1"Ma!"Hari masih sangat pagi, saat Faris menyapa Mamanya yang baru saja turun dari kamar hendak menuju dapur."Faris, kamu tidur di sini?" jawab Mama Via yang heran saat di dapati anaknya dengan muka kusam, dengan kepala berada di atas tangan yang tertumpuk, satu dengan yang lain."Ada yang ingin aku bicarakan dengan Mama, tentang pernikahanku dengan Bella, yang rencananya dilaksanakan tiga hari lagi." Faris kemudian menatap Mamanya, khawatir melihat ekspresi dari wanita yang telah melahirkannya itu, takut histeris. Namun, ternyata apa yang dikhawatirkan tadi tidak terjadi. Mama Via menarik kursi makan kemudian mendudukinya tanpa berkata apa apa. Raut mukanya pun tidak menampakkan keterkejutan sama sekali. Bahkan kini mereka berdua saling menatap."Ma ...!"Lama kelamaan akhirnya Faris tak sanggup untuk berdiam diri berlama lama dengan Mama Via."Apa yang kamu butuhkan, mending kamu minta tolong WO aja, karena Mama sudah tak sanggup untuk mengurus ini dan itu. Atau tanya adikmu sa
"Semua sudah siap kan?" tanya Faris.Sore itu di depan sebuah rumah yang bagus dan besar. Saat semuanya sudah turun dari mobil dengan membawa beberapa bingkisan buah tangan yang sudah di hias cantik untuk Bella.Rombongan Faris--Mama Via, Naya, dan Dimas tampak tak memperdulikan pertanyaan Faris, semua sibuk dengan memperbaiki barang yang di bawanya atau dengan penampilannya.Dan itu membuat cetakan muka kecewa di muka Faris."Sudahlaah, jangan kau ambil hati sikap mereka. Hari ini harimu, ayoo! Kamu jalan duluan, tak ada waktu buat sedih sedihan." Papa Adi menguatkan hati putranya dengan menepuk bahu kanannya pelan pelan.Faris menuruti perkataan Papanya, yang kemudian memimpin rombongan kecilnya untuk memasuki pagar.Di pintu ternyata sudah ada beberapa orang yang sepertinya sedang menunggu kehadiran rombongan Faris."Akhirnya tamu yang di tunggu sudah datang?"Seorang pria setengah baya yang sudah sangat familiar bagi keluarga Faris, Om Beny namanya, adik dari Mamanya Bella, sekal
"Dam ...!" sapa Papa Adi saat pintu kerja Ayah Damar terbuka. "Masuklah, Di!" sambut Ayah Damar yang berdiri dari kursi kebesarannya di balik meja, dan melangkah mendekati Papa Adi yang masih berdiri di depan pintu. Sambil menjulurkan tangan kanannya."Ayo, duduklah! Sepertinya aku mencium aroma aroma yang hendak kau rahasiakan, hingga kau mendatangiku ke kantor, bukannya langsung membicarakan di ponsel atau di rumah panti," ujar Ayah Damar, sambil menarik tangan Papa Adi yang tidak dilepas setelah berjabat tangan tadi, agar mengikutinya duduk bersama di sofa yang tersedia di ruang kerjanya. Papa Adi hanya tersenyum saja mendengar tuduhan yang benar padanya."Ada apa, penting banget, ya?" tanya Ayah Damar penasaran. "Aku sebenarnya nggak tahu, apa harus aku ngomongin ini ke kamu atau tidak? Hanya saja bila aku tidak memberitahumu sekarang, kemudian besok besok, kau malah mendengar dari orang lain maka kau akan mengatakan aku tak anggap kau sebagai saudara. Tapi kalau aku ngomong,
