Sinar matahari menerobos masuk, menciptakan kilauan lembut pada penutup ranjang dari bahan sutra. Bahan yang sama melapisi sofa pada kamar utama di kediaman Garvin. Kara berangkat dari ranjang, membuka lebar tirai. Membuka akses sebanyak mungkin sinar matahari masuk ke kamar, dia membutuhkan penerang cahaya untuk berpikir.
Ia berjalan menghampiri foto Amara, bersidekap memandang raut rupawan wanita yang tersenyum bahagia di foto. Amara tak pernah berada di posisi terendah dalam kasta masyarakat, jika ia tahu betapa berharga cinta seorang suami. Amara tak akan melakukan hal hina di belakang Garvin.
"Kamu memandang kembaran mu, sayang?" Aroma mint menyentuh indra penciuman Kara, rangkulan Garvin di pinggang Kara, membuat ia menoleh dan mendapatkan ciuman pagi dari Garvin.
Kembaran? dia mengatakan kembaran Amara. Hanya dalam imaginasi mu, Garvin! Aku tak sudi disamakan dengan Amara Bunga Kayla. Jerit Kara dalam hati.
"Ia, dia sangat cantik dan penuh peso
Manusia adalah makhluk yang memiliki rasa ingin tahu besar, suatu hal mendasari lahir pengetahuan dan teknologi. Dorongan ingin tahu positif melahirkan penemuan yang baik dan bermanfaat. Berbanding terbalik dengan dorongan negatif yang berdampak buruk bagi pemilik keingintahuan tersebut.Sekarang dalam kasus Amara. Keingintahuan ini akankah melahirkan kehidupan yang bermanfaat untuk ku? kata Kara dalam benaknya. Dia telah tiba di Paradita Mall, kembali menuju toilet untuk berganti pakaian.Kara terdiam sejenak, dia keluar dari bilik toilet. Memperhatikan bayangan di cermin wastafel, memoles lipstik merah agar wajahnya tak tampak pias. Setelah memastikan wajah kembali segar, Kara bergegas membeli keperluan untuk keluarganya. Seperti yang ia sampaikan kepada Garvin, alasan keluar hari ini.Ia belanja dengan cepat, berharap semua sesuai ukuran untuk keluarga di kota kelahiran Kara. Ben telah menunggu di lobby mall, dia pria berwajah kaku, datar, jarang tersen
Kehidupan macam apa yang sebenarnya ku inginkan? bergelimang harta tapi beban pikiran menyelimuti diri setiap saat, atau hidup sederhana tapi bahagia seperti ketika bersama orangtua dan adik-adikku. Hmmm, tapi benarkah aku bahagia kala itu? Bahagia dengan perut pedih menahan lapar, sepatu usang di bawah tatapan mengejek murid lain di sekolah? apakah aku bahagia? Jangan-jangan aku tak pernah tahu apa rasa bahagia, karena memang tak pernah ku rasakan.Kara menghembuskan napas panjang seiring pikiran yang melintas dalam benaknya. Dia sedang memandang taman indah di belakang kediaman Garvin tanpa hasrat, sambil meneguk teh perlahan. Secangkir teh yang di dapatkan Kara setelah berdebat dengan pelayan dan Robert setengah jam lalu. Membuat bibirnya melengkung memandang cairan dalam cangkir porselen yang mahal. Setidaknya kata pelayan tak tahu diri tadi."Buatkan aku secangkir teh." perintah Kara ketika dia baru selesai mengantar Garvin pergi bekerja. Pelayan berpakaian
