"Mmm ... Bella benar, akulah pemimpi itu."
Dengan wajah sedih, Ivana melihat ke atas tempat tidur, tempat tadi Faris tidur, sebelum dirinya ke kamar mandi, kini kosong. Hanya ada kotak berbungkus kertas kado dan kotak kain beludru warna merah.Ivana mengunci pintu kamar dan kembali ke ranjang, dengan perlahan dia membuka kotak kain beludru."Sudah aku duga," ujar Ivana, saat dia melihat di dalam kotak itu terdapat satu set perhiasan lengkap dengan surat suratnya.Kotak berisi perhiasan itu dia tutup kembali dan meletakkannya ke atas nakas di samping ranjang."Terima kasih Naya."Dengan tersenyum, Ivana meletakkan kertas yang baru daja dia baca, lalu membuka bungkusan yang dia yakini telah dititipkan oleh sahabatnya, Naya.Kening Ivana tiba tiba mengerut, saat melihat isi di dalam kotak, ada sebuah jam tangan dan ... permen.Permen yang membuatnya bisa merasakan menjadi seorang istri yang utuh.Ivana teringat lima bulan yabg lalu, tepatnya seminggu setelah dirinya resmi menjadi istri Faris."Belum tidur, Va?" tanya Faris sambil melangkah menghampiri Ivana yang sedang sibuk dengan laptopnya. Di ruang keluarga."Belum, Mas sendiri kenapa kok belum rehat?" tanya Ivana yang memalingkan wajahnya ke arah Faris, sekejap. Lalu kembali menekuni keybord di depannya."Nggak datang ngantuknya. Gara-gara tadi siang sempat tidur di kantor," jawab Faris sambil sesekali merubah chanel TV, yang kemudian menghempaskan badannya di sofa panjang, samping sofa yang di duduki Ivana.Ivana hanya meng_angukkan kepala beberapa kali, matanya kembali menatap laptop, sesekali juga tangannya bergerak lincah mengetikkan sesuatu."Tugas apa, Va?" tanya Faris lagi."Laporan praktikum, laporan terakhir."Ivana menjawab singkat, karena tahu Faris bertanya hanya basa basi saja."Ooo ... mmm, berapa kau beli permen ini? Bungkusnya terlihat asing?!"Faris memajukan badannya dan mengulurkan tangan meraih permen di atas meja depan TV.Ivana hanya menoleh ke bungkus permen yang ada di tangan Faris. Tak menjawab."Aku minta permennya, ya?" pinta Faris."Permen apa itu, ya? Aku kok nggak ngerasa punya," jawab Ivana, penasaran, tangannya ikut meraih permen, membuka dan memakannya."Terus punya siapa?" tanya Faris dengan mulut penuh."Punya Naya mungkin, ketinggalan." Ivana menjawab tanpa menoleh, matanya kembali meneruskan menyelesaikan laporan.Perbincangan ringan mengalir antara keduanya. Seakan sekat yang kemarin menghadang antara mereka kini terberai.Hingga pada menit ke sekian, entah siapa yang memulai? Siapa yang menggoda siapa? Ivana dan Faris saling raba, saling mengecup dan saling menandai. Tak ada penolakan saat Faris membopong tubuh Ivana masuk ke dalam kamarnya.Malam itu Ivana memberikan hak Faris sebagai suami, nafkah bathin yang seharusnya terjadi dua bulan yang lalu, terbayar lunas. Walau ada isak, tapi Ivana ikhlas."Aduuh!" jerit Ivana dengan suara tertahan, saat dia merasa ada yang nyeri di pangkal pahanya."Masih sakit?" tanya Faris yang terbangun saat Ivana mengaduh kesakitan.Iva mengangguk, tanpa berani bertatapan, semu merah wajahnya terlihat lucu dan menggemaskan. Hingga membuat Faris tersenyum."Maap," lirih Faris merasa bersalah matanya tak putus menatap wajah Ivana."Aku tidak tahu kenapa semalam aku lepas kendali, aku tak bisa