempurna, ingin punya kehidupan yang bahagia. Namun, hidup tidak semudah itu. Manusia memiliki ujiannya sendiri-sendiri, karena kesempurnaan itu hanya ada di surga.Dua wanita yang berbeda usia, tapi memiliki kemiripan yang tak bisa dipungkiri. Saling duduk berhadapan tanpa berbicara sepatah kata pun. Jika Marisa menatap Sri penuh cinta, lain dengan Sri yang membalas tatapan itu dengan dingin.Sri yang tadi baru datang setelah belanja kebutuhan pokok untuk seminggu, langsung dipeluk penuh kejutan oleh wanita asing yang sama sekali tidak dikenalnya. Sri hanya tertegun tak berdaya saat wanita baya yang cantik itu hanya menangis sambil mengusap pipinya berkali-kali.Bahkan setelah dua puluh menit berlalu, bel
Sri menghela nafas sesaat sebelum mengetuk pintu ruangan Briyan. Terdengar sahutan dari dalam. Briyan tengah fokus dengan komputernya tanpa melihat siapa yang datang."Anda sibuk, Pak?""Oh, kamu, Sri." Laki-laki itu langsung memandang ke arah Sri. Wajahnya tampak pucat."Aku memeriksa laba cafe akhir Minggu ini, dan ... Yah! Sedikit menurun, sejak berdirinya resto baru yang berada tepat di depan gedung kita. Banyak juga pelanggan kita yang mulai beralih ke sana karena di sana menawarkan harga menu yang lebih murah.""Saya tutur prihatin, Pak," ucap Sri tulus. Dia memang mengamati, beberapa hari belakangan, resto tidak seramai biasanya. Kalau hari biasa, para koki dan pelayan tak sempat duduk sejenak karena banyaknya pembeli yang datang.Briyan tersenyum tipis, kemudian dia melonggarkan dasinya dan membuka kancing paling atas, dia merasa tercekik. Sejujurnya, dia merasa tidak sehat, sudah lama dokter menganjurkannya untuk berhenti minum kopi karena masalah lambung yang dideritanya. Aka
Entah apa yang membuat Sri refleks menangkap tubuh besar Briyan, Briyan tak jadi terjatuh membentur lantai, sebaliknya Sri yang terhuyun dan ambruk tak siap menahan berat badan pria itu. Sri bahkan merasakan tulang sikunya ngilu saat terbentur dinginkan lantai granit itu. Sri tak menghiraukan hal itu, dia kemudian bangkit sambil memberi jarak pada Briyan, sementara pria itu berusaha bersandar ke dinding. Dari tadi Sri mengamati ada yang tak beres dengan pria itu, tapi dia tak berniat untuk bertanya secara langsung."Kepalaku pusing!" keluhnya, Briyan memejamkan matanya, keringat menetes satu-satu dari keningnya.Sri yakin, pria itu tengah demam, buktinya dia sempat merasakan tubuh Briyan terasa panas. Insiden jatuh berhimpitan itu bukanlah hal yang romantis, itu murni ketidak sengajaan dan pertolongan refleks pada Briyan."Tubuh Anda panas, Pak. Tunggu sebentar! Saya akan ambilkan Anda minum, Pak! Sebaiknya Anda pulang! Anda tengah demam. Anda perlu istirahat." Sri bangkit dan bergeg
"Sah!" Sahutan serempak bergaung di mesjid besar itu. Marisa mengusap air matanya, Sri menangis dan menutup wajahnya sendiri. Bukankah sebuah keajaiban? Hatinya yang awalnya beku luluh karena kegigihan Briyan. Pria itu tak mau mundur sedikit pun, bahkan semakin maju menggapai cinta Sri walaupun ditolak berkali-kali.Sifat Briyan selama bertolak belakang dengan Aryo yang melepaskannya tanpa berpikir dua kali. Mereka memang terlahir dari rahim yang sama, wajah yang sama, tapi nasib yang berbeda serta sikap yang berbeda pula.Ini untuk yang ke-tiga kalinya dia pernah melalui momen ini, dan kali ini pula rasanya Sri masih tak percaya. Ada banyak rasa yang dirasakannya. Sedih, bahagia, haru dan seperti mimpi. Sri terkesiap saat kepalanya diusap lembut, dia menemukan seorang pria tampan dengan wajah teduh dan menenangkan. Wajah itu, yang akan menjadi imam di sisa hidupnya."Ayo! Cium tangan suamimu!"bisik Marisa. Sri tergagap, kemudian dia menyambut uluran tangan Briyan dan membawa ke waj