Kemewahan adalah sesuatu yang tak mampu dimiliki. Sekarang ketika apa yang di kehendaki bisa dengan mudah ada di tangan, tanpa perlu memikirkan nominal tertera? bisakah itu di sebut mewah? Sebuah pertanyaan hadir kembali tentang arti kemewahan dalam dirinya, lalu dia kembali bertanya dalam hati. Apakah kebebasan sekarang merupakan kemewahan? Kara memandang pantulan dirinya, cermin membalikkan posisi objek yang ada di depannya. Kanan menjadi kiri, kiri menjadi kanan. Dia melirik midi dress yang berada di atas ranjang. Garvin telah memilih apa yang akan digunakannya hari ini. "Ben akan mengantarkanmu untuk bertemu, Feli?" Garvin memasang jas di tubuh ramping atletis miliknya. Dia begitu menawan, Kara masih ingat pembicaraan 'siapa wanita' Garvin di Paraduta Group, selalu menjadi topik favorit yang dibahas sembunyi-sembunyi oleh sebagian besar karyawati. Bisa jadi mereka terjungkal karena shock jika tahu Kara adalah istri Garvin. "Terlalu mencolok jika Ben yang
"Kamu mengirim pengawal untuk mengawasi ku?" Kara menghampiri Garvin di meja kerjanya. Pria itu melirik sebentar, lalu kembali berkutat dengan lembaran kertas kerja dan laptop. Ia mengabaikan keberadaan Kara, seakan dirinya transparan tak terlihat dalam pandangan Garvin. Kara memejam matanya sejenak, lalu membuka kembali. Ia berusaha meredamkan perasaannya yang bercampur aduk, sementara jemari lentik Kara menggapai meraih tangan Garvin. "Aku bertanya padamu, Garvin." Pria itu menyingkirkan tangan Kara, ia menggaruk telinga. Seakan di telinganya kalimat Kara terdengar seperti dengungan nyamuk. "Aku memastikan kamu aman, sayang. Seharusnya ucapan terimakasih yang ku terima." "Kamu tidak perlu melakukan itu. Aku membutuhkan waktu pribadi sendiri. Pengawasan yang kamu lakukan ... menganggu ku." "Menganggu katamu." Suara Garvin terdengar kasar. Ia berdiri melewati tinggi Kara. "Lalu untuk apa menggunakan rambut palsu, kemudian mengunjungi tempat favorit Am
Kara meremas sprei sutra berkali-kali. Mencoba mengartikan tatapan dan senyuman dingin Garvin. Kara tak akan menganggap respon yang diberikan suaminya suatu hal yang janggal. Jika tidak ada kejadian antara ia dan Bastian. Kembali ucapan Garvin kemarin terlintas dalam benak Kara. 'Aku harus membereskan ulahmu'."Kenapa menatap ku terus menerus, Kara. Lebih baik kamu membantu mengancingkan kemeja ku, daripada duduk seperti orang tolol di pinggir ranjang." Garvin menatap Kara dari pantulan di depan cermin.Kara menyeret langkahnya menghampiri Garvin. Ia berusaha bersikap normal memasangkan kancing di lengan kemeja Garvin."Wajahmu pucat? Jangan katakan kamu sedih dengan kematian mantan suami mu.""Tidak ... bukan itu. Ha-nya saja, terasa terlalu kebetulan." Kara menengadah mengumpulkan keberanian yang telah menguap. "Kemarin, kamu mengatakan akan membereskan ulah ku, ketika Bastian menandai akun sosial media ku sebagai pelacur.""Aku tidak tahu
Kara kembali ke salon Natural Beauty. Setelah berganti pakaian, ia menelpon Ben agar menjemputnya. Kehidupan terasa berjalan aneh bagi Kara. Garvin menginginkan ia menjadi istri, tetapi tak sudi memperkenalkan kepada publik. Ia mencukupi kebutuhan Kara, tetapi mengontrol penuh semua tindak-tanduk Kara. Kebaikan yang terasa janggal. Kematian Amara dan Bastian juga masih menjadi tanda-tanya bagi Kara. Apakah aku harus acuh saja. Nikmatin kemewahan yang ada tanpa perlu bekerja keras. Mengabaikan apa yang terjadi di masa lalu dengan Amara. Pertanyaan itu melintas dalam benak Kara. Mobil Ben telah terlihat, Kara memasang wajah datar ketika memasuki mobil. Ia tak mau berbasa-basi dengan Ben. "Langsung pulang, Nyonya Ra?" tanya Ben dari spion mobil. "Iya." Kara memandang keluar jendela. Kebosanan mulai menyentuh hatinya. Ia tak tahu kapan akan berakhir semua ini. Menjadi istri yang hanya bayangan masa lalu orang lain. Ditambah dugaan tentang kema