menahan hasratku," ujarnya lagi, sambil memunguti pakaian miliknya dan Ivana yang berserakan."Tidak apa, memang seharusnya terjadi, aku istrimu, suka atau tak suka sudah kewajibanku sebagai istri untuk melayani hasrat suami," jawab Iva tulus, walau sebenarnya di hatinya masih terganggu dengan persyaratan-persyaratan yang Faris pernah ucapkan.Seperti yang pernah di amanahkan Umi kepadanya. Setidaknya mahkota yang dia jaga selama ini, suaminyalah yang mengambilnya, terhormat bukan?"Mau ke mana?" tanya Faris saat dilihatnya Iva dengan tertatih seperti menahan sesuatu, mencoba turun dari ranjang."Mau ke kamar mandi, Mas."Ivana menjawab dengan malu-malu, ini kali pertama dia telanjang dan mengenakan baju di depan seorang pria, walau pun pria itu sudah sah menjadi suaminya.Faris melangkah mendekat, dan dengan sigap meraih tubuh Ivana, digendongnya menuju kamar mandi."Eh ... Mas! Mas!" jerit Ivana yang tak menyangka Faris akan menggendongnya. Sungguh ini pengalaman yang sangat membahagiakan buat Ivana, senyuman itu selalu terukir di bibirnya.Belum reda dengan kagetnya atas perlakuan Faris, Ivana kembali menaham malu dengan hanya bisa menggigit bibir bawahnya. Sentuhan kulit untuk yang ke dua kalinya menimbulkan gesekan yang membuat wajah Ivana blushing lagi."Mau sendiri atau aku temani ke dalam kamar mandi," tanya Faris dengan senyuman shirknya, menurunkan Ivana di depan pintu masuk kamar mandi.Tanpa menjawab Ivana langsung melangkah masuk ke dalam, dan segera menutup pintu, meninggalkan Faris yang tersenyum sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Ternyata sahabat adikku ini cantik juga ya?" desis Faris yang melangkah menjauh dari kamar mandi."Apa ini?!" tanya Faris pada dirinya sendiri saat melihat ada noda bercak merah di beberapa bagian sprei.Faris terdiam. Namun itu hanya sesaat, karena saat ini wajah lelaki tampan itu terlihat sangat senang dengan senyum bibirnya yang lebar.****"Nay ...!" panggil Ivana, nyaris tak terdengar, saat mereka duduk berdua, berdampingan, di kantin fakultas.Naya tidak menjawab panggilan Ivana, hanya mengalihkan pandangan dari buku ke arah wajah sahabatnya. Sambil mengangkat ke dua alisnya, isyarat bertanya ada apa?"Aku mau nanya sesuatu boleh, nggak?" Ivana dengan ragu membuka suaranya.Naya tersenyum, ini pasti pribadi banget. Jarang terjadi seorang Ivana mau bertanya tapi izin dulu."Mau bertanya apa, sayang?" tanya Naya, tangannya memberi tanda lipat kecil di ujung buku lalu kemudian menutup dan menaruhnya di atas meja di depannya."Ini permen apa?" tanya Ivana dengan ragu-ragu dan muka yang memerah, perlu keberanian yang tinggi untuk bertanya ke Naya. Dengan segera diulurkan tangannya menunjukkan bungkus permen tanpa isi.Naya yang sebelumnya hanya melirik ke tangan Ivana, seketika melonjak kaget sambil tesenyum kegirangan."Ketinggalan di rumahmu ya, kenapa nggak kepikiran kalo ketinggalan? Aku pikir jatuh di jalan," cerocos Naya sambil mengambil bungkus permen di tangan Ivana yang hanya terdiam melihat kelakuan sahabatnya itu."Syukur dah, kalo ketinggalan di rumahmu," lanjut Naya dengan tangan membolak balikkan bungkus permen"Eh ... kamu tahu nggak? Ini permen ajaib, aku sengaja beli online, pengin tahu bagaimana reaksinya kalo ke hewan."Naya