Su Yan Li yang sepenuhnya dikuasai oleh racun pengikat jiwa menyerang Zhaoyang dengan amukan liar tak terkontrol. Setiap tebasannya tajam, seolah ingin merobek jantungnya. Zhaoyang tahu ia harus bergerak cepat. Dengan akurasi yang tajam, ia melompat ke samping, menggunakan pijakan kecil di atas batu besar untuk mendorong tubuhnya lebih tinggi, menghindari tebasan yang hampir saja merenggut kepalanya. Namun, sebelum dia bisa merayakan keberhasilannya, serangan lain tiba-tiba muncul dari belakang. Dari kegelapan, mayat wanita tua yang tadinya terperangkap dalam formasi kabut siluman tiba-tiba bangkit, tubuhnya yang bergerak patah-patah seperti marionet yang telah dikendalikan dari jauh, menerkam Zhaoyang seperti binatang buas. "Jleb!" Kukunya yang tajam, bercampur dengan racun menancap dalam di punggung Zhaoyang. Rasa nyeri menyebar cepat, menghentakkan tubuhnya. Zhaoyang terhuyung, darah hangat merembes keluar dari lukanya, membuat langkahnya goyah. Di antara kegelapan malam, pria
Sementara itu, di Kota Dacang, malam yang kelam menyelimuti kekacauan yang menggila. Bayang-bayang penduduk terinfeksi racun iblis melayang di antara reruntuhan, menciptakan siluet menakutkan yang tampak seolah-olah diambil dari mimpi buruk. Mereka menerkam dengan brutal, menghancurkan puing-puing bangunan yang tersisa.Suara keras kayu dan batu yang retak bercampur jeritan dan tangisan anak-anak di setiap sudut kota, menciptakan simfoni kematian yang menandakan harapan yang hampir punah. Aroma busuk darah segar dan racun menusuk hidung, menambah beban pada atmosfer malam yang mencekam.Di tengah kekacauan itu, Cui Xing muncul bagaikan kilat, wajahnya memancarkan ketegasan. Rambut panjangnya terurai, ditiup angin malam yang dingin, sementara matanya menatap tajam seperti elang yang siap memangsa. Dari punggung kudanya yang gagah, ia melepaskan deretan anak panah dengan akurasi yang menakjubkan. Setiap anak panah melesat secepat kilat, menembus jantung monster yang dulunya adalah warg
Di saat yang sama, di sudut lain dunia, Shen Ying berdiri di bawah bayangan penjara bawah tanah Paviliun Bayangan yang suram. Udara di sekelilingnya terasa tebal, dipenuhi kelembaban dari dinding-dinding lembab yang mulai ditumbuhi lumut. Sorotan matanya masih sama seperti biasanya; dingin dan hampa, namun gejolak hatinya berbeda. Shen Ying mulai merasakan kebencian yang mendalam, meski ia tak tahu perasaan pahit apa yang telah muncul dalam hatinya sekarang. Di hadapannya, pelayan tua yang dulu melayani ibunya gemetar, kulitnya yang keriput seakan semakin pucat di bawah tekanan tangan dingin Shen Ying. Aroma pil kejujuran yang ia genggam memenuhi udara, bercampur dengan aroma debu dan kesedihan yang sudah lama menetap di tempat itu.Shen Ying menggenggam rahang wanita tua itu dengan kasar, suaranya dingin namun penuh amarah yang tertahan, "Kau akan bicara, entah kau mau atau tidak." Napasnya terasa panas di udara yang lembap, dan gemetar di tangannya terasa jelas, bukan karena kera
