Share

6. Rasain kamu, Mas!

Author: Desti Anggraini
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Jam menunjukkan pukul sebelas malam saat pintu di gedor kuat oleh Mas Yudha. Pria itu pulang larut malam. Entah dari mana? Tanpa menghidupkan lampu, aku mengintip sedikit dari jendela, tampak Mas Yudha berjalan sempoyongan.

Membuat hatiku geram. Bukannya kerja cari duit, pria ini justru keluyuran gak jelas. Sekali pulang malah dalam keadaan setengah teler.

Dadaku bergemuruh hebat, dengan sejuta rasa dongkol di hati.

"Zalia! Buka pintunya!" teriaknya lantang. Tangannya menggedor-gedor pintu begitu kuat.

Aku bingung, di buka bikin kesal. Tapi di biarkan bikin gaduh!

Ya Tuhan ... nasibku dapat suami kok gini amad, ya?

"Zalia! Buka!" Lagi-lagi Mas Yudha berteriak. Aku berlari ke kamar mandi membawa seember air hingga menuju pintu depan.

Betul tebakanku Mas Yudha kembali berteriak dan menggedor pintu dengan kencangnya. Pria ini selain tak tahu malu juga tak tahu diri.

Byurrrrr ...

Aku siram Mas Yudha dengan air seember yang aku bawa setelah aku membuka pintu. Wajahnya yang kuyu semakin kuyu saja saat aku siram. Ia tampak kaget, dengan rahang yang mengeras dan wajah yang memerah menatapku nanar.

"Apa kau sudah gila, Zalia?! Suami pulang bukannya di sambut baik malah di guyur air seperti ini!" sungutnya. Beberapa tetangga yang lewat memperhatikan kami dengan minat. Mungkin mereka pikir sebentar lagi akan ada drama live pertengkaran rumah tangga gratis dengan tema 'suami mabuk di guyur air seember oleh istri'.

"Kamu yang gak punya otak, Mas. Seharian keluyuran bukannya kerja, malah mabuk-mabukan gak jelas!" sungutku tak kalah lantang. Sudah cukup aku bersabar dengan tingkahnya selama ini. Ingin rasanya ku tentang lelaki yang ada di hadapanku ini.

"Gak usah ngatur-ngatur kamu. Terserah aku mau pulang jam berapa, mau kemana. Itu semua hakku. Kamu gak usah cerewet! Tugasmu itu cuma dirumah." tandasnya. Dengan tubuh basah dan sempoyongan Mas Yudha ingin masuk ke rumah. Dengan cepat aku menahan tubuhnya. Aku tahu betul kebiasaan Mas Yudha saat mabuk. Ia pasti akan muntah sembarangan di rumah, dan itu artinya akan ada kerja tambahan lagi untukku.

Aku mendorong tubuh sempoyongan itu hingga ia terjerembab jatuh ke bawah.

"Kamu gak boleh masuk ke dalam rumah jika masih dalam ke adaan mabuk, Mas! Malam ini kamu tidur di luar!"

Mata Mas Yudha menatapku menyalang, matanya merah menyala-nyala. Namun aku tak takut. Sudah cukup aku diam saja selama ini.

"Jangan kurang ajar sama suami kamu, Zalia! Ini juga rumahku! Berani sekali kamu melarang aku untuk masuk!" bentaknya.

"Tapi aku yang membayar kontrakannya setiap bulan. Jadi aku yang lebih berhak untuk memutuskan. Jika kamu mau tidur, sana, pulang saja kerumah ibumu! Biar ibumu yang mengurus semua muntahmu nanti!" balasku tak kalah lantangnya. Aku berlalu pergi menutup pintu dengan rapat.

Tak kuhiraukan suara lantang Mas Yudha yang masih terdengar di luar. Ia memaki dan mengumpat diriku dengan marah. Dasar lelaki pemalas yang hanya bisa menyusahkan.

