Nakula menatap lekat gelas di hadapannya. Entah sudah gelas ke berapa yang sudah ia tenggak. Rasa perih di hati yang menghinggapinya tak mampu untuk ia bendung. Bayangan tentang masa depan yang sudah ia rancang melamar sang kekasih pupus sudah. Nesya memutuskan secara sepihak hubungan mereka. Hubungan yang sudah berjalan begitu lama. Namun, kini harus kandas karena keinginan Nesya yang mementingkan karir dan adanya orang ketiga di dalam hubungan mereka.
Ia kembali meneguk gelas berisi alkohol itu. Dengan perasaan hancur, ia harus menelan pil pahit bahwa Nesya memilih orang lain dibandingkan dirinya. Ia kembali menatap gelas kosong di hadapannya.
Tatapan Nakula kosong. Cincin emas permata putih yang ia pegang membuatnya semakin membenci wanita yang sudah menghancurkan hatinya tersebut.
Dengan kesadaran yang hanya setengahnya saja, Nakula bangkit dari duduknya, berusaha berjalan seperti biasa. Rasa pusing yang menghinggapinya masih bisa ia kendalikan. Nakula berjalan mendekati mobilnya dan mengendarai dengan kecepatan sedang. Tak berselang lama ia sampai di suatu tempat. Tempat di mana itu akan membuatnya merasa nyaman.
Sakya sudah berada di kamarnya. Sudah satu jam yang lalu ia membaringkan tubuhnya. Namun, entah mengapa, rasa kantuknya tak kunjung datang. Ia masih teringat peristiwa di mana ia pergi dari kampung halamannya untuk menemui kakaknya. Saat ini harapan satu-satunya yang ia miliki adalah Alin. Sahabatnya sejak kecil hingga sekarang. Namun sayang, ia harus kehilangan alamat Alin yang membuatnya tak tahu harus mulai mencari Alin dari mana.
Suara pintu terbuka terdengar dari ruang tamu apartemen. Sakya terlonjak. Ia bangkit dari ranjangnya dan berjalan menuju pintu kamar untuk melihat apa yang terjadi di ruang tamu. Saat Sakya membuka pintu kamarnya, betapa terkejutnya ia saat mendapati tubuh Nakula yang sudah tergeletak di lantai dalam keadaan setengah sadar.
"Astaga, Tuan Nala. Apa yang terjadi?" tanya Sakya yang mendekati Nakula.
Sakya mencium aroma menyengat di tubuh Nakula.
"Tuan. Tuan tidak apa-apa?" tanya Sakya.
Nakula hanya diam tak menanggapi pertanyaan Sakya. Ia melihat ke arah Sakya yang tengah menatapnya dengan bingung. Nakula tersenyum tipis saat mendapati bayang-bayang wajah sang kekasih.
Sakya menatap Nakula dengan khawatir. Mata hitam pekat itu tampak masih terlihat tampan dengan penampilannya yang berantakan. Melihat Nakula yang seperti ini membuat Sakya tak bisa diam. Ia segera merangkul tangan Nakula, kemudian membantu Nakula untuk berdiri dan membawanya ke kamar pria tersebut.
"Tuan Nala mabuk ya?"
"Kamu jahat, Nes. Aku sayang sama kamu, Nes. Aku cinta sama kamu," kata Nakula dalam keadaan mata tertutup.
"Tuan Nala, sadarlah. Tuan tidak boleh begini."
"Tapi kenapa kamu pergi dari aku, Nes. Aku sudah merencanakan pernikahan kita, Nes. Ayah dan Bunda juga sudah setuju dengan rencana ini."
"Tuan sadarlah. Saya Sakya, Tuan. Tuan terlalu banyak minum."
Dengan susah payah Sakya membawa Nakula ke kamar pria itu dan akhirnya berhasil. Ia langsung membaringkan tubuh Nakula dan melepas sepatu yang masih dikenakan Nakula. Kemudian ia mengambil selimut untuk menyelimuti tubuh Nakula.
"Tunggu sebentar, Tuan. Biar saya ambilkan air hangat."
