"Ada kesalahan yang telah dilakukan anak-anak di dalam rumah yang bukan milik mereka. Saya tidak tahu kesalahan apa, yang jelas mereka murka. Mereka meminta pembersihan. Dan ... pembersihan macam apa yang mereka inginkan, itu yang masih saya cari tahu. Saya tidak bisa mendapatkan hasil apapun hari ini. Karena mereka bungkam. Bukan saya menakut-nakuti atau membuat tidak tenang, tetapi bisa saja mereka akan mengganggu lagi besok. Berhati-hati dan jangan biarkan siswa dan siswi yang kerasukan hari ini pikirannya kosong."
Perkataan sesepuh desa itu terpatri di ingatan. Mengganggu konsentrasi belajar. Pun membuatnya tak bisa tenang. Sorot mata Tiara tak henti melirik ke arah Vera. Gadis itu duduk di seberang baris pertama. Sejauh ini tak ada tanda-tanda Vera akan mengalami kerasukan. Namun, mengingat kejadi kemarin, Vera mulai menunjukkan tanda-tanda kerasukan ketika jarum jam menunjukkan pukul sembilan. Sekarang masih pukul delapan. Apakah akan terjadi di jam yang sama?
Ti
Kian hari kondisi makin memburuk. Jumlah siswa dan siswi yang mengalami kerasukan terus bertambah. Hari ini hari ke tujuh, dan di hari ini pun kerasukan massal itu masih terjadi. Tempat penyembuhan pun dialihkan dari yang awalnya di mushala menjadi di aula. Jam pelajaran di biarkan kosong. Siswa dan siswi di beri tugas di dalam kelas. Tak dibiarkan melihat proses penyembuhan atau keluar kelas. Jam sekolah tak sampai siang. Ketika bel istirahat berbunyi mereka di perbolehnkan pulang.Tiara mendatangi meja ketua kelas untuk meminta izin ke kamar mandi. Sedari tadi dia menahan buang air kecil. Awalnya ketua kelas tak mengizinkan. Pesan dari wali kelas untuk tidak membiarkan siapa pun keluar kelas tanpa tujuan penting."Tapi ini penting. Aku sudah menahannya sejak tadi. Lagi pula kamar mandi hanya di samping kelas ini.""Ya, sudah ... cepat! Jangan lama-lama."Tiara mengangguk lantas bergegas
Pagi itu semua tampak berbeda. Langit kelabu hanya di daerah sekolah. Udara mendadak dingin menusuk tulang. Benar musim hujan, tetapi suasana yang tercipta sungguh berbeda. Matahati malu-malu menerangi muka bumi. Langit memuran sama seperti suasana yang menyelimuti. Tikar-tikar digelar memenuhi lapangan. Pengeras suara yang jumlahnya dua buah berukuran kecil berdiri di sudut kanan dan kiri lapangan. Langkah kaki berderap. Tikar tersikap sana-sini. Tubuh-tubuh kecil duduk gelisah. Mukenah membalut tubuh mereka. Warna-warni layaknya pelangi. Baju putih bersih berkeliteran. Menara-menara hitam membungkus kepala. Serasi dan teratur. Baris depan di isi siswa dan baris kedua diisi siswi. Berhadapan dengan mereka dewan guru serta ustadz yang diundang langsung pihak sekolah.Tiara duduk paling depan baris perempuan. Mukena katun berenda putih polos pemberian Sri dengan bangga dia kenakan. Mukenah itu baru, aroma mesin masih menguar. Di sampingnya Vera dan Aisyah mengenaka
Tiara tak sendiri menahan tubuh Vera yang meronta-ronta sekaligus ketawa cekikikan. Ada Aisyah dan Santi. Mereka membantu menahan Vera juga. Kondisi kian mencekam ketika siswi yang tak mengikuti kemah mengalami kesurupan juga. Anehnya siswi itu berusaha menyerang siswi yang mengalami kerasukan pertama. Seolah mereka dari dua kubu berbeda dan saling bermusuhan. Istighosah sempat terhenti. Beberapa siswi yang ketakutan, berlari meninggalkan tempat. Mereka menjauh, bahkan masuk ke dalam kelas. Kondisi kian panik, saat salah satu dewan guru perempuan pun tiba-tiba limbung lantas menangis sesenggukan. Situasi makin tak bisa dikendalikan. Melalui pengeras suara, sesepuh desa meminta seluruh siswa kembali. Rasa takut akan menjadi korban kerasukan selanjutnya mencengkeram mereka, tetapi doa merekalah yang akan menutus akar permasalahan. Mereka harus kembali. Menjalinkan doa. Menyelasaikan mantra penangkal agar tak ada lagi kerasukan setelah ini.Perlahan namun pas