Jika biasanya aku hanya akan menangis dan meratap dengan semua sikapnya padaku. Tapi kali ini tidak lagi. Aku tak mau lagi di perlakukan semena-mena olehnya. Tidak akan!

Rasain kamu, Mas!

🍁🍁🍁

Pagi yang cerah, seindah kicau burung di pagi hari. Setelah sholat subuh dan mengepak semua pakaian pelanggan yang sudah di setrika aku membuka pintu serta jendela agar udara pagi masuk ke dalam rumah.

Aku tak melihat batang hidung Mas Yudha di teras. Sepertinya semalam ia pulang kerumah Ibunya. Aku tak peduli. Toh, ada dan tak ada dia sama saja. Tak ada bedanya!

Aku mengambil dompet dan keluar rumah sebentar, berjalan ke arah kiri. Alia masih tidur, jadi kutinggal sebentar. Kelang lima rumah dari rumahku ada kedai kecil yang menjual aneka makanan sarapan pagi. Dari lontong, nasi uduk serta aneka gorengan. Aku ingin membeli sebungkus lontong plus telor untuk sarapan pagiku dan Alia. Sebelum aku mengajaknya pergi berkeliling mengantarkan pakaian yang sudah kucuci kemaren. Cepat diantar maka cepat aku mendapatkan uang untuk biaya hidup kami.

Tiga hari lagi, Ibu pemilik kontrakan rumah akan datang menagih uang sewa. Jika aku tak cepat kerja maka mau ku bayar pakai apa sewa rumah itu. Ngandelin Mas Yudha, cuma mimpi indah di siang bolong.

"Eh ... ada neng Zalia. Tumben Neng, mau pesan apa?" sapa Buk Siti penjual sarapan pagi itu ramah.

Aku tersenyum. "Zalia pesan lontong sayur pakai telor satu, buk. Bungkus, ya!" pintaku.

"Sebentar, ya, Neng. Ibu bungkusan dulu," ujar Bu Siti. Aku mengangguk. Mau duduk, tapi bangku panjang itu sudah penuh berjejel dengan para ibu-ibu yang mengantri membeli sarapan pagi. Bahkan ada yang juga makan di tempat.

"Zalia ... Mbak mau nanya, kamu jangan marah, ya!" ujar Mbak Ika tetangga yang tinggal di gang ujung, gang cempaka. Ia tampak ragu-ragu.

"Memangnya mau tanya apa, Mbak?" tanyaku.

"Gini Zal ..." Mbak Ika berdiri dari duduknya, ia menarik tubuhku untuk sedikit menjauh dari kerumunan para ibu-ibu yang salah satu diantaranya adalah ratu gosip. Siapa lagi kalau bukan Mbak Wulan istrinya Mas Irwan, seorang karyawan bank swasta.

"Ada apa sih, Mbak. Kenapa harus jauh-jauh begini?" tanyaku heran. Ia mengajakku hingga di bawah pohon rumah sebelah.

"Kemaren mbak lihat suami kamu, keluar dari rumah janda yang tinggal di ujung komplek sana. Mbak cuma mau ingatin kamu, Zal. Hati-hati! Itu janda selain gatal juga jualan! Mbak gak mau kamu di bodohi suamimu!" ujar Mbak Ika membuat mataku membulat sempurna.

"Serius Mbak? Mbak gak bohong, kan?" tanyaku memastikan.

"Ngapain Mbak bohong, bukan suamimu saja. Tapi Norman, kakak iparmu itu juga sering ke sana," jelas Mbak Ika.

"Mas Norman suaminya Mbak Intan?" tanyaku serasa tak percaya. Karena selama ini Mbak Intan seolah menyombongkan diri jika suaminya itu bucin padanya. Walau terkadang aku suka iri melihat kemewahan yang di pamerkan Mbak Intan. Mas Norman suaminya seorang mandor pabrik tekstil. Selain gajinya yang gede. Mas Norman juga tipe pria yang tak pelit sama istri.