Teruntuk Marisa istrikuApa kabar Marisa? Aku melihatmu terus dari kejauhan saat kau telah menjadi bintang yang tak mungkin lagi aku raih. Tuhan maha adil dengan segala kuasa-Nya. Memberikan derajat yang tinggi padamu, dan memberikan hukuman yang berat padaku.Apakah dayaku, Marisa. Sejak kepergianmu puluhan tahun silam, saat itu juga hatiku hancur dan menghabiskan malam-malam dengan mabuk minuman keras. Saat kau tak ada, aku merasa benar-benar kehilangan. Aku sudah mencarimu waktu itu untuk meminta maaf, ingin memulai kembali pernikahan yang indah dan penuh maaf. Tapi, kau benar-benar pergi, Marisa.Takdirku tak berhenti begitu saja, aku hancur, terbuang dan menjadi gelandangan. Berbagai penyakit menggerogotiku, jantung dan diabetes serta darah tinggi.Aku tau Marisa, takkan ada maaf untukku lagi, namun di punghujung nafasku, aku ingin meminta maaf kepadamu, aku tak mau mati dengan beban penyesalan yang tak berkesudahan. Andaikan waktu bisa diulang Marisa, aku ingin kita kembali ke m
Briyan masih bertahan di posisinya berdiri bahkan setelah Hans berlalu dan lebih dulu masuk rumah. Dia sempat mengangguk sekilas pada wanita cantik yang memakai kebaya hijau muda dan rambut disanggul rapi. Briyan yakin, itulah yang namanya Marisa."Wah, cantik-cantik bunga majikanmu," puji Briyan, hatinya senang sekali saat ini. Sri terlihat biasa saja, tak berniat meluruskan. Dia menggulung selang air kembali dan meletakan pada sebuah wadah yang telah disediakan."Aneh, kamu meninggalkan pekerjaan sebagai menejer demi menjadi pembantu? Kalau begitu bekerja di rumahku saja, setelah ijab qobul." Briyan tersenyum konyol.Sri tak terpengaruh dengan lelucon itu. Biar saja Briyan tau sendiri, supaya laki-laki itu sedikit syok."Kau tinggal di mana?""Di sini!""Ibumu?""Di sini juga," jawab Sri sambil mencuci tangannya."Wah, baik sekali Nyonya Marisa memperbolehkan pembantu tinggal di sini bersama ibunya. Pantas saja Hans memujinya. Jarang-jarang ada orang sebaik itu.""Bapak masuklah dul
Mata sendu itu masih terbuka, ada lelah yang tak bisa dijabarkan di sana. Pada hakikatnya dia adalah pria rupawan yang kesepian. Dulu, sebelum dia tau bahwa dia hanyalah anak angkat, dia sering bertanya pada Hans, "di mana ibu?", dan Hans hanya memberikan senyum hangat tanpa memberi penjelasan.Terkadang dia iri dengan teman-temannya di sekolah, yang bergayut manja digendong oleh ibu mereka. Atau, saat acara piknik bersama keluarga, hanya tendanya dan Hans yang paling sedikit isinya."Dad, ini tidak seru," kata Briyan kecil sambil meletakkan gitar mainannya. Teman-temannya berlarian dengan adik atau kakak mereka, atau ada yang membantu ibunya menyiapkan makan malam, sementara di tenda mereka, Hans sibuk dengan majalah bisnis. Mereka tengah piknik acara sekolah, namun Hans tetap saja bekerja."Tidurlah! Atau bermain dengan temanmu yang lain!"Briyan kecil cemberut, mata bulatnya menatap bosan ke luar tenda miliknya, lampu-lampu taman menerangi tenda-tenda yang berjarak kisaran empat me
Sakit itu, sebuah musuh yang tak berwujud tapi mematikan. Dia mengendap begitu dalam, tak bisa diobati, tak bisa ditawar, hanya bisa menggerogoti jiwa yang penuh putus asa dan semakin melemah. Tak terperi, rasa sakit yang dirasakan Briyan seakan bisa membuatnya mati. Begitu hancurnya dia ketika mengetahui kenyataan yang tak ada kenyataan bahagia sedikit saja di masa lalunya. Andaikan pria tua lumpuh itu tidak dalam keadaan cacat, tentu Briyan telah menghajarnya sampai hatinya puas, tapi, laki-laki tua yang Briyan berat mengakui sebagai kakeknya itu, tak lebih dari seonggok daging hidup yang tak mengerti. Dia lumpuh dan depresi. Dan Briyan tau, orang gila tidak bisa diajak berbicara.Seusai menemui Adhiwijaya, Briyan memacu mobilnya seperti orang kesetanan. Dia tak peduli dengan sumpah serapah serta umpatan kasar orang yang disalip secara ugal-ugalan.Wajah pria tampan itu memerah. Matanya masih basah, urat-urat bertonjolan di sepanjang lehernya.Ini sakit, apa yang lebih menyakitkan d
