Mobil yang membawa Nakula sampai di depan rumah orang tuanya. Ia langsung masuk ke rumah itu setelah membayar beberapa lembar uang untuk argo taksi. Ia melihat bundanya sudah berdiri menanti di depan pintu rumah dengan tersenyum bahagia.
"Bunda," sapa Nakula yang langsung masuk ke dalam pelukan ibunya.
"Kamu akhirnya pulang. Bunda kangen sekali padamu," ucap sang ibunda Andini yang langsung membalas pelukan putra bungsunya.
"Nala juga kangen sama Bunda."
Andini membalasnya dengan tersenyum senang.
"Ayo masuk. Ayah sudah menunggu kedatangan kamu."
Nakula mengangguk pelan. Saat sudah berada di ruang tamu ia mendapati sang ayah, Farhan tengah duduk bersama seorang bocah kecil laki-laki berusia 9 tahun. Keduanya tampak tengah bercengkerama.
"Ayah."
Farhan mengalihkan tatapan untuk menatap putranya.
"Sayang, kau pulang," ucap Farhan yang langsung mendapat anggukan kepala dari Nakula. Ia memeluk putranya tersebut dengan sayang.
"Om Nala."
"Hey, jagoan," sapa Nakula sembari melakukan ‘high five’ pada bocah lelaki tersebut. Kemudian ia mengacak-acak rambut bocah lelaki tersebut yang langsung membuat bocah tersebut bersungut kesal. Nakula dan kedua orang tuanya hanya tertawa kecil melihat keponakan dan cucu mereka.
"Mana Najwa?"
"Najwa di rumah orang tuanya Kak Arya. Dia tidak mau kemari kalau Kak Arya dan Kak Anaya tidak ada," kata Farhan.
"Dasar princess manjaku itu. Emangnya dia enggak kangen apa sama om tampannya ini?"
"Kamu ini seperti tidak tahu Najwa saja."
"Yaahhh Nala tahu, Bunda. Tapi, kan Najwa sudah berumur tujuh tahun. Sifat manjanya masih belum juga berkurang."
"Wajar saja. Najwa kan masih anak-anak. Kamu saja yang sudah sedewasa ini masih suka manja sama Bunda."
Nakula hanya tersenyum malu saat mendengar ucapan Farhan.
"Ya sudah ayo kita makan saja. Bunda sudah siapkan makanan kesukaan kamu."
"Iya, bunda. Nala sudah kangen banget nih sama masakan Bunda."
Mereka pun bergerak menuju ruang meja makan menikmati makan malam mereka.
"Oh ya, kamu kapan akan melamar Nesya?"
Nakula melihat ke arah Andini saat sang ibu bertanya padanya.
"Hmm. Secepatnya, Bunda. Nala masih menunggu kepastian dari Nesya. Dia kan sedang menyelesaikan S2-nya yang tinggal beberapa bulan lagi. Lagi pula Nesya juga sedang sibuk dengan pekerjaannya. Karir musiknya sedang berada di atas."
"Bunda mengerti. Tapi, Bunda ingin kamu secepatnya menikahi Nesya. Bunda udah enggak sabar untuk menimang cucu dari kamu."
Nakula hanya tersenyum saja mendengar ucapan Andini.
"Bunda benar. Kamu dan Nesya kan sudah lama berhubungan. Yaahhh minimal kalian bertunangan dulu lah."
Nakula tampak menimbang-nimbang ucapan Farhan.
"Iya, Yah. Akan Nala bicarakan hal ini pada Nesya."
Farhan hanya mengangguk paham.
"Kamu jadi kan menginap di sini?"
"Iya, Bunda. Jadi kok."
"Biar Bunda siapkan kamar kamu." Senyum Andini mengembang lembar.
"Iya, Bunda. Makasih ya."
Andini pun mengangguk dengan senyumnya yang selalu bersahaja.
* * * * * * *
Sakya telah menyelesaikan makannya. Ia berjalan menuju dapur untuk membereskan dapur serta mencuci beberapa piring yang tampak tergeletak berantakan di wastafel.
"Apa semua laki-laki seperti ini? Kenapa mereka tidak ada rapinya sih?" gumam Sakya.
Ia pun mulai mencuci piring dan peralatan masak lainnya. Setelahnya ia berjalan menuju ruang tamu di mana terdapat sofa berwarna hitam yang terlihat begitu empuk.