"Memangnya siapa lagi, Zalia! Eh ... udah dulu, ya, Zal. Pesanan Mbak udah siap," Mbak Ika pergi ke tempat Bu Siti mengambil pesanannya. Ia berlalu pergi meninggalkanku yang berdiri kaku di sini.

Hatiku remuk dan geram. Sangat geram, sudah pengangguran tak berguna, ternyata suamiku juga main gila dengan janda. Bikin aku ingin memotong adik kecilnya itu dengan golok.

Awas saja kamu mas, kalau sampai ketahuan kamu juga main serong di belakangku! Tak ada maaf bagimu, Mas!

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
aduh ,suami model ky gitu tinggalin aja.....ga guna dan mau enak nya aja ,ayo tinggalin cepet ....ntar ketularan spilis dri janda yg salome ,celup sana sini .
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Batas kesabaran seorang istri!   7. Mertua tak ada akhlak.

    Setelah Alia bangun dan mandi, aku menyuapinya dengan lontong yang kubeli tadi. "Ma ... mamam!" teriak gadis kecil itu membuatkan lamunanku."Astagfirullah al'azim," ucapku. Ternyata sedari tadi aku melamun hingga tak sadar bukan mulut putriku yang aku suapi, tapi gelas yang berisi air. "Maaf sayang. Maaf, ya, Nak!" ujarku dengan rasa bersalah. Aku kembali menyuapi Alia. Pikiranku menjadi tak fokus sejak berbicara dengan Mbak Ika tadi. Aku masih tak habis pikir, jika Mas Yudha tega melakukan itu. Apa betul ia main serong dengan janda ujung komplek? Atau Mbak Ika salah lihat.Jika Mas Norman aku masih percaya, karena ia memiliki uang. Namun Mas Yudha? Entahlah, aku bingung."Eh ... eh ... suami sedang sakit, kamu malah enak-enakan makan lontong telur di rumah. Benar-benar istri tak berbudi, kamu ini, ya, Zalia!" bentak Ibu yang tiba-tiba datang mengagetkanku. Ibu mertuaku ini nongol Sudah seperti jin iprit saja, tak bersuara dan tak berbunyi. Tahu-tahu sudah ngomel di depan mukaku."D

  • Batas kesabaran seorang istri!   8. Mas Norman.

    Karena ketutupan dahan pohon dan sebuah spanduk membuat orang tidak dapat melihat langsung keberadaanku. Namun aku bisa melihat pemandangan di depanku secara jelas. Aku melihat seorang lelaki tinggi tegap keluar dari rumah itu. Janda itu melambai mesra dengan pria itu. Karena pria itu masih menoleh ke arah rumah, sehingga membuatku tak dapat melihat wajahnya secara langsung. Tapi melihat pakaian dan postur tubuhnya, aku merasa seperti sangat familiar.Dalam beberapa menit mereka berdua masih saling melempar kissbay dan rayuan gombal yang membuat siapapun yang melihat menjadi mual. Seperti aku yang geli melihat gelagat mereka yang malu-malu guk ... guk. "Mas Norman," gumamku lirih. Saat pria itu membalikkan tubuhnya, untuk menaiki motor yang terparkir di teras rumah itu. Mataku bulatku melebar seakan tak percaya dengan apa yang aku lihat, ngapain Mas Norman keluar dari rumah janda dengan keadaan rambut basah.Sepertinya ia habis mandi? Mandi di siang hari terik, di rumah janda?Kok a

  • Batas kesabaran seorang istri!   9. Meledaknya bom di hati.