Hanya dua suara yang bisa Tiara dengar. Sesepuh dan makhluk itu. Tiara tahu apa tujuannya datang. Gadis itu pun tahu permintaan apa yang dibuat makhluk itu. Permintaan itulah yang akan memutus rantai kesurupan masal ini. Tak akan ada lagi gangguan. Makhluk-makhluk yang merasuki tubuh siswa dan siswi tak akan sekalipun datang lagi. Perlahan Tiara memejamkan mata. Larut dalam komunikasi sesepuh desa bersama makhluk yang mengaku dirinya penguasa perkemahan yang siswa-siswi datangi."Assalamualaikum, Nyi?"Salam itu tak terjawab. Makhluk yang dipanggil Nyi hanya bergumam."Mengapa, Nyi sampai datang kemari. Bukankah saya sudah meminta maaf mewakili anak- anak?""Ora iso (tidak bisa)!" jawabnya ketus."Mulo, menopo Nyai? Wonten syarat ingkang kurang (Kenapa, Nyai? Ada syarat yang kurang?)"Sopo sing dosa, kudu nyuceni dusone. Duduk uwong liyo."( Siapa yang berbuat dosa harus membersihkan dosanya, bukan orang lain)"Inggeh, Nyai
Ya, sekolah Vera baru pertama kali mengutus delegasi. Jika bisa menyabet pemenang, pasti sangat diperhitungkan.Sembari menikmati makan siang sebelum kegiatan pembukaan di buka, mereka mengadakan rapat kecil untuk menyusun strategi agar bisa menjadi pemenang di setiap misi. Persiapan harus matang. Tidak boleh memalukan.Ekstrakulikuler pramuka di sekolahnya pun, merupakan ekstra unggulan. Jadi, membawa penghargaam dan status sebagai pemenang wajib hukumnya. Aaplagi jika mereka berhasi menyabet juara, kesempatan naik tingkat dan dapat menjadi pembimbing teman-teman lain di sekolah terbuka lebar, kapan lagi seangkatan, tingkatan mereka lebih tinggi. Pikiran itu memenuhi otak mereka masing-masing.Hari pertama terlalui, tinggal dua hari lagi. Malam puncak berada di malam kedua, sebelum kemudian berkemas di keesokan harinya. Penjelajahan dilakukan setelah beberes. Lalu, setelah penjelajahan, makan siang yang disediakan panitia, sesi kenang-kenangan, penyebutan
"Aku melihat seorang nenek-nenek di belakang pohon itu, Ve," ujarnya sembari menunjuk pohon tak terlalu besar yang berada di sisi kiri tak jauh dari tempat mereka."Mana? Nggak ada apa-apa itu di sana. Coba kamu lihat. Nggak ada apa-apa, Sar.""Nggak. Nggak. Aku nggak mau lihat. Takut. Ayo, deh, jalan lagi aja," ujarnya, sembari berbalik badan. Kemudian meminta perjalanan dilanjutkan.Tak ada yang berani bertanya lagi terkait dengan apa yang telah dilihat Sarah. Entah untuk membuat Sarah tak bertambah takut, ataukah mereka sendiri pun takut. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain terus berjalan untuk mencari rute yang benar.Pohon itu menjulang tinggi. Seakan mengapit dua jalan. Rombongan mereka memutari pohon itu kemudian mengambil jalan yang berlawanan dari jalan yang mereka ambil sebelumnya. Dan benar saja. Tak lama jalan setapak itu mereka temukan. Dari kejauhan tampak rombongan lain yang sudah berjalan jauh di depan mereka. Rasa se