"Apa maksud Papa dengan mengatakan bahwa anak yang di dalam kandungannya bukan anakku? Atas dasar apa?" Faris yang tak terima dengan perkataan Papanya yang mengatakan bahwa yang di kandung Bella bukan darah dagingnya. Sontak berdiri dan mendekati Papanya. Sambil memandang tidak suka."Faris, jaga sikapmu!"Mama Via seketika ikut berdiri saat melihat Faris mendekati Papa Adi dengan wajah yang tak laqi sedap dilihat."Naya, kamu ambil dan berikan pada kakakmu ini, hasil lab yang dari dokter Hendra, sekarang juga!" perintah sang Papa membuat Naya kaget setengah mati."Papa .... Ba- bagaimana bisa Papa tahu?" tanya Naya, yang kemudian menengok ke arah sang Mama. "Kamu lakukan saja apa yang Papamu suruh, Nay. Ayo .... Cepat ambil!" Mama Via bukannya menjawab apa yang Naya inginkan. Beliau malah meminta Naya untuk segera melakukan apa yang diperintahkan oleh Papa Adi."Apa yang kalian sembunyikan selama ini di belakangku? Apa kalian sudah tak anggap aku sebagai bagian dari keluarga ini lag
"Aku tidak mau, aku mau kita bercerai, aku sudah tidak memcintaimu lagi!?" pekik Bella, seketika itu."Mmm ... Aku tahu kau akan melakukan ini padaku saat aku katakan kalau aku bangkrut. Aku inginnya juga tak mau lagi perduli padamu, tapi semua egoku harus aku singkirkan demi anakku," ujar lelaki bertampang bule itu dengan senyum smirk."Sekarang keputusannya ada padamu, kamu mau balik ke rumah denganku, atau tidak?! Tapi ingat setelah kau jatuhkan pilihan. Sikapku sesuai dengan pilihanmu nanti," ancam lelaki yang tak lain adalah suami Bella."Tidak, aku tidak mau kembali padamu! Aku tidak mau hidup sengsara!" jerit Bella, dengan kedua tangannya meremas sisi gaun yang dia pakai."Faris, di mana Faris?!" tanya Bella, matanya menyapu setiap sudut ruangan. "Fariiiis! Faris!"Seperti orang gila, Bella mencari Faris, Namun tak di temukannya. hingga kemudian dengan wajah penuh amarah, dia menaiki tangga menuju kamar lelakinya.Namun, di pertengahan tangga, ada Naya yang melarang langkah B
"Nay ...!"Faris yang ingin pinjam charger buat ponselnya yang kehabisan daya. Dengan terpaksa memasuki kamar Naya, adiknya.Faris langsung teriak teriak memanggil, Namun karena tak mendengar jawaban sang adik, Faris akhirnya berinisiatif mencari sendiri charger milik Naya, karena benar benar butuh. Saat matanya meneliti setiap inci dari kamar itu. Tiba tiba pandangannya terhenti dan tertarik membaca satu map berwarna kuning di meja hias milik Adiknya."Surat Akta lahir!" Faris membaca tulisan di sampul map. Entah apa yang membuat lelaki tampan itu sangat tertarik pada map, dia dengan sengaja, mengulurkan tangannya membuka map dan membaca lembaran kertas yang ada di dalamnya."Ya, Tuhan ....!"Sontak menegang badan Faris saat membaca isi map yang berisikan surat akta kelahiran dua nama anak dengan nama keterangan orang tua disebutkan Ivana dan dirinya. Dengan tangan yang gemeteran karena bahagia bercampur tak percaya. Segera diambilnya map itu, kemudian dengan melangkah cepat, Mas
"Kapan? Mau sekarang?" Naya lagi lagi balik bertanya bukannya menjawab."Ayo! Siapa takut!" Faris segera berdiri dan menatap mata adiknya dengan serius. "Ya udah, sana ganti baju, jangan lupa bawa Atm. Kita beli perlengkapan si kembar buat oleh oleh," usul Naya sambil berdiri pula dari duduknya dan melangkah menaiki tangga. "Nay ...! Kamu serius kan ngajak aku malam ini, jangan bercanda loo, ya?!"Faris tak percaya saat mendengar adiknya dengan begitu cepat mengiyakan permintaannya untuk bertemu baby twins. "Serius la, Mas. Ini aku mau ganti baju, walau kamu nggak ikut pun, aku harus ke sana malam ini," jawab Naya tanpa menghentikan langkahnya.Mendengar ucapan sang adik, Faris pun berlari menaiki tangga menuju ke kamarnya, hingga hampir menabrak Naya."Maaf, aku buru buru." ucapnya sambil terus melangkah cepat menaiki tangga dan masuk, kemudian menutup pintu kamarnya. Tak peduli dengan mata sang adik yang sudah melotot."Buru buru mau ke mana, perginya kan bareng aku juga?!" Na