"Berhenti menyesalinya, Paman. Wanita itu memang pantas mati," ucap Shen Ying dengan dingin, tatapan matanya yang tajam tak beranjak dari kepala Bibi Ling yang tergeletak di lantai batu yang basah oleh darah.Bau anyir darah memenuhi udara, bercampur dengan aroma lembap penjara bawah tanah Paviliun Bayangan. Kepala Bibi Ling yang tergolek itu tampak mengerikan, dengan mata yang masih terbuka lebar, seolah kematian datang terlalu cepat sebelum ia sempat merasakan penderitaan yang seutuhnya. Mu Qing Cheng duduk di sampingnya, tangan yang menggenggam pedang masih sedikit gemetar, meskipun darah di bilah pedangnya sudah mulai mengering. Cahaya obor yang temaram memantulkan bayangan-bayangan aneh di dinding, menciptakan ilusi bayang-bayang gelap yang terus bergetar. Tatapan Mu Qing Cheng gelisah, menyadari bahwa perkataan Wu Yan mungkin benar, dengan kematian Bibi Ling, mereka mungkin telah kehilangan kesempatan untuk mendapatkan informasi lebih banyak.Shen Ying melangkah maju, merasakan
Di bawah cahaya rembulan yang semakin meredup, bayang-bayang gelap menyelimuti reruntuhan Kota Dacang. Udara malam terasa tebal, Cui Xing memangku tubuh Zhaoyang, tangannya gemetar tiap kali ia membenarkan posisinya, hatinya dipenuhi oleh kecemasan. Ia terus mengisap dan mengeluarkan racun dari punggung Zhaoyang, merasakan rasa asam dan pahit yang menusuk di tenggorokannya, seolah ludah beracun yang membara. Cui Xing terjebak dalam ketegangan yang menakutkan. Setiap kali ia mengisap racun dari tubuh Zhaoyang, waktu seolah terhenti, namun pikirannya melesat cepat. “Apa yang akan kulakukan jika aku gagal?” Sebuah suara kecil berbisik dalam hatinya, merayap ke dalam jiwanya. “Apa aku sanggup untuk melihatmu tiada?” Keringat dingin membasahi pelipisnya, dan napasnya semakin cepat. Perasaan takut yang mencekam mengalahkan keteguhan hatinya. Cui Xing tahu saat-saat terakhir itu semakin mendekat—racun yang diserapnya kini menggerogoti tubuhnya, seperti ular berbisa yang menyusup ke dalam
Sementara di tempat yang jauh, Yu Wen terhuyung, setiap langkahnya terasa berat. Telinganya berdengung, ribuan jeritan terus bergaung. Melodi seruling Zhaoyang masih merasuki, siap menelan kesadarannya. Racun menggerogoti tubuhnya, menimbulkan rasa sakit tajam di perut dan bahunya. Setiap detik terasa seperti belati, menusuk lebih dalam. Luka yang menganga, bekas belati Cui Xing, berdetak seirama dengan denyut nadi yang semakin lemah. Dengan napas yang tersengal, Yu Wen terjatuh di atas ranjang, punggungnya terasa dingin, seolah kasur yang seharusnya memberi kenyamanan malah menjadi batu dingin yang menusuk tulang-tulangnya.Cahaya rembulan menembus jendela jeruji Paviliun Fengyu, menorehkan garis perak di lantai yang gelap. Sinarnya begitu redup, terasa dingin dan jauh, seakan hanya menambah kekosongan hatinya. Di dalam ruang sunyi itu, hanya desahan napasnya yang terdengar, begitu berat dan terputus-putus. Hatinya tercekam oleh ketakutan yang merayap, dingin seperti es yang menembu
Dua hari kemudian, di Kerajaan Huanxi... Di dalam Istana Jinhe, Kaisar Shengzong duduk terpaku di kursinya, terjebak dalam kenangan pahit yang menyelimuti ruangan dalam kabut kelabu. Lampu-lampu lentera bergetar lembut, memantulkan cahaya samar yang menari di dinding batu marmer putih. Aroma dupa cendana yang terbakar bercampur dengan wewangian bunga kering, menghidupkan kembali memori akan cinta yang telah hilang. Di hadapannya, sebuah lukisan besar menggantung, memancarkan kesedihan yang mendalam—potret Wei Yong Luo, wanita yang ia anugerahi gelar Rengsheng karena telah menerangi relung hatinya dengan kelembutan dan cinta. Kecantikannya benar-benar abadi dalam warna-warna lembut, seolah senyum manisnya masih dapat terasa meski ia telah lama pergi. Kaisar memejamkan mata sejenak, membiarkan bayangan suara lembut Ratu Rengsheng berbisik di telinganya, seolah menenangkan jiwanya yang resah. Namun, angan-angan itu segera sirna, tergantikan oleh dentingan keras arak saat gelas yang ia
