Namun aku hanya bisa berandai-andai, karena kenyataannya saat ini. Kami baru bisa membangun ikatan silaturahmi ini saat ini.“Eyang senang jika kalian bisa akur seperti ini, kalian itu saudara. Dan sesama saudara harus saling melengkapi!” ujar Bapak. Aku dan Rendi melepas rangkulan hangat kita. “Ayo masuk! Ibu sudah siapkan makanan untuk kalian. Kita makan siang bareng ya. Ayo Nak!” ujar Ibu mengajak kami untuk ke ruang makan. Kami mengikuti langkah kaki Ibu.Wajah tua Ibu berseri-seri, memancarkan kelegaan. Sangat jauh berbeda saat, Rendy masih di sel.Wajah Ibu tampak sangat sedih. Ibu memang penyayang, walaupun kami bukanlah anak yang lahir dari rahimnya. Namun ia menyayangi kami sepenuh hatinya. “Kamu masak apa, Bu?” tanya bapak disela langkah kami. “Masak banyak, Pak. Pokoknya masak kesukaan kalian semua. Wes ... ayo di makan!” Kami mengambil kursi masing-masing dan duduk di sana. Mata
POV. Rendy Aku terbiasa hidup dalam kemewahan. Segala yang dimiliki oleh teman-temanku, aku juga memilikinya. Tak ada yang tak aku punya, selain waktu orang tua. Mama selalu sibuk dengan pekerjaannya. Hari-hari yang aku dan Nabila lalui selalu bersama pembantu dan pelayan. Aku pernah protes pada Mama. Namun apa yang aku dapat. Hanya bentakan dan ucapan kasar.~ Flashback ~Jam menunjukkan pukul empat sore. Udara yang panas membuatku hanya duduk manis di rumah. Tak ada teman dan tak ada saudara selain Nabila. Bosan dengan permainan game yang itu-itu saja. Hingga deru mobil menyadarkanku."Nabila, lihat! Mama dan Papa pulang, ayo kita ke luar!" seruku pada adikku itu. Ia sedang asik bermain boneka Barbie miliknya. Aku dan Nabila bergegas menghampiri orang tua kami. Papa menyambut kami dengan senyuman. Sedangkan Mama masuk ke dalam, dan mengabaikan kami begitu saja. Aku membuntuti Mama dari belakang. Hingg
"Ayo lah, Bang. Kita ini tidak kenal hanya setahun ataupun dua tahun, tapi dari orok hingga sama-sama dewasa kita selalu berdua. Seperti dua bocah kembar yang tak terpisahkan. Apa yang kamu alami dalam hidupmu, aku ini pemeran pendampingnya. Apa kamu lupa?" ucapnya jumawa. Apa hebatnya menjadi pemeran pendamping dalam kisah sedih. Dasar anak aneh. Tapi aku tak menampik apa yang di katakannnya. Memang ialah temanku yang menemani hari menderitanya dan kesunyian bersama. Mengintil di sebelahku seperti tunas saja. "Udah sana jangan dekat-dekat! Nggak enak di lihat orang. Sana! Main sama Eyang yang sama-sama wanita. Jangan ngangguin aku!" ucapku. Aku yang duduk dia tas sofa pun menggeserkan tubuhku. Aku begitu risih dengan sikapnya yang mulai mengintil di sampingku. Bahkan bergelayut manja padamu. Jika dulu ia sering melakukan itu, aku fine ... fine saja, namun kini. Tentu aku risih, apalagi kami sama-sama dewasa saat ini."Ye lah ... Bang, dari kecil aja mandi ba
Pov. Zalia"Ma ... Mama masak banyak banget, mau acara besar, ya?" ujar putri bungsuku. Ia mendekati aku yang sedang sibuk berkutat di dapur. Setiap weekend di pagi hari, kami selalu berkumpul di rumah. Apalagi semenjak Mas Herman pensiun satu tahun yang lalu. Me time bersama keluarga adalah yang terpenting bagi kami sekeluarga. Tita menarik salah satu kursi meja makan, dan duduk disana. Tangannya meraih ayam goreng yang terhidang di atas meja. "Tita, jangan pakai tangan gitu. Tak sopan, pakai sendok kalau mau ngambilnya," tegurku. Gadisku itu terkekeh malu. "Iya, nih ... sudah besar tapi kelakuan masih saja seperti anak kecil. Apa-apa harus di bilang dulu baru mengerti," celetuk Alia. Dari balik meja. Ia sedang membersihkan wortel serta sayuran lainnya. Sedangkan Bibi membantuku mengulek bumbu. Aku pula alat-alat rumah tangga untuk menghaluskan bumbu dengan listrik. Tapi menurutku lebih enak manual. Lebih berasa nikmatny