Sakya berjalan dan duduk di sofa tersebut. Kembali senyumnya mengembang saat merasakan sofa yang ia duduki begitu lembut dan nyaman. Ia melompatkan tubuhnya dengan pelan naik turun merasakan sofa yang begitu lembut.
"Memang enak jadi orang kaya. Semuanya serba mewah. Bahkan sofa ini saja sangat empuk. Jauh lebih empuk dari kasurku di kampung,” gumamnya.
Setelah itu ia bangkit dari duduknya. Ia menelusuri seluruh ruangan yang ada di apartemen tersebut kecuali sebuah ruangan yang sudah dikatakan Nakula tadi. Di ruangan itu ia mendapati foto-foto yang terpajang di dalam sebuah lemari kaca. Ia mengambil sebuah pigura foto di mana terdapat seorang pria berpakaian pilot lengkap dengan atributnya dan seorang wanita yang saling berpelukan dengan tawa bahagia mereka.
"Cantik sekali wanita ini. Apa ini … kekasihnya Tuan Nala?" gumamnya melihat gambar seorang wanita bertubuh tinggi, langsing, dengan rambut hitam panjang yang membingkai wajahnya, jangan lupakan mata bulat yang dimiliki wanita itu, sangat indah. Terlebih yang membuat Sakya semakin kagum adalah kulit putih mulus wanita itu disertai dengan senyum menawan yang dimiliki. Sakya kemudian mengembalikan lagi foto tersebut di tempat semula.
Setelah itu ia mengambil sebuah foto keluarga di mana ayah dan ibunya tengah duduk sementara seorang anak lelaki dan seorang anak perempuan tampak berdiri di belakang kedua orang tua tersebut dengan tertawa.
Sakya menyentuh foto kedua orang tua tersebut dengan lembut. Air mata menggenang di kedua matanya. Melihat foto itu ia jadi teringat kedua orang tuanya yang sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Memang ia tak sendiri di dunia ini. Ia masih memiliki seorang kakak laki-laki. Namun, sayang kakak lelakinya pergi meninggalkannya dari kampung mereka untuk mencari kehidupan yang layak.
Beberapa tahun berlalu sang kakak meminta Sakya untuk menyusulnya, tetapi sayang harapan Sakya untuk bertemu dengan kakaknya pupus karena ternyata sang kakak ingin menjual ia di rumah bordil hingga membuatnya begitu sakit saat menyadari apa yang dilakukan oleh kakaknya sendiri.
Sakya menghapus cepat air matanya. Sakya tidak boleh cengeng. Saat ini yang harus Sakya lakukan adalah mencari sahabatnya Alin yang memintanya untuk ikut bersamanya sejak awal mendengar kalau dia akan ke kota ini. Memang sebelumnya Ia sudah mengantongi alamat tempat tinggal Alin. Namun, sayang karena peristiwa yang baru saja Ia alami Ia harus kehilangan alamat itu karena tas-nya berada ditangan kakaknya. Namun, Sakya bertekad kalau ia tak akan menyerah begitu saja. Ia harus bisa menemukan Alin agar ia bisa mencari pekerjaan di kota ini.
Sakya meletakkan foto yang ia pegang tadi. Ia kemudian melihat sekeliling ruangan yang cukup berantakan. Karena tak tahu apa yang akan ia lakukan dan matanya juga belum mau untuk dipejamkan ia memilih untuk membereskan apartemen tersebut. Ia mulai mengambil sapu dan mulai membersihkan seluruh ruangan tersebut kecuali kamar Nakula.
Satu jam berselang ia telah selesai membereskan ruangan tersebut. Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Sakya memutuskan masuk ke dalam kamar dan mulai merebahkan tubuhnya di ranjang tersebut. Tak butuh waktu lama baru beberapa menit Sakya berbaring matanya mulai terpejam dan tertidur dengan lelap.
********
Cahaya matahari menelusup masuk melalui gorden jendela yang tersingkap. Samar-samar cahayanya yang menerangi kamar membuat suasana ruangan tersebut menjadi menghangat. Sakya terbangun dari tidurnya saat cahaya matahari perlahan-lahan mengenai wajah putihnya. Ia menatap sekeliling kamar yang ia tempati saat ini, bangkit dari tempatnya dan perlahan berjalan menuju dapur mengambil segelas air putih lalu meneguknya hingga habis. Ia kemudian melihat isi dalam kulkas untuk membuat sarapan pagi.