    Kamu memukulku, Mas?" tanyaku seakan tak percaya.Aku menatap mas Yudha dengan nyalang, mataku berkaca-kaca. Selama menikah ini lah pertama kali ia melayangkan tangannya ke tubuhku."Istri yang tak berbakti sepertimu, memang pantas di pukul!" ujarnya."Istri tidak berbakti? Kurang berbakti apa lagi aku padamu, Mas! Aku yang banting tulang menafkahi keluarga ini, sedangkan kamu ..." Kutunjuk wajah lelaki yang menjadi imamku itu dengan geram. "Kamu hanya makan tidur! Saat kamu lapar kamu hanya bisa menjerit dan memerintah! Apa fungsimu sebagai suami, Mas? Tak ada! Aku perempuan bersuami, tapi hidup layaknya seorang janda!" sungutku lantang. Meledak sudah bom di hati ini.Selama ini aku sudah cukup bersabar dengan semua sikap dan perilakunya. Tapi tidak kali ini. Habis sudah batas kesabaranku."Jadi sekarang kamu sudah berani melawanku, Zalia! Aku marah karena kamu tak tahu tugasmu sebagai seorang istri. Seharusnya kamu itu masak dulu sebelum berangkat. Ini suami pulang tak ada makanan d

  • Batas kesabaran seorang istri!   10. Pergi dari rumah.

    Dengan langkah pasti aku menarik kembali koperku, membuka pintu rumah dan berjalan keluar. Alia semakin menangis menjerit memanggil namaku. "Zalia apa kamu tidak kasihan melihat anakmu ini? Ibu macam apa kamu ini, hanya memikirkan egoismu sendiri!" makinya membuat langkah kakiku terhenti.Aku menoleh ke belakang. Sebenarnya hati ini tak tega melihat putriku yang menjerit sedih begitu. Aku berjalan mendekati Mas Yudha, merampas Alia dari gendongannya saat ia lengah. Lalu bergerak mundur menjauhi dirinya."Aku berubah pikiran, Mas. Aku pergi membawa Alia," Mas Yudha mengerang kesal dengan tindakanku. "Jika kamu berani mendekat. Jangan salahkan aku untuk teriak. Biar semua orang di komplek ini tahu siapa kamu!" ancamku. Posisi kami yang kini berada di teras rumah memudahkanku untuk menekannya. Jika ia macam-macam, maka aku akan berteriak dan membuat suasana semakin ramai. Apa lagi luka yang ada di sudut bibirku bekas tamparannya tadi, bisa kujadikan bukti tindakan KDRT.Mas Yudha tamp

  • Batas kesabaran seorang istri!   11. Pohon rindang tempatku berteduh.

    Setelah menempuh perjalanan satu jam, akhirnya aku sampai di rumah ibu. Hanya buah jeruk satu kilo yang kubeli di halte bis tadi, kubawa sebagai buah tangan. Agar jangan kosong-kosong sekali, saat aku pulang.Ibu terkejut melihat kedatangan kami secara tiba-tiba. "Loh ... kok pulang gak ngabar-ngarin, Zal. Yudha mana? Kalian pulang cuma berdua?" tanya Ibu. Matanya awas meneliti keberadaan Mas Yudha di belakangku. Dahi keriputnya semakin berkerut, saat mendapati yang di cari tak ada."Masuk, Nduk! Kalian pasti lapar. Ibu tadi masak semur jengkol sama goreng ikan asin, pasti kamu suka," ajak Ibuku. Baru mendengarnya namanya saja, cacing di perutku langsung bergoyang. Semur jengkol buatan ibu begitu nikmat. Kuah yang kental perpaduan antara rasa pedas dan manis membuat air liurku terasa ingin keluar. Aku masuk kerumah dan langsung menuju meja makan, Alia di sambut ibu dan duduk di pangkuannya.Aku mengambil nasi dan membuka tudung saji. Tempe goreng, ikan asin goreng, lalap timun dan

  • Batas kesabaran seorang istri!   12. Mbak Zahra.