S E R U P A Based True StoryB a y i B u n g k u sMalam memekat. Penerangan alam menggantung putus asa, redup dengan bentuk tak lagi bulat sempurna. Manik berkilau yang jumlahnya milyaran lenyap dari pengawasan teropong ciptaan Maha Kuasa. Sebagian dari mereka memilih tidur berselimut bulu keabuan hangat. Sebagian lagi tetap pada tugasnya meski berpendar tak berdaya.Di antara kekhusyukan yang bersebati. Kesegaran menitik dari selimut langit. Gerakannya cepat. Berhamburan ke sana-ke mari. Menempati wadah-wadah berlainan. Terkadang muka bumi. Terkadang kain yang melapisi tubuh-tubuh anak Adam. Terkadang dedaunan hijau yang menanti kehadiran mereka dengan ceria.Meski tak menyerbu bersamaan, para tubuh milik Allah itu tetap saja meracau, mendengkus, bahkan merutuki kesegaran penyambung napas mereka.Namun, dari sekian banyak anak Adam yang mulai berte
Suara kereta terakhir di malam ini menandakan saatnya Sri kembali ke peraduan. Raut wajahnya tampak lesu. Ekspresi inilah yang rajin Tiara lihat hampir satu minggu belakangan ini. Tak ada rona ceria. Sri pun jarang bicara. Di lain waktu Tiara sering mendapati Sri duduk termangu. Entah apa yang sedang mengggelayuti pikiran sang ibu, Tiara tak berani menanyakannya. Jika menilik dari gairah Sri yang tak seantusias biasanya dalam berdagang, pasti permasalahan yang mendera tak jauh dari perkara lapak dagangan. Sri menjadi tak bersemangat berdagang.Tiara mengamati segala solah polah Sri dari trotoar taman. Gadis itu tengah melipat tikar tempat pembeli duduk. Sebelumnya dia telah lebih dulu mengumpulkan sampah yang nantinya akan diangkut oleh truk sampah, yang lewat setiap pukul satu dini hari. Harus bersih. Berjualan di sini wajib mengikuti aturan. Ada beberapa iuran dari dinas. Pun dengan kebersihan setelah selesai berjualan, tak boleh ada sisa nasi yang berserakan.
Tiara duduk di tepi ranjang mengusap perutnya yang kian membesar. Basri di sampingnya membuat racikan berupa spirtus dan jahe. Kaki Tiara mulai bengkak. Usia kehamilannya memasuki bulan ke delapan. Waktu menanti kelahiran sudah di depan mata. Dan, ramuan itulah yang dipercaya bisa mengempiskan bengkak kakinya. Selain bengkak rasanya sakit sekali. Tiara kesulitan berjalan dengan kaki seperti itu. Alas kaki tak ada yang muat. Menarik rambutnya ke belakang dan membuat sanggul kecil, lalu menyisipkan bulu landak untuk mengencangkan. Bulu landak penangkal makhluk halus. Pemberian ayah mertuanya. Seperti itu kepercayaan orang di sini. Tiara tak boleh meninggalkan bulu landak itu jika ingin berpergian kemanapun—kecuali ke kamar mandi. "Angkat kakinya," pinta Basri.Tiara mengangkat kedua kakinya yang bengkak ke atas ranjang. Sebelumnya Basri telah mengalasi kaki Tiara dengan kain yang tak dipakai. Basri mengoleskan ramuan itu di sekujur kaki Tiara. Rasanya dingin lalu hangat. Entah ini ber
Undangan dari sahabat baik Basrilah yang membuat Tiara dengan perut buncitnya karena hamil pergi di malam hari. Tradisi di sini, jika masih hamil muda, tidak diperbolehkan keluar malam tanpa perlindungan. Tiara tak memiliki bulu landak yang menjadi keyakinan orang di desa Basri. Bulu landak itulah yang menjadi penangkal dari gangguan sihir dan makhluk halus. Adzan isya telah bekumandang. Motor Basri berderu menembus kelengangan. Sesaat lalu baru saja turun hujan, saat Tiara berangkat rintik kecil masih tertinggal—tetapi tak begitu mengkhawatirkan. Hujan itu tidak akan menjadi besar lagi, karena bintang-bintang mulai bermunculan di langit.Berbekal jaket tebal yang membungkus tubuhnya, Tiara melindungi calon bayi dalam perutnya agar tetap hangat. Mantra doa dan dzikir yang dia lantunkan sebagai tameng pribadi. Banyak cerita yang beredar, jika wanita hamil tanpa bulu landak sama saja cari mati. Ada yang mengatakan bayi dalam perut akan lahir dengan membawa godaan da
