Farid membuka mata perlahan.
Seluruh tubuhnya kesakitan—sakit di sekitar tulang rusuk kiri yang paling terasa.
Di balik topeng, wajahnya meringis.
Pandangan matanya bahkan berkunang.
Farid saat itu tengah terlentang di atas setumpuk kotak kardus. Isi kotak-kotak itu? Menilai kondisi barang-barangnya yang berhamburan dalam keadaan terbungkus plastik, sepertinya itu semacam bahan makanan.
Sesuatu yang bisa dimasukkan ke mulut.
Sesuatu yang bisa dicerna usus manusia.
Sama seperti narkotika berbahaya jenis baru yang saat itu sedang berusaha dia musnahkan.
Ruangan itu cukup luas. Tumpukan kotak kardus memenuhi lantai kasarnya yang dingin. Dinding-dindingnya terbuat dari bahan beton tebal. Sebagian permukaan dinding dan tiang bahkan berlapis logam. Di pojok ruangan, berdiri mesin forklift yang sepertinya masih baru dan belum lama dipakai.
Di atasnya, Farid melihat atap rusak yang baru beberapa menit lalu dia tembus. Langit malam yang berawan bisa tampak dari baliknya. Bulan yang terang tampak mengintip. Angin pantai yang bertiup kencang menderu di atasnya, menggerakkan gumpalan awan. Sementara, di sekitarnya, puing-puing logam dan serpihan beton berserakan.
Kondisi ruangan itu remang. Tidak semua lampunya menyala.
“Urrrgh…”
Dalam hati, Farid bersyukur karena makan malamnya tak sampai keluar.
“Anjing! Anjiiiiim! Ayo, kejar dia! Enggak mungkin dia jauh!”
“Barusan dia terbang, Bos! …Li-Lihat enggak? Dia barusan terbang!”
“Berisik! Enggak mungkin dia enggak ketembak kan? Jangan ngomong melulu! Cepat kejaaaar!”
Sayup-sayup, dari kejauhan, terdengar suara-suara teriakan.
Suara-suara teriakan dari orang-orang jahat yang saat itu bermaksud membunuhnya.
…Harus bangun.
Demikian, Farid berpikir.
Tapi, untuk beberapa jenak, tubuhnya yang linu tidak menuruti keinginan pikirannya.
Persis saat itu, derau statik terdengar di telinga. Suara tak asing seorang bapak-bapak kemudian bergema melalui alat khusus yang terpasang pada topengnya. Suara itu mengingatkan Farid akan suara pakde-nya di Surabaya yang dulu sering mengingatkannya untuk menikah sebelum menjadi tua dan pikun.
<”Farid. Farid. Kamu di sana? Kamu masih hidup? Apa itu yang terjadi barusan?!”>
“Ce-Ceritanya panjang, Dok. Aku ceritain ntar!”
Dengan grogi, Farid memaksakan otot-ototnya yang kaku untuk bergerak sampai akhirnya berhasil berdiri.
Farid mendapati kalau ruangan itu sebenarnya gudang yang sama dengan yang tadi sempat dia lewati. Hanya saja, dengan getir dia menyadari kalau dia sempat kebingungan tak lain karena kali ini, dia masuknya lewat ‘atas.’
Buru-buru, Farid memeriksa kondisi berbagai persenjataan yang terpasang pada kostumnya.
Pada baju tempurnya.
Pada perlengkapan zirah canggih yang Insinyur O secara khusus telah rancang dan berikan untuknya.
Bagus. Peluru enggak sampai tembus. Tapi… buset. Sakit bangeeet. Sayap layangan? Robek. Pelontar granat tadi enggak sengaja nembak, makanya atap bisa sampai tembus ya?
Saat menengadah dengan muram, Farid tampak seperti tipe kesatria bertopeng dalam zirah dan jubah, mirip tokoh-tokoh ‘pahlawan gelap’ dalam komik-komik dan seri-seri TV produksi Amerika dan Jepang.
Tapi, sosok Farid saat itu nyata.
Bukan cosplay.
Berbeda pula dengan acara-acara TV dan rekaman video YouTube yang sebelum itu kerap dia bintangi.
Bahkan Insinyur O—pak doktor dengan suara ala pakde yang menghubunginya tadi—punya nama khusus untuknya.
Shunmak.
Itulah nama dari sosoknya sekarang.