Kara baru saja terlelap ketika alarm membangunkan tidurnya. Mata Kara mengerjap berkali-kali menahan kantuk yang masih menetap di kelopak matanya. Tidur Kara tak nyenyak, ia kembali mimpi buruk. Sudah lama ia tak merasakannya sekarang hadir kembali.Tangan Kara meraba samping tubuhnya hanya untuk merasakan sprei dingin. Garvin tak pulang, mungkinkah ia menghabiskan malam hangat dalam dekapan tubuh molek Berlian. Bukan mungkin lagi, tapi sudah pasti. Kara membuang napas lalu menghirup udara pagi. ia membuka tirai menyenderkan tubuh di di daun jendela. Tukang kebun sedang memangkas pepohonan yang menghias kediaman Garvin.Terasa seperti cangkang kosong saja berada dalam kediaman Garvin. Tak ada kehidupan yang normal. Kara tak tahu apa yang harus ia khawatirkan selain suaminya ternyata tidak setia. Ada perasaan jijik di hati Kara. Membayangkan Garvin bersama wanita lain, lalu akan kembali lagi melakukan bersamanya. Bagaimana jika ia menularkan penyakit? Kara bergidik nger
Seorang raja membutuhkan ratu, istri sah raja adalah ratu. Sedangkan wanita lain yang tidak dinikahkan adalah gundik. Kara tertawa dalam hati pada pemikirannya sendiri. Nyatanya justru derajat dia lebih rendah dari gundik. Wanita itu bahkan bisa makan malam mewah bersama Garvin, sedangkan Kara tidak pernah di bawa Garvin ke tempat umum.Oh, gundik tetaplah gundik. Apa pun namanya, istilah yang digunakan, tapi arrrggghhh. Kara mengetuk kepala di jendela mobil. Ia hanya istri tak di anggap yang berusaha menghibur diri agar tampak berharga. Paling tidak bagi dirinya sendiri.Kesedihan merayapi hati Kara. Ia memang tidak mencintai Garvin pada awal menikah, hanya bersenang-senang karena bisa mengumpulkan kekayaan dengan cara mudah. Namun bukan berarti Kara sudi diperlakukan seperti ini. Garvin hanya datang ketika dia merindukan Amara, dan menagih seks pada tubuh Kara. Seharusnya ia membeli sex doll, makinya.Aku tidak yakin ini normal. Kara membatin, dia bukan
Kara memandang kediaman mendiang Bastian. Ia tak menyangka akan kembali lagi ke sini. Bayangan masa lalu menghampiri kala diperlakukan bagai pembantu oleh keluarga suami pertamanya. Ibu mertua yang kerap menghina habis-habisan terlihat sedang menyapu teras rumah. Gerakan terhenti saat mobil Reinhard berhenti di depan pintu pagar rumah. "Parkir di sini saja, Sayang, kita hanya mengantarkan undangan untuk mantan mertuaku dulu," kata Kara yang diamini Reinhard yang memang tak berniat berlama-lama, tak ada kenangan yang menyenangkan bagi Kara di kediaman dengan cat yang mulai kusam.Reinhard turun pertama kali, tubuh tegap menjulang terlihat dari pagar sebatas pinggang, lantas ia membuka pintu mobil untuk Kara. Leher ibu Bastian memanjang melihat ke arah tamu yang datang, bola matanya nyaris keluar ketika melihat kedatangan mantan menantu dan calon suaminya, pria kaya yang terkenal di media. Gigi wanita itu gemertak menahan marah. Tangan ibu Bastian mengenggam sapu kuat, kebencian mengua
