Jam kerja sudah usai. Aryo lihat, Sri sudah menunggunya di dekat parkiran, kalau dulu dia tak mau diantar sampai ke parkiran, saat ini dia tidak peduli dengan pandangan penasaran orang-orang terhadapnya. Aryo memandangnya sekilas, walaupun dilanda perasaan sakit hati, dia tak sejahat itu pada Sri membiarkan wanita itu pulang sendiri.Sepanjang perjalanan, Sri hanya bisa menatap punggung lebar itu tanpa bisa menyentuhnya. Ada kerinduan yang tak bisa dijabarkan saat ini di hatinya. Dia mencintai Aryo, masih. Walaupun dia sempat menaruh simpati pada perhatian Novan."Mas," "Hmm," jawab Aryo singkat. Tampak tidak tertarik.Sri tak melanjutkan, dia melingkarkan tangan di pinggang suaminya dan merebahkan kepalanya di sana, memejamkan matanya yang mengeluarkan cairan bening dan tak terbendung. Sri menangis dalam diam."Sebentar saja! Jangan tolak aku, Mas. Biar saja seperti ini." Sri berujar parau.Aryo tak menjawab dan tak menolak. Bukankah seharusnya begini mereka? Berpelukan mesra di ata
Hari yang melelahkan bagi Novan. Rasanya dia sudah bekerja maksimal dan mengabdikan hidupnya untuk perusahaan. Akan tetapi ayahnya tetap saja tidak percaya akan kemampuan dirinya. Memang, terjadi permasalahan akhir-akhir ini. Salah satunya perusahaan mengalami kerugian karena Novan merekrut pekerja-pekerja baru yang dianggap tak kompeten.Siang ini, mereka tengah duduk santai di tepi kolam renang di rumah keluarga Novan. Hari ini Brenda tampil cantik, blezer bewarna peach dipadukan dengan celana panjang yang membungkus kaki jenjangnya. Brenda sengaja ke rumah Novan untuk memberikan laporan bulanan pada ayah laki-laki itu."Aku liat kau menikmati peranmu, sebagai pengganti papaku di perusahaan." Syarat sindiran, tapi Brenda terlihat biasa saja. Dia tak memperlihatkan wajah tersinggung."Sebenarnya, aku lebih menikmati menjalankan perusahaanku sendiri. Akan tetapi, Paman sedang membutuhkan aku. Lalu, aku harus bagaimana?"Novan hanya tersenyum hambar, dia menyukai Brenda, mencintai mal
Sudah lima belas menit, tatapan tajam Novan seakan menguliti Sri hidup-hidup. Wanita itu meremas jari-jarinya takut. Tak ada tatapan lembut dan manis seperti biasanya, Novan yang berada di depannya adalah laki-laki yang berbeda. Dingin dan terkesan tak peduli."Seseorang memukuliku di rumahku sendiri, dengan penutup wajah dan sikapnya yang bar-bar. Siapa dia? Apakah dia kekasihmu? Dia mengatakan kau hamil, meminta aku bertanggung jawab. Bagaimana aku bisa menjamin, bayi yang ada di perutmu adalah anakku, sementara kita sama-sama tahu, kau ... Sudah tak perawan."Tajam, kejam, tak berperasaan, itulah Novan yang ada di depannya saat ini. Begitu tak bernilainya Sri saat ini. Wanita itu hanya tertunduk mengusap air matanya kasar. Dia tak mengharapkan apa-apa. Semuanya tak lagi berguna baginya. Mungkin mati lebih baik, dari pada kehilangan Aryo."Berapa? Berapa usia kandunganmu? Seharusnya kau mencegahku saat itu." Novan mengusap wajahnya kasar.Jika tadi Sri diam saja, saat ini dia sudah
