“Xander, lepaskan aku! Kau benar-benar sudah kehilangan akal sehatmu. Kenapa kau membawaku ke penthouse-mu?” sembur Audrey emosi pada Xander. Ya, Audrey yakin Xander benar-benar sudah gila. Sungguh, Audrey tak menyangka kalau Xander akan membawanya ke penthouse pria itu.Xander tak merespon ucapan Audrey. Pria itu tetap menarik paksa tangan Audrey, membawa menuju kamar yang tak jauh darinya. Sontak, Audrey terus berontak sekuat tenaga. Walaupun Audrey tahu berontak adalah sia-sia, tapi Audrey akan tetap berusaha sekeras mungkin.Tiba-tiba tubuh Audrey tak seimbang. Heels yang dipakai wanita itu terlalu tinggi. Tubuh Audrey nyaris terjantuh, namun dengan sigap Xander menangkap tubuh Audrey.“Akh—” Kaki kanan Audrey terkilir sampai heels yang dipakainya terlepas. Beruntung, Xander sigap menangkap tubuh Audrey. Andai saja tidak, sudah pasti Audrey tersungkur di lantai. Xander menatap dingin heels tinggi yang terlepas. Tanpa banyak bicara, Xander membopong tubuh Audrey gaya bridal—memba
Audrey duduk di ranjang seraya menarik selimut tebal, menutup tubuhnya yang setengah telanjang akibat ulah Xander. Air mata Audrey tak sanggup lagi tertahan. Benak Audrey terus mengingat apa yang dilakukan Xander tadi. Sungguh, apa yang dilakukan Xander benar-benar menghancurkan hatinya. Audrey tak menyangka Xander akan melakukan hal itu dengan status mereka saat ini sudah resmi bercerai.Audrey telah melepas Xander, membiarkan Xander untuk menentukan pilihan hidupnya. Tapi kenapa setelah dirinya pergi malah Xander menariknya kembali. Memaksa Audrey untuk masuk lagi ke dalam tempat yang telah Audrey tinggalkan. Audrey tak mau terbelenggu pada masa lalu yang hanya menghancurkan hidupnya.“Aku membencimu, Xander. Sangat membencimu.” Audrey terisak sesegukan. Hati Audrey benar-benar merasa sangat sakit, seperti belati yang menusuk hingga ke relung hati terdalam.“Nyonya Audrey permisi.” Seorang pelayan melangkah menghampiri Audrey seraya membawakan nampan yang berisi makanan. “Nyonya, An
Xander duduk di kursi kerjanya yang ada di penthouse-nya seraya menegak wine hingga tandas. Jam di dinding menunjukan pukul 3 pagi, tapi hingga detik ini Xander tak kunjung beristirahat. Benak Xander tak henti mengingat perdebatannya dengan Audrey. Perdebatan yang tak memiliki solusi. Audrey terus memintanya untuk pergi, tapi sampai kapan pun Xander tak akan pernah melepas Audrey. Cukup tiga tahun Xander hidup tanpa Audrey. Xander tak ingin kembali di masa-masa berat ketika dirinya kehilangan Audrey.Sesaat, Xander memejamkan mata singkat. Pria itu meremas kuat gelas berkaki tinggi yang ada di tangannya. Buku-buku kuku Xander memutih akibat pria itu mencengkram kuat gelasnya. Yang Xander pikirkan sekarang adalah cara memutuskan hubungannya dengan Serry. Xander tahu dirinya telah melukai Serry karena telah memberikan harapan palsu, tapi Xander tak mungkin melepas Audrey. Hatinya hanya menginginkan Audrey, bukan yang lain.Ya, Xander menyesali kebodohannya di masa lalu. Andai waktu bisa
Audrey melangkahkan kakinya gontai memasuki apartemennya. Raut wajah Audrey begitu pucat. Mata dan hidung sembab akibat tangisnya yang tak kunjung reda. Sepanjang jalan menuju apartemen, benak Audrey mengingat Xander yang menggendong Serry. Bahkan raut wajah Xander menunjukan jelas kepanikan ketika melihat Serry mencoba bunuh diri.Audrey sengaja hanya diam kala Serry mencoba bunuh diri. Pasalnya Audrey ingin tahu respon Xander. Terbukti respon Xander menunjukan jelas kepedulian dan kepanikan akan terjadi sesuatu pada Serry. Katakanlah Audrey egois yang masih memiliki kecemburan pada Serry. Padahal Serry adalah kekasih Xander. Sedangkan dirinya hanya mantan istri yang tak akan pernah kembali bersatu dengan Xander.Audrey mengingat jelas ungkapan perasaan Xander. Setiap kalimat yang Xander ucap ingin memperbaiki semuanya tidak akan mungkin Audrey lupakan. Hanya saja ucapan Xander tak sesuai dengan kenyataan yang ada.“Mommy!” Tiba-tiba dikala Audrey baru saja masuk ke dalam apartemen,