Reinhard memasang kancing lengan kemejanya. Tersenyum sendiri di depan cermin. Sebentar lagi dia tidak sendirian di pagi hari. Ada seorang istri yang akan menemani. Tergiang kembali kalimat yang keluar dari bibir Kara malam tadi, ketika mereka dalam perjalanan pulang.“Rein. Kamu malu tidak menjadi suamiku?”“Kenapa harus malu?”“Aku dua kali menjanda. Kasus terakhir bahkan berapa bulan bertengger menjadi headlines media. Selain itu orang-orang masih menganggap kamu sahabat Garvin. Belum lagi gosip yang meluas.”“Hidupku tidak disetir pendapat orang lain, Kara. Secara garis besar tidak mempengaruhi kehidupan keluarga kami.”Reinhard tahu Kara tidak mempercayai sepenuhnya. Memang Reinhard mengakui ada benar kekhawatiran sang calon istri, hanya saja Reinhard dan Jemmi sudah menganalisa secara bisnis. Tidak terlalu signifikan masalah yang timbul karena urusan pribadi.Selain memperkirakan pengaruh
Gosip tentang rencana pernikahan Kara dan Reinhard meluas. Pernikahan ketiga dirinya dengan bujangan sekaligus pengusaha sukses. Menjadi pembicaraan tanpa henti di kalangan banyak orang.Kara bukannya tidak tahu ketika nada-nada sumbang terdengar. Janda tanpa anak dengan dua kali kegagalan pernikahan. Begitu seksi untuk dibicarakan para wanita yang iri karena bukan mereka pendamping Reinhard. Bumbu mengenai pernikahan yang dijalankan juga menambah panas gosip. Termasuk juga kekerasan dalam rumah tangga yang dijalani.Entah darimana mereka mengetahui cerita, yang bisa Kara lakukan menggunakan kedua tangannya menutup telinga. Atau mencurahkan isi hati pada Feli ketika kekesalan mulai merambah. Seperti ketika dia membaca status di sosial media mantan iparnya, saudari Bastian.[Dua kali gagal di pernikahan dengan kasus sama. Alasan si K karena suami ringan tangan. Aduh harusnya ngaca ya, kalau sampai ke dua kali. Belum lagi tidak punya anak. Jangan-jangan dia yang m
Carol mengamati Kara seksama. Sebagai wanita, dia pun mengakui Kara memang cantik. Namun dalam penilaian Carol bukan itu poin pentingnya. Kara memiliki aura berbeda dengan kebanyakan wanita cantik.Dia mempunyai kemampuan membuat orang menyediakan waktu menoleh untuk mengagumi. Sudah terbukti juga dalam hidupnya Kara mendapatkan lelaki yang secara sosial jauh diatasnya. Meski harus diakui mereka juga menghancurkan hidup Kara.Begitulah alam bekerja, terkadang ada keistimewaan diri yang membuat hidup individu lebih mudah. Entah kekayaan, keberuntungan, kecerdasan atau kecantikan. Dalam hal ini Carol menganggap Kara beruntung memiliki wajah rupawan. Mirip dengan Amanda dalam aura berbeda.Mengenai nasib pernikahan Kara sendiri. Carol tak memahami sepenuhnya. Hanya saja dia mengambil kesimpulan. Kara menilai pasangan bukan dari kepribadian. Dia mengantungkan finansial pada pendamping hidupnya. Bisa jadi itulah ihwal masalah yang dibuat Kara. Butuh dua kali untuk Ka
Udara sejuk masih enggan beranjak. Berpadu matahari yang mulai menghangat. Di beranda teras sepasang suami istri dalam usia senjanya menatap ke jalanan.Mereka baru saja mendapatkan kabar mengenai keluarga calon suami putrinya. Anak pertama kebanggaan dalam keluarga.Di pundak perempuan itu harapan semua anggota keluarga berada. Bukan maksud mereka menempatkan Kara turut bertanggung jawab. Kadang keadaan memaksa seorang gadis belia berinisiatif membantu."Pak, Ibu harap kali ini suami Kara berbeda dengan Bastian dan Garvin.""Bapak juga berpikir sama, Bu. Dua kali gagal semoga kali ini yang terakhir.""Keluarga dan tetangga terus menerus membicarakan Kara. Kesal Ibu, Pak.""Sudah