    "Assalamualaikum," suara Mbak Zahra menyadarkanku dari lamunan. "Waalaikum salam, Mbak." sahutku. Aku yang sedang duduk di sofa bangkit mendekat pada Mbak Zahra dan menyalaminya.Mbak Zahra datang bersama anak bungsunya, Nabila. "Loh ... ada kamu, Zal?! Kapan sampai?" tanyanya kaget melihat keberadaanku. "Kemaren Mbak, sebelum magrib." jawabku. Nabila berlari ke taman samping, ke tempat Ibu dan Alia berada.Mbak Zahra duduk di hadapanku, menyenderkan punggungnya ke sofa sambil menyilangkan kakinya. Persis layaknya seorang nyonya. Nyonya besar."Suami kamu mana, Zal? Kok, Mbak gak nampak?" tanyanya lagi. Karena setiap pulang ke rumah Ibu, aku selalu bersama Mas Yudha. Padahal jarak antara rumahku dan Ibu hanya satu jam. Ibu tinggal di kota besar sedangkan aku di kabupaten. Tapi Mas Yudha tidak pernah mengizinkanku pulang sendiri. "Mas Yudha sedang sibuk, Mbak. Jadi hanya aku dan Alia saja yang pulang." jawabku bohong. Mbak Zahra mencebikkan bibirnya seolah mengejek. "Sibuk apa? Su

  • Batas kesabaran seorang istri!   13. Keributan dengan Zahra.

    "Terserah lah! Asal jangan nyesel aja nantinya. Dan jangan nyusahin Ibu!" sentak Mbak Zahra padaku. "Apa kamu lupa, siapa yang dulu ngotot banget pengen nikah sama Yudha. Bahkan bela-belain berhenti kuliah! Sekarang malah ngotot ingin pisah, apa kamu gak malu, hah?" Aku menggigit bibir bawahku, sedih dan bercampur kesal. Aku sedih ternyata lelaki yang aku perjuangkan mati-matian justru membuatku kecewa. Namun aku juga kesal, kenapa Mbak Zahra sedari tadi selalu saja memojokkanku. Apa masalahnya padaku?"Jika aku tahu Mas Yudha seperti itu, tentu aku tidak akan mau menikah dengannya, Mbak. Namanya juga jodohku seperti itu, Mbak. Jika aku dapat suami penurut seperti Mas Hadi, tentu aku tidak akan bercerai darinya." balasku. Braakk ...Mbak Zahra mengebrak meja dengan kuat, membuat Ibu menjadi terkejut. Begitu pula dengan Nabila dan Alia yang duduk bersama kami."Apa maksud kamu, Zalia? Kamu mau menggoda suamiku, Mas Hadi? Dasar wanita genit kamu, ya?!" maki Mbak Zahra. Astagfirullah

  • Batas kesabaran seorang istri!   14. Mulai terbongkar.

    Waktu berjalan seiring irama kehidupan ini. Tak pernah mau menunggu. Tak terasa sudah satu bulan aku di rumah Ibu. Ibu tak mengizinkanku untuk pindah, apalagi mengontrak rumah. Katanya rumah ini cukup besar jika harus ia tempati sendiri, ia ingin di hari tuanya berkumpul bersama anak dan cucu. Tentu aku tak tega mendengar permintaan Ibu. Atas saran Ibu, untuk sementara waktu aku tak perlu bekerja jadi buruh cuci lagi. Aku cukup di rumah membantu Ibu sambil memantau sekiranya usaha apa yang cocok denganku.Andai hidup ini adalah permainan game, maka aku akan memilih 'game over' dan memulai semuanya lagi dari awal!Namun kenyataannya tak semudah itu. Hari-hari kulalui di sini dengan begitu pahit. Ibu memang memperlakukanku begitu baik, kasih sayang yang ia berikan padaku dan Alia tak berkurang sedikitpun.Mbak Zahra masih sama seperti awal aku datang ke sini. Ia masih begitu sinis dan seolah tak suka akan kedatanganku. Sedangkan suamiku, Mas Yudha. Tak pernah sekalipun menelpon, setind

Latest chapter

  • Batas kesabaran seorang istri!   153. Merajut kisah cinta halal (end)

