“Dia tampak seperti gadis manis yang menyenangkan buat di kencani remaja.” Sindir Kara pada Reinhard. Terdengar tawa dari seberang telpon.
“Kamu menilai Jenni terlihat tidak cocok sebagai wanita penggoda? Menurutmu tak mungkin dia mampu mengorek informasi keterlibatan Garvin dengan obat-obatan terlarang.”
“Benar. Aku meragukan kemampuan Jenni.”
“Jenni tak bodoh. Dia ahli memainkan peran. Kali ini memang berlagak seperti perempuan yang tak berdaya. Menyesuikan dengan selera Garvin.
“Kamu menyindirku?”
“Benar sekali. Aku tidak salah, kan? Kamu Membutuhkan keberadaan Garvin. Dia sangat senang kalau lebih unggul dari para wanitanya.”
“Tak aneh, kok. Banyak yang menjalani pernikahan dengan lelaki lebih berpotensi dari mereka. Garvin saja tak normal menganggap bisa melakukan apa saja, hanya karena pasangan memiliki finansial jauh dibawahnya.”
“Memang tapi dalam kasus Garvin. Dia senang berkuasa dan bertindak sebagai pengontrol kehidu
Jenni datang menemu Kara dan Reinhard di Atlas kafe dalam balutan dress mini ketat, yang memamerkan keindahan body dan kulitnya. Mulus tanpa cacat seperti mutiara berkilauan, sungguh menarik. Sebagai wanita saja Kara terkesima apalagi laki-laki. Berapa kali Kara melihat Reinhard menelan saliva, tak lama kemudian lelaki itu melemparkan outer yang sempat di buka Jenni. "Gunakan outermu, Jen. Aku tak mungkin bermain di sini." "Memangnya aku mau? Tanyakan dulu apakah aku bersedia atau tidak." Jenni meraih outer dan memperbaiki posisi duduk yang memamerkan kaki jenjang. Belahan dress sepanjang pangkal paha sampai mata kaki, mempertegas dress tersebut diciptakan untuk memamerkan kemolekan tubuh pemiliknya. "Kalian berhenti berdebat. Aku sudah tak sabar mendengar laporanmu, Jen." "Ini." Kara mendelik ketika Jenni melemparkan map di atas meja. Beda sekali ketika mereka pertama bertemu. Gadis itu tampak sopan dan manis, sekarang dia tampil bar-ba
Kediaman Garvin dipenuhi cahaya dari berbagai jenis dan model penerangan. Memamerkan keindahan arsitektur bangunan dalam kegelapan malam. Keindahan yang tak pernah menyatu pada diri Kara, dia merasa tak pernah berada pada tempat tinggal yang semestinya. Hati Kara terasa hampa ketika melangkah dalam lantai marmer bewarna gelap. Undakan tangga melingkar di lapisi karpet menyambut kehadirannya, di sanalah Kara melangkah menuju kamar. Tempat dia menjadi istri pemilik rumah.Setiap kakinya melangkah menelusuri koridor menuju kamar. Semakin tak terlihat penerimaan Kara sebagai nyonya rumah. Foto pernikahan Garvin dan Amara, bahkan masih terpajang di tengah kediaman. Seakan menunjukkan posisi Kara hanya sebagai bayangan Amara. Penggembira bagi Garvin.Kara baru membuka pintu kamar, ketika tarikan pada rambut membuat dia menjerit. Belum sempat berpikir Kara merasa tubuh melayang membentur pinggiran ranjang. Dia memekik kesakitan, matanya menatap marah pada sosok menjulan