berkata lebih pelan, saat mendekat ke telinga Ivana. Takut kedengaran orang lain."Ini permen perangsang, tau?" Naya tersenyum, pandangan matanya fokus pada wajah Ivana.Ivana yang mendengar bisikan dari Naya, terkejut sesaat, lalu kembali menstabilkan hati dan gerak badannya seolah yang diucapkan Naya tidak mengusiknya."Kau buat apa dengan permen itu, Nay? Jangan bikin sesuatu yang aneh-aneh dong," ujar Ivana bersikap wajar, mencoba mengalihkan perhatian Naya."Tapi ini kok bungkusnya aja, Va. Kamu memakannya ya?" selidik Naya. Pandangannya kembali fokus dan tak menghiraukan pertanyaan Ivana."Tapi aku bersyukur, permen ini tidak jatuh ke tangan yang salah, aku jadi nggak lagi kepikiran. Takutnya yang makan anak anak atau ah ... Sudahlaah, kita pulang yuk?!" Naya segera berdiri, mengemasi barangnya yang tadinya berserakan di atas meja, kemudian melangkah pergi.Ivana menarik nafas panjang sambil mengamati Naya yang sibuk bersiap pulang."Untung Naya tidak memperpanjang masalah permen." Ivana bergumam lirih.Terjawab sudah misteri 'malam pertama' yang terjadi bukan karena mas Faris mencintai atau menerima Ivana. Namun karena permen perangsang milik Naya.Terserah mau dengan cinta atau tanpa cinta, intinya Ivana telah mengikhlaskan kehormatannya untuk suaminya yang 'SAH'.Naya yang melihat Ivana tetap duduk terdiam. Melangkah kembali menghampiri sambil terus memanggil sahabatnya. Namun tak ada respon dari Ivana."Va ... !" panggil Naya untuk yang kesekian kalinya sambil mencolek hidung Ivana."Kamu lagi mikiran apa? Ayo cerita, kamu, sehatkan?" cecar Naya lagi. Tangannya yang usil menjowel pipi kanan sahabatnya."Eh ... apa?" gelagapan Ivana tersadar dan menjawab pertanyaan Naya dengan balik bertanya pula."Mikir apa?" Naya kembali bertanya untuk yang ke dua kalinya. Ia malah kini duduk kembali. Tangannya di lipat di atas meja, dengan mata fokus ke arah Ivana. Siap mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh kakak iparnya itu."Apa ada hubungannya dengan permen yang tadi?" selidik Naya, gemes melihat Ivana hanya diam, tak menjawab pertanyaannya."Va ... Please, ada apa denganmu?" Sekarang Naya benar-benar khawatir dengan keadaan sahabatnya. Tak biasanya diam saat sedang berdua bersama"Karena permen itu, Mas Faris sudah mengambil kehormatanku, Nay," jawab Ivana dengan suara pelan dan kepala tertunduk menyembunyikan air matanya.Naya dengan mata membulat, kaget. Ia sontak merengkuh badan Ivana dan membawanya ke dalam pelukannya."Maap, maap!"Ucapan Naya di telinga Ivana terdengar beberapa kali, mereka menangis berdua sambil berpelukan."Papa di mana, Ma?!" tanya Naya, saat dirinya yang baru datang dari rumah sahabatnya, hanya bertemu dengan Mama yang baru saja turun dari lantai dua."Di ruang kerjanya, memangnya ada apa? Kok tumben, baru masuk rumah sudah nanya Papa? Lagi pula kamu dari mana aja, Nay? Kenapa pulangnya malam begini?"Mama menjawab sekaligus bertanya pada anak perempuannya yang baru saja memeluk dan mencium ke dua pipi."Dari rumah Ivana, Ma," jawab Naya, yang melangkah ke arah kamar yang di jadikan sebagai kantor Papa kalau di rumah. "Kamu sudah makan malam? Kalau belum, sini temani mama makan," ajak Mama penuh harap."Masih kenyang, Ma. Di rumah Ivana tadi, aku terlalu banyak makan gorengan." Naya menjawab tanpa menoleh. "Oh iya, sekarang Ivana ulang tahun, ya? mama dan Papa tadinya juga mau ke sana, hanya saja tadi pagi ada insiden tidak mengenakkan sehingga membuat papamu terlupa tentang niatnya tadi."Langkah Naya tiba tiba terhenti, perempuan cantik itu membalikkan badannya kembali ke arah M