"Selesai," ucapku puas melihat aneka hidangan yang tersaji. Menu lengkap, seperti jamuan hotel bintang lima saja. "Zalia, jam berapa mereka datang?" tanya Ibu dari ujung tangga. Dia turun di batu oleh Bibi, di papah secara perlahan. Ibu yang mendengar kedatangan adiknya serta cucunya, tentu saja bersemangat. Saking semangatnya. Beliau yang biasanya tak mau turun dari ranjangnya, kini justru turun dari tangga. Memang hebat sekali kekuatan cinta. Membuat seseorang yang enggan menjadi begitu mudah menyanggupi. "Sebentar lagi mungkin, Bu," jawabku. Aku membantu Ibu untuk duduk di kursi. Mematikan kehadiran mereka seakan waktu berjalan lambat bagi Ibu. Wajahnya gelisah, segelisah menantikan sang kekasih menjepit di malam Minggu yang syahdu. Waktu yang di tunggu pun telah tiba, deru mobil memasuki pekarangan rumah. Senyum cerah secerah matahari pagi yang begitu menghangatkan terbit di bibir tua yang ada di hadapanku ini.
Pov. IwanMobil yang aku kendarai membelah jalanan kota, diterangi lampu-lampu bersinar terang yang berjejer di pinggir jalan. Langit yang begitu cerah seakan bulan dan bintang sedang bergurau ceria. Tampak begitu betah di atas sana, mereka seperti sedang berbincang membicarakannku yang baru pulang ke rumah saat langit semakin pekat seperti jelaga. Setelah beberapa lama menikmati hembusan angin malam yang membelai wajahku dari balik jendela mobil dalam kesunyia seorang diri, akhirnya mobilku memasuki pekarangan rumah. Dengan tubuh yang sangat letih, kuseret kedua kaki ini dengan lemas seakan tak bertenaga untuk memasuki rumah. Rumah yang begitu hangat dengan kedua orang tua yang menyayangiku dengan tulus, walau mereka bukan orang tua kandungku.Semakin bertambahnya usia, semakin terasa kehampaan di hati ini. Aku mulai terbiasa dengan kehangatan keluarga membuatku ingin membentuk keluarga kecilku sendiri. Hadirnya pelita hati yang memanggilku dengan sebutan Ayah. Menungguku pulan
Sudah hampir satu minggu Fitri bersikap cuek padaku. Aku menjadi gelisah, apalagi sikapnya kepada Rendy sangat berbeda dengan sikapnya padaku. Lebih manis dan perhatian. Aku menatap kendaraan yang berlalu lalang dari balik jendela kaca, secangkir ameraco terletak di hadapanku. Siang ini tak seperti biasanya aku tak berselera dengan makananku, hingga masih menyisakan setengah di dalam piring.“Ada apa? Kenapa wajahmu tampak gelisah, apa ada masalah?” tanya Radit santai sembari menikmati potongan kentang goreng miliknya. “Nggak ada.” Aku paling tidak suka menceritakkan masalah pribadiku pada orang luar. Entahlah, mungkin karena selama ini aku terbiasa memendam perasaanku sendiri; baik itu kesal, marah dan kecewa. Jadi sedikit aneh saja jika kau harus curhat seperti wanita saja. Radit memicingkan matanya. “Jangan bohong padaku, aku mengenalmu cukup lama. Pasti karena wanita kan!”“Jangan sok tahu,” ujarku men