Tapi sejauh ini, Farid belum pernah memperkenalkan diri sebagai ‘Shunmak’ di hadapan musuh-musuhnya.
Kayak, buat apa? Ngapain kita ngenalin diri ke musuh? Bukannya itu sama aja kayak minta dilacak?
Mengutuk kecerobohannya sendiri dalam menangani senjata-senjatanya barusan, Farid mengamati dua pintu yang terdapat di sana. Satu di ujung sebelah dalam. Satu lagi di ujung sebelah luar. Keduanya—harusnya—berada dalam keadaan tidak terkunci sesudah Farid melewatinya tadi.
Dan benar saja, tak sampai dua detik sesudah Farid memikirkannya, deru beberapa senapan meraung secara bersamaan—pintu yang menyambung ke gedung sebelah habis diberondong.
Dengan langkah berderap, selusin orang bermuka keras dan sangar, yang masing-masing membawa senjata api, berlari masuk menembusnya. Berlari di antara tumpukan-tumpukan kotak kardus yang lain. Mereka berlari ke arah di mana atap berlubang.
“Cepetan!”
“Nanti dia kabur!”
Tak lama kemudian, merekapun telah mengepungnya.
Persenjataan mereka terkokang dan terarah pada Farid.
“Oi! Itu dia!”
“B-Bangsat!”
Anak-anak buah itu berpakaian seadanya—pakaian sehari-hari ala penduduk pinggiran pantai. Mereka tidak mengenakan baju seragam ataupun mengikuti dress code. Itu artinya, meski mereka satu komplotan, jumlah anggota mereka cukup kecil untuk bisa saling mengenali muka.
Meski mereka mengepung Farid, mereka tidak langsung memberondongnya. Mereka berjumlah lebih banyak, tapi mereka semua tampak gugup—satu lagi isyarat kalau kelompok ini sebenarnya bukan kelompok terlatih.
“Oi! Oi! Kamu ini siapa, bangsat! Siapa yang nyuruh kamu?! Kamu juga jangan-jangan yang ngeledakkin dua gudang kita minggu lalu?!”
Cuma satu dari mereka yang terlihat berbeda—si laki-laki bermata merah.
Botak. Bercambang. Bersenjatakan pistol tangan berkaliber besar yang menyamai Desert Eagle. Tubuhnya tegap. Berotot. Jelas tampak terlatih. Mata pria yang melotot tajam itu punya pendar kemerahan yang sama sekali tidak alami.
Oke. Siapa dia?
Farid menyadari kalau pasti laki-laki ini pula yang barusan—entah bagaimana—telah berhasil melihat menembus teknologi kamuflase optik yang kostumnya gunakan.
“Kenapa? Kok cuma diem? Bisu elu?! JAWAAAAAB!” Laki-laki itu kembali membentak.
Di balik topeng, Farid menghela napas.
Merencanakan langkah-langkahnya.
Memastikan kemenangan sekaligus keselamatannya.
Seraya teringat pada rangkaian kejadian beberapa jam sebelumnya yang akhirnya membawanya kemari…
***
Beberapa jam sebelumnya…
“Yak, cut!”
Ucapan sang sutradara mengisyaratkan berakhirnya proses syuting.
Semua yang hadir di studio tersenyum lega.
Tegang. Ketegangan yang sama setiap hari.
Sampai kini, setampan apapun dia, seterkenal dan sekaya apapun dia sekarang, Farid masih belum terbiasa juga dengan ‘ketegangan di depan kamera’ ini.
“Mas Farid, kerja bagus hari ini. Udah makin terbiasa kan?” sahut Erika Viratna, rekan kerjanya sesama presenter, dari sebelahnya.
“Yah, lumayan lah, Mbak. Sebenarnya, sampai sekarang juga masih grogi.”
Farid Fajri—presenter pria yang kurus dan tampan yang berdiri di sebelah Erika—tersenyum kecil.
Erika Viratna adalah perempuan langsing dengan rambut cokelat pendek dan jari-jemari lentik—sesuatu yang mengingatkan Farid akan salah seorang sepupu jauhnya yang tinggal di Malang. Umur Erika tampaknya menjelang awal tiga puluhan. Wajah Erika mungkin tidak terlalu cantik; tapi menurut Farid, dia menawan, profesional, dan cukup pandai membawakan diri.