Setelah sarapan Sakya kembali duduk sejenak. Ia bingung tak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini. Ia tak memiliki kegiatan sama sekali. Merasa bosan, akhirnya Sakya kembali membersihkan apartemen tersebut. Mulai dari menyapu, mengepel seluruh ruangan. Semuanya dilakukan untuk mengurangi rasa bosannya.
Nakula membuka pintu apartemennya dan terkejut saat mendapati apartemennya yang tampak rapi dan bersih. Ia jarang mendapati apartemennya yang serapi ini. Ia berjalan lebih ke dalam lagi. Ia menemukan Sakya yang berdiri di atas sebuah kursi dan terlihat tengah membersihkan pintu kaca balkon ruang tamu.
"Kamu sedang apa?"
Sakya terkejut saat mendapati Nakula yang sudah berdiri di sisinya hingga hampir membuat dirinya jatuh ke lantai, kalau saja Nakula tak segera menangkap tubuh mungilnya itu. Tatapan keduanya saling bertemu satu sama lain. Menyadari posisinya membuat Sakya langsung melepaskan diri dari Nakula. Ia menundukkan kepalanya karena merasa malu.
"M-maaf, Tuan. S-saya hanya membersihkan apartemen Tuan saja."
"Membersihkannya?"
"Iya, Tuan. Karena saya melihat apartemen Tuan yang berantakan."
Nakula menarik napasnya dalam.
"Aku tahu. Aku sudah mengatakannya padamu kemarin. Lagi pula kamu tak harus sampai membersihkan ini juga. Seminggu sekali akan ada petugas yang datang untuk melakukannya."
Sakya menatap Nakula. Ia tak tahu kalau akan ada orang yang membersihkan tempat itu.
"Maaf. Saya tidak tahu. Lagi pula tidak apa-apa Tuan saya melakukannya, karena saya tidak ada kegiatan. Saya bosan."
"Terserah. Maaf kalau tadi aku mengagetkanmu."
Sakya mengangguk. Nakula yang sejak tadi sedang memegang ponsel menatap Sakya yang tengah menatapnya. Ia menaikkan satu alisnya. Sakya langsung menggelengkan kepala. Nakula menarik napasnya dengan dalam.
"Aku pulang karena mau mengambil sesuatu," ucap Nakula yang mengerti arti tatapan Sakya padanya.
Sakya hanya mengangguk pelan.
"Kamu sudah makan?"
"Sudah, Tuan," ucap Sakya sembari mengangguk.
"Apa bahan-bahan di dapur masih ada?"
"Masih, Tuan."
Nakula mengangguk.
"Bagaimana? Kamu sudah tahu akan ke mana?"
Sakya menggelengkan kepalanya pelan. Ia juga bingung setelah dua hari tinggal di apartemen Nakula, tetapi ia masih juga tak tahu harus ke mana. Untuk pulang ke kampung halamannya sudah tidak mungkin karena rumah yang ada di kampungnya sudah dijual oleh kakaknya.
Nakula diam sejenak. Ia melihat kebingungan yang diperlihatkan Sakya padanya. Ia terlihat berpikir untuk wanita di hadapannya saat ini.
"Apa kau tidak memiliki keluarga di sini?"
Sakya menatap Nakula. Ia bingung harus menjawab apa. Melihat kediaman Sakya membuat Nakula mengerti.
"Begini saja. Selama kamu tidak tahu akan tinggal di mana untuk sementara ini kau bisa tinggal di sini. Tapi dengan syarat, kau harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga yah misalnya memasak, mencuci atau apa saja. Kamu bisa kan?"
Sakya menatap Nakula. Ia dengan cepat menganggukkan kepalanya.
"Aku akan menggajimu setiap bulannya."
"Tidak usah, Tuan. Saya tidak diberi gaji juga tidak apa-apa. Asal saya diberi tempat tinggal serta makan untuk sementara waktu saja itu sudah cukup."
"Tidak bisa begitu. Bagaimanapun juga kamu akan menjadi asisten rumah tangga di tempatku, itu artinya kamu bekerja padaku dan aku harus menggajimu setiap bulannya untuk bisa memenuhi kebutuhan pribadimu juga."
Sakya menatap Nakula dengan lekat.
"Kamu masih bisa tetap menggunakan kamar itu sebagai kamar mu selama kamu kerja sama saya."
Sakya masih diam.
"Berapa gaji yang kamu minta?"