Saat Sakya akan berlalu dari sana tangannya dicekal oleh Nakula, lalu menariknya hingga Sakya terduduk di sisinya. Nakula menatap Sakya dalam keadaan pandangan yang kabur. Ia bangkit dari tidurannya duduk di sisi Sakya dan memperhatikan wajah Sakya dengan lekat. Sakya menundukkan wajahnya dari tatapan Nakula, tetapi dengan cepat tangan pria itu menarik wajah Sakya agar tatapan mereka saling beradu. Ia membelai lembut wajah Sakya.
"Nes. Kamu Kembali, Nes? Kamu kembali sama aku? Kamu enggak jadi terima kontrak itu kan? Kamu enggak jadi bertunangan dengan pria itu kan?"
"T-Tuan salah. Saya bukan Nes. Saya Sakya, Tuan."
"Enggak! Kamu Nesya. Kamu Nesya-nya aku. Kamu cintanya aku, Nes." ucap Nakula yang langsung memeluk tubuh Sakya dengan begitu erat.
Sakya memberontak mencoba agar bisa melepaskan diri dari pelukan Nakula, tetapi pria itu semakin erat pula memeluknya.
"Tuan lepaskan saya! Saya Sakya, Tuan. Saya bukan Nesya. Tuan salah orang."
"Enggak. Kamu Nesya. Aku mohon jangan pergi lagi dari aku, Nes. Aku mohon jangan tinggalkan aku. Aku cinta sama kamu, Nes. Aku janji aku akan lebih banyak menghabiskan waktu bersama kamu. Aku akan datang menemui kamu di Singapura kalau kamu tetap ingin ke sana. Aku janji, Nes. Tapi aku mohon jangan pergi dengannya." kata Nakula dalam keadaan setengah sadar. Ia semakin mengeratkan pelukannya pada Sakya yang masih berusaha melepaskan diri.
"Tuan. Tuan salah orang. Saya Sakya, Tuan."
Nakula melepaskan pelukannya dari Sakya. Ia menatap Sakya dengan kilatan mata yang berbeda.
"Kamu harus jadi milikku. Aku enggak akan biarkan kamu pergi dengan pria itu. Aku enggak akan biarkan kamu menjadi milik Andri, Nes."
"Apa maksud, Tu ... mmmpppphhhh ...."
Belum sempat Sakya melanjutkan ucapannya Nakula sudah membungkam mulut Sakya dengan mulutnya. Sakya terus meronta, memukul dan mendorong dada bidang Nakula berulang kali agar terlepas dari Nakula. Namun, Nakula semakin dalam melumat bibirnya hingga napas mereka terasa habis.
Nakula melepaskan ciumannya. Menghirup udara sebanyak-banyaknya karena hampir kehabisan oksigen. Begitu pun Sakya. Nakula menatap Sakya dengan dalam. Tangan kanannya membelai lembut pipi Sakya. Sakya menutup kedua matanya meremang merasakan atas apa yang dilakukan Nakula terhadapnya. Lalu secara perlahan Nakula mendorong tubuh Sakya berbaring di kasurnya.
"Apa yang Tuan lakukan?" tanya Sakya yang mulai ketakutan. Ia hendak bangkit, tetapi dengan cepat Nakula mendorongnya kembali dan menindih tubuhnya dengan tubuh kekar itu.
Satu per satu kancing kemeja yang digunakan Nakula terlepas. Sakya yang melihat sikap Nakula semakin ketakutan. Ia semakin panik dan mencoba untuk bangkit Kembali, tetapi gagal karena tubuh Nakula yang begitu besar sudah menindih tubuh kecilnya.
"Tuan, saya mohon jangan," mohon Sakya dengan nada bergetar dan tangis yang sudah pecah.
"Jangan takut, Sayang. Aku hanya akan menjadikanmu milikku selamanya. Kamu milikku. Bukan milik Andri. Kamu milikku, Nes," ucap Nakula dengan suara serak.
"Tuan, jangan. Saya bukan Nesya. Saya Sakya, Tuan. Orang yang Tuan tolong."
Nakula tak menggubris permohonan Sakya padanya. Ia lalu mengunci tubuh Sakya dengan mengangkat kedua tangan Sakya ke atas kepalanya dan menahannya dengan satu tangan. Ia kembali mencium bibir Sakya dengan rakus. Sakya memberontak dengan memalingkan wajahnya ke kanan dan ke kiri.
