Aku hanya mampu menarik napas, menjadi bulan-bulanan ledekan mereka berempat. Mereka seakan bersekongkol mengejekku, nafas ini terhembus kesal. Setelah acara letusan kembang api yang menandakan pergantian tahun, mereka baru berhenti dan perhatiannya teralihkan oleh letupan kembang api yang dimainkan oleh Rendy dan Tita. Aku bergabung bersama para orang tua, begitupun dengan Fitri yang tampak telaten mengurus Ibu yang kini sering kumat rematik kakinya. “Kapan kamu menikah Iwan? Bulek sudah tak sabar melihat kamu menikah dan memiliki keluarga yang lengkap. Apa kamu nggak ingin melihat Ibu Dan Ayahmu menimang cucu,” ucap Bulek Zalia memulai pembicaraan yang sedikit menyemrempet dengan kehidupanku. Aku tahu mereka semua mengkhawatirkanku, mereka ingin aku hidup bahagia. Tapi masalahnya, siapa yang mau aku ajak menikah? “Apa yang dikatakn Bulekmu itu benar Iwan, mumpung Ibu dan Bapak masih hidup jadi nanti kami bisa pergi dengan tenang nantinya jika kamu meni
Aku pulang larut malam, memikirkan semua yang dikatakan Radit padaku. Kuda besi berwarna hitam metalik melesat cepat menyususri jalanan aspal yang telah lenggang. Hanya ada lampu penerangan jalan serta taburan bintang yang bersanding dengan rembulan yang menemani perjalananku ke rumah. Bulan dan bintang tampak seperti berbincang menertawakan kebodohanku sendiri. Otak cerdasku seketika menjadi bodoh jika berurusan dengan cinta. Mungkin karena aku terbiasa tanpa kasih sayang sejak kecil, menjadikan aku seorang pria yang susah mengepresikan perasaan hati ini. Mobilku kini memasuki pagar yang dibuka oleh satpam. Kulirik arloji yang melingkar di tangan, pukul satu dini hari. Seperti biasa, tampaknya aku tak pernah bisa pulang cepat ke rumah sebelum. Langkah kakimu memasuki rumah secara perlahn, aku selalu membawa kunci cadangan. Biasanya Fitri akan membukakan pintu ini sebelum kunci yang kubawa menyentuh lubang pintu, tetapi kali ini berbed
Aku melajukan mobilku membelah jalan raya, kukemudikan mobil ini dengan segala pikiran negative yang berkecamuk di otak. Jalan yang aku lalui kali ini berbeda dengan jalan yang biasa aku lalui untuk menuju ke kantor. Ya … aku memang tidak pergi ke kantor melainkan menyusul Fitri ke kampungnya. Aku tahu letak kampungnya di mana karena aku pernah mengantarkan ia sekali, saat pulang ke kampung ketika masih ada almarhum Mama Zahra. Enam jam waktu yang kubutuhkan untuk sampai ke tempat tujuan. Memasuki kawasan perkampungan dengan banyaknya sawah yang terhampar luas, para penduduk yang ramah menyapa dengan senyuman tulusnya. Mobilku pun kini sampai di depan rumah yang kecil semi permanen, bagian dinding sebelah atas terbuat dari papan yang dicat berwarna putih. Aku keluar dari mobil menatap bagian atas rumah sekilas, atap terbuat dari asbes yang sudah tampak hijau berlumut. Kuhela napas panjang, mengontrol deru jantung yang berpacu cepat,