"Halo, ada apa Nay?" tanya Ivana, siang itu kepada orang yang sedang menelponnya.[Va, kamu nggak ke kampus?] terdengar suara Naya yang bukannya menjawab, malah balik bertanya."Aku sedang nggak enak badan, Nay." [Kamu kenapa? Sakit?]"Masuk angin mungkin, tadi malam ketiduran di balkon."[Jangan ke mana mana, ya. Setelah dari sini aku bakalan ke sana.]"Sungguh! Kalau bener mau ke sini, boleh nggak aku minta tolong kamu? Tolong ambilkan hasil pemeriksaan yang kemarin di rumah sakit."[Ke Dokter Agustien kan, ya?]"Iya ...."[Ok, aku bakalan ambil.]"Makasih ya, terus kalo udah dalam perjalanan ke sini. tolong belikan ice cream coklat ya, please."[Ok, siap!]"Makasih ya ... Nay," jawab Ivana sambil menutup ponselnya, sesaat setelah mendengar Naya menjawab salam dan menutup pembicaraan lebih dulu.Dari kemarin Ivana merasa kondisi badan tidak enak, Namun suhu badan tidak panas, hanya pusing dan lemas aja, dan ditambah selera makan yang turun drastis.Saat hendak menaruh phone ke temp
"Aku berhak bahagia, Nay. Mas Faris pun juga.""Tapi kondisi---""Aku bahagia, masih ada kamu, Umi. Ada Dimas dan Rizal," ujar Ivana di antara gemetar suaranya. Naya mendekati Ivana dan memeluknya, Namun terlihat raut amat sedih Naya, yang merasa bersalah. Perlakuan kakaknya telah membuat sahabatnya menderita."Aku akan menjagamu, Va. Percayalah.""Makasih, Nay. Kamu tetap adikku, mantan adik ipar, jangan songong loo." Ivana tersenyum mencoba keluar dari zona sedih. Tanpa mereka berdua sadari. Dari arah dapur, tampak Mak Ijah dan Pak No dan empat perempuan berseragam, saling bertatapan karena mendengar pembicaraan itu sejak awal, mereka terdiam sedih."Apakah, kau membawa apa yang aku pesan, Nay?" tanya Ivana."Oiya, ini hasil pemeriksaan yang kau minta, tapi hanya fotokopiannya saja, yang asli dipegang dr. Sinta." Naya memberikan map warna kuning ke Ivana untuk ke dua kalinya."Menurut, dokter Sinta. Laporan itu udah lengkap dengan diagnosa gejala awal, sampai beberapa stadium lan
Akhirnya Ivana mengangguk, lalu kembali duduk sambil memperhatikan Naya dan dr. Agustien yang sedang siap siap."Ada berapa korban, Sus?" tanya Dokter sambil menggunakan jas putih kehormatannya."Dua, Dok. Yang parah satu, korban laki-laki. Sedangkan yang satu lagi, perempuan, hanya luka biasa saja," terang perawat."Satu di antara kalian, ayo ikut!" Menunjuk ke arah Dimas dan Rizal."Siap, Dok!" ujar Dimas, berdiri dan segera melangkah keluar dari kamar pemeriksaan."Zal, kalau mau berangkat ke panti lebih dulu, tak apa, malah menurutku itu lebih baik. Aku dan Naya gampanglah, pulangnya bisa nanti," ujar Dimas sebelum benar benar keluar dari kamar."Aku nunggu Naya dan kamu selesai aja di sini, nggak lama kan?" Ivana menjawab pertanyaan Dimas ke Rizal."Ya udah, terserah." Dimas menjawab dan kemudian berbalik arah kembali keluar dari ruangan. Menyusul Naya dan Dokter Sinta."Kamu yakin mau menunggu Naya dan Dimas, nggak mau balik duluan, mending istirahat di Panti?" Rizal bertanya
