"Kenapa kamu tiba-tiba membahas masalah Itu Zalia?!" ujar Mbak Zahra dengan mata yang menatapku tajam. Setiba di toko Mbak Zahra. Aku memintanya berbicara empat mata. Penting! Lalu ia menyeretku ke bagian gudang atap toko.Aku belum menceritakan sampai di bagian kalau Iwan adalah anaknya. Aku baru menyinggung tentang kabar keberadaan anak itu saja, mata Mbak Zahra sudah memerah tajam. Sepertinya dia tak ingin lagi mengungkit kejadian delapan tahun silam itu. "Tapi Mbak. Bagaimana jika anak itu ada di sini? Apa Mbak tidak merindukannya?" "Jangan pernah kamu membahas semua itu lagi, Zalia! Bagaimana jika Mas Hadi tahu akan hal ini? Apa kamu mau menghancurkan rumah tangga Mbak! Oh ... atau jangan-jangan kamu iri dengan hidupku. Makanya kamu sengaja mengungkitnya, agar rumah tanggaku hancur seperti rumah tanggamu kini! iya, kan?" tuduhnya padaku. Berulang kali aku beristighfar di dalam hati. Sungguh sempit sekali pikirannya. "Kok jadi fitnah aku yang nggak-nggak sih, Mbak? Aku sedang
Sepanjang yang aku ketahui, kasih sayang seorang ibu adalah kasih sayang yang tak bertepi dan tiada batas. Dulu aku tak pernah mengerti akan makna itu. Aku menganggap semua itu hanya kata kiasan saja. Namun setelah memiliki Alia, aku paham makna kasih sayang tulus tak bertepi dan tiada batas itu seperti apa.Seorang Ibu akan melakukan apa saja untuk kebahagian anaknya. Mereka sanggup mengorbankan nyawa demi hidup anaknya. Namun, apa yang ada di hadapanku ini justru membuatku ingin meringis pilu. Masih pantaskah Mbak Zahra di sebut sebagai seorang Ibu? Jika dengan tangannya sendiri, ia sanggup membayar orang untuk melenyapkan anaknya sendiri.Aku mengurut kepalaku yang terasa pusing. Sepulang dari tempat Mbak Zahra. Aku memutuskan pulang ke rumah. Menenangkan hati dan pikiranku. Kepalaku rasanya penuh dengan banyaknya masalah yang tak mampu aku pecahkan."Ada apa Zalia? Kenapa wajahmu sepertinya suntuk sekali, Nduk? Apa ada masalah?" tanya Ibu yang tiba-tiba menghampiriku. Beliau meng
Mbak Intan menenggak es teh yang di buat Bik Ijah hingga tandas. Lalu meletakkan kembali gelas itu di atas meja. Sepertinya setelah berteriak dan bertegang urat denganku tadi membuat tenggorokannya kering. Aku sengaja meminta Buk Ijah untuk membuatkan minuman berupa es agar asap di kepala Mbak Intan bisa padam. Setidaknya dinginnya air es dapat meredakan hati kami yang sedang kusut.Terkadang aku berpikir, kapan hidupku bisa tengang. Belum lepas dari satu masalah. Kini sudah muncul masalah baru."Sekarang jelaskan. Kenapa kamu mencari Yudha di sini? Apa Yudha tak memberikan kabar pada keluarganya selama sebulan terakhir ini?" tanya Ibu. Ibu memang orang baik, walau Mbak Intan sudah tak sopan. Tapi Ibu tetap menyikapinya dengan sabar.Mbak Intan menggelengkan kepala. "Sebulan yang lalu Yudha hanya pamit pada kami untuk menjemput Zalia. Ia hanya memberi kabar satu kali, ia bilang bahwa ia akan rujuk kembali dengan Zalia. Setelah itu hingga kini, ponselnya tak dapat di hubungi kembali."
