Iseng, aku ikut memainkan mainan milik Resti yang berupa kompor plastik dan penggorengan ukuran mini. Biji mataku tak bisa diam pada satu pandangan saja. Beberapa kali aku mencuri ke sudut di mana sosok lelaki menyeramkan itu muncul. Ya, meski aku tak bisa melihat pohon mangganya. Letaknya di dalam gang yang terhalangi pagar bambu setinggi dada.
"Ini bukan sapu ijuk, Dek Faris. Ini itu rambut kuntilanak."Detik selanjutnya yang terjadi, kami saling pandang dengan raut wajah tak percaya. Benarkah apa yang dikatakan Pak Lurah, ataukah itu hanya cara agar kami tak seenaknya nanti. Agar kami bisa menjaga sopan santun. Jika itu hanyalah cara untuk mengikat tingkah laku kami, bagiku sangatlah tak lucu. Pak Lurah telah membangun rasa takut, setidaknya padaku. Jika ada tempat lain selain di balai ini untuk ditinggali, aku pasti menjadi orang pertama yang setuju.Rahmad mundur tanpa komando. Begitu pun dengan Faris yang langsung meloncat ke belakang tubuh Subur.
"Dia berdiri di sana, mengawasimu." Sahira menunjuk sosok itu.Aku tergemap. Seperti terserap dalam dimensi berbeda. Kerja jantungku mendadak melemah. Ya Allah! pekikku dalam hati. Lamat-lamat kekosongan di depan mataku memudar. Sosok yang digambarkan Sahira termanifestasikan. Tergelak. Melambaikan tangannya--seolah memanggilku. Sosoknya pucat. Membungkuk dengan tangan kanannya diletakkan di punggung. Ketika tersenyum, deret gigi hitamnya terselimut liquit warna pekat. Darah, ya ... itu darah."Tutup mata, Fi!"Teriakan itu amat kukenal ... Sahira. Kumenoleh ke arahnya. Oh, pandanganku jadi kabur. Sahira tertelan dalam kabut merah yang pekat.Sekali lagi ...,"Fi! Tutup mata!"Tutup mata, Fi?Dan aku pun menutup mataku perl
"Ono opo, Sah? Ojo meden-medeni." (Ada apa, Sya? Jangan menakuti) Nabila langsung menarik pergelangan tanganku, menggenggamnya erat."Sah, siapa Makhluk itu?" tanyaku penasaran. Pikiranku sudah menduga-duga.Bibir Sahira tertarik cepat. Garis masamnya terganti lengkung yang tersungging lebar."Nggak ada apa-apa, aku hanya salah bicara," tepisnya."Oh, kukira ada apa." Nabila melepas cekalannya. Mengelus dada yang kuyakini su
Pikiranku sedang merambang kemana-mana. Materi yang tengah disampaikan Pak Lurah pun berakhir masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Aku tertahan pada ingatan tadi pagi, di mana ular yang kutemui untuk kedua kalinya, menghilang tiba-tiba ketika memanggil Sahira dan yang lain. "Mikirin apa?" Tepuk Sahira pada pahaku, pelan.Aku tergeragap. Refleks menoleh padanya dan menggelengkan kepala."Yakin, kamu?" lirihnya."Yakin. Sudah dengarkan," pintaku.