    Pov. IwanAku ulurkan tanganku pada wanita cantik yang kini telah sah menjadi istriku. Wanita yang tutur sapanya begitu lembut serta sabarnya yang tak terbatas. Tangan lembut itu meraih tanganku, mencium punggung tanganku penuh khidmat sebagai penghormatan padaku yang kini telah sah menjadi pemimpin dalam hidupnya. Nahkoda yang membawa kapal yang kami tumpangi untuk berlayar.Wajah bersemu merah malu-malu itu membuat hatiku terpesona. Semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dan memberikan ucapan selamat pada kami. “Alhamdulillah kalian sudah sah menjadi suami-istri, Nak!” ujar Ibu yang membesarkanku itu dengan haru. Aku menyalaminya dengan penuh rasa sykur dalam hidup karena telah bertemu dengannya yang penuh kasih. Andai aku tak bertemu dengannya, aku tak akan pernah tahu akan jadi apa diriku ini. Entah bagaimana rasa sakit dan kekosongan dalam diriku jika tanpa adanya kasih sayanganya yang mengobati. Ibu memelukku dengan erat, ia menangis dalam pelukanku sambil menepuk punggu

  • Batas kesabaran seorang istri!   152. Akhir dari penantian.

    “Eh jaga ucapanmu ya! Jangan samakan kami dengan kalian berdua!” balas Puput tak terima dengan apa yangbak Rini ucapkan. Wajahnya memerah menahan amarah dan rasa malu. Pengunjung toko ini mulai ramai, dan sepertinya pemilik toko ini tampak tak ingin melepaskan mereka berdua sebelum mereka membayar sejumlah uang atas pakaian yang mereka ambil.“Ada apa sih ribut-ribut begini? Ada pencuri?”“Nggak tahu juga, tadi pas kesini juga sudah ramai.”“Ada apaan sih?”“Iya, bikin penasaran aja!” Bisik-bisik Ibu yang berbelanja mulai terdengar membicarakan Puput dan Risma. Bahkan mereka ada yang slah paham hingga mengira Puput dan Risma ketahuan emncuri pakaian di toko itu. “Bukan Ibu-ibu, sini saya bisiskkkan!” ujar Mbak Rini yang mendekat pada kumpulan wanita berbeda usia itu. AKu sampai tercengang melihatnya, entah sejak kapan kakak Iparku itu pergi dariku. Ia sudah seperti seorang biang gosip yang ingin menyampaikan berita terhot dan terpopuler saat ini. “Huhhh … sombong ternyata kere!” s

  • Batas kesabaran seorang istri!   151. Si tukang julid

    “Eh eh, main nyomot aja ini maksudnya bagaimana? Itu kan Fitri duluan yang pilih, kenapa main comot aja sih!” sentak Mbak Rini kesal. Aku juga kesal melihatnya.“Loh, baju ini kan belum di bayar, jadi boleh donk dibeli oleh siapa saja. Dan aku suka bajunya jadi aku yang bayar!” jawab Puput dengan santainya. Benar-benar ini orang, sepertinya ia memang sedang mencari masalah denganku. Entah ada dendam apa ia sama aku, suka sekali menyenggolku. “Iya, seperti sanggup beli saja! Mantan babu mana ada uang!” timpal Risma tak kalah mencibirku. Aku sudah tak tahan lagi.“Nggak usah nyindir status pekerjaan ya Mbak Risma yang terhormat. Adik ipar aku memang mantan pembantu, tapi aku rasa masih terhormat di bandingkan mantan biduan tempat karaoke yang menikah dengan suami orang!” ucap Mbak Rini tak kalah pedasnya. Tampaknya ia sudah tak tahan lagi mendengar ucapan Risma yang menjatuhkanku. Bersama Mbak Rini aku berasa bersama dengan kakak kandung perempuanku sendiri. Selalu ada di garda terde

  • Batas kesabaran seorang istri!   150. Tukang cari masalah.