"Benar apa yang dikatakan Zalia. Yudha yang berbuat, maka Yudha yang harus bertanggung jawab. Sudah cukup selama ini kalian mendzolimi putriku!" timpal Ibu semakin membuat raut wajah Mbak Intan tak suka.Mbak Intan berdiri dari duduknya, membuatku ikut berdiri. "Justru karena kami tak dapat menemui Yudha, makanya aku memintanya padamu. Walau bagaimanapun kamu masih istrinya. Kamu wajib membayar hutang suamimu itu. Pokoknya kamu harus tanggung jawab!" desaknya. Semakin membuatku terpancing emosi."Peraturan dari mana itu, hah? Memangnya selama ini adik kesayanganmu itu memberikan nafkah padaku. Dan satu lagi, aku tegaskan padamu Mbak! Sampai kapan pun, aku tak akan membayar hutang-hutang Mas Yudha. Kamu cari saja adikmu itu sampai dapat!" murkaku. Aku menatap tak kalah menantang. Menjalar rasa panas di hatiku sampai ke ubun-ubun."Kamu ..." "Silahkan kamu pergi dari rumahku, Mbak! Pintu keluar ada di sana!" potongku. Aku tak mau lagi mendengar omong kosong dari mulutnya. "Nggak! Aku
"Berani sekali mereka menghinamu! Mereka pikir, mereka itu siapa!" ucap Ibu kesal dengan apa yang aku sampaikan. "Terus Yudha bagaimana? Apa dia ada di sana? Apa hidup senang di rumah mertuanya membuat dia lupa pada kita?" tanyanya. membuatku menghela napas lelah."Batang hidung Yudha bahkan tak tampak di sana! Anak Ibu itu hilang bak ditelan bumi.""Kok bisa? Memangnya adikmu ada di mana, Intan?" tanya Ibu cemas. Ibu ikut duduk di sebelahku. Wajahnya tampak gusar."Mana aku tahu. Kalau aku tahu, mungkin sudah aku pukuli Yudha hingga babak-belur!" balasku geram. Karena ulahnya sekarang aku menderita. Mobil sebentar lagi bakalan ditarik leasing. Ehh ... motor malah besok, bakal disita Mang Udin.Sial! Sial! Kenapa akhir-akhir ini hidupku sial sekali. "Kalau kamu tak dapat uang dari Zalia. Terus untuk membayar arisan Ibu sama Mpok Jum apa? Malu dong sama geng soksialitah Ibu. Jika Ibu ketahuan tak mampu membayar arisan yang hanya dua juta itu," keluh wanita tua yang telah melahirkanku
Jam baru menunjukkan pukul sepuluh pagi. Namun aku sudah uring-uringan, semalam, sehabis menelpon, aku langsung bergegas ke rumah janda gatal itu. Dengan penuh emosi. aku juga mau menuntut nafkahku yang tak di berikan bulan ini. Namun tak kutemui Mas Norman dan janda gatal itu di tempat. Entah pergi ke mana mereka?Detik-detik Mang Udin kerumah ini sudah semakin dekat. Sedangkan Ibu. Pagi-pagi sekali ia keluar kamar membawa anakku tanpa menoleh sedikitpun padaku. Sejak pertengkaran semalam, tampaknya Ibu masih marah padaku. Malang nian nasibku ini, saat ada uang semua mendekat. Saat sengsara, menoleh saja tidak."Intan! Heyy ... Intan!" teriak Mang Udin dari depan pintu. Aku terkesiap kaget. Aku bingung harus mengahadapi Mang Udin. Aku keluar menemui Mang Udin. Aku meneguk ludahku susah payah, saat kudapati pria paruh baya itu menatap ke arahku dengan sangar. Ia datang ke sini dengan dua orang bodyguard suruhannya. Mang Udin terkenal dengan kekejamannya dalam menagih hutang.Barang sia
Pov. IntanAku duduk termenung di ruang tamu. Meratapi nasib badan ini yang begitu menyedihkan. Suami diambil pelakor, mobil ditarik leasing dan motor pun, sudah di sita rentenir. Mau meminta tolong juga tak tahu harus pada siapa? Teman-teman yang selama ini selalu dekat denganku, kini pergi menjauh bak ditelan bumi. Setelah mereka menyadari diriku tak memiliki uang lagi. Bahkan Siska terang-terangan menghinaku, saat aku datang kerumahnya. Bermaksud meminjam uang padanya tempo hari sebelum berangkat ke rumah Zalia. Padahal aku tahu, ia baru saja mendapatkan kiriman uang yang cukup banyak, dari hasil penjualan warisan keluarganya.Selama ini aku baik padanya, apa pun yang ia pinjam dariku selalu aku berikan. Dari baju, sandal, tas bahkan mobil saat ia membutuhkannya. Ini lah kata pepatah, engkau akan dipuja-puja seperti Raja, saat masih memiliki harta. Saat jatuh, maka harga dirimu akan di jatuhkan sejatuh-jatuhnya. Hingga keset kaki saja, mungkin lebih beharga dari dirimu."Loh ..