Bolehkah dia menangis dan meraung sekuat tenaga? Andaikan dia tak bersikeras menyelidiki tentang dirinya, tentu rasanya tidak akan sesakit ini. Pada dasarnya dia hanyalah anak yang dibuang untuk menghilangkan malu. Lalu, apa yang benar-benar dimilikinya di dunia ini, tak ada selain nyawanya sendiri."Maafkan aku! Ampuni aku! Aku ikut membantu Adhiwijaya membuang kalian karena terpaksa, aku mohon! Ampuni aku!" Laki-laki tua itu bersimpuh dan terisak di depan Briyan, hilang sudah ketegasan dan kegagahan yang dia perlihatkan beberapa saat yang lalu. Dia terlihat menyedihkan dengan bersimpuh di kaki orang yang lebih muda pada dirinya."Katakan apa saja yang engkau ketahui, Pak! Aku ingin mendengar langsung dari mulutmu. Aku akan mengampunimu jika kau berkata jujur!" jawab Briyan dingin. Nafasnya, sesak dan seakan jantungnya ingin meledak Manahan marah.Danu bangkit, mengusap air mata dengan sapu tangan yang disimpan di balik jasnya, sedangkan Adhiwijaya memperhatikan mereka dengan tatapan
Marisa muda menyandarkan bahunya yang ramping ke sandaran tempat tidur. Matanya yang sembab melirik laki-laki yang tertidur pulas di sampingnya, seperti biasa, pulang dalam keadaan mabuk minuman keras.Dia dipapah oleh wanita malam yang mengumpati Marisa. Bahkan percakapan hina itu tak mampu dielakkan."Besok aku akan datang lagi ke sini, lakimu belum membayar setelah aku melayaninya, kalau aku tau dia adalah laki-laki kere, dari awal aku sudah menendangnya saat masuk ke dalam kamar. Ternyata apa ini? Gubuk reyot mencerminkan penghuninya yang melarat. Bodohnya aku masih mau mengantar pria payah ini ke rumahnya." Wanita itu menjatuhkan suaminya begitu saja. Marisa tak menjawab. Ini entah yang keberapa kalinya, suaminya diantar oleh pelacur yang berbeda.Marisa melirik pria yang sudah terlelap dalam tidurnya. Dia sudah tak sanggup, tak ada lagi alasan baginya untuk bersama pria itu. Marisa bangkit, kemudian duduk di depan kaca buram yang terdapat di lemari yang sudah tanggal pintunya. D
Dua manusia yang saling berhadapan, saling memandang satu sama lain. Yang satu berwajah datar terkesan bosan, yang satu lagi wajah Briyan yang terlihat tidak bersemangat. Bahkan dia memutar-mutar pulpennya beberapa kali. Terkesan mengabaikan lawan bicaranya."Pak!" sapa wanita yang tak lain adalah Sri. Sudah beberapa menit dia duduk di hadapan pria itu, tapi Briyan terkesan tak peduli."Sebut namaku!" seru Briyan, dia merasa terganggu dengan sapaan resmi itu, sehingga sekat dan jarak di antara mereka semakin jauh."Baiklah! Briyan." Sri menjawab pasrah.Briyan tersenyum tipis, tatapan lembutnya menyapu wajah cantik yang digilainya itu. Kedatangan wanita itu pasti tak jauh dari rencana pengunduran dirinya.Sri memakai blouse merah maroon dan celana panjang warna hitam, rambutnya dikuncir kuda menampakkan anak-anak rambut di kening dan tengkuknya. Bibir mungilnya dipoles dengan warna pink lembut. Wanita sederhana ini selalu sukses memukau setiap laki-laki yang memandangnya."Ini hari t
Kaki keriputnya berjalan terseok. Baju bewarna merah itu sudah berubah warna menjadi kecoklatan karena kotor. Celana hitamnya penuh debu dan kotoran, sedangkan celana bagian kiri sengaja dipotong agar tak mengenai luka yang sudah membusuk. Terlihat luka itu cukup parah, bahkan lalat yang meninggalkan telurnya di sana, telah berhasil membuat telurnya menetas berubah menjadi belatung yang menjijikkan.Dia menyeret kakinya yang terseok. Siapa pun yang berpapasan dengannya menghindar sambil menutup hidung. Pria itu sebenarnya belum terlalu tua, hanya saja rambutnya panjang tak terurus serta sudah memutih. Kalau diamati lebih dekat, bisa dipastikan dia dulunya adalah laki-laki yang rupawan.Dia berjalan terseok-seok, mendekati kerumunan orang-orang yang tengah asik memilih baju obral di kaki lima. Sontak sebagian besar orang itu menghindar, bahkan ada yang tak bisa menahan mual.Pedagang kaki lima itu menjadi kesal karena pembeli pergi gara-gara pria kumal itu."Kau lagi! Pergi!" Bentak p