"Hah!? I-itu … terserah Tuan saja. Berapa pun yang Tuan berikan pada saya akan saya terima. Dengan Tuan tetap mengizinkan saya tinggal di sini saja sudah lebih dari cukup, Tuan."
Nakula tampak diam sejenak.
"Ya sudah nanti kita bicarakan lagi masalah ini. Sekarang aku harus pergi dulu. Aku sudah janji pada seseorang."
Sakya mengangguk paham. Ia melihat kepergian Nakula dari hadapannya. Pria tampan itu benar-benar membuatnya terpesona. Kebaikan hatinya yang masih mengizinkan Sakya untuk menginap di tempat tinggalnya serta tutur katanya yang santun dan lembut membuat hati semua wanita pasti akan merasa sangat beruntung sekali mendapatkan pria seperti Nakula.
"Tuan Nala baik sekali. Beruntung sekali wanita yang menjadi kekasihnya Tuan Nala," ucap Sakya dengan pelan. Ia masih menatap Nakula yang sudah menghilang dari hadapannya.
"Seandainya saja .…" Sakya langsung menghentikan ucapannya sembari menggelengkan kepalanya dengan cepat dan memukul kepalanya dengan kuat.
"Kau ini berpikir apa, Kya. Mana mungkin pria tampan dan kaya sepertinya akan tertarik padamu. Kau harus sadar, Kya. Kau tidak sebanding dengannya. Kau hanya gadis kampung. Tidak layak bersanding dengan pria setampan Tuan Nala. Kalian itu bagai langit dan bumi. Jadi lupakan saja hal itu," ujar Sakya yang lebih mengarah kepada dirinya sendiri. Ia pun melanjutkan kembali pekerjaannya membersihkan apartemen tersebut.
"Tapi Tuan Nala memang baik. Buktinya aku diperbolehkan tinggal di sini walau imbalannya aku harus membersihkan apartemennya. Tapi tidak apa-apa, aku senang. Lagi pula menjadi asisten rumah tangga juga tidak terlalu buruk. Banyak juga gadis-gadis di kampungku yang berprofesi seperti ini," ucapnya sembari kembali melanjutkan pekerjaannya dengan sesekali tersenyum.
Seorang wanita tengah duduk di sebuah restoran. Matanya menatap ke arah jalanan yang banyak dilalui oleh para pejalan kaki. Sesekali matanya menatap ke arah pintu yang terlihat sedang menanti kedatangan seseorang.Secangkir kopi yang ada di hadapannya sudah hampir separuh ia habiskan. Sesekali ia menatap ke arah jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Ia mengembuskan napas kesal saat menantikan orang yang ia tunggu belum kunjung datang. Selang beberapa menit seorang pria tampan berjalan memasuki restoran tersebut. Wanita yang sejak tadi menanti kedatangannya hanya menatap lekat pada pria tersebut."Sayang. Maaf ya aku terlambat," ucap pria itu sembari memberikan kecupan singkat di pipi kiri sang wanita.Wanita itu membalasnya dengan tersenyum tipis."Iya enggak apa-apa kok.""Kamu udah pesan makanan?""Belum, aku sengaja nunggu kamu," ucap wanita tersebut.Sementara pria itu tersenyum penuh arti pada sang wanita."Ya udah
Nakula menatap lekat gelas di hadapannya. Entah sudah gelas ke berapa yang sudah ia tenggak. Rasa perih di hati yang menghinggapinya tak mampu untuk ia bendung. Bayangan tentang masa depan yang sudah ia rancang melamar sang kekasih pupus sudah. Nesya memutuskan secara sepihak hubungan mereka. Hubungan yang sudah berjalan begitu lama. Namun, kini harus kandas karena keinginan Nesya yang mementingkan karir dan adanya orang ketiga di dalam hubungan mereka.Ia kembali meneguk gelas berisi alkohol itu. Dengan perasaan hancur, ia harus menelan pil pahit bahwa Nesya memilih orang lain dibandingkan dirinya. Ia kembali menatap gelas kosong di hadapannya.Tatapan Nakula kosong. Cincin emas permata putih yang ia pegang membuatnya semakin membenci wanita yang sudah menghancurkan hatinya tersebut.Dengan kesadaran yang hanya setengahnya saja, Nakula bangkit dari duduknya, berusaha berjalan seperti biasa. Rasa pusing yang menghinggapinya masih bisa ia kendalikan. Nakula berja