"Mbak Intan! Kamu jahat! Akan aku adukan semua ucapanmu ini pada Ibu!" Rika menghentakkan kakinya kasar. Berjalan menuju pintu keluar."Adukan saja! Bila perlu bawa Ibumu pergi dari rumahku segera. Jangan cuma bisa menggerogoti aku saja. Giliran aku susah, kalian seolah cuci tangan semua!" teriakku mengiringi kepergian Rika dari rumah ini. Gadis itu menoleh sekali menatapku benci lalu membuang muka. Aku berdiri ke arah pintu, lalu menguncinya rapat. Aku tak perduli jika Ibu kembali sambil marah-marah, setelah mendengar aduan Rika. Bila perlu aku usir saja mereka berdua dari rumah ini. Lalu rumah ini aku jual dan pergi jauh. Biar tahu rasa mereka. Biar tahu rasanya jadi tunawisma. 🌺🌺 "Intan! Intan!" Benar saja. Tak sampai satu jam. Ibu pulang ke rumah bersama Rika serta putra semata wayangku.Mata Ibu memerah, menyala penuh amarah. Entah apa yang disampaikan Rika padanya. Bisa jadi ia juga menambah-nambahkan percikan bensin di dalam ucapannya. Secara aku t
Pov. IwanAku ulurkan tanganku pada wanita cantik yang kini telah sah menjadi istriku. Wanita yang tutur sapanya begitu lembut serta sabarnya yang tak terbatas. Tangan lembut itu meraih tanganku, mencium punggung tanganku penuh khidmat sebagai penghormatan padaku yang kini telah sah menjadi pemimpin dalam hidupnya. Nahkoda yang membawa kapal yang kami tumpangi untuk berlayar.Wajah bersemu merah malu-malu itu membuat hatiku terpesona. Semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dan memberikan ucapan selamat pada kami. “Alhamdulillah kalian sudah sah menjadi suami-istri, Nak!” ujar Ibu yang membesarkanku itu dengan haru. Aku menyalaminya dengan penuh rasa sykur dalam hidup karena telah bertemu dengannya yang penuh kasih. Andai aku tak bertemu dengannya, aku tak akan pernah tahu akan jadi apa diriku ini. Entah bagaimana rasa sakit dan kekosongan dalam diriku jika tanpa adanya kasih sayanganya yang mengobati. Ibu memelukku dengan erat, ia menangis dalam pelukanku sambil menepuk punggu
“Eh jaga ucapanmu ya! Jangan samakan kami dengan kalian berdua!” balas Puput tak terima dengan apa yangbak Rini ucapkan. Wajahnya memerah menahan amarah dan rasa malu. Pengunjung toko ini mulai ramai, dan sepertinya pemilik toko ini tampak tak ingin melepaskan mereka berdua sebelum mereka membayar sejumlah uang atas pakaian yang mereka ambil.“Ada apa sih ribut-ribut begini? Ada pencuri?”“Nggak tahu juga, tadi pas kesini juga sudah ramai.”“Ada apaan sih?”“Iya, bikin penasaran aja!” Bisik-bisik Ibu yang berbelanja mulai terdengar membicarakan Puput dan Risma. Bahkan mereka ada yang slah paham hingga mengira Puput dan Risma ketahuan emncuri pakaian di toko itu. “Bukan Ibu-ibu, sini saya bisiskkkan!” ujar Mbak Rini yang mendekat pada kumpulan wanita berbeda usia itu. AKu sampai tercengang melihatnya, entah sejak kapan kakak Iparku itu pergi dariku. Ia sudah seperti seorang biang gosip yang ingin menyampaikan berita terhot dan terpopuler saat ini. “Huhhh … sombong ternyata kere!” s