"Sah---" panggilku terbatah.Masih dengan kondisi tubuhnya yang mengejang, Sahira bergumam tak jelas. Matanya membelalak. Tangannya mengepal kuat. Sesaat kemudian dia diam. Mulutnya terkatup. Giginya mengerat sampai mengeluarkan suara gemeletuk."Sha?" panggilku sekali lagi. Aku mendekat perlahan. Sedikit merendahkan tubuh. Sahira telentang di lantai. Situasi yang berhasil meningkatkan adrenaliku. Takut. Aku sadar yang bersamaku bukanlah Sahira."Istigfar, Sah."Sahira mengamatiku. Biji matanya bergerak ke atas. Seakan sebagian dari isi netranya sepenuhnya sklera."Hmm ... hmmm ... ngaleh. Minggat!" teriaknya kencang.Aku terseok mundur. Terganjal kakiku sendiri, tubuhku kehilangan keseimbangan dan jatuh dengan posisi duduk.Sahira
Sang perkasa siang hampir menyelupkan tubuhnya ke garis cakrawala saat kami berbelok ke kiri dari pertigaan jalan. Rumah yang kami duga milik Samarni berada tepat di sisi kanan dengan pembatas pagar besi hitam berkarat. Cat pagar itu menggelembung dan terkelupas. Rumahnya minimalis. Halamannya tak terlalu luas. Kanan dan kiri diapit lahan kosong. Terasing. Seolah berada dalam dimensi lain penuh jerit, luka dan keprihatinan."Ini rumahnya?" Nada suara Sahira antusias.Aku yang berdiri di belakang perempuan berjilbab hitam itu kian beringsut. Mengenggam erat ujung pakaiannya."Sepertinya begitu," jawab Haqi. Bola matanya menyisir area dalam. "Benar-benar nggak terawat." Kepalanya terdongak. "Atap bangunannya ringkih dan keropos di mana-mana.""Kalian bukan pemburu hantu, kan?" sergahku kesal, "B
Majelis bernama evaluasi di bawah komando Subur itu sudah berjalan hampir dua jam. Sebagai ketua, seperti biasa dia bakal bercuat-cuit tanpa jeda. Tak ada hubungannya dengan proker. Lari sana lari sini. Timpal sana timpal sini. Endingnya, lelaki bertubuh jangkung itu bakal memamerkan diri----dialah penjilat ulung yang mampu memikat hati Pak Lurah.Sahira menempelkan pipinya di bahuku. Ya, tubuh bongsorku bisa jadi bantal dadakan. Dia menguap terus menerus. Skeleranya merah. Beberapa kali menggerutu karena rapat tak kunjung usai. Sesekali kutepok pahanya saat uap panas menerpa leherku. Sahira tertidur. Bangun, atau besok pagi dia akan berakhir mengisi tugas dadakan. Mendata kartu keluarga warga desa, program pribadi Subur untuk mempertajam kepercayaan Pak Lurah. Mengingat itu, Sahira mencoba bertahan pada sisa kesadarannya. Menarik ujung kedua kelopak mata den
Pukul dua pagi. Insomnia mengakari mataku, mencengkeramnya kuat. Langit-langit berinternit embos bunga satu-satunya pemandangan yang dapat kunikmati. Kenyataannya, Insomnia ini akulah yang mengundangnya. Mataku terlalu takut untuk mengatup. Kegelapan seperti serdadu kejam yang bakal menguliti dan mengoyak tubuhku tanpa ampun.Ya, setiap kali netra terpejam, tubuhku seolah dilambungkan tinggi-tinggi. Seluruhnya ruang kosong nan luas. Lalu, ketika napasku tercekik----tak lagi dapat asupan oksigen----tubuhku dilepas. Terjun bebas. Saat menyentuh tanah, rasa sakit yang nyata itu membangunkanku. Membuat kerja jantung lebih berat dari sebelumnya. Mimpi seperti itu akan terus berulang, jika mencoba tidur.Kembali indra penglihatanku berpindah dari kotak internit satu ke yang lain. Sebagian bermotif sama. Sebagian lagi berbeda. Belah ketupat dengan sulur-sulur m