Nakula menahan rahang Sakya, agar mempermudahnya mencium bibir kenyal itu. Sakya terus memberontak. Ia tak ingin berakhir seperti ini. Ia harus bisa lolos dari Nakula. Ia tahu, Nakula saat ini tengah mabuk. Namun, ia tak ingin Nakula melakukan hal yang akan membuat hidupnya hancur di kemudian hari. Ia terus berontak, tetapi apalah daya tenaganya yang tak sebanding dengan tenaga Nakula.
"Jangan berontak, Sayang," bisik Nakula di telinga Sakya.
Nakula mencium lembut sudut mata Sakya. Lalu dengan satu tangannya Ia berhasil membuka paksa dress yang dikenakan oleh Sakya, hingga membuat Sakya semakin memberontak.
"Tuan Nala, saya mohon jangan," mohon Sakya dengan tangis yang kian pecah.
"Kamu indah, Sayang," ucap Nakula saat melihat tubuh Sakya yang sudah tanpa sehelai benang pun. Matanya sarat dengan gairah yang sudah memuncak.
"Tuan, saya mohon jangan," ucap Sakya di sela isak tangisnya. Namun, Nakula tak menghiraukan permohonan Sakya.
"Aaahhhkkk!" teriak Sakya saat merasakan sakit di pusatnya. Tangis wanita itu kian pecah saat Nakula telah menyatu dengan dirinya.
Nakula mulai bermain dengan tubuh Sakya yang sangat menggairahkan baginya. Menenggelamkan dirinya dalam pusat Sakya yang memabukkan. Hingga keduanya larut dalam malam panjang yang melelahkan.
********
Sakya terduduk di lantai dekat sisi ranjang dengan tubuh terbungkus selimut yang menutupi tubuh polosnya. Ia menangis sejadi-jadinya atas apa yang baru saja menimpa dirinya. Harta berharga yang seharusnya ia jaga dan akan ia berikan pada suaminya kelak kini telah direnggut paksa oleh orang yang sudah menolongnya beberapa hari yang lalu.
Ia pikir kebaikan Nakula tak akan membuatnya jatuh ke dalam lubang yang dalam. Namun, nyatanya ia salah, walau ia tahu Nakula melakukan hal buruk terhadapnya dalam keadaan tak sadar secara utuh.
Sakya menatap nanar pada tubuh Nakula yang tertidur di ranjang dengan posisi tertelungkup dan dalam keadaan yang sama polosnya dengan dirinya. Sakit di tubuh yang ia rasakan tak sebanding dengan rasa sakit di hatinya. Ia bangkit lalu mengambil baju yang berserakan di lantai kamar tersebut kemudian keluar menuju kamar yang selama ini ditempatinya.
Saat sudah berada di dalam kamarnya, ia langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia menatap dirinya di cermin yang ada di dalam kamar mandi tersebut. Tubuh yang dipenuhi dengan tanda-tanda merah yang dibuat oleh Nakula, membuatnya semakin jijik menatap dirinya sendiri. Sakya menggosok dengan kasar untuk menghilangkan jejak-jejak pada tubuhnya. Namun, air yang mengguyur tubuhnya tak mampu menghapus jejak tersebut.
Sakya menangis semakin menjadi. Ia bahkan sedikit berteriak dalam isakan tangisnya. Ia menjatuhkan tubuhnya di lantai kamar mandi yang dingin tersebut.
"Maafkan Kya, Bu. Maafkan Kya. Kya udah kotor. Kya enggak bisa menjaga diri, Kya. Kya enggak bisa jaga amanah dari ayah dan juga ibu. Maafkan Kya," ucapnya di sela isak tangisnya.
********
Sinar matahari pagi menyelinap masuk ke dalam kamar melalui tirai jendela yang tersibak. Cahayanya yang menyilaukan mengenai wajah tampan Nakula yang masih terlelap. Nakula mengerjapkan kedua matanya. Ia merasakan sakit yang teramat luar biasa di kepalanya akibat terlalu banyak minum. Nakula bangun dari tidurnya. Mengedarkan pandangan dan tersadar bahwa dirinya saat ini berada di apartemennya bukan di rumah orang tuanya. Ia menarik napas dengan dalam untuk mengumpulkan kesadaran.