Di sisi lain, Farid sendiri adalah bintang muda yang sedang naik daun saat itu. Berusia dua puluh sembilan tahun, wajah Farid telah muncul sebagai bintang iklan, aktor watak pendukung peraih nominasi penghargaan, dan sekarang, presenter baru acara televisi Sekejap Sesaat yang ratingnya tengah melejit berkat “wajahnya yang ganteng” serta “auranya yang sopan dan misterius.”
“Aih, masa sih? Tapi kayaknya selama ini bisa tampil cool saja.” tutur Erika, dengan jenis senyum yang bisa disalahartikan orang sebagai tanda kalau dirinya terpesona.
“Yah, alhamdulillah, Mbak. Semua sejauh ini selalu lancar.” Farid mengangkat bahu.
Lalu, Farid tiba-tiba saja melihat sosok yang telah ditunggu-tunggunya di pintu masuk studio.
“Mbak, saya pamit dulu ya. Saya sudah ditunggu.”
“Iya.”
Erika Viratna melontarkan senyum terakhirnya untuk Farid pada malam itu. Kemudian, diam-diam, mata Erika yang bundar dan terang mengamati bagaimana punggung lebar Farid—yang berlapis jas hitam pas badan—berpindah untuk mendatangi sesosok pria tegap lain di pintu studio dengan senyuman yang tak kalah ramah.
Sosok yang Erika telah kenali sebagai asisten sekaligus manajer Farid Fajri.
Rully Aprian.
Sama seperti Farid, Rully juga berpenampilan rupawan. Dengan badan lebih tinggi dari rata-rata orang Indonesia, Rully punya wajah persegi, bahu bidang, pakaian rapi, senyuman ramah, serta rambut lurus pendek. Gaya bicaranya selalu positif dan ceria. Rully, di mata Erika, tampak seperti atlet kawakan yang punya kesan rumahan—tipe orang yang mungkin takkan cocok jadi aktor, tapi bisa sangat mengundang perhatian sebagai presenter.
Sayang, Rully agaknya telah menikah dengan anak satu. Sedangkan Farid belum dikenalnya cukup lama untuk bisa sampai menjalin hubungan. Sebagai perempuan lajang dengan reputasi ternama, Erika sebenarnya sedang tertarik mencari pasangan hidup, karena itu Erika diam-diam cukup terkesan oleh mereka berdua.
Kira-kira kayak gimana sih hubungan mereka?
Percakapan pasca-syuting antara Farid dan Rully selalu membuat Erika sedikit penasaran.
Dengar-dengar, Rully adalah kawan lama Farid yang dipekerjakannya secara khusus sesudah bisnis kopi yang Rully jalani mengalami kegagalan.
Tapi, Erika tak ingin terlalu tergesa dalam urusan ini. Maka dari itu, dia buru-buru menyapa manajernya sendiri dan beringsut ke ruang ganti.
Sementara itu, pada saat kurang lebih sama, tak jauh dari ambang pintu studio…
“Hei, Bro. Syuting lancar?”
Rully menyapa Farid dengan anggukan berkesan hormat sekaligus hangat.
“Alhamdulillah lancar.” Farid, tersenyum simpul, menjawab seraya melonggarkan kerah kemeja yang sedang dia pakai. “Dengan ini, jadwal aku untuk hari ini udah habis ‘kan?”
“Habis sih. Yang barusan elo minta juga udah gue tanganin. Tapiii… uh…”
“Tapi?”
Masih tersenyum, Rully lalu mengarahkan pandangannya ke ujung lorong. Farid, keheranan, mengikuti arah pandang Rully. Sekejap berikutnya, Farid agak terkesima melihat apa yang Rully lihat.
Ada perempuan berambut hitam panjang, dengan wajah cantik dan pakaian kantoran modis, tengah berdiri di ujung lorong. Sosoknya tak asing. Bibirnya tersenyum. Tangan kanannya yang ramping selama sekejap melambai ke arah mereka. Jaket panjang yang dikenakannya tampak sepadu dengan tas kerja yang dia bawa. Aura yang dipancarkannya saat itu—menurut Farid—agak mirip aura bintang K-Pop.
“Oh. Ada… Olivia.” Farid mendesis—tampak tidak mengira akan melihat kehadirannya di tempat ini.
Beberapa orang anggota kru stasiun televisi, yang kebetulan melintas, secara spontan melirik ke arah Olivia. Menilai pandangan mata mereka, Farid langsung mengerti kalau mereka sama-sama bertanya-tanya apakah perempuan tersebut merupakan seorang selebriti baru yang belum mereka kenal.