Langkah Rizal terhenti, saat menoleh ke belakang dan melihat wajah Ivana yang sudah mengembungkan ke dua pipinya, terlihat menggemaskan."Udah, nggak usah di ambil hati. Kayak anak kecil aja," rayu Rizal yang di balas dengan senyum bahagia Umi. Tak pernah di sangka sebelumnya oleh Rizal jika Ivana yang terlihat anggun, ternyata muncul manjanya jika di depan Umi."Ayo ... makan yang banyak. Biar gemuk!" Umi mengambil piring dan meletakkan nasi di atasnya untuk Ivana dan Rizal."Tak usah repot, Mi. Biar Aku aja yang melayani Rizal. Eh ... Umi nggak makan bareng kita?" tanya Ivana yang kemudian mengambil alih piring di tangan perempuan yang sudah dia anggap seperti ibu kandung."Nggak, tadi sebelum kalian datang aku sudah makan kok, bareng sama yang lain," jawab Umi dengan raut wajah yang masih kelihatan cantik di usia senjanya itu, kini tiba-tiba berubah sedih."Umi, maap ... aku hanya tak ingin merepotkan Umi, itu saja kok," sesal Ivana saat menyadari perubahan raut muka Umi.Perempua
Sudah dua hari Dimas setia mendampingi keluarga Naya di rumah sakit, bergantian dengan Mama dan Papa, menjaga Mas Faris.Semua proses penyembuhan yang di sarankan tim dokter sudah di lakukan. Namun, Mas Faris masih belum sadar, dan masih dalam pengawasan ketat tim Dokter. tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam kamar rawat mas Faris, sekali pun itu adalah keluarga. "Nay, kamu udah hubungi Ivana, belum? Mama kok nggak pernah ketemu selama kakakmu sakit dan di rawat di sini?" tanya Mama, perempuan yang telah melahirkan Naya dan Faris itu dengan nada sedih."Belum, Ma. Aku lupa." Naya berbohong tentang alasan kenapa tidak menghubungi Ivana, sejujurnya dia hanya tak ingin menambah beban untuk mantan kakak iparnya itu lagi. "Sudah ... tak usah di kabarin si Ivana. Aku tidak tahu harus menjawab apa kalau dia nanti bertanya macam macam tentang yang di alami Faris. Lagian udah jadi mantan istri si Faris kok. Jadi tak perlu lagi merepotkannya." Papa nyeletuk tanpa basa basi, saat mereka
"Aku belum minta maaf atas salahku dulu, Pa. Dan sekarang anak kita jahat pada anaknya. Bagaimana aku bisa bertemu dengannya kelak, Pa?" ratap Mama yang masih menatap langit langit kamar. Pelukan Papa sudah terurai, Namun, tangan Mama masih senantiasa di genggam erat Papa, yang memberikan isyarat agar Naya membiarkan dulu Mama untuk tenang, tanpa perlu mendengar ada pertanyaan."Aku tak menyangka, yang kita cari-cari selama ini, ternyata sudah berada sangat dekaaat ... sekali dengan kita. Namun, tanpa kita sadari, kita telah menyakitinya," ujar Mama yang lembali meraung lagi, dengan mata terpejam seolah tak tahan melihat masalah yang sedang dia hadapi saat ini."Sudahlaaah, Ma. Kita hanya bisa melakukan yang terbaik. Semuanya sudah di gariskan oleh-Nya. Kita hanya bisa mendo'akan, semoga Ana tenang di sisi Tuhan." Tangan Papa membersihkan air mata di pipi Mama dengan tisu yang tersedia di meja kecil sebelah kiri brankar.Dimas yang melihat polemik keluarga Naya, serta merta menggen