Nakula mengeryitkan dahinya saat menyadari keadaannya saat ini yang tak memakai sehelai benang pun. Mata itu menyusuri pakaiannya yang berserakan di lantai. Segera dia memungutnya dan mengenakannya. Saat ia akan beranjak dari kamarnya, ia mendapati ada noda bercak darah yang tertinggal di ranjangnya. Nakula semakin mengernyitkan dahinya. Ia mencoba untuk mengingat apa yang sudah terjadi. Matanya terbelalak sesaat ia mengingat sedikit kilasan-kilasan kejadian kemarin malam. Nakula segera beranjak dari kamarnya dan menuju kamar Sakya, menggedor pintu kamar tersebut dengan kuat.
"Sakya. Sakya apa kamu di dalam?"
Namun tak ada jawaban yang keluar dari dalam kamar itu.
"Sakya. Tolong buka pintunya. Kita perlu bicara."
Tetap tak ada sahutan dari dalam kamar. Dengan terpaksa, Nakula membuka paksa pintu kamar yang tidak terkunci itu. Namun sayang, ia tak menemukan Sakya berada di dalam sana.
"Di mana dia?" tanya Nakula yang lebih mengarah pada dirinya sendiri.
Suara dering telepon mengalihkan perhatian Nakula dari ketiadaan Sakya di apartemennya. Ia melihat nama sang penelepon. Dengan segera ia mengangkat teleponnya.
"Hallo."
Nakula mengeryitkan dahinya saat menyadari keadaannya saat ini yang tak memakai sehelai benang pun. Mata itu menyusuri pakaiannya yang berserakan di lantai. Segera dia memungutnya dan mengenakannya. Saat ia akan beranjak dari kamarnya, ia mendapati ada noda bercak darah yang tertinggal di ranjangnya. Nakula semakin mengernyitkan dahinya. Ia mencoba untuk mengingat apa yang sudah terjadi. Matanya terbelalak sesaat ia mengingat sedikit kilasan-kilasan kejadian kemarin malam. Nakula segera beranjak dari kamarnya dan menuju kamar Sakya, menggedor pintu kamar tersebut dengan kuat. "Sakya. Sakya apa kamu di dalam?" Namun, tak ada jawaban yang keluar dari dalam kamar itu. "Sakya. Tolong buka pintunya. Kita perlu bicara." Tetap tak ada sahutan dari dalam kamar. Dengan terpaksa, Nakula membuka paksa pintu kamar yang tidak terkunci itu. Namun sayang, ia tak menemukan Sakya berada di dalam sana. "Di mana dia?" tanya Nakula yang lebih mengarah pada diriny
"Kamu kenapa enggak bilang kalau ada di kota ini? Bukankah aku sudah memberikan nomor ponsel dan alamatku padamu?" tanya Alin saat ia dan Sakya kini sudah berada di kontrakannya. Ia memberikan segelas teh pada Sakya yang tampak sangat kacau sekali. Sakya hanya diam duduk di tempatnya menerima gelas yang diberikan Alin padanya. "Lalu bagaimana, apa kamu sudah bertemu dengan Kak Sandi?" Sakya menganggukkan kepalanya dengan lemah. Alin yang melihat sikap Sakya mengerutkan dahinya. Biasanya Sakya akan sangat bersemangat sekali jika membicarakan mengenai satu-satunya kakak lelaki yang dimiliki Sakya. "Lalu?" Sakya kembali menangis saat Alin terus bertanya. Melihat Sakya yang menangis membuat Alin jadi bingung. Ia mencoba menerka apa yang terjadi pada Sakya dan Sandi, kakaknya. "Kamu kenapa, Kya? Kalau kamu sudah bertemu dengannya harusnya kamu senang dan tidak berada di tempat tadi dengan duduk sendirian seperti ... maaf. Gembel," ucap Alin