Setahun kemudianSeorang wanita, menatap nanar hidangan di meja makan yang sudah ditata sedemikian rupa. Wajah cantiknya kelihatan sendu, beberapa kali dia memandang jam tangan mewah yang melingkar di pergelangan tangannya.Derap langkah sepatu mengalihkan perhatiannya, seperti biasa, pria itu pulang dalam keadaan kacau. Dasi sudah terlepas dari lehernya, lengan bajunya digulung sampai siku."Mas?" Wanita itu bangkit, menyambut kedatangan suaminya."Sudah ku bilang berulang kali, tidak usah melakukan ini, tidak usah menungguku pulang. Tidak usah terlalu baik. Karena kita tau, dua bulan lagi, kita akan segera bercerai."Laki-laki itu adalah Novan, dan sang wanita adalah Sri. Benar, sudah sebulan pernikahan mereka, tepat setelah dua bulan kelahiran anak mereka. Namun, pernikahan yang mereka jalani bukan seperti orang pada umumnya.Di awal dulu, Novan menolak bertanggung jawab. Tapi entah kenapa, setelah anak itu lahir, Novan mengajaknya menikah secara mendadak."Mas, biarkan aku melaksa
Rambut panjangnya terurai melewati punggungnya yang ramping. Gaun malam yang melekat pas di tubuhnya menambah kecantikan yang sempurna. Sayangnya, bibir yang dipoles lipstik warna nude itu tampak terkatup rapat. "Singkirkan semua makanan ini, Bik!" perintahnya dingin pada wanita tua yang berdiri di belakangnya. Meja makan sudah dipenuhi oleh hidangan makan malam."Tapi, Nya, saya disuruh melayani nyo nya selama di sini.""Saya akan pergi, Bik." Wanita itu mengambil tasnya dan melangkah meninggalkan rumah."Kemana nyonya malam-malam begini?" Seorang wanita muda yang tengah mengendong bayi perempuan di tangannya. "Nggak tau," jawab wanita yang dipanggil 'Bik' oleh Sri."Kasian kamu, Nona kecil. Ayahmu yang tidak perhatian dan ibumu yang tidak peduli.""Sudah waktunya nona kecil tidur.""Iya, Bik."Sementara itu, mobil yang dikendarai Sri meluncur kencang membelah malam. Apa yang ada didalam hatinya? Kosong. Dia bagaikan jasad tanpa roh. Tidak ada lagi kebahagiaan, tak ada lagi tawa,
Jangan tanya, betapa buruknya mood Brenda saat ini. Terkadang dia berfikir untuk berhenti berjuang dan menyerah. Namun, hatinya tidak mau mengalah, dia merasa masih ada harapan baginya bahwa Aryo akan membalas cintanya.Setelah mandi, Brenda merasa tubuhnya segar. Seperti biasa, sebelum tidur dia akan memeriksa laporan keuangan terlebih dahulu.Perhatian Brenda teralihkan saat bel berbunyi, Brenda melirik jam dinding, jam sebelas malam, siapa yang bertamu malam-malam begini.Pintu dibuka, Novan berada dihadapannya dalam keadaan kusut. Dia masih menggunakan seragam kantor yang dipakainya tadi pagi."Ini sudah larut, kenapa ....""Aku tau," Novan mendorong Brenda masuk."Aku mau istirahat, aku sedang tak ingin membicarakan masalah kantor sekarang."Novan yang sudah duduk di sofa menatap Brenda sengit."Apakah jika kita bertemu, yang dibicarakan harus urusan kantor?" Novan memencet remote dan mengacak tombol sesuka hatinya."Lalu, apa yang kau ingin katakan." Brenda duduk di sebelah Nova
Dua orang manusia, memandang ke objek yang sama, bayi mungil yang umurnya baru hitungan bulan. Bayi cantik itu tertidur lelap setelah semalaman melawan demam tinggi dan kejang-kejang. Sepanjang malam, bayi kecil itu menangis, dan tertidur selepas subuh.Mereka adalah Novan dan Sri, belum ada yang membuka suara, semenjak kedatangan Novan jam tujuh pagi. Perang dingin masih terjadi di antara mereka."Kenapa wajahmu, Mas?" Sri bertanya tanpa melihat Novan. Hatinya saat ini tengah campur aduk. Tapi, dia selalu melihat wajah Novan yang babak memar."Seseorang telah memukuliku, parahnya, dia adalah satpam yang dulu pernah bekerja di pabrik. Aku akan buat perhitungan dengannya."Sri tersentak, "Apakah dia, Mas Aryo?""Mas? Kau mengenalnya?"Mulut Sri terkatup rapat. Lalu dia memandang jauh ke luar jendela."Banyak hal yang belum aku beritahu padamu, Mas. Bahwa, aku pernah menikah. Bahkan saat kau mendekatiku, statusku saat itu masih seorang istri."Seperti petir di siang bolong, Novan sanga