“Yeay! Mommy sudah pulang!” Rikkard memekik kegirangan kala Audrey sudah pulang dari kantor. Bocah laki-laki itu sampai melompat-lompat melihat Audrey. Di samping Rikkard ada Dakota yang setia mememani Rikkard bermain. Meski ada pengasuh, tapi memang Dakota menyukai menjaga Rikkard. Tak heran jika Rikkard sangat dekat dengan Dakota. “Hey, Sayang. Anak Mommy yang tampan.” Audrey menundukan tubuhnya, menghujani pipi bulat Rikkard dengan lembut serta memberikan pelukan hangat pada putra kecilnya itu.“Mommy, hari ini aku bermain robot bersama dengan Daddy,” pekik Rikkard riang.“Bermain robot dengan Daddy?” Raut wajah Audrey berubah mendengar apa yang dikatakan Rikkard.“Rikkard tadi bermain dengan robotnya dan dia selalu mengajak bicara foto Xander, Audrey. Kau tahu? Bahkan Rikkard sampai menunjukan robot kesayangannya ke depan foto Xander,” sambung Dakota dengan sorot mata lekat menatap Audrey.Audrey terdiam beberapa saat. Pancaran matanya melemah mendengar penjelasan Dakota. Sunggu
“Dakota kenapa Rikkard lama sekali? Bukannya toilet tidak jauh dari ballroom?” Audrey melirik arlojinya sekilas, putranya itu lama sekali berada di toilet. Padahal jarak toilet menuju ballroom hotel di mana dirinya dan Dakota menghadiri seminar, sangatlah dekat.“Mungkin Rikkard berlari-lari dulu. Kau tahu, kan? Putramu yang tampan itu sangat aktif. Waktu aku menjaganya saja, dia pernah melompat dari sofa ke lantai. Oh, astaga, kalau membayangkan itu jantungku ingin berhenti. Rikkard benar-benar anak yang aktif.” Dakota berujar bercerita pengalamannya mengenai Rikkard yang sangat aktif. Setiap kali menjaga Rikkard memang menyenangkan, tapi sekaligus membuat Dakota selalu olahraga jantung. Pasalnya, Rikkard tak pernah takut melompat dari tempat tinggi ke tempat rendah. Jika Dakota menegur, maka keponakannya itu selalu mengatakan bukan laki-laki lemah. Audrey mendecakan lidahnya pelan. “Dakota, dua pengasuh sudah menjaga Rikkard. Rasanya tidak mungkin kalau dua pengasuh Rikkard tidak
Tangis Rikkard menggema keras kala masuk ke dalam apartemen. Bocah laki-laki itu meraung, menangis histeris di gendongan Audrey. Teriakan tangis Rikkard sempat membuat Audrey kewalahan. Dakota yang mencoba untuk mendiamkan Rikkard pun gagal. Rikkard berontak, kaki mungilnya menendang-nendang perut Audrey, hingga membuat Audrey sedikit meringis kasakitan mendapatkan amukan Rikkard.“Aku ingin bersama dengan Daddy! Mommy jahat! Mommy memisahkanku dengan Daddy!” teriak Rikkard dengan tangis yang semakin keras.“Rikkard, dia bukan Daddy-mu. Kau salah orang, Nak.” Audrey berusaha membujuk Rikkard.“Dia Daddy-ku, Mommy!” Rikkard meraung menangis semakin keras.Audrey yang kewalahan mendapatkan amukan Rikkard pun langsung memberikan Rikkard pada kedua pengasuh putranya itu. “Bawa putraku ke kamar,” tukasnya memberi perintah.“Baik, Nyonya.” Kedua pengasuh Rikkard segera membawa Rikkard meninggalkan tempat itu, menuju kamar. Tampak Rikkard terus berteriak menangis menyebut-nyebut ‘Daddy’, dis