Tiara duduk di tepi ranjang mengusap perutnya yang kian membesar. Basri di sampingnya membuat racikan berupa spirtus dan jahe. Kaki Tiara mulai bengkak. Usia kehamilannya memasuki bulan ke delapan. Waktu menanti kelahiran sudah di depan mata. Dan, ramuan itulah yang dipercaya bisa mengempiskan bengkak kakinya. Selain bengkak rasanya sakit sekali. Tiara kesulitan berjalan dengan kaki seperti itu. Alas kaki tak ada yang muat. Menarik rambutnya ke belakang dan membuat sanggul kecil, lalu menyisipkan bulu landak untuk mengencangkan. Bulu landak penangkal makhluk halus. Pemberian ayah mertuanya. Seperti itu kepercayaan orang di sini. Tiara tak boleh meninggalkan bulu landak itu jika ingin berpergian kemanapun—kecuali ke kamar mandi. "Angkat kakinya," pinta Basri.Tiara mengangkat kedua kakinya yang bengkak ke atas ranjang. Sebelumnya Basri telah mengalasi kaki Tiara dengan kain yang tak dipakai. Basri mengoleskan ramuan itu di sekujur kaki Tiara. Rasanya dingin lalu hangat. Entah ini ber
Undangan dari sahabat baik Basrilah yang membuat Tiara dengan perut buncitnya karena hamil pergi di malam hari. Tradisi di sini, jika masih hamil muda, tidak diperbolehkan keluar malam tanpa perlindungan. Tiara tak memiliki bulu landak yang menjadi keyakinan orang di desa Basri. Bulu landak itulah yang menjadi penangkal dari gangguan sihir dan makhluk halus. Adzan isya telah bekumandang. Motor Basri berderu menembus kelengangan. Sesaat lalu baru saja turun hujan, saat Tiara berangkat rintik kecil masih tertinggal—tetapi tak begitu mengkhawatirkan. Hujan itu tidak akan menjadi besar lagi, karena bintang-bintang mulai bermunculan di langit.Berbekal jaket tebal yang membungkus tubuhnya, Tiara melindungi calon bayi dalam perutnya agar tetap hangat. Mantra doa dan dzikir yang dia lantunkan sebagai tameng pribadi. Banyak cerita yang beredar, jika wanita hamil tanpa bulu landak sama saja cari mati. Ada yang mengatakan bayi dalam perut akan lahir dengan membawa godaan da
Malam selanjutnya, setelah pembahasan tentang makhluk astral semalam, Basri jadi takut ke kamar mandi sendiri. Basri membangunkan Tiara yang lelah seharian bekerja rumah tangga, setelah mengajar di pagi harinya. "Kamu nggak mau ke kamar mandi?" tanya Basri langsung sesaat setelah Tiara terjaga dari tidur."Kan, tinggal ke kamar mandi?" Tiara tahu Basri takut. Saatnya balas dendam. Kemarin, saat Tiara meminta Basri mengantarkannya ke kamar mandi karena lampu kamar mandi sedang mati, Basri tak mau mengantarkan. Alasannya mengantuk. Tiara berakhir ke kamar mandi seorang diri. Hampir terpeleset karena tak ada penerangan sama sekali. Untung saja Tiara sigap, berpegangan pada pinggiran kamar mandi. Kalau sampai jatuh, kepala Tiara pasti berakhir membentur sumur.Sekarang giliran dia yang balas dendam. Tiara mendengar permintaan Basri itu, tetapi Tiara pura-pura tidak mendengar. Tetap memejamkan mata meski Basri memohon untuk diantar.
Tiara baru saja sampai rumah, ketika ada dua orang yang duduk di ruang tamu, bersama nenek Basri. Itu paman Basri bersama istrinya. Tiara bergabung dalam obrolan. Duduk di sofa. Nenek Basri pergi ke dapur untuk menyiapkan makan. Adat di sini, ketika ada tamu yang berkunjung, mereka akan dijamu bak raja. Diperlakukan dengan sangat baik.Dua teh masih mengepul—pertanda jika mereka baru saja duduk. Sepiring roti rasa durian menjadi peneman mengobrol sembari menyesap minuman. Paman Basri merokok. Tembakau. Ini pertama kalinya Tiara mengetahui jenis rokok seperti itu. Rokok tembakau yang sebelum dinikmati, harus dibuat sendiri. Kata Basri, karena Tiara banyak melihat penjual tembakau itu di jalan-jalan, harga tembakau lebih murah dibandingkan rokok produksi pabrik.Obrolan berlanjut. Terkait bagaimana Tiara. Apakah nyaman di kota barunya. Tiara menjawab dengan senyum. Belum terbiasa jauh dari orang tua. Merasa rindu. Ada rasa canggung. Sedikit rasa tak nyaman. S
