Dinda mempersilahkanku untuk minum, kemudian duduk di sofa yang ada di depanku. “Kalo kita ngobrol, tapi aku sambil packing, kamu tersinggung nggak?” Tanya Dinda setelah aku selesai meneguk minumanku.“Kita ngobrol, sambil kita packing.” Jawabku sambil menatap kedua mata Dinda, dan meletakkan botol minumanku di atas meja.“No. Udah kubilang tadi itu bercanda. Barangku terlalu banyak soalnya. Jadi kita ngobrol, aku sambil packing.”“Kalo dikerjain sama dua orang, jadi lebih ringan dan cepet selesainya. Kita ngobrol, sambil kita packing. Bareng-bareng.”Dinda berpikir sejenak. “Alright... Kamu udah makan?”“Barusan. Tadi Hanna ngidam makanan Italia. Aku sekalian ikut makan jadinya.”Kedua mata Dinda terbelalak, seperti sedang terkejut dan menyadari sesuatu, di saat yang bersamaan. “Hold on. Sepupu kamu tadi, kamu tinggalin di lobby gitu aja?”Aku menggelengkan kepalaku sambil tersenyum. “Aku tadi memang rencananya cuma mau temenin Hanna nunggu taksi.""Ohh... Memangnya nggak apa-apa kal
“Dinda…”“Hmm?”“Kamu percaya takdir nggak?” Tanyaku ketika kita hampir selesai untuk mengemas semua barang yang tadi bertebaran dan berantakan di kamar hotel Dinda.Dinda menghela nafas pelan. Ia lalu menoleh ke arahku dan menatapku untuk beberapa detik saja. “Percaya…” Jawab Dinda yang kemudian tersenyum. Kedua sorot matanya seperti sedang menerawang jauh, entah ke mana. “Kadang... di dalam hidup ini, ada banyak hal yang bisa terjadi di luar kendali, dan kapasitas kita sebagai manusia…”Aku mengamati Dinda sebentar. Entah mengapa, aku merasa ada kesedihan di balik kata-katanya barusan. Padahal Dinda menyampaikannya dengan intonasi suara yang cukup tenang dan santai.“Kenapa kamu tiba-tiba nanyain soal takdir?” Tanya Dinda kemudian.Aku tersenyum dan merenung sebentar. “Aku hampir booking kamar di hotel lain. Tadinya sengaja cari hotel yang deket sama rumah sakit, biar Hanna lebih gampang aja aksesnya. Tapi, dia nggak mau. Dia mintanya hotel yang deket mall sama resto-resto yang dia
Aku tersenyum lalu menghela nafas pelan. “Aku belum punya pacar. Belum punya istri dan belum punya anak juga. Jadi kamu nggak perlu ngerasa bersalah lagi. Karena aku paham. Aku bisa ngerti kenapa kamu ninggalin aku gitu aja, dan sengaja menghindari aku berhari-hari… Nggak ada kesalahan yang perlu kamu tebus. Jadi, next dinner is on me. Okay?”Dinda masih menatapku dan diam saja. Namun, kali ini, tatapannya seolah berbicara bahwa dia sedang memikirkan dan menyembunyikan sesuatu.“Deo…” Dinda berhenti sejenak, dan kembali menatapku secara serius. “…aku baru aja putus.”+Here we go…+“Kamu boleh nggak percaya, tapi… aku sama sekali nggak ada niat buat jadiin kamu pelampiasan atau pelarian.”“I trust you, Dinda.” Kataku jujur, lalu tersenyum.“Aku nggak punya bukti, kalo aku nggak lagi manfaatin kamu.”Aku tersenyum lebih lebar lagi. “Nggak perlu.” Kataku yang kemudian meneguk kopiku lagi.“Nggak perlu, dan kamu percaya gitu aja sama aku?”Aku mengangguk sambil tersenyum. “When you know
“Ya, kalo sekarang… sedihku itu sebenernya karena aku ngerasa kecewa sama diriku sendiri.” Dinda menghela nafas pelan.“Kecewa karena kamu udah terlalu percaya sama dia?” Tanyaku yang berusaha menebak.Dinda menatap kedua mataku dan mengangguk. “Aku… sebenernya udah ngerasa kalo ada yang nggak beres. Tapi selalu aku kesampingkan, karena nggak ada bukti sama sekali, dan aku juga nggak suka ngeributin hal yang sepele atau nggak jelas. Biar gimanapun, aku pernah sayang sama dia. Jadi, aku berusaha untuk kasih kepercayaan dan pengertian ke dia.”“Tapi ternyata, aku salah… Kalau aja waktu itu aku dengerin hati aku ngomong apa, pasti aku nggak akan bersikap masa bodoh dan terlalu percaya sama dia… Memang sih, semuanya yang udah terjadi itu bisa aku jadiin pelajaran di hidup aku. Tapi aku nggak mau munafik sama perasaanku sekarang. Kita kan jadi temen baik dulu, sebelum akhirnya bisa pacaran tiga tahun. Dan selama pacaran juga, kita nggak pernah berantem kayak anak kecil. Biarpun ending-nya,
Aku bangkit berdiri dan duduk tepat di sebelah Dinda. Kuraih kedua bahu Dinda, lalu kutatap kedua matanya, yang kemudian juga menatapku balik. “Kasih aku kesempatan buat jujur. Please…”Dinda tersenyum kecil. “Keep going…”“Orang tuaku cerai, dan aku tau nggak enaknya kayak gimana. Sejak saat itu, aku janji ke diriku sendiri untuk hati-hati kalau mau pilih pasangan. Karena aku nggak mau menjalani pernikahan yang nggak bahagia, dan aku juga nggak mau korbanin anak yang nggak salah apa-apa.”“Itu kenapa pacaran buat aku nggak bisa main-main. Aku nggak mau pacaran sama sembarang perempuan. Aku harus tau persis, dan cocok sama karakter perempuan itu… Dan, aku juga nggak suka munafik. Kalo cuma kertetarikan fisik, ya udah fisik aja. Ngapain ngasih status dan hatiku ke perempuan yang aku sendiri nggak yakin sama karakter dia gimana?”“Jadi… kamu bisa, sex tanpa cinta atau perasaan?” Tanya Dinda.“Bisa.” Jawabku dengan jujur. “Tapi bukan berarti aku nggak bisa sex dengan cinta dan perasaan.