Nakula mengeryitkan dahinya saat menyadari keadaannya saat ini yang tak memakai sehelai benang pun. Mata itu menyusuri pakaiannya yang berserakan di lantai. Segera dia memungutnya dan mengenakannya. Saat ia akan beranjak dari kamarnya, ia mendapati ada noda bercak darah yang tertinggal di ranjangnya. Nakula semakin mengernyitkan dahinya. Ia mencoba untuk mengingat apa yang sudah terjadi. Matanya terbelalak sesaat ia mengingat sedikit kilasan-kilasan kejadian kemarin malam. Nakula segera beranjak dari kamarnya dan menuju kamar Sakya, menggedor pintu kamar tersebut dengan kuat. "Sakya. Sakya apa kamu di dalam?" Namun, tak ada jawaban yang keluar dari dalam kamar itu. "Sakya. Tolong buka pintunya. Kita perlu bicara." Tetap tak ada sahutan dari dalam kamar. Dengan terpaksa, Nakula membuka paksa pintu kamar yang tidak terkunci itu. Namun sayang, ia tak menemukan Sakya berada di dalam sana. "Di mana dia?" tanya Nakula yang lebih mengarah pada diriny
"Kamu kenapa enggak bilang kalau ada di kota ini? Bukankah aku sudah memberikan nomor ponsel dan alamatku padamu?" tanya Alin saat ia dan Sakya kini sudah berada di kontrakannya. Ia memberikan segelas teh pada Sakya yang tampak sangat kacau sekali. Sakya hanya diam duduk di tempatnya menerima gelas yang diberikan Alin padanya. "Lalu bagaimana, apa kamu sudah bertemu dengan Kak Sandi?" Sakya menganggukkan kepalanya dengan lemah. Alin yang melihat sikap Sakya mengerutkan dahinya. Biasanya Sakya akan sangat bersemangat sekali jika membicarakan mengenai satu-satunya kakak lelaki yang dimiliki Sakya. "Lalu?" Sakya kembali menangis saat Alin terus bertanya. Melihat Sakya yang menangis membuat Alin jadi bingung. Ia mencoba menerka apa yang terjadi pada Sakya dan Sandi, kakaknya. "Kamu kenapa, Kya? Kalau kamu sudah bertemu dengannya harusnya kamu senang dan tidak berada di tempat tadi dengan duduk sendirian seperti ... maaf. Gembel," ucap Alin
Nakula tengah bersiap untuk melakukan perjalanannya. Seperti biasa, kali ini ia yang akan memimpin penerbangan. Nakula menatap dirinya di cermin. Bayang-bayang percakapannya dengan Nesya beberapa waktu lalu masih membekas hingga kini. Begitu pun peristiwa di mana ia telah melakukan tindakan bodoh itu. Memang dirinya dalam keadaan setengah sadar saat melakukan hal itu, tetapi bukan berarti ia tak mengingat setiap inci kejadian malam panjang itu. "Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana kalau ucapan Raka benar kalau dia akan hamil?" ucapnya lebih mengarah kepada dirinya. Nakula menarik napasnya dengan dalam. "Ke mana aku harus menemukannya? Dia bahkan tidak meninggalkan identitasnya sama sekali," ucap Nakula yang tampak frustrasi. "Kapten," panggil seseorang dari belakang Nakula. Nakula menoleh ke arah sumber suara. "Sudah waktunya," ucap orang tersebut yang langsung mendapat anggukan dari Nakula. Nakula keluar dari ruangan tersebut dan se
Sakya berlari masuk ke dalam kamar mandi dengan cepat. Rasa mual yang ia tahan sejak tadi sudah tak terbendung lagi. Alin yang duduk bersamanya langsung berlari menghampiri Sakya. Ia khawatir akan keadaan Sakya yang sudah beberapa hari ini dalam keadaan tidak baik. "Kamu yakin enggak apa-apa, Kya?" Sakya hanya mengangguk. Ia tak bisa berkata apa pun saat ini karena masih merasakan mual yang teramat sangat. Ia sudah memuntahkan isi dalam perutnya seharian ini tapi tetap saja rasa mual itu tak berkurang sama sekali. "Apa enggak sebaiknya kita ke rumah sakit saja." "Enggak, Lin. Aku enggak apa-apa kok. Aku yakin ini hanya masuk angin saja." "Tapi, ini enggak wajar. Sudah berhari-hari kamu mengalami ini. Minum obat masuk angin sudah tapi tidak bertahan lama kamu seperti ini lagi." Sakya mencuci mulutnya setelah semua isi dalam perutnya ia tumpahkan. Ia berjalan menuju ruang tamu yang tak seberapa besar di kontrakan mereka, kemudian mengamb