Adam melihat keluar jendela. Memandang rumpun padi yang mulai menguning, sambil menyeruput kopi menikmati udara pagi di desa. Aset yang berhasil ia selamatkan dari Garvin. Setelah lelaki itu mengambil minimarket dan rumah yang ditempati keluarganya. Berkali-kali ayah dan ibu mengomel kesal, mengapa tak dari dulu tinggal di sini saja. Hidup tenang, damai. Sawah mereka digarap penduduk desa dengan sistem bagi hasil. Tak mewah, tapi cukup untuk membiayai kehidupan keluarga sederhana mereka.Seharusnya bersyukur atas apa yang kita punya, Kak. Daripada mengejar kekayaan dengan jalan pintas. Tak ada yang mudah di dunia, apalagi untuk orang-orang yang mengejar dari minus seperti kehidupan yang keluarga jalankan. Adam berkata dalam hati."Nanti sekolah kami pindah ke sini, kak?" tanya Arya, adik nomor tiga yang masih duduk di bangku SMA. Mengalihkan atensi Adam dari Kara."Aku tak mau," sahut cepat Alex. Dia sudah di kelas tiga SMP."Anggap saja sedang liburan se
Reinhard menutup telpon, dia meremas benda tipis dalam genggamannya, sampai buku jarinya memerah. Kara berada dalam kediaman Garvin. Terpenjara dalam kemewahan, lelaki itu mengurung istrinya sebagai hukuman. Elisabeth bukan pelayan yang menjaga Kara, tapi Tina si pelayan peliharaan Garvin. Sedikit menyulitkan baginya mengambil tindakan untuk membantu Kara kabur.Kara tak diperbolehkan kemana saja. Berada dalam ruangan tertutup tanpa fasilitas apapun. Suatu perjuangan mempertahankan kewarasan. Setiap kalimat dari Elisabeth ia cerna dengan baik. Ada yang harus ia lakukan untuk mengeluarkan Kara saat ini.Seorang pria dengan kemeja hitam pekat dengan bawahan berwarna sama memasuki ruangan. Albert, kepercayaan Reinhard. Dia tak pernah mempercayai orang lain, kecuali orang itu adalah Albert."Aku tak melihat Garvin di kediaman Laura," kata Albert tanpa ekspresi.""Bagaimana dengan apartemen Monita?""Sama, dia tidak mendatangi tempat tinggalnya."
Kelemahan wanita ada di telinga, kekuatannya terletak pada lidah. Pujian dan rayuan terkadang melenakan, karena kata-kata yang terbentuk oleh kelihaian lidah. Elisabeth menarik napas dalam, memulihkan kekuatan untuk meyakinkan Tina."Aku melihatmu bersama tuan Garvin," bisiknya perlahan, "dia tampak sekali terobsesi dengan dirimu, Tina.""Kamu tahu akibatnya jika tuan tahu mengenai ini." Tina mengarahkan telunjuk lurus pada pertengahan leher, sambil memberi gerakan memotong."Tuan sekarang kemana?""Dia sudah pergi, aku akan memberitahu apa yang kamu lihat," ancam Tina dengan nada sombong yang sukar ia sembunyikan."Aku tak sengaja melihat kalian. Sungguh diluar dugaan, ketika dia menerkam tak sabar pada dirimu. Kamu memang istimewa," puji Elisabeth secara berlebihan. Padahal semua sudah tahu kelakuan Tina."Tentu saja. Sudah seharusnya kamu patuh padaku. Robert bahkan tak bisa menentukan nasib kalian.""Kamu benar."Elis
Elisabeth sedang membersihkan teras belakang, ketika seorang petugas pengamanan kediaman Garvin menghampirinya. Pria itu menatap kedua bola mata Elisabeth penuh selidik."Tadi malam kamu kemana?""Aku, tidak kemana-kemana. Tidur di kamar, ada apa?""Rekaman cctv memperlihatkan lain, Eli."Seketika tubuh Elisabeth menegang. Dia berusaha bersikap normal, tapi suaranya mengkhianati diri. Nada gemetar keluar dari kedua bibir, menandakan ketakutan yang dirasakan."Kamu melihat nyonya Ra di ruangannya.""Tidak, aku tak mungkin ke sana.""Tuan sempat menghubungiku sebelum menyuruh mematikan kamera teras belakang, dan aku melihat kamu menyelinap masuk ke dalam ruangan nyonya""A-ku," Elisabeth merasa nyawa tinggal di ujung tanduk. Kedua bibir bergetar seakan udara dingin menyergap dari belakang."Kamu bisa membayarku sebesar." Pria itu membisikkan nominal angka yang membuat mata Elisabeth membesar. "Rahasiamu akan aman."