Sri berjalan mondar-mandir di kamarnya. Ucapan dokter anak tadi pagi terngiang-ngiang di telinganya. Dia memang bukan ibu yang baik, sejak awal dia tidak menginginkan anak itu, namun Tuhan berkata lain sehingga anak itu berhasil lahir ke dunia setelah percobaan menggugurkan gagal berulangkali."Kenapa mondar-mandir terus, kau membuatku tak bisa tidur." Novan melirik Sri dengan wajah kurang senang.Sri diam saja, dia sibuk dengan pemikirannya sendiri. Lalu, dia memulai percakapan."Nadhira, namanya Nadhira." "Aku tau, tak perlu kau ingatkan." Novan merebahkan lagi tubuhnya, membelakangi Sri."Dia anak kita, seratus persen anak kita." Sri menggigit kukunya. Suaranya berubah serak. Sedangkan Novan menunggu kalimat yang akan keluar selanjutnya. Tak biasanya Sri membahas bayi itu."Bagaimana perasaanmu, Mas? Apa sama dengan perasaanku, selama ini kau tak pernah menggendongnya. Selain memiliki ibu yang buruk, dia juga memiliki ayah yang tidak bertanggung jawab.""Apa maksudmu? Selama ini a
"Sah!" Sahutan serempak bergaung di mesjid besar itu. Marisa mengusap air matanya, Sri menangis dan menutup wajahnya sendiri. Bukankah sebuah keajaiban? Hatinya yang awalnya beku luluh karena kegigihan Briyan. Pria itu tak mau mundur sedikit pun, bahkan semakin maju menggapai cinta Sri walaupun ditolak berkali-kali.Sifat Briyan selama bertolak belakang dengan Aryo yang melepaskannya tanpa berpikir dua kali. Mereka memang terlahir dari rahim yang sama, wajah yang sama, tapi nasib yang berbeda serta sikap yang berbeda pula.Ini untuk yang ke-tiga kalinya dia pernah melalui momen ini, dan kali ini pula rasanya Sri masih tak percaya. Ada banyak rasa yang dirasakannya. Sedih, bahagia, haru dan seperti mimpi. Sri terkesiap saat kepalanya diusap lembut, dia menemukan seorang pria tampan dengan wajah teduh dan menenangkan. Wajah itu, yang akan menjadi imam di sisa hidupnya."Ayo! Cium tangan suamimu!"bisik Marisa. Sri tergagap, kemudian dia menyambut uluran tangan Briyan dan membawa ke waj
Teruntuk Marisa istrikuApa kabar Marisa? Aku melihatmu terus dari kejauhan saat kau telah menjadi bintang yang tak mungkin lagi aku raih. Tuhan maha adil dengan segala kuasa-Nya. Memberikan derajat yang tinggi padamu, dan memberikan hukuman yang berat padaku.Apakah dayaku, Marisa. Sejak kepergianmu puluhan tahun silam, saat itu juga hatiku hancur dan menghabiskan malam-malam dengan mabuk minuman keras. Saat kau tak ada, aku merasa benar-benar kehilangan. Aku sudah mencarimu waktu itu untuk meminta maaf, ingin memulai kembali pernikahan yang indah dan penuh maaf. Tapi, kau benar-benar pergi, Marisa.Takdirku tak berhenti begitu saja, aku hancur, terbuang dan menjadi gelandangan. Berbagai penyakit menggerogotiku, jantung dan diabetes serta darah tinggi.Aku tau Marisa, takkan ada maaf untukku lagi, namun di punghujung nafasku, aku ingin meminta maaf kepadamu, aku tak mau mati dengan beban penyesalan yang tak berkesudahan. Andaikan waktu bisa diulang Marisa, aku ingin kita kembali ke m