Bruuuukk! Suara benda jatuh terdengar dengan begitu kuat hingga perhatian Nakula dan Alin teralihkan. Keduanya menoleh ke arah sumber suara. Nakula terbelalak saat melihat dua orang terpenting dalam hidupnya berdiri tak jauh darinya kini. Sementara Alin, hanya menatap keduanya dengan tatapan bingung dan penuh tanya melihat keduanya. "Ayah. Bunda," gumam Nakula pelan. Raut syok diperlihatkan Andini. Sementara Farhan, ia terlihat menahan amarahnya. Rahangnya mengeras saat mendengar semua pembicaraan Nakula dan Alin. Putra kebanggaan mereka telah menghamili seorang Wanita, dan yang semakin membuat Farhan marah putranya tak mau mengakui hal itu. Nakula berjalan mendekati kedua orang tuanya. Andini diam terpaku di tempatnya, masih menatap putranya dengan dalam. "Bunda. Ayah. Tolong dengarkan, Nala. Nala bisa jelaskan semuanya sama Ayah dan juga Bunda." "Harus!" ujar Farhan dengan nada dingin dan menahan emosinya. Ia menatap Nakula
Sakya hanya menundukkan kepalanya. Ia tak berani menatap Nakula yang duduk di seberangnya dan terus menatap ke arahnya dengan dalam. Raut tak suka diperlihatkan Nakula pada Sakya.Namun, perlahan tatapan Nakula berubah teduh saat melihat raut ketakutan yang diperlihatkan Sakya terhadapnya. Bahkan Ia juga melihat mata Sakya yang menggenang di pelupuk matanya."Tujuan saya dan istri saya kemari untuk meminang kamu menjadi menantu kami," ucap Farhan pada Sakya yang hanya merunduk.Sakya hanya diam bergeming. Ia tak tahu harus bagaimana saat ini. Alin sudah menceritakan semuanya padanya, bahwa malam ini Nakula beserta kedua orang tuanya akan datang ke kontrakan mereka untuk membahas masalah yang terjadi saat ini. Sakya sempat menolak, tetapi Alin bersikeras agar Sakya menurut dan mengikuti apa yang Alin minta, karena menurut Alin anak yang dikandung Sakya saat ini membutuhkan figur seorang ayah terutama untuk kelengkapan dokumen kelahiran anaknya kelak yang akan san
Ijab kabul sudah terlaksana dengan begitu khikmad. Sakya kini telah resmi menjadi istri dari Nakula. Pelafazan ijab kabul yang hanya sekali diucapkan Nakula membuat suasana menjadi haru. Seperangkat alat sholat dan perhiasan emas menjadi mahar yang diberikan Nakula kepada Sakya. Malam harinya pesta digelar secara sederhana di rumah kediaman Farhan dan Andini yang hanya di hadiri keluarga besar dan kerabat terdekat saja. Alin terlihat di acara tersebut sebagai satu-satunya anggota keluarga dari Sakya. Raka berjalan mendekat pada Nakula dan istrinya. Ia menyalami kedua mempelai. "Selamat ya. Akhirnya kau menikah lebih dulu dariku," ucap Raka. "Terima kasih baby boy. Tentu saja aku menikah lebih dulu darimu. Usia ku sudah pantas menikah dibandingkan kau." "Heh. Dasar sombong. Jadi kau anggap aku belum pantas begitu?" "Entahlah. Tapi dilihat dari usia ku yang 5 tahun lebih tua darimu tentu saja aku layak lebih dulu menikah." Raka menggelen