Aku pernah berada pada ketakutan, kehilangan kepercayaan pada diri sendiri. Menjalani hidup karena memang terlahirkan ke dunia ini. Tak tahu apa makna kehidupan, kala itu usiaku masih belia ketika menjalani pernikahan pertama. Mempercayakan semua pada seorang pria yang kusebut suami, tapi tak sudi memperlakukan sebagaimana seorang pasangan kepada istrinya. Aku berhasil keluar pada penikahan pertama yang menyiksa. Sayangnya Kedua kali aku terjebak pada kenyataan yang sama. Kebodohan dua kali, namun saat ini jauh berbeda dengan pertama. Aku lebih kuat untuk bertahan, dan menyelamatkan diri. Kalimat itu melintas dalam benak Kara. Dia berusaha memanipulasi diri pada ketakutan yang menyerang, ketika langkah kaki Garvin menghampirinya di ranjang. Jantung Kara berdebar kencang, membuat jemari tangannya mencengkram erat selimut. Suara gesekan sprei dengan tubuh Garvin semakin membuat Kara terserang panik. Dia menghela napas dalam, menghembuskan perlahan. Tidak, aku har
"President Room Prabu Paradise Hotel. Transaksi akan dilaksanakan di sana.""Benar. Pada tiga hari sebelum akhir bulan, pukul sebelas malam.""Informasi sudah akurat?""Nyawaku taruhannya, tuan."Albert membungkuk pada Reinhard. Memastikan informasi yang ia berikan akurat. Informannya sudah memastikan dengan benar, Garvin tak pernah mendatangi Jenni. Sekarang Reinhard mempercayakan kepada Alberth dan informan yang dia gunakan."Pastikan agar tidak ada perubahan.""Siap, tuan."Orang kepercayaan Reinhard memutar tubuhnya keluar dari ruang kerja Reinahrd di Diamond Mall. Pagi memasuki bulan baru, setelah bersusah payah memikirkan jalan membalas Sophia serta menyingkirkan Garvin dari persaingan bisnis. Ternyata sebuah celah terbuka untuk mendorong Garvin jatuh ke dalam.Reinhard mendengus kesal, andai Garvin mendengar saran untuk mengunjungi psikiater bertahun lalu. Kemungkinan besar penyakit menyimpangnya bisa disembu
Kara memandang kediaman mendiang Bastian. Ia tak menyangka akan kembali lagi ke sini. Bayangan masa lalu menghampiri kala diperlakukan bagai pembantu oleh keluarga suami pertamanya. Ibu mertua yang kerap menghina habis-habisan terlihat sedang menyapu teras rumah. Gerakan terhenti saat mobil Reinhard berhenti di depan pintu pagar rumah. "Parkir di sini saja, Sayang, kita hanya mengantarkan undangan untuk mantan mertuaku dulu," kata Kara yang diamini Reinhard yang memang tak berniat berlama-lama, tak ada kenangan yang menyenangkan bagi Kara di kediaman dengan cat yang mulai kusam.Reinhard turun pertama kali, tubuh tegap menjulang terlihat dari pagar sebatas pinggang, lantas ia membuka pintu mobil untuk Kara. Leher ibu Bastian memanjang melihat ke arah tamu yang datang, bola matanya nyaris keluar ketika melihat kedatangan mantan menantu dan calon suaminya, pria kaya yang terkenal di media. Gigi wanita itu gemertak menahan marah. Tangan ibu Bastian mengenggam sapu kuat, kebencian mengua
Reinhard memasang kancing lengan kemejanya. Tersenyum sendiri di depan cermin. Sebentar lagi dia tidak sendirian di pagi hari. Ada seorang istri yang akan menemani. Tergiang kembali kalimat yang keluar dari bibir Kara malam tadi, ketika mereka dalam perjalanan pulang.“Rein. Kamu malu tidak menjadi suamiku?”“Kenapa harus malu?”“Aku dua kali menjanda. Kasus terakhir bahkan berapa bulan bertengger menjadi headlines media. Selain itu orang-orang masih menganggap kamu sahabat Garvin. Belum lagi gosip yang meluas.”“Hidupku tidak disetir pendapat orang lain, Kara. Secara garis besar tidak mempengaruhi kehidupan keluarga kami.”Reinhard tahu Kara tidak mempercayai sepenuhnya. Memang Reinhard mengakui ada benar kekhawatiran sang calon istri, hanya saja Reinhard dan Jemmi sudah menganalisa secara bisnis. Tidak terlalu signifikan masalah yang timbul karena urusan pribadi.Selain memperkirakan pengaruh