"Nay, tolong kamu tidurkan Ghina."Faris memberikan bayi perempuan yang masih tidur pada Naya, untuk meletakkannya di box berwarna pink di kamar. Pintu yang di buka sudah dengan amat sangat dan sangat pelan itu, masih menimbulkan suara juga.Hingga menimbulkan suara kecil dari dalam box bayi berwarna biru. "Aduh ...." seru Faris yang kemudian melangkahkan kaki menuju ke box yang berisi anak lelakinya."Dia tampan, sangat tampan."Ada senyum yang menghiasi bibir Faris saat melihat anak lelakinya tertidur dengan pulas."Mas, anakmu ...."Terdengar suara Ghina yang nampaknya mau mulai menangis lagi. Hingga cepat cepat Naya mengangkat lagi Ghina dari boxnya dan segera meletakkan kembali ke tangan Faris. Ghina tak jadi menangis, hanya menggerakkan kaki dan badannya seperti sedang gelisah, tangan dan kakinya terus bergerak tak mau tenang."Nay, mungkin Ghina lapar, karena capek tadi habis nangis. Tolong siapkan susu dong, please," pinta mas Faris pada adiknya.Naya langsung bangkit ke ku
“Sebelum kamu tanyakan itu pada Ivana, kita berandai andai dulu, apa jawabanmu kalau kamu berada di posisi Ivana?" Faris terdiam saat mendengar apa yang di katakan oleh mama, pertanyaan yang di balik kini ke dirinya sendiri."Aku memilih tidak mau berhenti?!" jawab Faris, terdengar lemah tak bersemangat.Bukan tanpa alasan Faris memilih tidak menerima, karena dia sendiri tahu bagaimana keras dan gigihnya Ivana saat berusaha menyelesaikan kuliah yang pada saat itu dalam kondisi sakit hati, karena proses bercerai dengan dirinya dan dalam kondisi hamil."Lalu apa yang membuatmu hingga bisa yakin atau berharap Ivana mau menuruti ucapanmu untuk berhenti menjadi Dokter? Apakah karena kamu sekarang mempunyai status sebagai CA-LON suami?!" tanya mama Via, terdengar penuh dengan tekanan."Aku -""Ada apa denganmu? Kenapa tiba tiba menjadi seorang lelaki yang suka mengikat istrimu? Wanita bekerja bukan hanya karena uang tapi juga agar bisa bersosialisasi."Mama Via kembali melontarkan pertanya
Triiiiing!Mama Via yang baru saja menjejakkan kakinya di kamar setelah menemani Naya hingga terlelap di kamarnya, segera mencari di mana tadi sumber suara berada. Sudah lama dirinya tak mendengar bunyi ponsel sejak kepergian almarhum.Di ambilnya benda pipih berwarna emas yang tadi lupa ia letakkan di nakas dekat kamar mandi, dan membawanya menuju ke balkon di depan kamarnya, walau pun sudah tak bersuara lagi.Seakan ingin berlama lama di balkon, mama Via sengaja memakaikan minyak seree untuk obat anti nyamuk, juga sebagai minyak penghangat pengganti, penghalau rasa dingin.Damar! Nama yang tertera di pesan aplikasi warna hijau, membuatnya kembali tersenyum dengan arti yang tak mungkin di jelaskan.Namun dia tidak segera merta membuka pesan itu, malah membuka pesan dengan foto profil pernikahan dirinya dengan almarhum.Air matanya basah seketika itu pula, saat membaca pesan pesan yang ada, lengkap dengan emoji emoji dan stiker yang dulu sangat almarhum sukai.“Apakah kamu sungguh