Keesokan paginya, ibukota Huanxi diselimuti musim dingin yang menggigit. Langit kelabu menekan rendah di atas kota, seakan-akan mendekatkan berat musim dingin kepada setiap orang di bawahnya. Udara dingin yang begitu tajam seakan menampar wajah siapa saja yang berani keluar. Setiap napas yang dihembuskan berubah menjadi kabut tipis yang melayang sejenak sebelum hilang di udara beku. Butiran salju turun perlahan, tapi pasti, menumpuk seperti selimut putih tebal di jalanan ibukota yang kasar, berderit di bawah kaki para pejalan kaki yang terburu-buru.Sisa-sisa perayaan beberapa hari lalu terlihat suram. Lentera-lentera merah yang dulu menyala terang kini tergantung lemas di rumah-rumah warga, terbungkus salju dan angin, cahayanya padam. Jejak-jejak dekorasi dan kertas perayaan yang tersisa terkubur di bawah lapisan salju, mengaburkan kenangan kegembiraan yang kini terasa seperti kenangan jauh yang dingin. Di pasar raya yang biasanya ramai, derit roda gerobak yang ditarik pelan terdenga
Sementara itu, Zhaoyang dan Cui Xing melakukan perjalanan menuju Huanxi, melintasi pedesaan kecil dan sungai yang berkelok-kelok. Setelah perjalanan panjang dari Dacang, mereka akhirnya tiba di Desa Linhua, sebuah desa terpencil yang seakan-akan terputus dari dunia luar. Jarak ribuan kilometer memisahkan mereka dari Kota Jianghu. Sepanjang perjalanan, suasana di antara mereka terasa berat—Zhaoyang tetap membisu, meskipun Cui Xing beberapa kali mencoba membuka percakapan. Keheningan itu menegaskan jarak emosional di antara mereka.Sikap dingin Zhaoyang terasa hampir tak terjangkau, seolah-olah ia menarik diri ke dalam benteng pertahanan yang sulit dihancurkan. Cui Xing bisa merasakan ketegangan itu, tetapi tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam pikirannya. Kekesalan Zhaoyang terhadap dirinya mungkin sudah cukup jelas. Dia tahu Zhaoyang tak pernah setuju dirinya ikut dalam misi ini. Baginya, perjalanan ke Huanxi penuh bahaya, dan Cui Xing mungkin hanyalah tambahan beban yang tidak p
Di Paviliun Mingyue Mudan, Selir Agung terbenam dalam keputusasaan. Wajahnya yang cantik tampak lesu, dan matanya penuh lingkaran hitam menandakan bahwa ia tidak tidur semalaman. Air matanya tak tertahankan. Jeritan putrinya, Shen Ling Long, mengisi setiap sudut ruangan, menggema seperti melodi duka yang tak kunjung berhenti. Aroma bunga peony layu dan obat-obatan menyelimuti udara, menciptakan suasana yang menyesakkan, sementara rasa sakitnya semakin menguat. Dalam pikirannya yang kacau, Selir Agung berharap bisa menggantikan penderitaan putrinya.Ketika suasana semakin mencekam, suara Kaisar tiba-tiba memecah keheningan. "Tenanglah, selirku. Aku telah menemukan tabib yang andal untuk putri kita," katanya, menggenggam tangan Selir Agung dengan lembut. Sentuhan hangatnya menciptakan ilusi harapan dalam kegelapan, meskipun ketegangan masih menyelimuti mereka. "Aku yakin Ling Long kita pasti bisa bangun," lanjutnya, tatapannya beralih ke Wu Yan yang berdiri dengan tenang di sampingnya.