Gosip tentang rencana pernikahan Kara dan Reinhard meluas. Pernikahan ketiga dirinya dengan bujangan sekaligus pengusaha sukses. Menjadi pembicaraan tanpa henti di kalangan banyak orang.Kara bukannya tidak tahu ketika nada-nada sumbang terdengar. Janda tanpa anak dengan dua kali kegagalan pernikahan. Begitu seksi untuk dibicarakan para wanita yang iri karena bukan mereka pendamping Reinhard. Bumbu mengenai pernikahan yang dijalankan juga menambah panas gosip. Termasuk juga kekerasan dalam rumah tangga yang dijalani.Entah darimana mereka mengetahui cerita, yang bisa Kara lakukan menggunakan kedua tangannya menutup telinga. Atau mencurahkan isi hati pada Feli ketika kekesalan mulai merambah. Seperti ketika dia membaca status di sosial media mantan iparnya, saudari Bastian.[Dua kali gagal di pernikahan dengan kasus sama. Alasan si K karena suami ringan tangan. Aduh harusnya ngaca ya, kalau sampai ke dua kali. Belum lagi tidak punya anak. Jangan-jangan dia yang m
Carol mengamati Kara seksama. Sebagai wanita, dia pun mengakui Kara memang cantik. Namun dalam penilaian Carol bukan itu poin pentingnya. Kara memiliki aura berbeda dengan kebanyakan wanita cantik.Dia mempunyai kemampuan membuat orang menyediakan waktu menoleh untuk mengagumi. Sudah terbukti juga dalam hidupnya Kara mendapatkan lelaki yang secara sosial jauh diatasnya. Meski harus diakui mereka juga menghancurkan hidup Kara.Begitulah alam bekerja, terkadang ada keistimewaan diri yang membuat hidup individu lebih mudah. Entah kekayaan, keberuntungan, kecerdasan atau kecantikan. Dalam hal ini Carol menganggap Kara beruntung memiliki wajah rupawan. Mirip dengan Amanda dalam aura berbeda.Mengenai nasib pernikahan Kara sendiri. Carol tak memahami sepenuhnya. Hanya saja dia mengambil kesimpulan. Kara menilai pasangan bukan dari kepribadian. Dia mengantungkan finansial pada pendamping hidupnya. Bisa jadi itulah ihwal masalah yang dibuat Kara. Butuh dua kali untuk Ka
Udara sejuk masih enggan beranjak. Berpadu matahari yang mulai menghangat. Di beranda teras sepasang suami istri dalam usia senjanya menatap ke jalanan.Mereka baru saja mendapatkan kabar mengenai keluarga calon suami putrinya. Anak pertama kebanggaan dalam keluarga.Di pundak perempuan itu harapan semua anggota keluarga berada. Bukan maksud mereka menempatkan Kara turut bertanggung jawab. Kadang keadaan memaksa seorang gadis belia berinisiatif membantu."Pak, Ibu harap kali ini suami Kara berbeda dengan Bastian dan Garvin.""Bapak juga berpikir sama, Bu. Dua kali gagal semoga kali ini yang terakhir.""Keluarga dan tetangga terus menerus membicarakan Kara. Kesal Ibu, Pak.""Sudah