Malam selanjutnya, setelah pembahasan tentang makhluk astral semalam, Basri jadi takut ke kamar mandi sendiri. Basri membangunkan Tiara yang lelah seharian bekerja rumah tangga, setelah mengajar di pagi harinya. "Kamu nggak mau ke kamar mandi?" tanya Basri langsung sesaat setelah Tiara terjaga dari tidur."Kan, tinggal ke kamar mandi?" Tiara tahu Basri takut. Saatnya balas dendam. Kemarin, saat Tiara meminta Basri mengantarkannya ke kamar mandi karena lampu kamar mandi sedang mati, Basri tak mau mengantarkan. Alasannya mengantuk. Tiara berakhir ke kamar mandi seorang diri. Hampir terpeleset karena tak ada penerangan sama sekali. Untung saja Tiara sigap, berpegangan pada pinggiran kamar mandi. Kalau sampai jatuh, kepala Tiara pasti berakhir membentur sumur.Sekarang giliran dia yang balas dendam. Tiara mendengar permintaan Basri itu, tetapi Tiara pura-pura tidak mendengar. Tetap memejamkan mata meski Basri memohon untuk diantar.
Tiara baru saja sampai rumah, ketika ada dua orang yang duduk di ruang tamu, bersama nenek Basri. Itu paman Basri bersama istrinya. Tiara bergabung dalam obrolan. Duduk di sofa. Nenek Basri pergi ke dapur untuk menyiapkan makan. Adat di sini, ketika ada tamu yang berkunjung, mereka akan dijamu bak raja. Diperlakukan dengan sangat baik.Dua teh masih mengepul—pertanda jika mereka baru saja duduk. Sepiring roti rasa durian menjadi peneman mengobrol sembari menyesap minuman. Paman Basri merokok. Tembakau. Ini pertama kalinya Tiara mengetahui jenis rokok seperti itu. Rokok tembakau yang sebelum dinikmati, harus dibuat sendiri. Kata Basri, karena Tiara banyak melihat penjual tembakau itu di jalan-jalan, harga tembakau lebih murah dibandingkan rokok produksi pabrik.Obrolan berlanjut. Terkait bagaimana Tiara. Apakah nyaman di kota barunya. Tiara menjawab dengan senyum. Belum terbiasa jauh dari orang tua. Merasa rindu. Ada rasa canggung. Sedikit rasa tak nyaman. S
B a y i B u n g k u s Makhluk di Tepi Jalan-------- ------- -------- -------------"Kita nggak mau pulang?" Pertanyaan itu Basri lontarkan pada Tiara yang masih asyik berkeliling alun-alun. Sudah beberapa kali Basri mengingatkan jika di sini berbeda dengan kota yang Tiara tinggali. Pulang terlalu malam akan sangat berbahaya. Jalanan sepi. Beberpa sudut jalan pun gelap.Tapi himbauan Basri itu tak Tiara gubris. Dia tetap saja asyik menikmati suasana yang baru yang dia jajaki. Hingga waktu menunjukkan pukul sebelas malam barulah Tiara meminta pulang. Dia sudah lelah bekeliling. Bahkan, matanya kini sudah mengantuk. Basri sempat mendumal dan terlihat kesal. Tak ada pilihan lain selain melewati jalan yang terkenal sepi. Coba Tiara bisa di
B a y i B u n g k u s Kehidupan Baru-------- ------- -------- -------------Bulan memangkas hari dengan cepat. Tahun berlalu tanpa menunggu siapapun. Tibalah pada hari yang sangat Tiara dambakan. Pernikahan. Satu jam lalu, Tiara resmi menjadi istri Basri. Pria yang telah bersamanya sejak semester pertama masa perkuliahan. Lika-liku percintaan, sampai drama kurang setuju keluarga Basri karena Tiara berasal dari kota, hampir saja membuat hubungan Tiara dan Basri kandas di tengah jalan.Pesta pernikahan dua hari dua malam selesai digelar. Tiara tinggal bersama keluarganya satu minggu lagi sebelum akhirnya ikut Basri pulang. Sesuai perjanjian awal, Tiara akan diboyong ke kota Basri untuk akhirnya tinggal di sana.