Aku menimbang perkataanku selanjutnya terlebih dahulu. Ingin rasanya aku mengutarakan semuanya kepada Dinda, tapi aku masih tidak yakin jika sekarang adalah waktu yang tepat. Aku juga memiliki ketakutan, namun ketakutanku saat ini adalah mengenai Dinda yang menjauhiku. Kalau aku tergesa-gesa mengungkapkan perasaan cintaku, aku takut, Dinda tidak akan mau percaya begitu saja kepadaku.“Memang bisa?” Dinda menatapku dengan sorot mata yang penuh selidik sekali lagi.“Bisa. Kenyataannya bisa.” Jawabku dengan nada suara yang cukup serius.Kita masih saling menatap dan terdiam sejenak. Sebenarnya, aku ingin sekali mengungkapkan perasaanku sekarang juga. Namun, aku masih merasa bahwa situasinya belum terlalu berpihak kepadaku.+Ini gimana caranya, biar gue bisa ngungkapin semuanya ke Dinda sekarang?Dia keliatannya kayak masih belum siap sama gue…Apa Dinda masih butuh waktu ya?Gue pengen jujur, tapi gue juga nggak mau terkesan maksa banget ke Dinda.Ini gimana caranya, biar gue bisa ngeya
“Kita sepakat nggak lepas kondom, biarpun aku rutin minum pil tanpa sepengetahuan dia. Alesannya karena… aku takut hamil. I know, pil kontrasepsi sebenernya udah cukup ngebantu biar aku nggak hamil. Tapi, aku sengaja double protection aja.”“Kamu nggak mau punya anak?” Aku berusaha mengatur intonasiku supaya tidak terdengar terlalu kesal, karena cemburu dengan mantan kekasih Dinda tersebut.“Bukan nggak mau punya anak. Cuma ya, aku nggak mau sembarangan hamil. Apalagi sama laki-laki yang aku tau sendiri, dia belum siap punya anak.”+Lah? Yang waktu itu kita?Gue belum sempet bilang ke Dinda kalo someday, gue kepengen punya anak, tapi kita tetep lanjut terus tanpa pengaman…+“Jadi, kalo si laki-laki udah siap punya anak, kamu nggak masalah kan buat hamil?”“Ya, tergantung…”“Tergantung apa?”“Aku perlu pertimbangin, apakah dia bisa jadi orang tua yang baik dan penyayang buat anaknya… Aku yakin, aku bisa, dan siap jadi ibu yang baik. Biarpun tentu aja, aku nggak perfect. Tapi at least
Pagi ini, aku terbangun karena suara alarm yang sebelumnya sudah diatur oleh Dinda untuk berbunyi tepat pada pukul empat pagi, dini hari. Aku langsung meraih ponsel Dinda yang masih tergeletak di atas tempat tidur, lalu segera kumatikan alarm tersebut, sebelum Dinda terbangun dari tidurnya.Mataku terbuka lebih lebar lagi dan aku diam sejenak, sambil mengamati Dinda yang masih tidur nyenyak di sampingku. Tangan kanannya berada tepat di atas perutku, dan kaki kanannya menindih kedua kakiku yang berbaring lurus di sebelahnya. Sungguh, bagiku, salah satu pemandangan yang sangat indah adalah, ketika bangun tidurku disambut dengan pemandangan seorang perempuan yang sangat aku sayangi, sedang tertidur nyenyak di sampingku, dan dengan posisi memeluk tubuhku.“I love you…” Bisikku sambil melirik ke bawah, ke arah Dinda. Senyumku mengembang, dan tangan kananku mengelus tangan kanan Dinda yang ada diperutku.+Suatu hari nanti, kalau momennya udah tepat, gue akan bilang ke Dinda kalo gue udah j