Sorot mata Feli berkilauan. Dia tertular kebahagiaan mendengar kabar dari Kara. Sahabatnya sekarang menjalin hubungan dengan Reinhard. Artinya Kara telah berani melangkah keluar dari masa lalu dan Reinahard tak akan merongrong Feli lagi.“Wow, selamat Kara. Aku turut senang mendengar kabar ini. Selera Reinhard memang bagus. Berlian hitamnya persis dengan warna matamu.”“Seperti itulah yang dia katakan.”“Melihat proses perjalanan kalian mencapai sekarang. Kurasa tak lama lagi kabar gembira akan didengar.”Kara meletakkan cangkir kopi di meja. Dia dan Feli sedang duduk di balkon rumah Kara. Area yang di desain asri dengan penempatan pot tanaman, ayunan gantung serta rumput sintetis menutupi lantai.Dia tahu pertanyaan Feli merujuk pada jenjang lebih serius, pernikahan. Dua hal yang pernah gagal dalam hidup Kara. Meski dia menerima Reinhard, Kara masih merasakan kegamangan di hati.Apabila menikah dengan Rei
Pendingin udara gagal mengatasi aura panas di ruangan. Dua orang yang pernah sepakat menjalani komitmen saling tatap. Tidak seorang pun memulai percakapan. Ada riak keterkejutan di mata lelaki melihat lawannya tidak memalingkan wajah seperti biasa.Sudut mulut Garvin terangkat. Di luar dugaan Kara berani membalasnya. Sorot mata mantan istrinya jauh lebih tegas dari terakhir mereka bertemu. Garvin tahu dia harus menggunakan muslihat lain."Kara, aku paham kalau kamu membenciku atau mungkin tidak mau bertemu lagi."Deheman Kara lebih awal menjawab. "Diluar dugaan kamu menebak dengan baik apa yang kurasakan. Meski begitu aku akan meralat untuk bagian 'membencimu' ....""Jadi kamu tidak membenciku?" Sambar Garvin memotong pembicaraan."Benar semua kebencianku sudah hilang. Bagiku benci sama dengan toksin dan aku tidak tertarik menyimpannya.""Benar Kara ... kamu benar." Mata Garvin berkilat senang. Dia menatap liar wanita di hadapannya. Lebih be
“Tunggu … Papa rasanya pernah mendengar nama ‘Kara Garvita.” Pria dengan guratan ketampanan masa muda yang masih tersirat memejamkan mata. Menggali ingatan mendengar nama keluar dari mulut putranya.“Kara yang itu. Mantan istri Garvin Paraduta Group?” Lanjutnya setelah teringat pemberitaan yang ramai berapa bulan lalu. Aku semakin lekas lupa karena tua, batinnya dalam hati.“Benar, Papa. Dia lah pilihan putra tampanmu.”“Wajahnya mengingatkan pada Amanda.”“Papa berpikir karena itulah aku menaruh hati pada Kara?”“Coba katakan berapa alasan yang membuat Papa akan berubah pikiran.”Reinhard mencondongkan tubuh ke arah Jemmy, Papanya. Sejenak otak Reinhard berpikir memilah informasi yang akan diberikan.“Pertama iya pada awalnya karena kemiripan wajah dan keinginan melindungi. Papa tahu aku mencintai Amanda. Sempat terpuruk ketika dia meninggalkan
Reinhard mencoba membaca mimik Kara. Dia sudah terlatih memperhatikan perubahan setiap gerakan wajah. Hal tersebut memberinya gambaran perasaan lawan bisnis, kolega atau orang-orang terkait hubungan dengan dirinya.Dalam hal ini Reinhard hampir selalu bisa memperkirakan kepribadian orang lain. Membuatnya dapat menentukan sikap memperlakukan mereka. Hanya segelintir orang yang melesat atau tak bisa dia tebak, dan Kara merupakan segelintir orang tersebut.Jemari lentik Kara mengambil kotak cincin di atas meja. Menimang dengan senyuman menawan. Semua gerakannya dalam pengawasan Reinhard. Detak jantung pria itu berkali lipat lebih kencang. Mengalahkan kecepatan ketika maratahon.“Aku akan menyimpan cincin pemberianmu dan menggunakan setelah siap. Kamu tidak keberatan, kan?”“Ti-dak Kara … aku akan menunggu.”Kara menarik napas dalam. Meraih pouch hitam miliknya lalu menyimpan cincin berlian hitam. Dia memperlakukan dengan