    “Kamu kenapa Nduk, berlari seperti dikejar setan gitu?” tanya Mbok dengan raut bingung melihat aku masuk ke dalam rumah tergesa-gesa. Nafasku naik-turun dengan degup jantung yang melompat-lompat. Aku duduk pada kursi panjang dari bamboo yang ada di ruang tamu. Meletakkan plastic gorengan yang aku pegang dan mengambil gelas yang ada pada namapan yang selalu Mbok sediakan di atas meja, menuang air pada cerek yang tebuat dari guci tananh liat itu. Dinginnya air yang masuk ke dalam tenggorokan menyegarkan. Rasa dinginnya mermbat hingga ke ubun-ubun, jantungku yang berpacu kenca perlahan-lahan mulai normal dengan nafas yang mulai teratur.Mbok dudukk di hadapanku, ia masih menugggu jawaban dari mulutku, ras penasaran tergambar jelas di wajah keriputnya itu. “Sebenarnya ada apa? Kamu bikin Mbok cemas saja Nduk?” tanyanya lagi. “Tadi Fitri ketemu sama Mas Hendra MBok. Ia maksa Fitri untuk nikah dengannya, Mbok. Aku kan jadi takut kalau dipaksa seperti itu,” jelasku. Mbok tersenyum tipis

  • Batas kesabaran seorang istri!   149. Rayuan Mas Hendra

    “Ah Teh Wida bisa saja, aku jadi malu. Teteh juga makin cantik,” balasku tersenyum ramah. Aku pun juga tersenyum ramah dengan Mbak Puput. Balasan yang ia berikan membuatku menyesali tindakanku barusan. Sombong sekali istri Mas Indrawan ini.“Mau beli apa, Fit?” tanya Bu Nisa ramah padaku. “Gorengan saja Buk’de. Sepuluh ribu campur, ya!” pintaku. Bu Nisa mengangguk, ia mengambil capit dari stenlis itu lalu mengambikan apa yang aku pinta. Selain gorengan, wanita paruh baya itu juga menjual pecel dan juga mie ayam serba lima ribu. Porsinya cukup untuk mengganjal perut yang lapar walau tidak sampai pada batas mengenyangkan. “Calon istri orang kota yang kaya kok beli gorengan cuma sepuluh ribu. Hemat apa pelit itu mah,” cibir wanita dengan titik hitam di sudut bibirnya tipisnya.“Puput, nggak boleh ngomong gitu! Jangan bikin masalah baru ah!” bisik Mbak Wida menegur Puput. Aku menoleh dan menatap wajahnya. Pandangan mata itu tak hanya sinis, namun syarat akan permusuhan. Aku tak merasa

  • Batas kesabaran seorang istri!   148. Kelicikan Hendra

    Pernikahanku akan diadakan bulan depan. Mas Radit membantuku untuk mengurus surat-surat yang diperlukan untuk mendaftarkan pernikahanku ke kantor urusan agama (KUA). Rencananya ijab kabul akan diadakan di rumahku sedangkan acara resepsi akan diadakan di kota. Di sebuah hotel karena Mas Iwan mengundang banyak sanak-saudara serta teman-teman kerjanya. Aku juga sudah mengatakan semua itu pada keluargaku dan mereka semua setuju terutama Mbak Sinta. Walau ia terkadang sering bertentangan denganku, entah kenapa kali ini ia menjadi orang yang paling bersemangat dengan persiapan pernikahanku ini. Saking semangatnya hingga kado-kado dan parsel yang dibawakan Mas Iwan saat acara lamarannya padaku kemarin, semuanya dibuka olehnya. Ia fotokan satu persatu sambil berceloteh mengira-ngira berapa harga barang-barang tersebut layaknya tukang review di televisi. Mbak Rini saja sampai menggelengkan kepala melihat tingkah iparnya yang sedikit aneh itu. Hingga akhirnya ia meminta satu buah tas yang m