Nakula tengah duduk di balkon kamarnya. Ia menatap nanar langit di malam hari itu. Anaya masuk ke dalam kamar Nakula tanpa disadari oleh pria itu."Minum dulu teh-nya," ucap Anaya sembari menyerahkan secangkir teh hangat pada Nakula. Nakula menoleh lalu menerimanya. Ia langsung meneguk teh tersebut."Terima kasih, Kak."Anaya mengangguk. Ia mengambil duduk di sebelah Nakula. Ikut menatap langit di malam hari itu."Beberapa hari lagi status kamu akan berubah menjadi seorang suami."Nakula tersenyum kecut jika harus mengingatnya. Pernikahan yang Ia mimpikan memang terlaksana namun tak akan sama dengan impiannya yang sesungguhnya berharap menikah dengan wanita yang Ia cintai."Kakak harap dengan berubahnya status kamu nanti kamu bisa menjadi suami yang bertanggung jawab untuk istri kamu kelak.""Aku tak menyangka kalau akhirnya aku akan menikah juga. Heh. Tapi sayang aku akan menikah bukan dengan orang yang aku harapkan. Bukan dengan ora
Sakya hanya menundukkan kepalanya. Ia tak berani menatap Nakula yang duduk di seberangnya dan terus menatap ke arahnya dengan dalam. Raut tak suka diperlihatkan Nakula pada Sakya.Namun, perlahan tatapan Nakula berubah teduh saat melihat raut ketakutan yang diperlihatkan Sakya terhadapnya. Bahkan Ia juga melihat mata Sakya yang menggenang di pelupuk matanya."Tujuan saya dan istri saya kemari untuk meminang kamu menjadi menantu kami," ucap Farhan pada Sakya yang hanya merunduk.Sakya hanya diam bergeming. Ia tak tahu harus bagaimana saat ini. Alin sudah menceritakan semuanya padanya, bahwa malam ini Nakula beserta kedua orang tuanya akan datang ke kontrakan mereka untuk membahas masalah yang terjadi saat ini. Sakya sempat menolak, tetapi Alin bersikeras agar Sakya menurut dan mengikuti apa yang Alin minta, karena menurut Alin anak yang dikandung Sakya saat ini membutuhkan figur seorang ayah terutama untuk kelengkapan dokumen kelahiran anaknya kelak yang akan san
Bruuuukk! Suara benda jatuh terdengar dengan begitu kuat hingga perhatian Nakula dan Alin teralihkan. Keduanya menoleh ke arah sumber suara. Nakula terbelalak saat melihat dua orang terpenting dalam hidupnya berdiri tak jauh darinya kini. Sementara Alin, hanya menatap keduanya dengan tatapan bingung dan penuh tanya melihat keduanya. "Ayah. Bunda," gumam Nakula pelan. Raut syok diperlihatkan Andini. Sementara Farhan, ia terlihat menahan amarahnya. Rahangnya mengeras saat mendengar semua pembicaraan Nakula dan Alin. Putra kebanggaan mereka telah menghamili seorang Wanita, dan yang semakin membuat Farhan marah putranya tak mau mengakui hal itu. Nakula berjalan mendekati kedua orang tuanya. Andini diam terpaku di tempatnya, masih menatap putranya dengan dalam. "Bunda. Ayah. Tolong dengarkan, Nala. Nala bisa jelaskan semuanya sama Ayah dan juga Bunda." "Harus!" ujar Farhan dengan nada dingin dan menahan emosinya. Ia menatap Nakula
Sakya berlari masuk ke dalam kamar mandi dengan cepat. Rasa mual yang ia tahan sejak tadi sudah tak terbendung lagi. Alin yang duduk bersamanya langsung berlari menghampiri Sakya. Ia khawatir akan keadaan Sakya yang sudah beberapa hari ini dalam keadaan tidak baik. "Kamu yakin enggak apa-apa, Kya?" Sakya hanya mengangguk. Ia tak bisa berkata apa pun saat ini karena masih merasakan mual yang teramat sangat. Ia sudah memuntahkan isi dalam perutnya seharian ini tapi tetap saja rasa mual itu tak berkurang sama sekali. "Apa enggak sebaiknya kita ke rumah sakit saja." "Enggak, Lin. Aku enggak apa-apa kok. Aku yakin ini hanya masuk angin saja." "Tapi, ini enggak wajar. Sudah berhari-hari kamu mengalami ini. Minum obat masuk angin sudah tapi tidak bertahan lama kamu seperti ini lagi." Sakya mencuci mulutnya setelah semua isi dalam perutnya ia tumpahkan. Ia berjalan menuju ruang tamu yang tak seberapa besar di kontrakan mereka, kemudian mengamb