Xander terdiam melihat dokumen yang diberikan oleh Chad—asistennya. Sebuah dokumen yang tertulis di sana ‘Rikkard Russel.’ Nama lengkap bocah laki-laki yang telah memanggilnya Daddy. Jantung Xander berdebar lebih cepat melihat nama ibu kandung Rikkard adalah ‘Skyla Audrey. S. Russel’. Lalu nama ayah dari Rikkard tertulis ‘Athes Russel’, kekonyolan macam apa ini? Kenapa nama data ayah kandung Rikkard adalah Athes Russel? Kilat mata cokelat Xander menatap dokumen itu tajam dan memendung kemarahan.“Jelaskan apa maksud semua ini, Chad?” seru Xander seraya meremas dokumen di tangannya.“Tuan Xander, saya tidak terlalu banyak mendapatkan informasi tentang anak laki-laki yang bernama Rikkard. Yang saya dapatkan adalah data di mana yang tertulis jelas ibu kandung Rikkard adalah Nyonya Audrey. Tapi yang membuat saya sedikit bingung, nama ayah kandung Rikkard adalah Tuan Athes Russel. Usia Rikkard masih berusia 2 tahun. Sedangkan Anda dan Nyonya Audrey bercerai tiga tahun yang lalu. Dan waktu
Beberapa bulan kemudian … Tokyo, Japan. “Rikkard … Rachel … jangan bermain di air mancur. Nanti kalian terjatuh.” Audrey hendak menghampiri kedua anaknya yang tengah asik bermain di air mancur. Akan tetapi gerak Audrey terhenti kala Xander menahan lengannya.“Sayang, ada pengawal yang menjaga anak-anak kita. Tidak usah mencemaskan mereka.” Xander menarik tangan Audrey, masuk ke dalam pelukannya, dan mengecupi puncak kepala sang istri. Musim semi di Tokyo sangatlah indah. Bunga-bunga sakura bermekaran tumbuh dengan sangat sempurna.Audrey tersenyum samar. Rikkard dan Rachel memang anak yang sangat aktif. Dua kakak beradik itu kerap membuat Audrey sedikit pusing akibat dua anaknya terlalu aktif. Well, meski demikian tentu hidup Audrey penuh warna. Kehadiran Rikkard dan Rachel melengkapi kebahagiaannya dengan Xander. “Xander, aku senang sekali Serry dan Frank sudah menikah. Aku berharap mereka bisa segera mendapatkan anak dan hidup bahagia seperti kita,” ujar Audrey hangat mengingat
Pagi yang cerah membaur dengan suara kicauan burung. Sinar matahari menyinari bumi begitu indah. Tampak Audrey sibuk di ruang makan membuat pudding cokelat dan strawberry kesukaan anak-anaknya. Hari ini kedua anaknya akan pulang dari rumah orang tuanya. Itu kenapa Audrey khusus membuatkan pudding. Satu hari tak bertemu kedua anaknya itu membuat Audrey benar-benar merindukan kedua anaknya. Walau sebenarnya memang kedua anaknya kerap menjadi rebutan kedua orang tuanya dan kedua orang tua Xander.“Nyonya, apa Anda membutuhkan bantuan?” tanya seorang pelayan pada Audrey.“Tidak usah. Ini sudah selesai.” Audrey menyimpan pudding buah ke kulkas “Kau kerjakan pekerjaanmu yang lain saja.”“Baik, Nyonya. Saya permisi.” Pelayan itu menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Audrey.Saat Audrey sudah memasukan pudding buah ke dalam kulkas, Audrey berbalik, dan hendak melangkah keluar meninggalkan dapur, menghampiri Xander yang berada di ruang kerjanya. Namun tiba-tiba tanpa sengaja
Pelupuk mata Audrey bergerak-gerak, menandakan wanita itu akan segera membuka matanya. Malam yang sunyi dan gelap, membuat Audrey tertidur sangat nyaman. Akan tetapi, suara ketukan pintu yang berasal dari luar menjadi pemicu Audrey yang terlelap itu langsung terbangun dari tidur lelapnya.Audrey membuka mata, menyeka sedikit kedua matanya, lalu melihat ke samping—Xander sudah tidak ada di sana. Tampak Audrey mengembuskan napas panjang. Tatapan Audrey melihat ke tubuhnya sendiri—yang sudah memakai gaun tidur. Audrey ingat setelah pergulatan panasnya dengan sang suami, Audrey langsung tertidur pulas. Kalau sekarang dirinya sudah memakai gaun tidur, pasti suaminya itu yamg memakaikannya.“Xander pasti ada di ruang kerjanya.” Audrey menghela napas dalam. Audrey yakin kalau tadi ketika dirinya tidur, suaminya pergi ke ruang kerja. Padahal Audrey sudah dibuat lemas oleh sang suami. Tapi malah suaminya masih saja memiliki energy untuk memeriksa pekerjaan.Suara ketukan pintu masih terdengar.