“Dia nyegat gue di pintu dan maksa ikut gue. Dia udah tahu jadwal elo. Sori.”
“…”
“Dan tadi di pintu gue enggak mau bikin ribut. Elo juga tau dia bisa kayak ape.”
Mendengar penjelasan Rully, Farid mengerjapkan mata beberapa kali, sebelum dengan perlahan, mengangguk mengerti.
“Oke. Thanks ya, Rul. Kerja bagus hari ini.” ucap Farid secara sepintas.
“Sama-sama, Bro.” Rully menanggapi. “Tapi, bentar, mau konfirmasi. Sudah fixed jadwal besok kagak ada perubahan? Terus… elo… ini bener enggak apa-apa?”
Rully menambahkan kalimat terakhirnya dengan nada tertahan. Raut mukanya sempat berubah waswas.
Farid berusaha menenangkannya kembali.
“Insya Allah enggak ada perubahan. Tenang aja. Ini enggak masalah kok. Biar, uh, aku aja yang tanganin.”
“Okee? Kalo gitu, sesuai deal, gapapa nih gue sekarang pulang?” Rully berkata dengan ragu, sebelum akhirnya memperingatkan. “Elo jaga diri. Jangan sampai kelewatan.”
“Iya, iya. Elo juga tau gue. Salam juga buat Evi.” Farid mengangguk sembari menyebut nama istri Rully.
Beberapa menit kemudian, Farid sudah berpisah dengan manajer sekaligus sahabatnya itu.
Kini, Farid tengah berjalan bersama perempuan bernama Olivia tersebut, menyusuri lorong gedung stasiun televisi, mengarah ke tempat parkir.
Separuh jalan menuju lift, mereka sempat berpapasan dengan Erika dan rombongan timnya. Mereka agaknya punya janji bertemu dengan geng sosialita lain. Mereka sempat bertukar sapa secara basa-basi lagi dengan Farid. Pada saat yang sama, mereka juga tampak sangat penasaran soal siapa identitas Olivia yang tengah menemaninya.
“Bener ‘kan, kamu punya bakat jadi seleb.” Farid memulai, sekeluar mereka dari lift, sesudah mereka akhirnya berpisah jalan dengan kelompok Erika.
“Aku tahu aku punya bakat jadi seleb, tapi aku enggak mau terlalu mengandalkannya.” Olivia menanggapi tajam. Senyumnya yang manis tetap bertahan.
Tapi, sekejap berikutnya, dengan raut wajah tidak enak, Olivia kemudian bertanya.
“Um… Mas Farid? Gapapa nih, tadi kamu enggak ngenalin aku?”
“Ha? Kenapa emang?”
“…Enggak takut ntar kita jadi omongan acara gosip?”
Hoh. Haha. Ternyata dia bisa peduli juga soal situasiku.
“…Kalo itu terjadi, biar ntar Rully aja yang urus.” Farid menyeringai. Niat jahil timbul dalam pikirannya. “Selain itu, bukannya itu salah kamu juga? Kamu… pasti mau tanggung jawab ‘kan?”
“Hmm. Aku bisa ngasih kompensasi seenggaknya. Gimana kalo… kesempatan buat makan malam berdua bareng aku?” Olivia tersenyum nakal.
“Hahaha…” Farid hanya tertawa getir. “Dasar. Bukan itu yang aku maksud.”
…Sial. Sial! Cewek ini BENERAN agak bahaya.
Farid sejak awal mengakui kalau gadis ini—perempuan ini—cantik dan memang menarik hatinya.
Dia bukan yang pertama dan—Farid tahu—tidak akan pula menjadi yang terakhir.
Tapi, berbeda dibandingkan perempuan-perempuan lain di lingkungannya, dan juga pengalaman-pengalamannya di masa lampau, Farid agak kesulitan memahami alur pikiran perempuan ini.
Dan… mungkin demikian juga sebaliknya. Farid membatin, menyadari bagaimana sebagian besar sikap Olivia sebenarnya dibuat-buat. Perempuan satu ini menurutnya sangat pandai berpura-pura.