“Tidak setuju? Tidak setuju apa, Nak? Tidak setuju kalau Fitri tidak tinggal di rumah itu lagi?” tanya ibunya Fitri memastikan apa yang ingin aku sampaikan. “Tidak setuju jika Fitri menikah dengan lelaki lain, Mbok!” jawabku cepat. Hati ini mulai panik, hatiku geram membayangkan jika wanita yang aku sukai akan menikah dengan lelaki lain. Hati ini terasa tertusuk nyeri. “Loh … kok seperti itu, Nak Iwan. Fitri ini sudah dewasa dan sudah waktunya untuk berumah tangga. Ia tak mungkin selamanya bekerja di rumah Nak Iwan. Ia juga—” “Saya ingin melamar fitri, Mbok. Dan Fitri juga mengetahui itu, maaf jika kedatangan saya saat ini terkesan mendadak. Tapi saya serius dengan apa yang saya sampaikan saat ini Mbok.” Aku menatap Fitri yang tertegun. Aia mentapku bertepatan denagn aku yang menatapnya, tatapan mata kami bersibobrok. Aku mencari jawaban dari tatapan mata itu, adakah ia merasakan rasa yang sama dengan apa yang aku rasakan saat ini. Jujur selama ini aku merasa seperti diriku yang me
Aku masih terpaku saat Mbok bertukar cerita dengan Mas Iwan. Lelaki itu memang begitu pintar mengambil hati orang tua, Mbok yang biasanya jarang bicara kini mau bercerita panjang lebar padanya. AKu hanya diam melongo mendengarkan pembicaraan mereka. Aku masih diam sambil menerka-nerka gerangan kedatangan pria itu ke gubuk reotku ini.“Tidak, saya tidak setuju, Bu!” ujar Mas iwan begitu lantang saat Mbok mulai menjelaskan niatku untuk pulang kampung selamanya. Wajah Mas iwan tampak tegang. Aku dan Mbok terkejut mendengar ucapannya, rumah gedong yang kami tempati memang sudah berpindah alaih menjadi milikku. Hibah dari almarhum Bu Zahra, majikanku. Tetap saja aku sadar itu bukanlah milikku, aku hanya sebagai pemilik semantara. Ibu juga sudah tua, ia ingin aku segera menikah dan membangun rumah tangga. “Tidak setuju? Tidak setuju apa, Nak? Tidak setuju kalau Fitri tidak tinggal di rumah itu lagi?” tanya ibu, mungkin memastikan apa yan
“Memang penting ya, Mas, bahas masalah makanan yang mahal dan murah. Yang penting kan bersih dan higienis,” jawabku jengah. Aku tak kunjung menerima plastik yang ia sodorkan. Melihat aku yang seakan enggan, Mas Hendra langsung meraih tangan kananku dan meletakkan bungkusan itu ke tanganku dengan kasar. “Penting dong, supaya saat kamu menjadi istriku, kamu tahu apa yang aku suka dan apa yang tidak aku suka. Termasuk menu makanan yang akan kamu siapkan untukku sehari-hari. Aku tidak suka istri ynag tidak pintar masak dan kalau bisa,” Mas Hendra menjeda ucapannya. Ia memindai penampilanku dari atas hingga ke bawah. Daster batik sebatas mata kaki dengan lengan pendek, rambut yang di cepol ke atas dengan asal karena aku lupa mengambil jilbab tadi, di tambah wajah yang polos tanpa make up. Karena sehabis bangun tidur tadi aku mandi dan berganti pakaian saja. Lagi pula untuk apa berdandan jika hanya di rumah saja.“Saat kita menikah nant
“Maaf untuk apa Mbok?” Aku mengurai pelukan kami, menatap wajah keriput yang sudah penuh dengan flek-flek hitam penuaan itu. Tatapan mata sendu yang meneduhkan. “Mbok sudah melihat semuanya tadi. Selama ini Hendra selalu bersikap santun dan tak banyak omong di depan Mbok. Tapj apa yang Mbok lihat tadi, pria itu tampak begitu angkuh dan meninggi. Mbok nggak bisa bayangkan jika kamu menikah dengannya nanti, Nduk.” Aku tersenyum. Mengusap punggung rapuh itu pelan. Membawanya untuk duduk pada bilai-bilai bambu pengganti sofa mewah seperti yang ada di ruang tamu rumah para orang kaya. “Terkadang apa yang kita tampak dengan mata tidak selamanya itu benar, Mbok. Lama tinggal bersama almarhum Bu Zahra membuat Fitri sadar. Manusia adalah makhluk yang paling pintar menutupi apa yang ada di hati. Yang tampak baik tak sebenarnya baik, bahkan yang tampak jahat tidak juga benar-benar jahat. Konsep sebab-akibat itu tak pernah lepas dari semua alasa