Menjadi ibu rumah tangga sekaligus memimpin perusahaan membuat Audrey sempat kesulitan. Ditambah perusahaannya yang ada di Jepang benar-benar berkembang pesat. Membuat Audrey harus mengawasi dengan teliti.Dulu, Audrey memang fokus membesarkan perusahaannya di Jepang karena Audrey pikir dirinya akan menetap selamanya di Jepang, tapi siapa sangka kalau apa yang Audrey pikirkan salah. Takdir tetap membawanya kembali pada Xander. Menikah lagi dengan pria yang sejak dulu dia cintai.Beberapa tahun terakhir ini, sejak Rachel lahir, Audrey memang sangat fokus pada membesarkan kedua anaknya. Tentu, Audrey tidak melepas tanggung jawabnya akan perusahaannya. Selama ini, Audrey dibantu oleh Tina—asistennya—dalam mengurus perusahaan yang ada di dalam atau luar negeri.Tak hanya Tina saja, Xander pun kerap membantunya. Sedangkan Zack dan Rainer, dua adik Audrey itu memang fokus pada pendidikan di Boston. Adapun cabang perusahan yang Zack dan Rainer urus adalah cabang perusahaan di Amerika.“Sayan
“Rikkard, Rachel, ayo ini sudah waktunya kalian berangkat sekolah. Hari ini Mommy dan Daddy akan mengantar kalian ke sekolah.” Audrey berseru meminta Rikkard dan Rachel untuk cepat menghampirinya.Khusus hari ini, Audrey dan Xander memang akan mengantar Rikkard dan Rachel sekolah. Audrey dan Xander sengaja menyekolahkan Rikkard di satu sekolah dengan Rachel. Tujuan utama tentu agar Rikkard bisa selalu menjaga Rachel.“Ya, Momny. Aku dan Kak Rikkard sudah siap.” Rachel menghampiri Audrey bersama dengan Rikkard. Gadis kecil itu sudah rapi dan cantik dengan seragamnya. Rambut pirang Rachel diikat ke atas, membuat gadis itu seperti boneka hidup. Pun di samping Rachel ada Rikkard yang sangat tampan memakai seragam sekolahnya. Diusia yang masih 6 tahun, Rikkard memiliki tubuh yang tinggi menurun dari Xander.“Anak Mommy sangat tampan dan cantik.” Audrey mencium pipi Rachel dan Rikkard bergantian. Memeluk dengan erat kedua anaknya itu.“Aku cantik seperti Mommy. Kak Rikkard tampan seperti Da
Piazza Navona, Roma, Italia. “Rikkard, jaga adikmu. Jangan jauh-jauh dari adikmu.” Audrey berseru melihat Rikkard yang tengah berlari-lari bermain dengan Rachel. Meski ada empat pengawal yang menjaga Rikkard dan Rachel tetap saja Audrey mencemaskan kedua anaknya itu.“Sayang, mereka aman. Kau tenang saja.” Xander membelai pipi Audrey dan memberikan kecupan di sana.“Audrey, biarkan Rikkard dan Rachel bermain. Rikkard pasti menjaga adiknya dengan sangat baik. Lagi pula mereka tidak pergi jauh dari kita,” sambung Angela hangat.“Benar, Sayang. Kau tidak usah khawatir,” ucap Miranda lembut mengingatkan putrinya.Audrey tersenyum dan menganggukan kepalanya. Kini Audrey bersama dengan suami, anak, serta orang tua dan mertuanya berada di Piazza Navona. Mereka tengah duduk bersantai menikmati cuaca pagi yang cerah. Berada di tempat ini adalah permintaan Audrey.Audrey merasa jenuh selalu duduk di restoran mahal. Kali ini Audrey ingin lebih menikmati hidup dalam kesederhanaan. Piazza Navona