Olivia Sumirat saat ini berstatus seorang pengusaha. Usianya masih muda—seingat Farid, hanya dua tahun di bawahnya. Meski begitu, Olivia yang sebenarnya dikenal sebagai sosok luwes yang sangat profesional, seorang tenaga ahli manajemen yang sangat dicari di bidang kerjanya. Sampai setahun sebelumnya, Olivia bekerja sebagai brand manager suatu perusahaan asing ternama. Di dalamnya, karena prestasi dan kontribusi nyata yang dia berikan, pangkatnya secara konsisten terus naik setiap tahun.
Baru awal tahun ini, Olivia memutuskan berubah haluan dan membuka usaha sendiri—mengandalkan luasnya jaringan sosial yang telah dia punyai. Sesuatu yang jelas menjadi suatu hal baru baginya. Sayangnya, meski lihai dalam menggarap peluang bisnis serta meningkatkan revenue—Olivia, agaknya, punya sedikit kesulitan dalam menilai orang secara pribadi…
Itulah awal mula situasi yang—secara tak terduga—kemudian memperkenalkan Olivia pada Farid.
Farid menghela napas panjang.
Aku sebenernya udah terlalu sibuk buat ngurusin ini. Tapi…
Langkah mereka berdua terhenti di tepi lapangan parkir. Malam belum terlalu larut. Masih ada beberapa orang lain di sekitar mereka—datang dan pergi dengan urusan mereka sendiri-sendiri, di gedung yang bisa dibilang salah satu tepi dunia showbiz Indonesia saat ini.
Saat itu, baik Farid maupun Olivia hanya saling berhadap-hadapan.
Saling menanti satu sama lain untuk berbicara terlebih dulu.
“…Liv.” Farid memulai.
Farid sudah mempersiapkan kata-katanya.
Farid sudah menyiapkan cara penyampaiannya.
Farid juga sudah mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan Olivia bakal menjawab.
Berapa kalipun Olivia meminta, Farid sudah bulat soal bagaimana ia belum sudi menikahinya.
Mereka masih belum lama saling mengenal.
Keduanya juga sedang ada di puncak karir masing-masing.
Bahkan mungkin sebenarnya kurang pantas bila si wanita yang meminta sampai seperti ini.
Farid yakin Olivia sebenarnya bisa mengerti hal-hal tersebut—Farid hanya berharap Olivia tidak salah paham.
Di samping itu…
… …
Untungnya—atau malah, sialnya—ponsel Farid kemudian tiba-tiba berbunyi.
Tidak ada ringtone khusus yang Farid gunakan.
Hanya nada dering default bawaan sistem yang sudah biasa dia pasang.
Farid merogoh ke dalam saku, memperhatikan nama yang tertera pada layar, lalu dengan wajah minim ekspresi, seakan tiba-tiba mengabaikan keberadaan Olivia, mengangkat ponsel itu ke telinga, kemudian menjawab.
“Halo?”
“Nak.” Suara ala pakde itu terdengar dari seberang.
Insinyur O malam itu menghubunginya untuk suatu misi baru.
***
Aku benci diri sendiri.
Kembali ke gudang pelabuhan terpencil itu, sosok Farid—Shunmak—tahu-tahu saja melontarkan sesuatu. Dengan bunyi berdesing, ‘sesuatu’ tersebut menabrak tumpukan kardus di hadapannya.
Brak!
Orang-orang yang tengah mengepung Shunmak—termasuk si lelaki bermata merah—terkejut. Kaki dan tangan sasaran mereka barusan sama sekali tidak terlihat bergerak. Bagaimana cara dia melakukan itu?
Tapi, belum selesai pikiran mereka mencerna, tak sampai sedetik berikutnya, ‘sesuatu’ itu meletus.
Bum!
Gumpalan asap menguar. Asap yang luar biasa tebal. Para penjahat yang berada di dekat bom asap tersebut seketika terbatuk-batuk.
Pandangan dan napas mereka tenggelam dalam simfoni warna putih dan kelabu.
“Anjing!”
“Bangsaaat!”
“Apa yang…?!”
“Uhuk! Uhuk!”
“Anj-! Uhukuhuk!”
Farid langsung memanfaatkan kesempatan itu dengan memberondong mereka semua dengan peluru-peluru karet.
Bratatata! Bratatata! Bratataaa!
“An-jiiiing!”
“Adaw! Adaw! Emak!”
“BANGSAT!”
“Yunuuuuuus!”