Kondisi di Huanxi kini terasa seperti medan pertempuran sunyi, bukan dengan senjata tajam, melainkan dengan pikiran dan ketegangan yang tak nampak. Setiap tabib yang melangkah maju untuk mencoba mengobati Putri Ling Long menghadapi ujian yang lebih dari sekadar keahlian—nyawa mereka dipertaruhkan. Di sekitar istana, angin dingin semakin berdesir, membawa serpihan salju yang menari di udara, namun tak mampu menyelimuti suasana mengerikan. Aroma herba yang tajam dan asap dupa samar-samar menyusup ke udara, bercampur dengan bau darah segar dari mereka yang dihukum. Puluhan tabib telah gagal. Wu Yan tetap berdiri diam di tengah aula istana yang beku, tubuhnya tegak meski kaki lainnya gemetar. Ia menyaksikan tangan-tangan yang dulu piawai meracik ramuan kini tergeletak di tanah, beku oleh salju dan kehilangan fungsi. Rasa takut dan panik merambat dalam kerumunan, tetapi Wu Yan tetap tenang. Dia menutup matanya, membiarkan hawa dingin merambat di kulit wajahnya, salju yang lembut menyentu
Keesokan paginya, ibukota Huanxi diselimuti musim dingin yang menggigit. Langit kelabu menekan rendah di atas kota, seakan-akan mendekatkan berat musim dingin kepada setiap orang di bawahnya. Udara dingin yang begitu tajam seakan menampar wajah siapa saja yang berani keluar. Setiap napas yang dihembuskan berubah menjadi kabut tipis yang melayang sejenak sebelum hilang di udara beku. Butiran salju turun perlahan, tapi pasti, menumpuk seperti selimut putih tebal di jalanan ibukota yang kasar, berderit di bawah kaki para pejalan kaki yang terburu-buru.Sisa-sisa perayaan beberapa hari lalu terlihat suram. Lentera-lentera merah yang dulu menyala terang kini tergantung lemas di rumah-rumah warga, terbungkus salju dan angin, cahayanya padam. Jejak-jejak dekorasi dan kertas perayaan yang tersisa terkubur di bawah lapisan salju, mengaburkan kenangan kegembiraan yang kini terasa seperti kenangan jauh yang dingin. Di pasar raya yang biasanya ramai, derit roda gerobak yang ditarik pelan terdenga
Dua hari kemudian, di Kerajaan Huanxi... Di dalam Istana Jinhe, Kaisar Shengzong duduk terpaku di kursinya, terjebak dalam kenangan pahit yang menyelimuti ruangan dalam kabut kelabu. Lampu-lampu lentera bergetar lembut, memantulkan cahaya samar yang menari di dinding batu marmer putih. Aroma dupa cendana yang terbakar bercampur dengan wewangian bunga kering, menghidupkan kembali memori akan cinta yang telah hilang. Di hadapannya, sebuah lukisan besar menggantung, memancarkan kesedihan yang mendalam—potret Wei Yong Luo, wanita yang ia anugerahi gelar Rengsheng karena telah menerangi relung hatinya dengan kelembutan dan cinta. Kecantikannya benar-benar abadi dalam warna-warna lembut, seolah senyum manisnya masih dapat terasa meski ia telah lama pergi. Kaisar memejamkan mata sejenak, membiarkan bayangan suara lembut Ratu Rengsheng berbisik di telinganya, seolah menenangkan jiwanya yang resah. Namun, angan-angan itu segera sirna, tergantikan oleh dentingan keras arak saat gelas yang ia