Nakula tengah bersiap untuk melakukan perjalanannya. Seperti biasa, kali ini ia yang akan memimpin penerbangan. Nakula menatap dirinya di cermin. Bayang-bayang percakapannya dengan Nesya beberapa waktu lalu masih membekas hingga kini. Begitu pun peristiwa di mana ia telah melakukan tindakan bodoh itu. Memang dirinya dalam keadaan setengah sadar saat melakukan hal itu, tetapi bukan berarti ia tak mengingat setiap inci kejadian malam panjang itu. "Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana kalau ucapan Raka benar kalau dia akan hamil?" ucapnya lebih mengarah kepada dirinya. Nakula menarik napasnya dengan dalam. "Ke mana aku harus menemukannya? Dia bahkan tidak meninggalkan identitasnya sama sekali," ucap Nakula yang tampak frustrasi. "Kapten," panggil seseorang dari belakang Nakula. Nakula menoleh ke arah sumber suara. "Sudah waktunya," ucap orang tersebut yang langsung mendapat anggukan dari Nakula. Nakula keluar dari ruangan tersebut dan se
Sakya berlari masuk ke dalam kamar mandi dengan cepat. Rasa mual yang ia tahan sejak tadi sudah tak terbendung lagi. Alin yang duduk bersamanya langsung berlari menghampiri Sakya. Ia khawatir akan keadaan Sakya yang sudah beberapa hari ini dalam keadaan tidak baik. "Kamu yakin enggak apa-apa, Kya?" Sakya hanya mengangguk. Ia tak bisa berkata apa pun saat ini karena masih merasakan mual yang teramat sangat. Ia sudah memuntahkan isi dalam perutnya seharian ini tapi tetap saja rasa mual itu tak berkurang sama sekali. "Apa enggak sebaiknya kita ke rumah sakit saja." "Enggak, Lin. Aku enggak apa-apa kok. Aku yakin ini hanya masuk angin saja." "Tapi, ini enggak wajar. Sudah berhari-hari kamu mengalami ini. Minum obat masuk angin sudah tapi tidak bertahan lama kamu seperti ini lagi." Sakya mencuci mulutnya setelah semua isi dalam perutnya ia tumpahkan. Ia berjalan menuju ruang tamu yang tak seberapa besar di kontrakan mereka, kemudian mengamb
Bruuuukk! Suara benda jatuh terdengar dengan begitu kuat hingga perhatian Nakula dan Alin teralihkan. Keduanya menoleh ke arah sumber suara. Nakula terbelalak saat melihat dua orang terpenting dalam hidupnya berdiri tak jauh darinya kini. Sementara Alin, hanya menatap keduanya dengan tatapan bingung dan penuh tanya melihat keduanya. "Ayah. Bunda," gumam Nakula pelan. Raut syok diperlihatkan Andini. Sementara Farhan, ia terlihat menahan amarahnya. Rahangnya mengeras saat mendengar semua pembicaraan Nakula dan Alin. Putra kebanggaan mereka telah menghamili seorang Wanita, dan yang semakin membuat Farhan marah putranya tak mau mengakui hal itu. Nakula berjalan mendekati kedua orang tuanya. Andini diam terpaku di tempatnya, masih menatap putranya dengan dalam. "Bunda. Ayah. Tolong dengarkan, Nala. Nala bisa jelaskan semuanya sama Ayah dan juga Bunda." "Harus!" ujar Farhan dengan nada dingin dan menahan emosinya. Ia menatap Nakula
Sakya hanya menundukkan kepalanya. Ia tak berani menatap Nakula yang duduk di seberangnya dan terus menatap ke arahnya dengan dalam. Raut tak suka diperlihatkan Nakula pada Sakya.Namun, perlahan tatapan Nakula berubah teduh saat melihat raut ketakutan yang diperlihatkan Sakya terhadapnya. Bahkan Ia juga melihat mata Sakya yang menggenang di pelupuk matanya."Tujuan saya dan istri saya kemari untuk meminang kamu menjadi menantu kami," ucap Farhan pada Sakya yang hanya merunduk.Sakya hanya diam bergeming. Ia tak tahu harus bagaimana saat ini. Alin sudah menceritakan semuanya padanya, bahwa malam ini Nakula beserta kedua orang tuanya akan datang ke kontrakan mereka untuk membahas masalah yang terjadi saat ini. Sakya sempat menolak, tetapi Alin bersikeras agar Sakya menurut dan mengikuti apa yang Alin minta, karena menurut Alin anak yang dikandung Sakya saat ini membutuhkan figur seorang ayah terutama untuk kelengkapan dokumen kelahiran anaknya kelak yang akan san