Pada bagian pergelangan tangan kostum Farid, terpasang senapan mesin mini yang mampu melontarkan 450 tembakan per menit. Jelas tidak sekuat senapan mesin asli dan juga tidak bisa ditembakkan terlalu lama, dan sengaja pula dirancang agar tak sampai membunuh—tapi lebih dari cukup untuk melumpuhkan musuh-musuh tidak berpelindung dalam jarak dekat.
“BANGSAAAAAAAT!”
Suara tak asing meraung dari balik kabut.
Farid dengan lincah segera bergerak.
Sesuai dugaan, hanya si lelaki bermata merah yang masih mampu memperkirakan pergerakannya.
BLAM.
Tembakan dari pistol besar lelaki itu seketika melewati kepala Farid dan menghancurkan salah satu kotak kardus besar di dekatnya.
Serpihan kayu dan kertas berterbangan.
Brengsek. Aku salah posisi.
Tapi… sekarang belum waktunya mengatasi dia.
Farid mengikuti pergerakan musuh-musuhnya yang lain menggunakan sensor termografis yang terpasang pada topengnya. Pikirannya bekerja. Napasnya memburu. Dibantu lontaran sistem otot sintetis yang terpasang pada kedua kaki, Farid sekejap berikutnya menghantam satu musuh yang hampir berhasil menjauhi kabut. Lalu, dia membanting musuh lain di dekatnya hingga terjerembab ke tumpukan kotak berbeda. Kemudian, dia meninju satu lagi yang mengamuk dari belakangnya. Satu lagi! Padahal bisa satu lagi! Namun, linu itu kembali terasa. Sesudah itu, Farid terpaksa meliuk ke balik mesin forklift saat satu tembakan lain dahsyat meletus dari dekatnya.
Tembakan senjata api mulai memberondong dari beberapa arah.
Dari balik jubah Farid, ‘sesuatu’ lagi-lagi berdesing secara semi-otomatis—asap kelabu seketika menguar kembali dari sudut lain.
***
Andai bukan karena pilihan ini, apa mungkin aku udah menerima Olivia?
“Gini, aku enggak cuma mau minta sama kamu. Aku pada dasarnya mau nawarin give and take.”
Olivia berkata pada malam itu, sesudah Farid—dengan sedikit enggan—membawanya ke kedai soto terkenal di dekat sana. Mulut Olivia yang terkatup—di antara belahan tirai rambutnya yang tergirai—membuat penampilannya semakin manis.
“Kamu bantu aku dengan bisnis aku. Lalu aku… aku nanti bisa bantu kamu dalam karir kamu.”
Ekspresi Olivia terlihat tulus—meski ia sendiri masih tampak ragu dengan kata-katanya.
Apa dia mengerti dia ngomong apa?
Separuh tenggelam dalam pikiran, Farid sudah menghabiskan separuh porsi soto betawinya. Membuatnya terkejut, Olivia rupanya lapar dan telah menghabiskan separuh porsinya juga. Mungkin karena separuh porsi tersebut sudah habis, perasaannya lebih tenang, dan kini ia bisa lebih mengemukakan pikirannya.
“Kamu… Kamu enggak akan rugi kok.” tutur gadis itu.
Farid terdiam agak lama.
Pada akhirnya, sesudah acara makan malam itu, Farid lagi-lagi hanya memberi jawaban sekenanya. Kemudian dia menyinggung ada hal penting yang masih perlu diurusnya—baik untuk malam ini serta besok hari.
“Emang hal penting apa sih? Aku yakin Rully bilang jadwal kamu udah habis.”
Olivia tak bisa menyembunyikan kecemberutannya saat mereka meninggalkan kedai itu.
“Urusan pribadi.” Lagi-lagi, Farid tersenyum simpul.
Lalu begitu saja, di tepi jalan yang masih ramai malam itu, mereka kembali berpisah.
Sori, Liv. Karena kamu udah minta baik-baik, aku akan bantu urusan kamu sebaik yang aku bisa. Tapi, aku yang sekarang udah enggak bisa lagi ngasih komitmen.
***
Si mata merah itu bisa tahu aku di mana dengan suatu cara. Mata merah itu enggak alami!
Farid punya dua pilihan—berpindah posisi atau menangani si botak bermata merah saat itu juga.
Waktu yang dipunyainya tidak banyak.
Bom asapnya yang kedua mungkin bisa melumpuhkan anak-anak buah yang lain. Tapi, dengan mata berair sekalipun, si botak bermata merah itu seperti bisa tahu Farid ada di mana.