Faris seketika terdiam saat melihat di meja sebelah kiri dekat etalase sana, Ivana duduk berhadap hadapan dengan Dokter Mark, Dokter yang dia anggap sebagai saingan berat dalam menaklukan hati bekas bininya sampai saat ini. Setelah menimbang sebentar, Faris melangkahkan kaki ke arah kasir, tidak langsung mendatangi meja Ivana dan Dokter itu."Mbak, pesan kopi hitam tanpa gula, tolong dijadikan satu dengan bill dokter Ivana, biar sekalian saya bayar," ujarnya pada seorang perempuan yang menggunakan seragam di balik mesin penghitung."Baik, silahkan di tunggu sebentar." Perempuan di balik kasir itu pun memberikan kertas yang entah apa isinya kepada temannya yang menggunakan seragam sama corak beda warna.Faris sesekali terlihat mencuri pandang pada Ivana dan Dokter yang terlihat sangat akrab, dengan sesekali di iringi tawa oleh keduanya."Terima kasih," kata Faris, sesaat kemudian dirinya sudah menerima cup kopi dengan menggunakan tangan kanan, dan tangan kiri menerima kertas bukti
“Apa yang sebenarnya membuatmu berat, Via?” tanya Damar saat ini mereka ada di teras, di temani seorang maid yang duduk di kursi yang diletakkan agak jauh, Namun masih bisa mendengar apa yang tamu dan nyonya sedang bicarakan.“Aku hanya heran kenapa kamu seperti sangat ingin agar aku mau menerima pernikahan ini, apakah kamu tak ingin bertemu dengan istrimu lagi nantinya di akhirat, karena aku pernah mendengar jika kita menikah lagi, maka kita tak akan bertemu nantinya dengan pasangan kita yang pertama.”Damar menghela napas panjang, memandangi perempuan yang semakin terlihat cantik karena dalam bingkaian kerudung berwarna pastel saat ini “Kamu itu aneh, Vi … pikiranmu itu terlalu jauh menurutku, sebaiknya saat ini yang kita pikirkan adalah apakah amalan kita bisa menuntun kita masuk ke surganya, nanti saat di surga Allah akan mengabulkan apa yang kita inginkan, bukan? Jadi kita bisa minta untuk dikumpulkan lagi seperti dulu, ada Ana, Adi, kita dan seluruh keluarga kita.”Damar terdi
“Sayaaang, apa yang kau dapatkan dari riadohmu selama ini?” tanya ayah Damar pada Ivana setelah hampir sepuluh hari melebihi dari target yang anaknya janjikan kepada Naya, Dimas, dan Faris.“Aku hanya bermimpi Faris bersama Rizal yang tersenyum kepadaku, Ayah,” ujar Ivana, pagi itu saat sedang sarapan bersama.pp0⅔“Alhamdulillah, aku yakin itu adalah tanda bagus kalau Tuhan menyetujui apa yang Rizal amanatkan kepadamu dan Faris,” seru Nenek dengan mata binar terlihat sangat bahagia.Melihat sang Nenek, Ivana datang mendekat dan mengusap wajah yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah banyak itu dengan perlahan, dari saking bahagianya sang Nenek sampai membuat basah kedua matanya.“Terima kasih … Sayang.” Nenek berkata lembut, dua perempuan cantik berbeda generasi itu saling tatap dalam arti yang sama pula.“Lalu bagaimana dengan Via, Damar? Apakah kamu juga mendapatkan hal yang sama seperti yang di impikan oleh anakmu.”Damar hanya tersenyum, tak menjawab apa yang di tanyakan
“Aku tak menyangka kalau mantannya Farislah yang ternyata berasal dari keluarga Kamandaka, aku jadi tak heran, pantas saja lelaki itu tidak mau lepas begitu saja, apalagi melihat kedekatan antara dua keluarga itu sudah terjalin dnegan sangat baik sekali, pasti mereka juga sedang mengincar kekayaan kamandaka yang tak habis habis itu!” ujar Papi Yunus dengan sesekali memukul pahanya sendiri dengan tangannya yang terkepal, pelan.“Andai kita tahu kalau yang kaya ternyata mantan istrinya, nggaklah mungkin aku akan bersusah payah membelikan tas dan beramah tamah dengan keluarga Faris.”Mendengar apa yang dikatakan oleh kedua orang tuanya, Rika hanya bisa tersenyum dalam tangis, tak menyangka hidupnya bakalan se rumit itu, padahal di kelilingi oleh orang terdekat Namun entah kenapa tidak pernah dirasa tulus mencintainya.“Kenapa kamu malah tersenyum seperti itu? Kamu senang ya, karena apa yang di lakukan oleh mami dan papi kali ini ternyata salah besar?!” tanya Mami dengan wajah tak mengen