Nakula tengah duduk di balkon kamarnya. Ia menatap nanar langit di malam hari itu. Anaya masuk ke dalam kamar Nakula tanpa disadari oleh pria itu."Minum dulu teh-nya," ucap Anaya sembari menyerahkan secangkir teh hangat pada Nakula. Nakula menoleh lalu menerimanya. Ia langsung meneguk teh tersebut."Terima kasih, Kak."Anaya mengangguk. Ia mengambil duduk di sebelah Nakula. Ikut menatap langit di malam hari itu."Beberapa hari lagi status kamu akan berubah menjadi seorang suami."Nakula tersenyum kecut jika harus mengingatnya. Pernikahan yang Ia mimpikan memang terlaksana namun tak akan sama dengan impiannya yang sesungguhnya berharap menikah dengan wanita yang Ia cintai."Kakak harap dengan berubahnya status kamu nanti kamu bisa menjadi suami yang bertanggung jawab untuk istri kamu kelak.""Aku tak menyangka kalau akhirnya aku akan menikah juga. Heh. Tapi sayang aku akan menikah bukan dengan orang yang aku harapkan. Bukan dengan ora
Ijab kabul sudah terlaksana dengan begitu khikmad. Sakya kini telah resmi menjadi istri dari Nakula. Pelafazan ijab kabul yang hanya sekali diucapkan Nakula membuat suasana menjadi haru. Seperangkat alat sholat dan perhiasan emas menjadi mahar yang diberikan Nakula kepada Sakya. Malam harinya pesta digelar secara sederhana di rumah kediaman Farhan dan Andini yang hanya di hadiri keluarga besar dan kerabat terdekat saja. Alin terlihat di acara tersebut sebagai satu-satunya anggota keluarga dari Sakya. Raka berjalan mendekat pada Nakula dan istrinya. Ia menyalami kedua mempelai. "Selamat ya. Akhirnya kau menikah lebih dulu dariku," ucap Raka. "Terima kasih baby boy. Tentu saja aku menikah lebih dulu darimu. Usia ku sudah pantas menikah dibandingkan kau." "Heh. Dasar sombong. Jadi kau anggap aku belum pantas begitu?" "Entahlah. Tapi dilihat dari usia ku yang 5 tahun lebih tua darimu tentu saja aku layak lebih dulu menikah." Raka menggelen
Ijab kabul sudah terlaksana dengan begitu khikmad. Sakya kini telah resmi menjadi istri dari Nakula. Pelafazan ijab kabul yang hanya sekali diucapkan Nakula membuat suasana menjadi haru. Seperangkat alat sholat dan perhiasan emas menjadi mahar yang diberikan Nakula kepada Sakya. Malam harinya pesta digelar secara sederhana di rumah kediaman Farhan dan Andini yang hanya di hadiri keluarga besar dan kerabat terdekat saja. Alin terlihat di acara tersebut sebagai satu-satunya anggota keluarga dari Sakya. Raka berjalan mendekat pada Nakula dan istrinya. Ia menyalami kedua mempelai. "Selamat ya. Akhirnya kau menikah lebih dulu dariku," ucap Raka. "Terima kasih baby boy. Tentu saja aku menikah lebih dulu darimu. Usia ku sudah pantas menikah dibandingkan kau." "Heh. Dasar sombong. Jadi kau anggap aku belum pantas begitu?" "Entahlah. Tapi dilihat dari usia ku yang 5 tahun lebih tua darimu tentu saja aku layak lebih dulu menikah." Raka menggelen
Nakula tengah duduk di balkon kamarnya. Ia menatap nanar langit di malam hari itu. Anaya masuk ke dalam kamar Nakula tanpa disadari oleh pria itu."Minum dulu teh-nya," ucap Anaya sembari menyerahkan secangkir teh hangat pada Nakula. Nakula menoleh lalu menerimanya. Ia langsung meneguk teh tersebut."Terima kasih, Kak."Anaya mengangguk. Ia mengambil duduk di sebelah Nakula. Ikut menatap langit di malam hari itu."Beberapa hari lagi status kamu akan berubah menjadi seorang suami."Nakula tersenyum kecut jika harus mengingatnya. Pernikahan yang Ia mimpikan memang terlaksana namun tak akan sama dengan impiannya yang sesungguhnya berharap menikah dengan wanita yang Ia cintai."Kakak harap dengan berubahnya status kamu nanti kamu bisa menjadi suami yang bertanggung jawab untuk istri kamu kelak.""Aku tak menyangka kalau akhirnya aku akan menikah juga. Heh. Tapi sayang aku akan menikah bukan dengan orang yang aku harapkan. Bukan dengan ora