“Uhukuhuk! Gue tahu elo ke mana, bangsat! Jangan kira elo ga akan mati malam iniii!”
Dari posisi merunduk, dia menembakkan pistolnya lagi—pelurunya pasti telah membuat penyok badan forklift tempat Farid sedang berlindung.
<”Perhatikan baik-baik, Farid. Misi utama masih sama: menghancurkan pengiriman narkotika. Tapi, kamu punya misi tambahan kali ini. Ini penting, karena akan menjadi kunci untuk misi kita berikutnya.”>
Pikiran Farid melayang ke taklimat jarak jauh yang Insinyur O berikan—tatkala Farid menaiki lift sendirian menuju lantai teratas gedung apartemen yang salah satu unitnya dia miliki.
Sesudah Farid tiba di puncak apartemen, merasakan tiupan kencang angin malam dari ketinggian, menikmati gemerlap cahaya lampu Jakarta, sekalian menyongsong pesawat VTOL berkamuflase optik dan berdaya AI yang menjemputnya, Farid berpikir alangkah ribetnya penjelasan Insinyur O saat itu.
Intinya? Malam ini agak istimewa.
Mereka berhasil kunci momen pelaksanaan misi ini pada waktu bersamaan ketika ada pengiriman tiba. Dengan begitu, ini jadi peluang bagus untuk sekaligus melacak pabrik narkotika jenis baru ini. Ini bisa mereka lakukan asal Shunmak menanam alat pelacak khusus ciptaan Insinyur O yang selanjutnya mentransmisikan impuls radio tersamar setiap 42 menit ke satelit geosentris mereka.
Lokasinya? Kali ini di suatu dermaga terpencil di pesisir timur Pulau Sumatra.
Jadi, tanam dulu pelacak di kapal. Baru ledakin barang.
Proses yang harusnya tidak masalah dengan kamuflase optik yang Shunmak punyai.
Mungkin nanti dia akan bisa selesai cepat. Mungkin sekali ini, dia akan bisa tidur awal. Mungkin karena dua misinya yang terdahulu sedemikian lancar, Farid mulai agak besar kepala…
Nyatanya, itulah yang terjadi.
Beres menanam pelacak di kapal, saat melintasi wilayah kantor dermaga, Farid ketahuan dalam upayanya memastikan lokasi barang kiriman. Farid seketika mencoba terbang dengan sayap layangan di balik jubahnya. Salah satu anak buah menembak, lalu Farid terkena di sekitar di rusuk. Lalu Farid pun jatuh dari ketinggian sebelas meter sebelum akhirnya menembus atap.
Hanya berkat kecanggihan Shunmak, Farid saat itu masih tetap hidup.
Sebagian anak buah pengedar itu telah tergolek, tapi mereka yang masih tersisa melepas tembakan mereka secara lebih terfokus.
Ngapain sih aku melakukan ini?! Kalau bukan karena ini, mungkin aku…
Selama sekejap, wajah Olivia yang kali ini terbayang.
Suatu perasaan tak nyaman, yang sebenarnya tak asing, kemudian tiba-tiba terasa menusuk hati.
Di saat yang sama, sudut pikiran Farid yang lain tengah memaki-memaki.
Dasar goblok! Masa gitu aja lemah? Mana tekadmu? Apa kamu lupa janjimu? Kamu punya MISI yang harusnya kamu tuntasin!
Meski pikirannya sibuk, tangan dan kepala Farid terus bergerak. Matanya memantau pola-pola termografis dari musuh-musuh untuk memastikan posisi mereka. Tangan kirinya sibuk mengisi daya pada pompa elektromagnetik yang terpasang pada lengan tangan satunya.
“Goblok! Gue tau posisi elu! Elu bakal mati! Elu tau gue makin deket kan?!”
…Sekarang!
“…Ap--!”
Apapun makian yang si mata merah hendak lontarkan untuk mengalihkan perhatian Farid terputus seketika. Tahu-tahu, forklift yang di baliknya Farid sebelumnya berlindung, dengan begitu saja terlontar ke udara.
Terlontar setinggi lima meter.
Seakan-akan ada suatu tangan tidak terlihat yang telah mengangkatnya.
Semua mata yang menyaksikan terbelalak. Ukuran forklift yang besar dan badannya yang berwarna kekuningan tetap terlihat jelas bahkan melalui cahaya lampu yang remang dan kepulan kabut yang menipis.
“Awaaas!”