Audrey duduk bersimpuh di lantai seraya memeluk lututnya. Air mata Audrey berlinang deras setelah perdebatannya tadi dengan Xander. Isak tangis Audrey terdengar pilu. Sudah lama sekali Audrey tak pernah bertengkar dengan Xander. Ini benar-benar sangat menyakitkan.Audrey tidak pernah bermaksud untuk membahas masa lalu. Tapi, semua bermula dari Xander yang menyudutkan dirinya. Padahal berkali-kali Audrey sudah menjelaskan pada Xander bahwa dirinya dan Alan tak memiliki hubungan apa pun. Namun, kecemburan telah membutakan Xander, membuat pria itu sampai meledak.“Kau jahat, Xander,” isak Audrey sesegukan.Pintu kamar terbuka perlahan. Xander berdiri di ambang pintu, menatap Audrey yang menangis. Ya, saat ini Audrey tengah berada di kamar tamu. Setelah terdebatannya tadi dengan Audrey, istrinya itu pergi menjauh darinya. Tentu, Xander langsung menyusul. Terlebih dikala tadi sang istri sempat menyebut-nyebut kata ‘Cerai’, membuat Xander menjadi tak tenang.Xander terdiam sebentar. Hati Xa
“Rikkard masuk ke kamarmu.” Xander berucap tegas pada putra sulungnya, kala pria itu bersama dengan istri dan anaknya sudah berada di mansion—yang sudah tiga tahun ini mereka tempati.“Oke, Daddy.” Rikkard patuh akan ucapan Xander. Bocah laki-laki itu langsung melangkah menuju kamar, tanpa sedikit pun melawan. Setelah dari rumah sakit, Xander memang langsung mengajak Audrey dan Rikkard untuk pulang. Xander tak mau membiarkan istri dan anaknya berlama-lam di rumah sakit. Tentu, semua urusan telah Xander bereskan.“Sayang, kenapa kau tidak menasihati Rikkard dulu? Dia bersalah, Sayang.” Audrey memprotes Xander yang meminta Rikkard untuk pergi begitu saja. Padahal harusnya Xander memberikan teguran pada Rikkard yang telah mendorong Blaire sampai membuat lutut Blaire terluka cukup parah.“Blaire juga bersalah. Dia mencium Rikkard. Kau jelas tahu Rikkard tidak mudah dekat dengan orang lain,” ucap Xander dingin dan menegaskan. Xander membela Rikkard. Nada bicaranya menunjukan bahwa apa yang
Note; Karena banyak yang minta extra part tampil di sini, jadi abi rilis di sini juga ya. Follow IG: abigail_kusima95 (Info seputar novel ada di IG) Tiga tahun berlalu …Audrey turun dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumah sakit, menelusuri koridor rumah sakit. Tampak raut wajah Audrey begitu panik dan penuh rasa khawatir. Degup jantung Audrey berpacu dengan cepat. Benaknya sejak tadi tak bisa tenang tepat ketika guru sekolah Rikkard menghubungi dirinya, dan mengabarkan putranya terlibat masalah. Entah masalah apa, pihak guru mengatakan padanya tidak bisa memberitahu di telepon.“Nyonya Foster,” seru Myla Zahnee—guru di sekolah Rikkard menyapa Audrey dengan penuh sopan.“Ms. Zahnee.” Audrey lega akhirnya melihat guru sekolah putranya. Namun, tatapan Audrey pun langsung teralih pada Rikkard yang ada di samping Ms. Zahnee. Sepasang iris mata Audrey mulai menatap lekat putranya yang sejak tadi hanya diam dan memasang wajah dingin. Jika sudah seperti ini, maka Rikkard pasti sedang k