Briyan masih bertahan di posisinya berdiri bahkan setelah Hans berlalu dan lebih dulu masuk rumah. Dia sempat mengangguk sekilas pada wanita cantik yang memakai kebaya hijau muda dan rambut disanggul rapi. Briyan yakin, itulah yang namanya Marisa."Wah, cantik-cantik bunga majikanmu," puji Briyan, hatinya senang sekali saat ini. Sri terlihat biasa saja, tak berniat meluruskan. Dia menggulung selang air kembali dan meletakan pada sebuah wadah yang telah disediakan."Aneh, kamu meninggalkan pekerjaan sebagai menejer demi menjadi pembantu? Kalau begitu bekerja di rumahku saja, setelah ijab qobul." Briyan tersenyum konyol.Sri tak terpengaruh dengan lelucon itu. Biar saja Briyan tau sendiri, supaya laki-laki itu sedikit syok."Kau tinggal di mana?""Di sini!""Ibumu?""Di sini juga," jawab Sri sambil mencuci tangannya."Wah, baik sekali Nyonya Marisa memperbolehkan pembantu tinggal di sini bersama ibunya. Pantas saja Hans memujinya. Jarang-jarang ada orang sebaik itu.""Bapak masuklah dul
Mata sendu itu masih terbuka, ada lelah yang tak bisa dijabarkan di sana. Pada hakikatnya dia adalah pria rupawan yang kesepian. Dulu, sebelum dia tau bahwa dia hanyalah anak angkat, dia sering bertanya pada Hans, "di mana ibu?", dan Hans hanya memberikan senyum hangat tanpa memberi penjelasan.Terkadang dia iri dengan teman-temannya di sekolah, yang bergayut manja digendong oleh ibu mereka. Atau, saat acara piknik bersama keluarga, hanya tendanya dan Hans yang paling sedikit isinya."Dad, ini tidak seru," kata Briyan kecil sambil meletakkan gitar mainannya. Teman-temannya berlarian dengan adik atau kakak mereka, atau ada yang membantu ibunya menyiapkan makan malam, sementara di tenda mereka, Hans sibuk dengan majalah bisnis. Mereka tengah piknik acara sekolah, namun Hans tetap saja bekerja."Tidurlah! Atau bermain dengan temanmu yang lain!"Briyan kecil cemberut, mata bulatnya menatap bosan ke luar tenda miliknya, lampu-lampu taman menerangi tenda-tenda yang berjarak kisaran empat me
Sakit itu, sebuah musuh yang tak berwujud tapi mematikan. Dia mengendap begitu dalam, tak bisa diobati, tak bisa ditawar, hanya bisa menggerogoti jiwa yang penuh putus asa dan semakin melemah. Tak terperi, rasa sakit yang dirasakan Briyan seakan bisa membuatnya mati. Begitu hancurnya dia ketika mengetahui kenyataan yang tak ada kenyataan bahagia sedikit saja di masa lalunya. Andaikan pria tua lumpuh itu tidak dalam keadaan cacat, tentu Briyan telah menghajarnya sampai hatinya puas, tapi, laki-laki tua yang Briyan berat mengakui sebagai kakeknya itu, tak lebih dari seonggok daging hidup yang tak mengerti. Dia lumpuh dan depresi. Dan Briyan tau, orang gila tidak bisa diajak berbicara.Seusai menemui Adhiwijaya, Briyan memacu mobilnya seperti orang kesetanan. Dia tak peduli dengan sumpah serapah serta umpatan kasar orang yang disalip secara ugal-ugalan.Wajah pria tampan itu memerah. Matanya masih basah, urat-urat bertonjolan di sepanjang lehernya.Ini sakit, apa yang lebih menyakitkan d
Bolehkah dia menangis dan meraung sekuat tenaga? Andaikan dia tak bersikeras menyelidiki tentang dirinya, tentu rasanya tidak akan sesakit ini. Pada dasarnya dia hanyalah anak yang dibuang untuk menghilangkan malu. Lalu, apa yang benar-benar dimilikinya di dunia ini, tak ada selain nyawanya sendiri."Maafkan aku! Ampuni aku! Aku ikut membantu Adhiwijaya membuang kalian karena terpaksa, aku mohon! Ampuni aku!" Laki-laki tua itu bersimpuh dan terisak di depan Briyan, hilang sudah ketegasan dan kegagahan yang dia perlihatkan beberapa saat yang lalu. Dia terlihat menyedihkan dengan bersimpuh di kaki orang yang lebih muda pada dirinya."Katakan apa saja yang engkau ketahui, Pak! Aku ingin mendengar langsung dari mulutmu. Aku akan mengampunimu jika kau berkata jujur!" jawab Briyan dingin. Nafasnya, sesak dan seakan jantungnya ingin meledak Manahan marah.Danu bangkit, mengusap air mata dengan sapu tangan yang disimpan di balik jasnya, sedangkan Adhiwijaya memperhatikan mereka dengan tatapan