Setelah mendapatkan kabar dari Mas Iwan kalau ia dan sekeluarga akan datang ke rumahku besok malam. Aku bergegas pergi ke rumah Mas Radit. Abang keduaku, sebagai Kakak laki-laki yang kumiliki dan dekat rumahnya dariku, tentu aku harus mengabarinya. Sedangkan Mas Wahyu sudah aku hibungi lewat telpon. Mas Wahyu berkata ia akan datang pagi bersama anak dan istrinya serta sekalian membantuku bersiap menyambut kedatangan calon suami dan mertuaku itu.Dengan menumpangi sepeda motor matic yang di antar oleh Kang Dana. Tukang ojek di pos ronda bagian ujung gang rumah. Lima belas menit kemudian kami berdua sampai di depan rumah papan yang ada di pinggir sawah. Lebih tepatkan rumah panggung atau pondok papan.Mas Wahyu dan Mas Radit sama-sama memiliki dua orang anak. Mas Radit dengan dua orang putra sedangkan Mas Wahyu satu putra dan satu putri. Ekonomi Mas Radit sebagai petani memang tidak sebaik Mas Wahyu yang hidup dari gaji mandor kebun sawi
Pov. IwanAku ulurkan tanganku pada wanita cantik yang kini telah sah menjadi istriku. Wanita yang tutur sapanya begitu lembut serta sabarnya yang tak terbatas. Tangan lembut itu meraih tanganku, mencium punggung tanganku penuh khidmat sebagai penghormatan padaku yang kini telah sah menjadi pemimpin dalam hidupnya. Nahkoda yang membawa kapal yang kami tumpangi untuk berlayar.Wajah bersemu merah malu-malu itu membuat hatiku terpesona. Semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dan memberikan ucapan selamat pada kami. “Alhamdulillah kalian sudah sah menjadi suami-istri, Nak!” ujar Ibu yang membesarkanku itu dengan haru. Aku menyalaminya dengan penuh rasa sykur dalam hidup karena telah bertemu dengannya yang penuh kasih. Andai aku tak bertemu dengannya, aku tak akan pernah tahu akan jadi apa diriku ini. Entah bagaimana rasa sakit dan kekosongan dalam diriku jika tanpa adanya kasih sayanganya yang mengobati. Ibu memelukku dengan erat, ia menangis dalam pelukanku sambil menepuk punggu
“Eh jaga ucapanmu ya! Jangan samakan kami dengan kalian berdua!” balas Puput tak terima dengan apa yangbak Rini ucapkan. Wajahnya memerah menahan amarah dan rasa malu. Pengunjung toko ini mulai ramai, dan sepertinya pemilik toko ini tampak tak ingin melepaskan mereka berdua sebelum mereka membayar sejumlah uang atas pakaian yang mereka ambil.“Ada apa sih ribut-ribut begini? Ada pencuri?”“Nggak tahu juga, tadi pas kesini juga sudah ramai.”“Ada apaan sih?”“Iya, bikin penasaran aja!” Bisik-bisik Ibu yang berbelanja mulai terdengar membicarakan Puput dan Risma. Bahkan mereka ada yang slah paham hingga mengira Puput dan Risma ketahuan emncuri pakaian di toko itu. “Bukan Ibu-ibu, sini saya bisiskkkan!” ujar Mbak Rini yang mendekat pada kumpulan wanita berbeda usia itu. AKu sampai tercengang melihatnya, entah sejak kapan kakak Iparku itu pergi dariku. Ia sudah seperti seorang biang gosip yang ingin menyampaikan berita terhot dan terpopuler saat ini. “Huhhh … sombong ternyata kere!” s