“Umroh?!” Dengan wajah yang terlihat tak percaya dan hampir bersamaan, Ayah Damar dan mama Via mengucapkan satu pertanyaan yang sama.Dimas dan Faris bukannya menjawab, mereka berdua hanya tersenyum saja, melihat ayah Damar dan mama Via yang tampak salah tingkah.“Bagaimana kamu bisa tahu tentang hal itu? Apakah Ivana yang menceritakan padamu tentang mimpi yang aku alami selama beberapa malam ini?!” tanya ayah Damar setelah dia berhasil menenangkan dirinya.“tidak …. Bukan hanya Ivana yang cerita tapi Naya juga, mereka bilang kalau mama tidak bisa tidur karena mimpi yang sama berulang kali, begitu juga dengan ayah Damar. Jadi sekarang apa yang membuat kalian ragu untuk melaksanakan apa yang papa adi inginkan?!” "Via, apakah benar kamu mengalami mimpi yang sama denganku, mimpi bertemu dengan adi di Mekah?" tanya ayah Damar dengan wajah membias bahagia dan penuh harap. Senyum Damar kini terlihat berbeda saat anggukan kepala mama Via terlihat berulang kali tadi sebagai jawaban dari pe
Seorang lelaki yang baru saja masuk, segera memotong ucapan Faris, dan membuat kaget karena kedatangannya yang mendadak, Namun mampu membuat Faris, mama Via, Dimas dan Ivana tesenyum.“Pak Kamandaka!!” seru pak Yunus dengan wajah senang sekaligus bimbang, sehingga tanpa sadar dia berdiri dan menyambut ketika melihat lelaki yang baru saja datang yang nyatanya nanti akan menjadi pengacara keluarga Faris untuk melawan dirinya.“Pak Kamandaka, saya dan istri ingin meminta maaf atas kejadian saat di kantor anda, kami berdua tidak tahu kalau lelaki yang kami usir ternyata anda,” ujar Pak yunus dengan kedua tangan yang tergenggam. Tentu saja ini membuat Rika mengerutkan keningnya, dia menatap Papi dengan mata tak percaya. “Mengusir? Mami dan Papi berani mengusir pak Kamandaka dari kantornya?” Rika yang sedang bermonolog lirih, mengulang apa yang dikatakan oleh Papinya tadi. “Ooo … ini alasan kenapa Papi dan Mami berubah sebaik manusia."Mendengar ucapan Rika, Bu Yunus menepuk bahu anakn
“Minta maap?” Faris mengulang apa yang dikatakan oleh tamunya dengan senyum yang terlihat seperti seringai jahat dan kejam.“Apa saya tidak salah dengar?” ujar Faris, kini dengan wajah datar tanpa ekpresi. Kedua matanya menatap tajam ke ketiga tamunya silih berganti.“Tentu saja, dan lihatlah ini, sengaja aku belikan ini untuk mamamu, agar kamu dapat melihat ketulusan kami,” ujar Nyonya Yunus, dengan kedua tangan yang sedang memegang paper bag dengan tulisan sebuah merk dunia, terulur ke arah Faris.“Apa yang membuat sikap anda menjadi sangat manusia seperti ini?” tanya Faris yang terlihat sudah bisa membaca ada maksud tertentu dari sikap baik dari orang yang kemarin sangat menghina keluarganya.“Faris, kenapa tamunya tidak di persilahkan duduk lebih dulu, Nak?” Faris yang mendengar suara yang sangat dia kenal dari belakang punggungnya, seketika itu juga menolehkan kepalanya ke arah sumber suara.“Mama, kok sudah keluar dari kamar? Apakah ada yang mengganggumu?” tanya Faris dengan si