Sakya hanya menundukkan kepalanya. Ia tak berani menatap Nakula yang duduk di seberangnya dan terus menatap ke arahnya dengan dalam. Raut tak suka diperlihatkan Nakula pada Sakya.Namun, perlahan tatapan Nakula berubah teduh saat melihat raut ketakutan yang diperlihatkan Sakya terhadapnya. Bahkan Ia juga melihat mata Sakya yang menggenang di pelupuk matanya."Tujuan saya dan istri saya kemari untuk meminang kamu menjadi menantu kami," ucap Farhan pada Sakya yang hanya merunduk.Sakya hanya diam bergeming. Ia tak tahu harus bagaimana saat ini. Alin sudah menceritakan semuanya padanya, bahwa malam ini Nakula beserta kedua orang tuanya akan datang ke kontrakan mereka untuk membahas masalah yang terjadi saat ini. Sakya sempat menolak, tetapi Alin bersikeras agar Sakya menurut dan mengikuti apa yang Alin minta, karena menurut Alin anak yang dikandung Sakya saat ini membutuhkan figur seorang ayah terutama untuk kelengkapan dokumen kelahiran anaknya kelak yang akan san
Bruuuukk! Suara benda jatuh terdengar dengan begitu kuat hingga perhatian Nakula dan Alin teralihkan. Keduanya menoleh ke arah sumber suara. Nakula terbelalak saat melihat dua orang terpenting dalam hidupnya berdiri tak jauh darinya kini. Sementara Alin, hanya menatap keduanya dengan tatapan bingung dan penuh tanya melihat keduanya. "Ayah. Bunda," gumam Nakula pelan. Raut syok diperlihatkan Andini. Sementara Farhan, ia terlihat menahan amarahnya. Rahangnya mengeras saat mendengar semua pembicaraan Nakula dan Alin. Putra kebanggaan mereka telah menghamili seorang Wanita, dan yang semakin membuat Farhan marah putranya tak mau mengakui hal itu. Nakula berjalan mendekati kedua orang tuanya. Andini diam terpaku di tempatnya, masih menatap putranya dengan dalam. "Bunda. Ayah. Tolong dengarkan, Nala. Nala bisa jelaskan semuanya sama Ayah dan juga Bunda." "Harus!" ujar Farhan dengan nada dingin dan menahan emosinya. Ia menatap Nakula
Sakya berlari masuk ke dalam kamar mandi dengan cepat. Rasa mual yang ia tahan sejak tadi sudah tak terbendung lagi. Alin yang duduk bersamanya langsung berlari menghampiri Sakya. Ia khawatir akan keadaan Sakya yang sudah beberapa hari ini dalam keadaan tidak baik. "Kamu yakin enggak apa-apa, Kya?" Sakya hanya mengangguk. Ia tak bisa berkata apa pun saat ini karena masih merasakan mual yang teramat sangat. Ia sudah memuntahkan isi dalam perutnya seharian ini tapi tetap saja rasa mual itu tak berkurang sama sekali. "Apa enggak sebaiknya kita ke rumah sakit saja." "Enggak, Lin. Aku enggak apa-apa kok. Aku yakin ini hanya masuk angin saja." "Tapi, ini enggak wajar. Sudah berhari-hari kamu mengalami ini. Minum obat masuk angin sudah tapi tidak bertahan lama kamu seperti ini lagi." Sakya mencuci mulutnya setelah semua isi dalam perutnya ia tumpahkan. Ia berjalan menuju ruang tamu yang tak seberapa besar di kontrakan mereka, kemudian mengamb