Aku hanya mampu menarik napas, menjadi bulan-bulanan ledekan mereka berempat. Mereka seakan bersekongkol mengejekku, nafas ini terhembus kesal. Setelah acara letusan kembang api yang menandakan pergantian tahun, mereka baru berhenti dan perhatiannya teralihkan oleh letupan kembang api yang dimainkan oleh Rendy dan Tita. Aku bergabung bersama para orang tua, begitupun dengan Fitri yang tampak telaten mengurus Ibu yang kini sering kumat rematik kakinya. “Kapan kamu menikah Iwan? Bulek sudah tak sabar melihat kamu menikah dan memiliki keluarga yang lengkap. Apa kamu nggak ingin melihat Ibu Dan Ayahmu menimang cucu,” ucap Bulek Zalia memulai pembicaraan yang sedikit menyemrempet dengan kehidupanku. Aku tahu mereka semua mengkhawatirkanku, mereka ingin aku hidup bahagia. Tapi masalahnya, siapa yang mau aku ajak menikah? “Apa yang dikatakn Bulekmu itu benar Iwan, mumpung Ibu dan Bapak masih hidup jadi nanti kami bisa pergi dengan tenang nantinya jika kamu meni
Pov. IwanAku ulurkan tanganku pada wanita cantik yang kini telah sah menjadi istriku. Wanita yang tutur sapanya begitu lembut serta sabarnya yang tak terbatas. Tangan lembut itu meraih tanganku, mencium punggung tanganku penuh khidmat sebagai penghormatan padaku yang kini telah sah menjadi pemimpin dalam hidupnya. Nahkoda yang membawa kapal yang kami tumpangi untuk berlayar.Wajah bersemu merah malu-malu itu membuat hatiku terpesona. Semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dan memberikan ucapan selamat pada kami. “Alhamdulillah kalian sudah sah menjadi suami-istri, Nak!” ujar Ibu yang membesarkanku itu dengan haru. Aku menyalaminya dengan penuh rasa sykur dalam hidup karena telah bertemu dengannya yang penuh kasih. Andai aku tak bertemu dengannya, aku tak akan pernah tahu akan jadi apa diriku ini. Entah bagaimana rasa sakit dan kekosongan dalam diriku jika tanpa adanya kasih sayanganya yang mengobati. Ibu memelukku dengan erat, ia menangis dalam pelukanku sambil menepuk punggu
“Eh jaga ucapanmu ya! Jangan samakan kami dengan kalian berdua!” balas Puput tak terima dengan apa yangbak Rini ucapkan. Wajahnya memerah menahan amarah dan rasa malu. Pengunjung toko ini mulai ramai, dan sepertinya pemilik toko ini tampak tak ingin melepaskan mereka berdua sebelum mereka membayar sejumlah uang atas pakaian yang mereka ambil.“Ada apa sih ribut-ribut begini? Ada pencuri?”“Nggak tahu juga, tadi pas kesini juga sudah ramai.”“Ada apaan sih?”“Iya, bikin penasaran aja!” Bisik-bisik Ibu yang berbelanja mulai terdengar membicarakan Puput dan Risma. Bahkan mereka ada yang slah paham hingga mengira Puput dan Risma ketahuan emncuri pakaian di toko itu. “Bukan Ibu-ibu, sini saya bisiskkkan!” ujar Mbak Rini yang mendekat pada kumpulan wanita berbeda usia itu. AKu sampai tercengang melihatnya, entah sejak kapan kakak Iparku itu pergi dariku. Ia sudah seperti seorang biang gosip yang ingin menyampaikan berita terhot dan terpopuler saat ini. “Huhhh … sombong ternyata kere!” s