Sementara di tempat yang jauh, Yu Wen terhuyung, setiap langkahnya terasa berat. Telinganya berdengung, ribuan jeritan terus bergaung. Melodi seruling Zhaoyang masih merasuki, siap menelan kesadarannya. Racun menggerogoti tubuhnya, menimbulkan rasa sakit tajam di perut dan bahunya. Setiap detik terasa seperti belati, menusuk lebih dalam. Luka yang menganga, bekas belati Cui Xing, berdetak seirama dengan denyut nadi yang semakin lemah. Dengan napas yang tersengal, Yu Wen terjatuh di atas ranjang, punggungnya terasa dingin, seolah kasur yang seharusnya memberi kenyamanan malah menjadi batu dingin yang menusuk tulang-tulangnya.Cahaya rembulan menembus jendela jeruji Paviliun Fengyu, menorehkan garis perak di lantai yang gelap. Sinarnya begitu redup, terasa dingin dan jauh, seakan hanya menambah kekosongan hatinya. Di dalam ruang sunyi itu, hanya desahan napasnya yang terdengar, begitu berat dan terputus-putus. Hatinya tercekam oleh ketakutan yang merayap, dingin seperti es yang menembu
Di bawah cahaya rembulan yang semakin meredup, bayang-bayang gelap menyelimuti reruntuhan Kota Dacang. Udara malam terasa tebal, Cui Xing memangku tubuh Zhaoyang, tangannya gemetar tiap kali ia membenarkan posisinya, hatinya dipenuhi oleh kecemasan. Ia terus mengisap dan mengeluarkan racun dari punggung Zhaoyang, merasakan rasa asam dan pahit yang menusuk di tenggorokannya, seolah ludah beracun yang membara. Cui Xing terjebak dalam ketegangan yang menakutkan. Setiap kali ia mengisap racun dari tubuh Zhaoyang, waktu seolah terhenti, namun pikirannya melesat cepat. “Apa yang akan kulakukan jika aku gagal?” Sebuah suara kecil berbisik dalam hatinya, merayap ke dalam jiwanya. “Apa aku sanggup untuk melihatmu tiada?” Keringat dingin membasahi pelipisnya, dan napasnya semakin cepat. Perasaan takut yang mencekam mengalahkan keteguhan hatinya. Cui Xing tahu saat-saat terakhir itu semakin mendekat—racun yang diserapnya kini menggerogoti tubuhnya, seperti ular berbisa yang menyusup ke dalam
"Berhenti menyesalinya, Paman. Wanita itu memang pantas mati," ucap Shen Ying dengan dingin, tatapan matanya yang tajam tak beranjak dari kepala Bibi Ling yang tergeletak di lantai batu yang basah oleh darah.Bau anyir darah memenuhi udara, bercampur dengan aroma lembap penjara bawah tanah Paviliun Bayangan. Kepala Bibi Ling yang tergolek itu tampak mengerikan, dengan mata yang masih terbuka lebar, seolah kematian datang terlalu cepat sebelum ia sempat merasakan penderitaan yang seutuhnya. Mu Qing Cheng duduk di sampingnya, tangan yang menggenggam pedang masih sedikit gemetar, meskipun darah di bilah pedangnya sudah mulai mengering. Cahaya obor yang temaram memantulkan bayangan-bayangan aneh di dinding, menciptakan ilusi bayang-bayang gelap yang terus bergetar. Tatapan Mu Qing Cheng gelisah, menyadari bahwa perkataan Wu Yan mungkin benar, dengan kematian Bibi Ling, mereka mungkin telah kehilangan kesempatan untuk mendapatkan informasi lebih banyak.Shen Ying melangkah maju, merasakan
Di saat yang sama, di sudut lain dunia, Shen Ying berdiri di bawah bayangan penjara bawah tanah Paviliun Bayangan yang suram. Udara di sekelilingnya terasa tebal, dipenuhi kelembaban dari dinding-dinding lembab yang mulai ditumbuhi lumut. Sorotan matanya masih sama seperti biasanya; dingin dan hampa, namun gejolak hatinya berbeda. Shen Ying mulai merasakan kebencian yang mendalam, meski ia tak tahu perasaan pahit apa yang telah muncul dalam hatinya sekarang. Di hadapannya, pelayan tua yang dulu melayani ibunya gemetar, kulitnya yang keriput seakan semakin pucat di bawah tekanan tangan dingin Shen Ying. Aroma pil kejujuran yang ia genggam memenuhi udara, bercampur dengan aroma debu dan kesedihan yang sudah lama menetap di tempat itu.Shen Ying menggenggam rahang wanita tua itu dengan kasar, suaranya dingin namun penuh amarah yang tertahan, "Kau akan bicara, entah kau mau atau tidak." Napasnya terasa panas di udara yang lembap, dan gemetar di tangannya terasa jelas, bukan karena kera