Nakula tengah bersiap untuk melakukan perjalanannya. Seperti biasa, kali ini ia yang akan memimpin penerbangan. Nakula menatap dirinya di cermin. Bayang-bayang percakapannya dengan Nesya beberapa waktu lalu masih membekas hingga kini. Begitu pun peristiwa di mana ia telah melakukan tindakan bodoh itu. Memang dirinya dalam keadaan setengah sadar saat melakukan hal itu, tetapi bukan berarti ia tak mengingat setiap inci kejadian malam panjang itu. "Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana kalau ucapan Raka benar kalau dia akan hamil?" ucapnya lebih mengarah kepada dirinya. Nakula menarik napasnya dengan dalam. "Ke mana aku harus menemukannya? Dia bahkan tidak meninggalkan identitasnya sama sekali," ucap Nakula yang tampak frustrasi. "Kapten," panggil seseorang dari belakang Nakula. Nakula menoleh ke arah sumber suara. "Sudah waktunya," ucap orang tersebut yang langsung mendapat anggukan dari Nakula. Nakula keluar dari ruangan tersebut dan se
"Kamu kenapa enggak bilang kalau ada di kota ini? Bukankah aku sudah memberikan nomor ponsel dan alamatku padamu?" tanya Alin saat ia dan Sakya kini sudah berada di kontrakannya. Ia memberikan segelas teh pada Sakya yang tampak sangat kacau sekali. Sakya hanya diam duduk di tempatnya menerima gelas yang diberikan Alin padanya. "Lalu bagaimana, apa kamu sudah bertemu dengan Kak Sandi?" Sakya menganggukkan kepalanya dengan lemah. Alin yang melihat sikap Sakya mengerutkan dahinya. Biasanya Sakya akan sangat bersemangat sekali jika membicarakan mengenai satu-satunya kakak lelaki yang dimiliki Sakya. "Lalu?" Sakya kembali menangis saat Alin terus bertanya. Melihat Sakya yang menangis membuat Alin jadi bingung. Ia mencoba menerka apa yang terjadi pada Sakya dan Sandi, kakaknya. "Kamu kenapa, Kya? Kalau kamu sudah bertemu dengannya harusnya kamu senang dan tidak berada di tempat tadi dengan duduk sendirian seperti ... maaf. Gembel," ucap Alin
Nakula mengeryitkan dahinya saat menyadari keadaannya saat ini yang tak memakai sehelai benang pun. Mata itu menyusuri pakaiannya yang berserakan di lantai. Segera dia memungutnya dan mengenakannya. Saat ia akan beranjak dari kamarnya, ia mendapati ada noda bercak darah yang tertinggal di ranjangnya. Nakula semakin mengernyitkan dahinya. Ia mencoba untuk mengingat apa yang sudah terjadi. Matanya terbelalak sesaat ia mengingat sedikit kilasan-kilasan kejadian kemarin malam. Nakula segera beranjak dari kamarnya dan menuju kamar Sakya, menggedor pintu kamar tersebut dengan kuat. "Sakya. Sakya apa kamu di dalam?" Namun, tak ada jawaban yang keluar dari dalam kamar itu. "Sakya. Tolong buka pintunya. Kita perlu bicara." Tetap tak ada sahutan dari dalam kamar. Dengan terpaksa, Nakula membuka paksa pintu kamar yang tidak terkunci itu. Namun sayang, ia tak menemukan Sakya berada di dalam sana. "Di mana dia?" tanya Nakula yang lebih mengarah pada diriny
Nakula menatap lekat gelas di hadapannya. Entah sudah gelas ke berapa yang sudah ia tenggak. Rasa perih di hati yang menghinggapinya tak mampu untuk ia bendung. Bayangan tentang masa depan yang sudah ia rancang melamar sang kekasih pupus sudah. Nesya memutuskan secara sepihak hubungan mereka. Hubungan yang sudah berjalan begitu lama. Namun, kini harus kandas karena keinginan Nesya yang mementingkan karir dan adanya orang ketiga di dalam hubungan mereka.Ia kembali meneguk gelas berisi alkohol itu. Dengan perasaan hancur, ia harus menelan pil pahit bahwa Nesya memilih orang lain dibandingkan dirinya. Ia kembali menatap gelas kosong di hadapannya.Tatapan Nakula kosong. Cincin emas permata putih yang ia pegang membuatnya semakin membenci wanita yang sudah menghancurkan hatinya tersebut.Dengan kesadaran yang hanya setengahnya saja, Nakula bangkit dari duduknya, berusaha berjalan seperti biasa. Rasa pusing yang menghinggapinya masih bisa ia kendalikan. Nakula berja