Nakula tengah bersiap untuk melakukan perjalanannya. Seperti biasa, kali ini ia yang akan memimpin penerbangan. Nakula menatap dirinya di cermin. Bayang-bayang percakapannya dengan Nesya beberapa waktu lalu masih membekas hingga kini. Begitu pun peristiwa di mana ia telah melakukan tindakan bodoh itu. Memang dirinya dalam keadaan setengah sadar saat melakukan hal itu, tetapi bukan berarti ia tak mengingat setiap inci kejadian malam panjang itu. "Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana kalau ucapan Raka benar kalau dia akan hamil?" ucapnya lebih mengarah kepada dirinya. Nakula menarik napasnya dengan dalam. "Ke mana aku harus menemukannya? Dia bahkan tidak meninggalkan identitasnya sama sekali," ucap Nakula yang tampak frustrasi. "Kapten," panggil seseorang dari belakang Nakula. Nakula menoleh ke arah sumber suara. "Sudah waktunya," ucap orang tersebut yang langsung mendapat anggukan dari Nakula. Nakula keluar dari ruangan tersebut dan se
"Kamu kenapa enggak bilang kalau ada di kota ini? Bukankah aku sudah memberikan nomor ponsel dan alamatku padamu?" tanya Alin saat ia dan Sakya kini sudah berada di kontrakannya. Ia memberikan segelas teh pada Sakya yang tampak sangat kacau sekali. Sakya hanya diam duduk di tempatnya menerima gelas yang diberikan Alin padanya. "Lalu bagaimana, apa kamu sudah bertemu dengan Kak Sandi?" Sakya menganggukkan kepalanya dengan lemah. Alin yang melihat sikap Sakya mengerutkan dahinya. Biasanya Sakya akan sangat bersemangat sekali jika membicarakan mengenai satu-satunya kakak lelaki yang dimiliki Sakya. "Lalu?" Sakya kembali menangis saat Alin terus bertanya. Melihat Sakya yang menangis membuat Alin jadi bingung. Ia mencoba menerka apa yang terjadi pada Sakya dan Sandi, kakaknya. "Kamu kenapa, Kya? Kalau kamu sudah bertemu dengannya harusnya kamu senang dan tidak berada di tempat tadi dengan duduk sendirian seperti ... maaf. Gembel," ucap Alin
Nakula mengeryitkan dahinya saat menyadari keadaannya saat ini yang tak memakai sehelai benang pun. Mata itu menyusuri pakaiannya yang berserakan di lantai. Segera dia memungutnya dan mengenakannya. Saat ia akan beranjak dari kamarnya, ia mendapati ada noda bercak darah yang tertinggal di ranjangnya. Nakula semakin mengernyitkan dahinya. Ia mencoba untuk mengingat apa yang sudah terjadi. Matanya terbelalak sesaat ia mengingat sedikit kilasan-kilasan kejadian kemarin malam. Nakula segera beranjak dari kamarnya dan menuju kamar Sakya, menggedor pintu kamar tersebut dengan kuat. "Sakya. Sakya apa kamu di dalam?" Namun, tak ada jawaban yang keluar dari dalam kamar itu. "Sakya. Tolong buka pintunya. Kita perlu bicara." Tetap tak ada sahutan dari dalam kamar. Dengan terpaksa, Nakula membuka paksa pintu kamar yang tidak terkunci itu. Namun sayang, ia tak menemukan Sakya berada di dalam sana. "Di mana dia?" tanya Nakula yang lebih mengarah pada diriny
Nakula menatap lekat gelas di hadapannya. Entah sudah gelas ke berapa yang sudah ia tenggak. Rasa perih di hati yang menghinggapinya tak mampu untuk ia bendung. Bayangan tentang masa depan yang sudah ia rancang melamar sang kekasih pupus sudah. Nesya memutuskan secara sepihak hubungan mereka. Hubungan yang sudah berjalan begitu lama. Namun, kini harus kandas karena keinginan Nesya yang mementingkan karir dan adanya orang ketiga di dalam hubungan mereka.Ia kembali meneguk gelas berisi alkohol itu. Dengan perasaan hancur, ia harus menelan pil pahit bahwa Nesya memilih orang lain dibandingkan dirinya. Ia kembali menatap gelas kosong di hadapannya.Tatapan Nakula kosong. Cincin emas permata putih yang ia pegang membuatnya semakin membenci wanita yang sudah menghancurkan hatinya tersebut.Dengan kesadaran yang hanya setengahnya saja, Nakula bangkit dari duduknya, berusaha berjalan seperti biasa. Rasa pusing yang menghinggapinya masih bisa ia kendalikan. Nakula berja