Motor Basri berbelok ke perempatan jalan. Tak jauh lagi mereka akhirnya sampai. Rumah Barada di tepi sungai. Halamannya luas. Ada surai dari anyaman bambu di depannya. Tiara disambut wanita muda dengan perawakan tambun dan berparas cantik. Dialah Airin, kakak Basri. Tak lama, keluar seorang nenek dengan jalan yang sedikit terseok, dialah pengganti orang Tua Basri. Dari kelas tiga sekolah dasar sampai sekarang, Basri tinggal dan dirawat oleh neneknya. Ibu Basri telah meninggal, sedangkan ayah Basri memilih menikah lagi. Besar jasa nenek Basri padanya. Biaya sekolah, mondok, sampai kuliah, neneknya-lah yang menanggung. Kedatangan Tiara telah ditunggu. Rasa cemas terpatri jelas. Tiara dan Basri pamit berangkat pagi, tetapi hampir pukul sepuluh malam mereka baru tiba di rumah.
B a y i B u n g k u s Suara AsingTiara dan Basri resmi bertunangan. Hari ini Basri meminta izin pada Sri dan Sapardi untuk membawa Tiara merayakan idul fitri di kotanya. Sekaligus mengenalkannya pada keluarga besar. Sri dan Sapardi memperbolehkan, tetapi dengan syarat tak boleh lebih dari satu minggu. Tiara dan Basri betangkat pukul tujuh pagi dengan mengendarai motor. Jarak yang ditempuh lumayan jauh. Kira-kira sekitar empat jam jika menggunakan motor dan bisa lebih dari enam jam ketika menggunakan bus. Basri menerangkan bahwa mereka tak akan langsung pulang, Basri akan mengajak Tiara jalan-jalan lebih dulu.
"Tiara, jaga rumah, ya?" Itu pesan Sri sebelum akhirnya meninggalkan Tiara seorang diri di rumah.Sri, Sapardi, dan Alif harus pulang ke desa karena salah satu kerabat ada yang meninggal dunia. Alhasil, Tiara jadi penunggu satu-satunya. Kumandang azan magrib terdengar. Setelah menunaikan salat, Tiara memasak mie instan untuk mengganjal perut yang seharian tak terisi nasi hanya camilan. Serial televisi favoritnya sudah masuk intro pembuka. Sembari mie instan matang, Tiara menikmati tayangan televisi. Sisa waktu sebelum isya itu dia habiskan bersantai.Kembali azan isya berkumandang. Tiara segera menunaikan salat. Di kamarnya. Televisi ada di ruang tamu. Rakaat pertama dan kedua berjalan mulus. Tak ada hal ganjil yang terjadi. Rakaat keempat, Tiara merasa ada tiupan angin tipis yang menerbangkan mukenah bagian belakang. Kondisi jendela kamar tertutup. Semua pintu tertutup. Pun cuaca tak sedang berangin. Dan anehnya, angin itu hanya di rasakan punggungnya.&nbs