“Eh eh, main nyomot aja ini maksudnya bagaimana? Itu kan Fitri duluan yang pilih, kenapa main comot aja sih!” sentak Mbak Rini kesal. Aku juga kesal melihatnya.“Loh, baju ini kan belum di bayar, jadi boleh donk dibeli oleh siapa saja. Dan aku suka bajunya jadi aku yang bayar!” jawab Puput dengan santainya. Benar-benar ini orang, sepertinya ia memang sedang mencari masalah denganku. Entah ada dendam apa ia sama aku, suka sekali menyenggolku. “Iya, seperti sanggup beli saja! Mantan babu mana ada uang!” timpal Risma tak kalah mencibirku. Aku sudah tak tahan lagi.“Nggak usah nyindir status pekerjaan ya Mbak Risma yang terhormat. Adik ipar aku memang mantan pembantu, tapi aku rasa masih terhormat di bandingkan mantan biduan tempat karaoke yang menikah dengan suami orang!” ucap Mbak Rini tak kalah pedasnya. Tampaknya ia sudah tak tahan lagi mendengar ucapan Risma yang menjatuhkanku. Bersama Mbak Rini aku berasa bersama dengan kakak kandung perempuanku sendiri. Selalu ada di garda terde
“Kamu kenapa Nduk, berlari seperti dikejar setan gitu?” tanya Mbok dengan raut bingung melihat aku masuk ke dalam rumah tergesa-gesa. Nafasku naik-turun dengan degup jantung yang melompat-lompat. Aku duduk pada kursi panjang dari bamboo yang ada di ruang tamu. Meletakkan plastic gorengan yang aku pegang dan mengambil gelas yang ada pada namapan yang selalu Mbok sediakan di atas meja, menuang air pada cerek yang tebuat dari guci tananh liat itu. Dinginnya air yang masuk ke dalam tenggorokan menyegarkan. Rasa dinginnya mermbat hingga ke ubun-ubun, jantungku yang berpacu kenca perlahan-lahan mulai normal dengan nafas yang mulai teratur.Mbok dudukk di hadapanku, ia masih menugggu jawaban dari mulutku, ras penasaran tergambar jelas di wajah keriputnya itu. “Sebenarnya ada apa? Kamu bikin Mbok cemas saja Nduk?” tanyanya lagi. “Tadi Fitri ketemu sama Mas Hendra MBok. Ia maksa Fitri untuk nikah dengannya, Mbok. Aku kan jadi takut kalau dipaksa seperti itu,” jelasku. Mbok tersenyum tipis
“Ah Teh Wida bisa saja, aku jadi malu. Teteh juga makin cantik,” balasku tersenyum ramah. Aku pun juga tersenyum ramah dengan Mbak Puput. Balasan yang ia berikan membuatku menyesali tindakanku barusan. Sombong sekali istri Mas Indrawan ini.“Mau beli apa, Fit?” tanya Bu Nisa ramah padaku. “Gorengan saja Buk’de. Sepuluh ribu campur, ya!” pintaku. Bu Nisa mengangguk, ia mengambil capit dari stenlis itu lalu mengambikan apa yang aku pinta. Selain gorengan, wanita paruh baya itu juga menjual pecel dan juga mie ayam serba lima ribu. Porsinya cukup untuk mengganjal perut yang lapar walau tidak sampai pada batas mengenyangkan. “Calon istri orang kota yang kaya kok beli gorengan cuma sepuluh ribu. Hemat apa pelit itu mah,” cibir wanita dengan titik hitam di sudut bibirnya tipisnya.“Puput, nggak boleh ngomong gitu! Jangan bikin masalah baru ah!” bisik Mbak Wida menegur Puput. Aku menoleh dan menatap wajahnya. Pandangan mata itu tak hanya sinis, namun syarat akan permusuhan. Aku tak merasa
Pernikahanku akan diadakan bulan depan. Mas Radit membantuku untuk mengurus surat-surat yang diperlukan untuk mendaftarkan pernikahanku ke kantor urusan agama (KUA). Rencananya ijab kabul akan diadakan di rumahku sedangkan acara resepsi akan diadakan di kota. Di sebuah hotel karena Mas Iwan mengundang banyak sanak-saudara serta teman-teman kerjanya. Aku juga sudah mengatakan semua itu pada keluargaku dan mereka semua setuju terutama Mbak Sinta. Walau ia terkadang sering bertentangan denganku, entah kenapa kali ini ia menjadi orang yang paling bersemangat dengan persiapan pernikahanku ini. Saking semangatnya hingga kado-kado dan parsel yang dibawakan Mas Iwan saat acara lamarannya padaku kemarin, semuanya dibuka olehnya. Ia fotokan satu persatu sambil berceloteh mengira-ngira berapa harga barang-barang tersebut layaknya tukang review di televisi. Mbak Rini saja sampai menggelengkan kepala melihat tingkah iparnya yang sedikit aneh itu. Hingga akhirnya ia meminta satu buah tas yang m