Marisa muda menyandarkan bahunya yang ramping ke sandaran tempat tidur. Matanya yang sembab melirik laki-laki yang tertidur pulas di sampingnya, seperti biasa, pulang dalam keadaan mabuk minuman keras.Dia dipapah oleh wanita malam yang mengumpati Marisa. Bahkan percakapan hina itu tak mampu dielakkan."Besok aku akan datang lagi ke sini, lakimu belum membayar setelah aku melayaninya, kalau aku tau dia adalah laki-laki kere, dari awal aku sudah menendangnya saat masuk ke dalam kamar. Ternyata apa ini? Gubuk reyot mencerminkan penghuninya yang melarat. Bodohnya aku masih mau mengantar pria payah ini ke rumahnya." Wanita itu menjatuhkan suaminya begitu saja. Marisa tak menjawab. Ini entah yang keberapa kalinya, suaminya diantar oleh pelacur yang berbeda.Marisa melirik pria yang sudah terlelap dalam tidurnya. Dia sudah tak sanggup, tak ada lagi alasan baginya untuk bersama pria itu. Marisa bangkit, kemudian duduk di depan kaca buram yang terdapat di lemari yang sudah tanggal pintunya. D
Dua manusia yang saling berhadapan, saling memandang satu sama lain. Yang satu berwajah datar terkesan bosan, yang satu lagi wajah Briyan yang terlihat tidak bersemangat. Bahkan dia memutar-mutar pulpennya beberapa kali. Terkesan mengabaikan lawan bicaranya."Pak!" sapa wanita yang tak lain adalah Sri. Sudah beberapa menit dia duduk di hadapan pria itu, tapi Briyan terkesan tak peduli."Sebut namaku!" seru Briyan, dia merasa terganggu dengan sapaan resmi itu, sehingga sekat dan jarak di antara mereka semakin jauh."Baiklah! Briyan." Sri menjawab pasrah.Briyan tersenyum tipis, tatapan lembutnya menyapu wajah cantik yang digilainya itu. Kedatangan wanita itu pasti tak jauh dari rencana pengunduran dirinya.Sri memakai blouse merah maroon dan celana panjang warna hitam, rambutnya dikuncir kuda menampakkan anak-anak rambut di kening dan tengkuknya. Bibir mungilnya dipoles dengan warna pink lembut. Wanita sederhana ini selalu sukses memukau setiap laki-laki yang memandangnya."Ini hari t
Kaki keriputnya berjalan terseok. Baju bewarna merah itu sudah berubah warna menjadi kecoklatan karena kotor. Celana hitamnya penuh debu dan kotoran, sedangkan celana bagian kiri sengaja dipotong agar tak mengenai luka yang sudah membusuk. Terlihat luka itu cukup parah, bahkan lalat yang meninggalkan telurnya di sana, telah berhasil membuat telurnya menetas berubah menjadi belatung yang menjijikkan.Dia menyeret kakinya yang terseok. Siapa pun yang berpapasan dengannya menghindar sambil menutup hidung. Pria itu sebenarnya belum terlalu tua, hanya saja rambutnya panjang tak terurus serta sudah memutih. Kalau diamati lebih dekat, bisa dipastikan dia dulunya adalah laki-laki yang rupawan.Dia berjalan terseok-seok, mendekati kerumunan orang-orang yang tengah asik memilih baju obral di kaki lima. Sontak sebagian besar orang itu menghindar, bahkan ada yang tak bisa menahan mual.Pedagang kaki lima itu menjadi kesal karena pembeli pergi gara-gara pria kumal itu."Kau lagi! Pergi!" Bentak p