Terdengar salah seorang berteriak.
Gubraaaaak!
Tak ada yang dapat memperkirakan ke mana alat itu akan jatuh. Karena itu, semua yang ada di sana—bahkan termasuk mereka yang sudah terkapar kesakitan—sama-sama memaksakan untuk bergerak.
Forklift itu pun terjatuh ke atas salah satu tumpukan kotak yang masih utuh. Sejumlah peti dan rak dibuat hancur sampai berserpihan. Posisi forklift sempat jungkir balik dengan keempat roda di posisi atas.
Pada saat yang sama, Shunmak telah melaju. Lagi-lagi mengandalkan mekanisme sistem otot sintetisnya, Farid melesat bagaikan angin melewati lubang di atap tempat dia sebelumnya terjatuh—kemudian, dia untuk sesaat melayang dengan apa yang masih tersisa dari sayap layangan di balik jubahnya.
Beberapa menit berikutnya, barulah terdengar ledakan susulan dari arah gudang yang lain.
Kiriman narkotika yang baru malam itu mereka terima berakhir musnah dalam kobaran api.
Farid membuka mata perlahan.Untuk sejenak, dia merasa habis bermimpi—mimpi yang sekarang tak dapat diingatnya.Dalam kegelapan, matanya mengerjap. Dia terbangun. Dia tercekat—dia bukan sedang berada di tempat tidur. Oh. Benar juga. Aku masih di pesawat. VTOL Shunmak. Topeng dan baju canggih Shunmak masih dikenakan. Memar di rusuknya masih agak nyeri. Hawa AC terasa sejuk. Irama mesin mendengung rendah. Konsol kendali canggih dengan tombol-tombol bercahaya tersebar di hadapan, lengkap dengan tongkat kendali yang secara otomatis bergerak perlahan dalam mode auto-pilot.Perasaan Farid pun kembali tenang.“…”Pada jendela kokpit panoramis di mana Farid menghadap, terbentang pemandangan menakjubkan lautan awan yang berbayang saat menjelang fajar.Masya Allah.Pemandangan itu sejauh ini telah dia lihat tiga kali—rasanya berbeda dari perasaan saat melihatnya melalui pesawat kom
Farid membuka mata perlahan.Untuk sejenak, dia merasa habis bermimpi—mimpi yang sekarang tak dapat diingatnya.Dalam kegelapan, matanya mengerjap. Dia terbangun. Dia tercekat—dia bukan sedang berada di tempat tidur. Oh. Benar juga. Aku masih di pesawat. VTOL Shunmak. Topeng dan baju canggih Shunmak masih dikenakan. Memar di rusuknya masih agak nyeri. Hawa AC terasa sejuk. Irama mesin mendengung rendah. Konsol kendali canggih dengan tombol-tombol bercahaya tersebar di hadapan, lengkap dengan tongkat kendali yang secara otomatis bergerak perlahan dalam mode auto-pilot.Perasaan Farid pun kembali tenang.“…”Pada jendela kokpit panoramis di mana Farid menghadap, terbentang pemandangan menakjubkan lautan awan yang berbayang saat menjelang fajar.Masya Allah.Pemandangan itu sejauh ini telah dia lihat tiga kali—rasanya berbeda dari perasaan saat melihatnya melalui pesawat kom
Farid membuka mata perlahan.Seluruh tubuhnya kesakitan—sakit di sekitar tulang rusuk kiri yang paling terasa.Di balik topeng, wajahnya meringis.Pandangan matanya bahkan berkunang.Farid saat itu tengah terlentang di atas setumpuk kotak kardus. Isi kotak-kotak itu? Menilai kondisi barang-barangnya yang berhamburan dalam keadaan terbungkus plastik, sepertinya itu semacam bahan makanan.Sesuatu yang bisa dimasukkan ke mulut.Sesuatu yang bisa dicerna usus manusia.Sama seperti narkotika berbahaya jenis baru yang saat itu sedang berusaha dia musnahkan.Ruangan itu cukup luas. Tumpukan kotak kardus memenuhi lantai kasarnya yang dingin. Dinding-dindingnya terbuat dari bahan beton tebal. Sebagian permukaan dinding dan tiang bahkan berlapis logam. Di pojok ruangan, berdiri mesin forklift yang sepertinya masih baru dan belum lama dipakai.Di atasnya, Farid melihat atap rusak yang baru beberapa menit lal