“Eh eh, main nyomot aja ini maksudnya bagaimana? Itu kan Fitri duluan yang pilih, kenapa main comot aja sih!” sentak Mbak Rini kesal. Aku juga kesal melihatnya.“Loh, baju ini kan belum di bayar, jadi boleh donk dibeli oleh siapa saja. Dan aku suka bajunya jadi aku yang bayar!” jawab Puput dengan santainya. Benar-benar ini orang, sepertinya ia memang sedang mencari masalah denganku. Entah ada dendam apa ia sama aku, suka sekali menyenggolku. “Iya, seperti sanggup beli saja! Mantan babu mana ada uang!” timpal Risma tak kalah mencibirku. Aku sudah tak tahan lagi.“Nggak usah nyindir status pekerjaan ya Mbak Risma yang terhormat. Adik ipar aku memang mantan pembantu, tapi aku rasa masih terhormat di bandingkan mantan biduan tempat karaoke yang menikah dengan suami orang!” ucap Mbak Rini tak kalah pedasnya. Tampaknya ia sudah tak tahan lagi mendengar ucapan Risma yang menjatuhkanku. Bersama Mbak Rini aku berasa bersama dengan kakak kandung perempuanku sendiri. Selalu ada di garda terde
“Kamu kenapa Nduk, berlari seperti dikejar setan gitu?” tanya Mbok dengan raut bingung melihat aku masuk ke dalam rumah tergesa-gesa. Nafasku naik-turun dengan degup jantung yang melompat-lompat. Aku duduk pada kursi panjang dari bamboo yang ada di ruang tamu. Meletakkan plastic gorengan yang aku pegang dan mengambil gelas yang ada pada namapan yang selalu Mbok sediakan di atas meja, menuang air pada cerek yang tebuat dari guci tananh liat itu. Dinginnya air yang masuk ke dalam tenggorokan menyegarkan. Rasa dinginnya mermbat hingga ke ubun-ubun, jantungku yang berpacu kenca perlahan-lahan mulai normal dengan nafas yang mulai teratur.Mbok dudukk di hadapanku, ia masih menugggu jawaban dari mulutku, ras penasaran tergambar jelas di wajah keriputnya itu. “Sebenarnya ada apa? Kamu bikin Mbok cemas saja Nduk?” tanyanya lagi. “Tadi Fitri ketemu sama Mas Hendra MBok. Ia maksa Fitri untuk nikah dengannya, Mbok. Aku kan jadi takut kalau dipaksa seperti itu,” jelasku. Mbok tersenyum tipis
“Ah Teh Wida bisa saja, aku jadi malu. Teteh juga makin cantik,” balasku tersenyum ramah. Aku pun juga tersenyum ramah dengan Mbak Puput. Balasan yang ia berikan membuatku menyesali tindakanku barusan. Sombong sekali istri Mas Indrawan ini.“Mau beli apa, Fit?” tanya Bu Nisa ramah padaku. “Gorengan saja Buk’de. Sepuluh ribu campur, ya!” pintaku. Bu Nisa mengangguk, ia mengambil capit dari stenlis itu lalu mengambikan apa yang aku pinta. Selain gorengan, wanita paruh baya itu juga menjual pecel dan juga mie ayam serba lima ribu. Porsinya cukup untuk mengganjal perut yang lapar walau tidak sampai pada batas mengenyangkan. “Calon istri orang kota yang kaya kok beli gorengan cuma sepuluh ribu. Hemat apa pelit itu mah,” cibir wanita dengan titik hitam di sudut bibirnya tipisnya.“Puput, nggak boleh ngomong gitu! Jangan bikin masalah baru ah!” bisik Mbak Wida menegur Puput. Aku menoleh dan menatap wajahnya. Pandangan mata itu tak hanya sinis, namun syarat akan permusuhan. Aku tak merasa
Pernikahanku akan diadakan bulan depan. Mas Radit membantuku untuk mengurus surat-surat yang diperlukan untuk mendaftarkan pernikahanku ke kantor urusan agama (KUA). Rencananya ijab kabul akan diadakan di rumahku sedangkan acara resepsi akan diadakan di kota. Di sebuah hotel karena Mas Iwan mengundang banyak sanak-saudara serta teman-teman kerjanya. Aku juga sudah mengatakan semua itu pada keluargaku dan mereka semua setuju terutama Mbak Sinta. Walau ia terkadang sering bertentangan denganku, entah kenapa kali ini ia menjadi orang yang paling bersemangat dengan persiapan pernikahanku ini. Saking semangatnya hingga kado-kado dan parsel yang dibawakan Mas Iwan saat acara lamarannya padaku kemarin, semuanya dibuka olehnya. Ia fotokan satu persatu sambil berceloteh mengira-ngira berapa harga barang-barang tersebut layaknya tukang review di televisi. Mbak Rini saja sampai menggelengkan kepala melihat tingkah iparnya yang sedikit aneh itu. Hingga akhirnya ia meminta satu buah tas yang m