  • Batas kesabaran seorang istri!   147. Mengenang alm. Bapak

    Malam harinya Mas Iwan kembali menelponku di kala kebimbangan hati ini kian merajai hati. Bukan bimbang karena hubungan kami, melainkan apa yang akan dilakukan Mas Hendra padaku nantinya. Tentu saja aku gelisah, karena lelaki itu tidak sesimple yang terlihat. Ia lelaki yan menyimpan dendam. “Kamu kenapa Fit? Dari tadi aku ajak bicara kamu lebih banyak diam. Apa ada masalah?” Aku bingung harus menjawab apa atas pertanyaannya itu. Aku tak mungkin menceritakan apa yang terjadi di rumah ini padanya. Apa tanggapannya nanti padaku? “Tidak ada apa-apa Mas, aku hanya sedang ingin mendengarkan suaramu saja. Oh ya, bagaimana dengan pekerjaanmu?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku sedang tidak ingin merusak moodku dengan membahas masalah itu kembali. “Tumben manis ucapannya, biasanya kalau dekat menghindar terus dariku,” balas Mas Iwan di seberang sana. Nada suaranya datar, namun dapat membuat hatiku berbunga-bunga. Aku pun tersenyum. Langkah kakiku mendekat pada jendela kamar yan

  • Batas kesabaran seorang istri!   146. Sinta membuat masalah

    “Mbak Sinta marah, Mbak. Apa aku yang keterlaluan ya?” tanyaku pada Mbak Rini. Walau bagaimanapun aku tak mau terjadi keributan saat kami kumpul bersama seperti ini. Tak enak sama Mas Wahyu, aku takut Mbak Sinta ngadu yang tidak-tidak pada suaminya itu.“Sudah jangan dipikirkan, memang dasar Sinta saja yang tak punya otak. Asal jeplak saja, barang orang mau tetapi barang ia meditnya bukan main. Lagi pula apa pantas ia meminta hadiah pertunanganmu. Tadi saja ia menghina kamu matre!” kata Mbak Rini penuh dengan kekesalan terhadap Mbak Sinta. Kedua iparku ini sifatnya saling bertolak belakang. 180% berbeda satu sama lain.“Bagaimana kalau ia ngadu yabg tidak-tidak sama Mas Wahyu. Kasihan Mbok, Mbak.”“Sudah, kamu jangan khawatir. Masmu itu cukup bijak untuk menilai mana masalah yang perlu dibesar-besarkan dan mana masalah yang perlu diredam. Lagi pula aku gedek melihat gayanya yang sok kaya itu. Seakan-akan ialah nyonya besarnya. Padahal dari keluarga yang biasa-biasa saja ia. Bukan yan

  • Batas kesabaran seorang istri!   145. Sinta yang Iri (season 2)

    Jam menunjukkan pukul dua siang. Semua anggota keluarga sudah selesai makan siang. Mas Wahyu beserta anak-istrinya belum diizinkan Mbok untuk pulang. Walau mereka tinggal di kampung sebelah, kesibukan membuat mereka jarang bisa berkunjung di rumah ini.Berbeda dengan Mas Radit yang memang orangnya santai dan jarak rumah juga sangat dekat dengan rumah Mbok. Namun kali ini, Mbok menginginkan anak-anak berkumpul menjadi satu di rumah ini walau hanya sehari. Anak-anak pada main di luar, Mas Radit dan Mas Wahyu memancing di kolam belakang sambil bercerita, mengenang masa kecil mereka. Bahkan saat aku hendak memetik daun singkong di pinggir kolam untuk lalapan makan malam, aku tak sengaja mendengar mereka juga membahas masalah para mantan mereka. Ya … setidaknya tak terdengar oleh Mbak Sinta. Jika tidak mungkin akan terjadi perang dunia ke tiga. “Fit! Fitri!” teriak Mbak Sinta memanggilku. “Iya Mbak, aku di dapur!” jawabku. Aku yang baru masuk ke dalam rumah meletakkan daun singkong mud

DMCA.com Protection Status