"Iya, bayi. Bukankah perempuan yang bersama anak saya dalam kondisi berbadan dua?"Papa menjawab sekaligus bertanya setelah menganggukkan kepalanya cepat, saat Dokter mengulang pertanyaan Papa tadi."Tidak Pak! Perempuan yang bersama anak anda tidak dalam keadaan hamil."Raut wajah Papa seketika terlihat tak biasa, seolah yang baru saja disampaikan Dokter bukanlah informasi yang dia harapkan."Kalau sudah tidak ada yang mau anda tanyakan lagi, kami mengucapkan terima kasih atas kepercayaan Bapak, kami akan mengupayakan yang terbaik untuk kesehatan anak anda!" Dokter Hendra berucap sambil berdiri dari kursinya, sesaat setelah suasana hening di antara keduanya."Terima kasih, Dokter." Papa pun berucap sambil berdiri dari kursinya. Kemudian mereka saling berjabat tangan."Sama-sama, Pak. Jangan sungkan untuk mendiskusikan tentang kondisi pasien, karena ini sudah tanggung jawab kami," balas Dokter Hendra membalas ucapan Papa, dengan senyum yang hampir tak terlihat. Papa mengangguk, kemu
“Sebelum kamu tanyakan itu pada Ivana, kita berandai andai dulu, apa jawabanmu kalau kamu berada di posisi Ivana?" Faris terdiam saat mendengar apa yang di katakan oleh mama, pertanyaan yang di balik kini ke dirinya sendiri."Aku memilih tidak mau berhenti?!" jawab Faris, terdengar lemah tak bersemangat.Bukan tanpa alasan Faris memilih tidak menerima, karena dia sendiri tahu bagaimana keras dan gigihnya Ivana saat berusaha menyelesaikan kuliah yang pada saat itu dalam kondisi sakit hati, karena proses bercerai dengan dirinya dan dalam kondisi hamil."Lalu apa yang membuatmu hingga bisa yakin atau berharap Ivana mau menuruti ucapanmu untuk berhenti menjadi Dokter? Apakah karena kamu sekarang mempunyai status sebagai CA-LON suami?!" tanya mama Via, terdengar penuh dengan tekanan."Aku -""Ada apa denganmu? Kenapa tiba tiba menjadi seorang lelaki yang suka mengikat istrimu? Wanita bekerja bukan hanya karena uang tapi juga agar bisa bersosialisasi."Mama Via kembali melontarkan pertanya
Triiiiing!Mama Via yang baru saja menjejakkan kakinya di kamar setelah menemani Naya hingga terlelap di kamarnya, segera mencari di mana tadi sumber suara berada. Sudah lama dirinya tak mendengar bunyi ponsel sejak kepergian almarhum.Di ambilnya benda pipih berwarna emas yang tadi lupa ia letakkan di nakas dekat kamar mandi, dan membawanya menuju ke balkon di depan kamarnya, walau pun sudah tak bersuara lagi.Seakan ingin berlama lama di balkon, mama Via sengaja memakaikan minyak seree untuk obat anti nyamuk, juga sebagai minyak penghangat pengganti, penghalau rasa dingin.Damar! Nama yang tertera di pesan aplikasi warna hijau, membuatnya kembali tersenyum dengan arti yang tak mungkin di jelaskan.Namun dia tidak segera merta membuka pesan itu, malah membuka pesan dengan foto profil pernikahan dirinya dengan almarhum.Air matanya basah seketika itu pula, saat membaca pesan pesan yang ada, lengkap dengan emoji emoji dan stiker yang dulu sangat almarhum sukai.“Apakah kamu sungguh