Sorot mata Feli berkilauan. Dia tertular kebahagiaan mendengar kabar dari Kara. Sahabatnya sekarang menjalin hubungan dengan Reinhard. Artinya Kara telah berani melangkah keluar dari masa lalu dan Reinahard tak akan merongrong Feli lagi.“Wow, selamat Kara. Aku turut senang mendengar kabar ini. Selera Reinhard memang bagus. Berlian hitamnya persis dengan warna matamu.”“Seperti itulah yang dia katakan.”“Melihat proses perjalanan kalian mencapai sekarang. Kurasa tak lama lagi kabar gembira akan didengar.”Kara meletakkan cangkir kopi di meja. Dia dan Feli sedang duduk di balkon rumah Kara. Area yang di desain asri dengan penempatan pot tanaman, ayunan gantung serta rumput sintetis menutupi lantai.Dia tahu pertanyaan Feli merujuk pada jenjang lebih serius, pernikahan. Dua hal yang pernah gagal dalam hidup Kara. Meski dia menerima Reinhard, Kara masih merasakan kegamangan di hati.Apabila menikah dengan Rei
Pendingin udara gagal mengatasi aura panas di ruangan. Dua orang yang pernah sepakat menjalani komitmen saling tatap. Tidak seorang pun memulai percakapan. Ada riak keterkejutan di mata lelaki melihat lawannya tidak memalingkan wajah seperti biasa.Sudut mulut Garvin terangkat. Di luar dugaan Kara berani membalasnya. Sorot mata mantan istrinya jauh lebih tegas dari terakhir mereka bertemu. Garvin tahu dia harus menggunakan muslihat lain."Kara, aku paham kalau kamu membenciku atau mungkin tidak mau bertemu lagi."Deheman Kara lebih awal menjawab. "Diluar dugaan kamu menebak dengan baik apa yang kurasakan. Meski begitu aku akan meralat untuk bagian 'membencimu' ....""Jadi kamu tidak membenciku?" Sambar Garvin memotong pembicaraan."Benar semua kebencianku sudah hilang. Bagiku benci sama dengan toksin dan aku tidak tertarik menyimpannya.""Benar Kara ... kamu benar." Mata Garvin berkilat senang. Dia menatap liar wanita di hadapannya. Lebih be
“Tunggu … Papa rasanya pernah mendengar nama ‘Kara Garvita.” Pria dengan guratan ketampanan masa muda yang masih tersirat memejamkan mata. Menggali ingatan mendengar nama keluar dari mulut putranya.“Kara yang itu. Mantan istri Garvin Paraduta Group?” Lanjutnya setelah teringat pemberitaan yang ramai berapa bulan lalu. Aku semakin lekas lupa karena tua, batinnya dalam hati.“Benar, Papa. Dia lah pilihan putra tampanmu.”“Wajahnya mengingatkan pada Amanda.”“Papa berpikir karena itulah aku menaruh hati pada Kara?”“Coba katakan berapa alasan yang membuat Papa akan berubah pikiran.”Reinhard mencondongkan tubuh ke arah Jemmy, Papanya. Sejenak otak Reinhard berpikir memilah informasi yang akan diberikan.“Pertama iya pada awalnya karena kemiripan wajah dan keinginan melindungi. Papa tahu aku mencintai Amanda. Sempat terpuruk ketika dia meninggalkan
Reinhard mencoba membaca mimik Kara. Dia sudah terlatih memperhatikan perubahan setiap gerakan wajah. Hal tersebut memberinya gambaran perasaan lawan bisnis, kolega atau orang-orang terkait hubungan dengan dirinya.Dalam hal ini Reinhard hampir selalu bisa memperkirakan kepribadian orang lain. Membuatnya dapat menentukan sikap memperlakukan mereka. Hanya segelintir orang yang melesat atau tak bisa dia tebak, dan Kara merupakan segelintir orang tersebut.Jemari lentik Kara mengambil kotak cincin di atas meja. Menimang dengan senyuman menawan. Semua gerakannya dalam pengawasan Reinhard. Detak jantung pria itu berkali lipat lebih kencang. Mengalahkan kecepatan ketika maratahon.“Aku akan menyimpan cincin pemberianmu dan menggunakan setelah siap. Kamu tidak keberatan, kan?”“Ti-dak Kara … aku akan menunggu.”Kara menarik napas dalam. Meraih pouch hitam miliknya lalu menyimpan cincin berlian hitam. Dia memperlakukan dengan