“Eh eh, main nyomot aja ini maksudnya bagaimana? Itu kan Fitri duluan yang pilih, kenapa main comot aja sih!” sentak Mbak Rini kesal. Aku juga kesal melihatnya.“Loh, baju ini kan belum di bayar, jadi boleh donk dibeli oleh siapa saja. Dan aku suka bajunya jadi aku yang bayar!” jawab Puput dengan santainya. Benar-benar ini orang, sepertinya ia memang sedang mencari masalah denganku. Entah ada dendam apa ia sama aku, suka sekali menyenggolku. “Iya, seperti sanggup beli saja! Mantan babu mana ada uang!” timpal Risma tak kalah mencibirku. Aku sudah tak tahan lagi.“Nggak usah nyindir status pekerjaan ya Mbak Risma yang terhormat. Adik ipar aku memang mantan pembantu, tapi aku rasa masih terhormat di bandingkan mantan biduan tempat karaoke yang menikah dengan suami orang!” ucap Mbak Rini tak kalah pedasnya. Tampaknya ia sudah tak tahan lagi mendengar ucapan Risma yang menjatuhkanku. Bersama Mbak Rini aku berasa bersama dengan kakak kandung perempuanku sendiri. Selalu ada di garda terde
“Kamu kenapa Nduk, berlari seperti dikejar setan gitu?” tanya Mbok dengan raut bingung melihat aku masuk ke dalam rumah tergesa-gesa. Nafasku naik-turun dengan degup jantung yang melompat-lompat. Aku duduk pada kursi panjang dari bamboo yang ada di ruang tamu. Meletakkan plastic gorengan yang aku pegang dan mengambil gelas yang ada pada namapan yang selalu Mbok sediakan di atas meja, menuang air pada cerek yang tebuat dari guci tananh liat itu. Dinginnya air yang masuk ke dalam tenggorokan menyegarkan. Rasa dinginnya mermbat hingga ke ubun-ubun, jantungku yang berpacu kenca perlahan-lahan mulai normal dengan nafas yang mulai teratur.Mbok dudukk di hadapanku, ia masih menugggu jawaban dari mulutku, ras penasaran tergambar jelas di wajah keriputnya itu. “Sebenarnya ada apa? Kamu bikin Mbok cemas saja Nduk?” tanyanya lagi. “Tadi Fitri ketemu sama Mas Hendra MBok. Ia maksa Fitri untuk nikah dengannya, Mbok. Aku kan jadi takut kalau dipaksa seperti itu,” jelasku. Mbok tersenyum tipis
“Ah Teh Wida bisa saja, aku jadi malu. Teteh juga makin cantik,” balasku tersenyum ramah. Aku pun juga tersenyum ramah dengan Mbak Puput. Balasan yang ia berikan membuatku menyesali tindakanku barusan. Sombong sekali istri Mas Indrawan ini.“Mau beli apa, Fit?” tanya Bu Nisa ramah padaku. “Gorengan saja Buk’de. Sepuluh ribu campur, ya!” pintaku. Bu Nisa mengangguk, ia mengambil capit dari stenlis itu lalu mengambikan apa yang aku pinta. Selain gorengan, wanita paruh baya itu juga menjual pecel dan juga mie ayam serba lima ribu. Porsinya cukup untuk mengganjal perut yang lapar walau tidak sampai pada batas mengenyangkan. “Calon istri orang kota yang kaya kok beli gorengan cuma sepuluh ribu. Hemat apa pelit itu mah,” cibir wanita dengan titik hitam di sudut bibirnya tipisnya.“Puput, nggak boleh ngomong gitu! Jangan bikin masalah baru ah!” bisik Mbak Wida menegur Puput. Aku menoleh dan menatap wajahnya. Pandangan mata itu tak hanya sinis, namun syarat akan permusuhan. Aku tak merasa
Pernikahanku akan diadakan bulan depan. Mas Radit membantuku untuk mengurus surat-surat yang diperlukan untuk mendaftarkan pernikahanku ke kantor urusan agama (KUA). Rencananya ijab kabul akan diadakan di rumahku sedangkan acara resepsi akan diadakan di kota. Di sebuah hotel karena Mas Iwan mengundang banyak sanak-saudara serta teman-teman kerjanya. Aku juga sudah mengatakan semua itu pada keluargaku dan mereka semua setuju terutama Mbak Sinta. Walau ia terkadang sering bertentangan denganku, entah kenapa kali ini ia menjadi orang yang paling bersemangat dengan persiapan pernikahanku ini. Saking semangatnya hingga kado-kado dan parsel yang dibawakan Mas Iwan saat acara lamarannya padaku kemarin, semuanya dibuka olehnya. Ia fotokan satu persatu sambil berceloteh mengira-ngira berapa harga barang-barang tersebut layaknya tukang review di televisi. Mbak Rini saja sampai menggelengkan kepala melihat tingkah iparnya yang sedikit aneh itu. Hingga akhirnya ia meminta satu buah tas yang m