Faris seketika terdiam saat melihat di meja sebelah kiri dekat etalase sana, Ivana duduk berhadap hadapan dengan Dokter Mark, Dokter yang dia anggap sebagai saingan berat dalam menaklukan hati bekas bininya sampai saat ini. Setelah menimbang sebentar, Faris melangkahkan kaki ke arah kasir, tidak langsung mendatangi meja Ivana dan Dokter itu."Mbak, pesan kopi hitam tanpa gula, tolong dijadikan satu dengan bill dokter Ivana, biar sekalian saya bayar," ujarnya pada seorang perempuan yang menggunakan seragam di balik mesin penghitung."Baik, silahkan di tunggu sebentar." Perempuan di balik kasir itu pun memberikan kertas yang entah apa isinya kepada temannya yang menggunakan seragam sama corak beda warna.Faris sesekali terlihat mencuri pandang pada Ivana dan Dokter yang terlihat sangat akrab, dengan sesekali di iringi tawa oleh keduanya."Terima kasih," kata Faris, sesaat kemudian dirinya sudah menerima cup kopi dengan menggunakan tangan kanan, dan tangan kiri menerima kertas bukti
“Apa yang sebenarnya membuatmu berat, Via?” tanya Damar saat ini mereka ada di teras, di temani seorang maid yang duduk di kursi yang diletakkan agak jauh, Namun masih bisa mendengar apa yang tamu dan nyonya sedang bicarakan.“Aku hanya heran kenapa kamu seperti sangat ingin agar aku mau menerima pernikahan ini, apakah kamu tak ingin bertemu dengan istrimu lagi nantinya di akhirat, karena aku pernah mendengar jika kita menikah lagi, maka kita tak akan bertemu nantinya dengan pasangan kita yang pertama.”Damar menghela napas panjang, memandangi perempuan yang semakin terlihat cantik karena dalam bingkaian kerudung berwarna pastel saat ini “Kamu itu aneh, Vi … pikiranmu itu terlalu jauh menurutku, sebaiknya saat ini yang kita pikirkan adalah apakah amalan kita bisa menuntun kita masuk ke surganya, nanti saat di surga Allah akan mengabulkan apa yang kita inginkan, bukan? Jadi kita bisa minta untuk dikumpulkan lagi seperti dulu, ada Ana, Adi, kita dan seluruh keluarga kita.”Damar terdi
“Sayaaang, apa yang kau dapatkan dari riadohmu selama ini?” tanya ayah Damar pada Ivana setelah hampir sepuluh hari melebihi dari target yang anaknya janjikan kepada Naya, Dimas, dan Faris.“Aku hanya bermimpi Faris bersama Rizal yang tersenyum kepadaku, Ayah,” ujar Ivana, pagi itu saat sedang sarapan bersama.pp0⅔“Alhamdulillah, aku yakin itu adalah tanda bagus kalau Tuhan menyetujui apa yang Rizal amanatkan kepadamu dan Faris,” seru Nenek dengan mata binar terlihat sangat bahagia.Melihat sang Nenek, Ivana datang mendekat dan mengusap wajah yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah banyak itu dengan perlahan, dari saking bahagianya sang Nenek sampai membuat basah kedua matanya.“Terima kasih … Sayang.” Nenek berkata lembut, dua perempuan cantik berbeda generasi itu saling tatap dalam arti yang sama pula.“Lalu bagaimana dengan Via, Damar? Apakah kamu juga mendapatkan hal yang sama seperti yang di impikan oleh anakmu.”Damar hanya tersenyum, tak menjawab apa yang di tanyakan
“Aku tak menyangka kalau mantannya Farislah yang ternyata berasal dari keluarga Kamandaka, aku jadi tak heran, pantas saja lelaki itu tidak mau lepas begitu saja, apalagi melihat kedekatan antara dua keluarga itu sudah terjalin dnegan sangat baik sekali, pasti mereka juga sedang mengincar kekayaan kamandaka yang tak habis habis itu!” ujar Papi Yunus dengan sesekali memukul pahanya sendiri dengan tangannya yang terkepal, pelan.“Andai kita tahu kalau yang kaya ternyata mantan istrinya, nggaklah mungkin aku akan bersusah payah membelikan tas dan beramah tamah dengan keluarga Faris.”Mendengar apa yang dikatakan oleh kedua orang tuanya, Rika hanya bisa tersenyum dalam tangis, tak menyangka hidupnya bakalan se rumit itu, padahal di kelilingi oleh orang terdekat Namun entah kenapa tidak pernah dirasa tulus mencintainya.“Kenapa kamu malah tersenyum seperti itu? Kamu senang ya, karena apa yang di lakukan oleh mami dan papi kali ini ternyata salah besar?!” tanya Mami dengan wajah tak mengen