Malam harinya Mas Iwan kembali menelponku di kala kebimbangan hati ini kian merajai hati. Bukan bimbang karena hubungan kami, melainkan apa yang akan dilakukan Mas Hendra padaku nantinya. Tentu saja aku gelisah, karena lelaki itu tidak sesimple yang terlihat. Ia lelaki yan menyimpan dendam. “Kamu kenapa Fit? Dari tadi aku ajak bicara kamu lebih banyak diam. Apa ada masalah?” Aku bingung harus menjawab apa atas pertanyaannya itu. Aku tak mungkin menceritakan apa yang terjadi di rumah ini padanya. Apa tanggapannya nanti padaku? “Tidak ada apa-apa Mas, aku hanya sedang ingin mendengarkan suaramu saja. Oh ya, bagaimana dengan pekerjaanmu?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku sedang tidak ingin merusak moodku dengan membahas masalah itu kembali. “Tumben manis ucapannya, biasanya kalau dekat menghindar terus dariku,” balas Mas Iwan di seberang sana. Nada suaranya datar, namun dapat membuat hatiku berbunga-bunga. Aku pun tersenyum. Langkah kakiku mendekat pada jendela kamar yan
“Mbak Sinta marah, Mbak. Apa aku yang keterlaluan ya?” tanyaku pada Mbak Rini. Walau bagaimanapun aku tak mau terjadi keributan saat kami kumpul bersama seperti ini. Tak enak sama Mas Wahyu, aku takut Mbak Sinta ngadu yang tidak-tidak pada suaminya itu.“Sudah jangan dipikirkan, memang dasar Sinta saja yang tak punya otak. Asal jeplak saja, barang orang mau tetapi barang ia meditnya bukan main. Lagi pula apa pantas ia meminta hadiah pertunanganmu. Tadi saja ia menghina kamu matre!” kata Mbak Rini penuh dengan kekesalan terhadap Mbak Sinta. Kedua iparku ini sifatnya saling bertolak belakang. 180% berbeda satu sama lain.“Bagaimana kalau ia ngadu yabg tidak-tidak sama Mas Wahyu. Kasihan Mbok, Mbak.”“Sudah, kamu jangan khawatir. Masmu itu cukup bijak untuk menilai mana masalah yang perlu dibesar-besarkan dan mana masalah yang perlu diredam. Lagi pula aku gedek melihat gayanya yang sok kaya itu. Seakan-akan ialah nyonya besarnya. Padahal dari keluarga yang biasa-biasa saja ia. Bukan yan
Jam menunjukkan pukul dua siang. Semua anggota keluarga sudah selesai makan siang. Mas Wahyu beserta anak-istrinya belum diizinkan Mbok untuk pulang. Walau mereka tinggal di kampung sebelah, kesibukan membuat mereka jarang bisa berkunjung di rumah ini.Berbeda dengan Mas Radit yang memang orangnya santai dan jarak rumah juga sangat dekat dengan rumah Mbok. Namun kali ini, Mbok menginginkan anak-anak berkumpul menjadi satu di rumah ini walau hanya sehari. Anak-anak pada main di luar, Mas Radit dan Mas Wahyu memancing di kolam belakang sambil bercerita, mengenang masa kecil mereka. Bahkan saat aku hendak memetik daun singkong di pinggir kolam untuk lalapan makan malam, aku tak sengaja mendengar mereka juga membahas masalah para mantan mereka. Ya … setidaknya tak terdengar oleh Mbak Sinta. Jika tidak mungkin akan terjadi perang dunia ke tiga. “Fit! Fitri!” teriak Mbak Sinta memanggilku. “Iya Mbak, aku di dapur!” jawabku. Aku yang baru masuk ke dalam rumah meletakkan daun singkong mud