B a y i B u n g k u s Makhluk di Tepi Jalan-------- ------- -------- -------------"Kita nggak mau pulang?" Pertanyaan itu Basri lontarkan pada Tiara yang masih asyik berkeliling alun-alun. Sudah beberapa kali Basri mengingatkan jika di sini berbeda dengan kota yang Tiara tinggali. Pulang terlalu malam akan sangat berbahaya. Jalanan sepi. Beberpa sudut jalan pun gelap.Tapi himbauan Basri itu tak Tiara gubris. Dia tetap saja asyik menikmati suasana yang baru yang dia jajaki. Hingga waktu menunjukkan pukul sebelas malam barulah Tiara meminta pulang. Dia sudah lelah bekeliling. Bahkan, matanya kini sudah mengantuk. Basri sempat mendumal dan terlihat kesal. Tak ada pilihan lain selain melewati jalan yang terkenal sepi. Coba Tiara bisa di
B a y i B u n g k u s Kehidupan Baru-------- ------- -------- -------------Bulan memangkas hari dengan cepat. Tahun berlalu tanpa menunggu siapapun. Tibalah pada hari yang sangat Tiara dambakan. Pernikahan. Satu jam lalu, Tiara resmi menjadi istri Basri. Pria yang telah bersamanya sejak semester pertama masa perkuliahan. Lika-liku percintaan, sampai drama kurang setuju keluarga Basri karena Tiara berasal dari kota, hampir saja membuat hubungan Tiara dan Basri kandas di tengah jalan.Pesta pernikahan dua hari dua malam selesai digelar. Tiara tinggal bersama keluarganya satu minggu lagi sebelum akhirnya ikut Basri pulang. Sesuai perjanjian awal, Tiara akan diboyong ke kota Basri untuk akhirnya tinggal di sana.
Motor Basri berbelok ke perempatan jalan. Tak jauh lagi mereka akhirnya sampai. Rumah Barada di tepi sungai. Halamannya luas. Ada surai dari anyaman bambu di depannya. Tiara disambut wanita muda dengan perawakan tambun dan berparas cantik. Dialah Airin, kakak Basri. Tak lama, keluar seorang nenek dengan jalan yang sedikit terseok, dialah pengganti orang Tua Basri. Dari kelas tiga sekolah dasar sampai sekarang, Basri tinggal dan dirawat oleh neneknya. Ibu Basri telah meninggal, sedangkan ayah Basri memilih menikah lagi. Besar jasa nenek Basri padanya. Biaya sekolah, mondok, sampai kuliah, neneknya-lah yang menanggung. Kedatangan Tiara telah ditunggu. Rasa cemas terpatri jelas. Tiara dan Basri pamit berangkat pagi, tetapi hampir pukul sepuluh malam mereka baru tiba di rumah.
B a y i B u n g k u s Suara AsingTiara dan Basri resmi bertunangan. Hari ini Basri meminta izin pada Sri dan Sapardi untuk membawa Tiara merayakan idul fitri di kotanya. Sekaligus mengenalkannya pada keluarga besar. Sri dan Sapardi memperbolehkan, tetapi dengan syarat tak boleh lebih dari satu minggu. Tiara dan Basri betangkat pukul tujuh pagi dengan mengendarai motor. Jarak yang ditempuh lumayan jauh. Kira-kira sekitar empat jam jika menggunakan motor dan bisa lebih dari enam jam ketika menggunakan bus. Basri menerangkan bahwa mereka tak akan langsung pulang, Basri akan mengajak Tiara jalan-jalan lebih dulu.
"Tiara, jaga rumah, ya?" Itu pesan Sri sebelum akhirnya meninggalkan Tiara seorang diri di rumah.Sri, Sapardi, dan Alif harus pulang ke desa karena salah satu kerabat ada yang meninggal dunia. Alhasil, Tiara jadi penunggu satu-satunya. Kumandang azan magrib terdengar. Setelah menunaikan salat, Tiara memasak mie instan untuk mengganjal perut yang seharian tak terisi nasi hanya camilan. Serial televisi favoritnya sudah masuk intro pembuka. Sembari mie instan matang, Tiara menikmati tayangan televisi. Sisa waktu sebelum isya itu dia habiskan bersantai.Kembali azan isya berkumandang. Tiara segera menunaikan salat. Di kamarnya. Televisi ada di ruang tamu. Rakaat pertama dan kedua berjalan mulus. Tak ada hal ganjil yang terjadi. Rakaat keempat, Tiara merasa ada tiupan angin tipis yang menerbangkan mukenah bagian belakang. Kondisi jendela kamar tertutup. Semua pintu tertutup. Pun cuaca tak sedang berangin. Dan anehnya, angin itu hanya di rasakan punggungnya.&nbs