“Umroh?!” Dengan wajah yang terlihat tak percaya dan hampir bersamaan, Ayah Damar dan mama Via mengucapkan satu pertanyaan yang sama.Dimas dan Faris bukannya menjawab, mereka berdua hanya tersenyum saja, melihat ayah Damar dan mama Via yang tampak salah tingkah.“Bagaimana kamu bisa tahu tentang hal itu? Apakah Ivana yang menceritakan padamu tentang mimpi yang aku alami selama beberapa malam ini?!” tanya ayah Damar setelah dia berhasil menenangkan dirinya.“tidak …. Bukan hanya Ivana yang cerita tapi Naya juga, mereka bilang kalau mama tidak bisa tidur karena mimpi yang sama berulang kali, begitu juga dengan ayah Damar. Jadi sekarang apa yang membuat kalian ragu untuk melaksanakan apa yang papa adi inginkan?!” "Via, apakah benar kamu mengalami mimpi yang sama denganku, mimpi bertemu dengan adi di Mekah?" tanya ayah Damar dengan wajah membias bahagia dan penuh harap. Senyum Damar kini terlihat berbeda saat anggukan kepala mama Via terlihat berulang kali tadi sebagai jawaban dari pe
Seorang lelaki yang baru saja masuk, segera memotong ucapan Faris, dan membuat kaget karena kedatangannya yang mendadak, Namun mampu membuat Faris, mama Via, Dimas dan Ivana tesenyum.“Pak Kamandaka!!” seru pak Yunus dengan wajah senang sekaligus bimbang, sehingga tanpa sadar dia berdiri dan menyambut ketika melihat lelaki yang baru saja datang yang nyatanya nanti akan menjadi pengacara keluarga Faris untuk melawan dirinya.“Pak Kamandaka, saya dan istri ingin meminta maaf atas kejadian saat di kantor anda, kami berdua tidak tahu kalau lelaki yang kami usir ternyata anda,” ujar Pak yunus dengan kedua tangan yang tergenggam. Tentu saja ini membuat Rika mengerutkan keningnya, dia menatap Papi dengan mata tak percaya. “Mengusir? Mami dan Papi berani mengusir pak Kamandaka dari kantornya?” Rika yang sedang bermonolog lirih, mengulang apa yang dikatakan oleh Papinya tadi. “Ooo … ini alasan kenapa Papi dan Mami berubah sebaik manusia."Mendengar ucapan Rika, Bu Yunus menepuk bahu anakn
“Minta maap?” Faris mengulang apa yang dikatakan oleh tamunya dengan senyum yang terlihat seperti seringai jahat dan kejam.“Apa saya tidak salah dengar?” ujar Faris, kini dengan wajah datar tanpa ekpresi. Kedua matanya menatap tajam ke ketiga tamunya silih berganti.“Tentu saja, dan lihatlah ini, sengaja aku belikan ini untuk mamamu, agar kamu dapat melihat ketulusan kami,” ujar Nyonya Yunus, dengan kedua tangan yang sedang memegang paper bag dengan tulisan sebuah merk dunia, terulur ke arah Faris.“Apa yang membuat sikap anda menjadi sangat manusia seperti ini?” tanya Faris yang terlihat sudah bisa membaca ada maksud tertentu dari sikap baik dari orang yang kemarin sangat menghina keluarganya.“Faris, kenapa tamunya tidak di persilahkan duduk lebih dulu, Nak?” Faris yang mendengar suara yang sangat dia kenal dari belakang punggungnya, seketika itu juga menolehkan kepalanya ke arah sumber suara.“Mama, kok sudah keluar dari kamar? Apakah ada yang mengganggumu?” tanya Faris dengan si