Malam harinya Mas Iwan kembali menelponku di kala kebimbangan hati ini kian merajai hati. Bukan bimbang karena hubungan kami, melainkan apa yang akan dilakukan Mas Hendra padaku nantinya. Tentu saja aku gelisah, karena lelaki itu tidak sesimple yang terlihat. Ia lelaki yan menyimpan dendam. “Kamu kenapa Fit? Dari tadi aku ajak bicara kamu lebih banyak diam. Apa ada masalah?” Aku bingung harus menjawab apa atas pertanyaannya itu. Aku tak mungkin menceritakan apa yang terjadi di rumah ini padanya. Apa tanggapannya nanti padaku? “Tidak ada apa-apa Mas, aku hanya sedang ingin mendengarkan suaramu saja. Oh ya, bagaimana dengan pekerjaanmu?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku sedang tidak ingin merusak moodku dengan membahas masalah itu kembali. “Tumben manis ucapannya, biasanya kalau dekat menghindar terus dariku,” balas Mas Iwan di seberang sana. Nada suaranya datar, namun dapat membuat hatiku berbunga-bunga. Aku pun tersenyum. Langkah kakiku mendekat pada jendela kamar yan
“Mbak Sinta marah, Mbak. Apa aku yang keterlaluan ya?” tanyaku pada Mbak Rini. Walau bagaimanapun aku tak mau terjadi keributan saat kami kumpul bersama seperti ini. Tak enak sama Mas Wahyu, aku takut Mbak Sinta ngadu yang tidak-tidak pada suaminya itu.“Sudah jangan dipikirkan, memang dasar Sinta saja yang tak punya otak. Asal jeplak saja, barang orang mau tetapi barang ia meditnya bukan main. Lagi pula apa pantas ia meminta hadiah pertunanganmu. Tadi saja ia menghina kamu matre!” kata Mbak Rini penuh dengan kekesalan terhadap Mbak Sinta. Kedua iparku ini sifatnya saling bertolak belakang. 180% berbeda satu sama lain.“Bagaimana kalau ia ngadu yabg tidak-tidak sama Mas Wahyu. Kasihan Mbok, Mbak.”“Sudah, kamu jangan khawatir. Masmu itu cukup bijak untuk menilai mana masalah yang perlu dibesar-besarkan dan mana masalah yang perlu diredam. Lagi pula aku gedek melihat gayanya yang sok kaya itu. Seakan-akan ialah nyonya besarnya. Padahal dari keluarga yang biasa-biasa saja ia. Bukan yan
Jam menunjukkan pukul dua siang. Semua anggota keluarga sudah selesai makan siang. Mas Wahyu beserta anak-istrinya belum diizinkan Mbok untuk pulang. Walau mereka tinggal di kampung sebelah, kesibukan membuat mereka jarang bisa berkunjung di rumah ini.Berbeda dengan Mas Radit yang memang orangnya santai dan jarak rumah juga sangat dekat dengan rumah Mbok. Namun kali ini, Mbok menginginkan anak-anak berkumpul menjadi satu di rumah ini walau hanya sehari. Anak-anak pada main di luar, Mas Radit dan Mas Wahyu memancing di kolam belakang sambil bercerita, mengenang masa kecil mereka. Bahkan saat aku hendak memetik daun singkong di pinggir kolam untuk lalapan makan malam, aku tak sengaja mendengar mereka juga membahas masalah para mantan mereka. Ya … setidaknya tak terdengar oleh Mbak Sinta. Jika tidak mungkin akan terjadi perang dunia ke tiga. “Fit! Fitri!” teriak Mbak Sinta memanggilku. “Iya Mbak, aku di dapur!” jawabku. Aku yang baru masuk ke dalam rumah meletakkan daun singkong mud