Malam harinya Mas Iwan kembali menelponku di kala kebimbangan hati ini kian merajai hati. Bukan bimbang karena hubungan kami, melainkan apa yang akan dilakukan Mas Hendra padaku nantinya. Tentu saja aku gelisah, karena lelaki itu tidak sesimple yang terlihat. Ia lelaki yan menyimpan dendam. “Kamu kenapa Fit? Dari tadi aku ajak bicara kamu lebih banyak diam. Apa ada masalah?” Aku bingung harus menjawab apa atas pertanyaannya itu. Aku tak mungkin menceritakan apa yang terjadi di rumah ini padanya. Apa tanggapannya nanti padaku? “Tidak ada apa-apa Mas, aku hanya sedang ingin mendengarkan suaramu saja. Oh ya, bagaimana dengan pekerjaanmu?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku sedang tidak ingin merusak moodku dengan membahas masalah itu kembali. “Tumben manis ucapannya, biasanya kalau dekat menghindar terus dariku,” balas Mas Iwan di seberang sana. Nada suaranya datar, namun dapat membuat hatiku berbunga-bunga. Aku pun tersenyum. Langkah kakiku mendekat pada jendela kamar yan
“Mbak Sinta marah, Mbak. Apa aku yang keterlaluan ya?” tanyaku pada Mbak Rini. Walau bagaimanapun aku tak mau terjadi keributan saat kami kumpul bersama seperti ini. Tak enak sama Mas Wahyu, aku takut Mbak Sinta ngadu yang tidak-tidak pada suaminya itu.“Sudah jangan dipikirkan, memang dasar Sinta saja yang tak punya otak. Asal jeplak saja, barang orang mau tetapi barang ia meditnya bukan main. Lagi pula apa pantas ia meminta hadiah pertunanganmu. Tadi saja ia menghina kamu matre!” kata Mbak Rini penuh dengan kekesalan terhadap Mbak Sinta. Kedua iparku ini sifatnya saling bertolak belakang. 180% berbeda satu sama lain.“Bagaimana kalau ia ngadu yabg tidak-tidak sama Mas Wahyu. Kasihan Mbok, Mbak.”“Sudah, kamu jangan khawatir. Masmu itu cukup bijak untuk menilai mana masalah yang perlu dibesar-besarkan dan mana masalah yang perlu diredam. Lagi pula aku gedek melihat gayanya yang sok kaya itu. Seakan-akan ialah nyonya besarnya. Padahal dari keluarga yang biasa-biasa saja ia. Bukan yan
Jam menunjukkan pukul dua siang. Semua anggota keluarga sudah selesai makan siang. Mas Wahyu beserta anak-istrinya belum diizinkan Mbok untuk pulang. Walau mereka tinggal di kampung sebelah, kesibukan membuat mereka jarang bisa berkunjung di rumah ini.Berbeda dengan Mas Radit yang memang orangnya santai dan jarak rumah juga sangat dekat dengan rumah Mbok. Namun kali ini, Mbok menginginkan anak-anak berkumpul menjadi satu di rumah ini walau hanya sehari. Anak-anak pada main di luar, Mas Radit dan Mas Wahyu memancing di kolam belakang sambil bercerita, mengenang masa kecil mereka. Bahkan saat aku hendak memetik daun singkong di pinggir kolam untuk lalapan makan malam, aku tak sengaja mendengar mereka juga membahas masalah para mantan mereka. Ya … setidaknya tak terdengar oleh Mbak Sinta. Jika tidak mungkin akan terjadi perang dunia ke tiga. “Fit! Fitri!” teriak Mbak Sinta memanggilku. “Iya Mbak, aku di dapur!” jawabku. Aku yang baru masuk ke dalam rumah meletakkan daun singkong mud