Malam itu menjadi malam terpanjang yang pernah kulalui. Aku tidak sabar untuk menantikan hari esok di mana semua keluarganya akan ku buat malu dengan apa yang telah mereka lakukan. Bagaimana tidak, keluarga merekalah yang dulu sangat ingin berbesanan dengan keluargaku.
Sedikit cerita, sejujurnya mas Riko lah yang mengejarku saat itu. Aku hanya sebatas kenal dengannya karena memang bapaknya mas Riko adalah pegawai papa.
Setelah pertemuan pertama dengan mas Riko, dia lalu sering datang ke rumah hanya untuk sekedar main. Dari situ lah kita mulai akrab dan sering jalan bareng. Hingga akhirnya aku bisa membalas perasaan mas Riko padaku.
Awalnya Papa kurang setuju dengan hubunganku dan mas Riko. Namun setelah melihat kesungguhan dan tanggung jawab darinya papa akhirnya merestui hubungan kami.
"Melihat kesungguhan dan juga kerja keras dari Riko, maka Papa merestui hubungan kalian," ujar papa kala itu.
Setelah kami menikah papa kemudian memberi jabatan yang lebih baik di kantor untuk bapaknya mas Riko yang sekarang menjadi mertuaku.
Tidak sampai di situ kadang papa juga mempercayakan proyek-proyek besarnya untuk digarap oleh besannya itu akhir-akhir ini. Mungkin papa merasa sungkan dengan bapak mertuaku karena anak perempuannya ini belum juga bisa memberikan keturunan untuknya.
"Saya harap kita semua bisa sabar untuk menantikan kehadiran anak Riko dan Lisa," ujar papa saat kita sedang berkumpul bersama beberapa bulan yang lalu.
“Iya Pak Indra. Sebagai manusia kita hanya bisa berusaha. Selebihnya hanya Tuhanlah yang berhak menentukan,” jawab bapak dengan ikhlas. Semua pun tersenyum dan bahagia mendengar jawaban yang dilontarkan bapak.
Walaupun papa adalah pemilik perusahaan, namun dia tidak mempekerjakan mas Riko di perusahaannya. Dia tidak ingin memberikan fasilitas lebih untuk menantunya. Papa lebih memilih agar mas Riko bekerja dengan orang lain dan bisa membuktikan jika dia mampu menghidupiku dengan penghasilannya tanpa campur tangan papa.
Dengan semua kebaikan yang telah keluargaku berikan, sangat tidak pantas jika mereka sekeluarga menghianatiku. Bukan hanya aku yang tersakiti dan merasa dihianati di sini tapi pastinya keluargaku juga. Air susu dibalas dengan air tuba jika kata pepatah.
Setelah semalaman hampir tidak bisa tidur, keesokan harinya aku segera pergi ke rumah Ibu mertua pagi-pagi sekali.
Karena hanya ada satu mobil yang masih bisa di beli oleh suamiku, akupun terpaksa pergi dengan mengendarai motor bututku seperti biasa.
"Aku akan buat kalian malu hari ini juga!" gerutuku.
Jujur saja setelah menikah dengan mas Riko, aku telah meninggalkan kehidupan lamaku, kehidupan serba berkecukupan yang telah mama dan papaku beri. Aku mulai belajar hidup sederhana sesuai kemampuan suamiku dan yang terpenting aku tidak merasa keberatan dengan itu semua. Mungkin semua itu ku lakukan karena aku sudah jatuh cinta dan sangat menyayangi suamiku.
"Jika memang semua firasat dan kecurigaanku ini benar, aku akan membuatmu bertanggung jawab atas semuanya, Mas!!!" gerutuku lagi.
Hari masih sangat pagi , suasana pun masih agak gelap. Kuhidupkan motor bututku serta lampu motor tak lupa juga kunyalakan. Perjalanan masih sangat lancar karena masih sedikit sekali kendaraan yang berlalu lalang. Mungkin hanya pedagang sayuran di pagi hari saja.
Setengah jam perjalanan akhirnya sampai juga aku di rumah mertuaku. Tanpa menunggu lama lagi, ku ketuk pintu rumah itu. Beberapa saat kemudian terdengar suara pintu terbuka. Dan benar saja, kulihat perempuan berbadan dua itu ternyata yang membukanya. Dia masih berada di rumah ini seperti tebakanku.
"Selamat pagi," sapaku.
"I...iya selamat pagi," jawabnya terbata.
"Boleh saya masuk?" tanyaku dengan santai.
Dia tidak menjawab, namun dari dalam rumah terdengar suara suamiku dengan jelas bertanya, "Siapa bun yang datang pagi-pagi beginii?"
Bun? Apakah arti bun? Bunda?
Perempuan itu diam tidak menjawab pertanyaan mas Riko. Sepertinya dia tahu jika aku adalah istri sah mas Riko.
Aku menatap mata perempuan itu. Dari matanya terlihat sangat jelas jika dia sedang menyembunyikan rasa takut, rasa khawatir akan terbongkar semua kebusukan mereka.
Dalam keheningan itu tiba tiba suara Ibu mertuaku juga terdengar sangat lantang memanggil namanya.
"Siapa yang datang, Ria? Ayo ajak sarapan sekalian," serunya.
Tanpa berpikir panjang lagi aku segera masuk. Berjalan melewati perempuan yang dipanggil Ria itu. Melihat kedatanganku mas Riko dan ibu mertuaku sangat terkejut.
"Lisa???" ucap Ibu dengan nada kaget.
"Iya ini aku, apa kabar, Bu?" tanyaku dengan suara santai. Sengaja ingin membuat mereka senam jantung.
"Em... I... I..ibu baik, tumben kamu kesini pagi-pagi begini?" tanya Ibu gelagapan.
"Iya. Aku sengaja kesini karena suamiku semalaman tidak pulang, Bu,” tegasku sambil melirik ke arah mas Riko yang saat ini benar-benar terlihat seperti kepiting rebus, merah.
"Oh so... Soal itu, aku lupa mau memberi tahumu, Aku juga nginep di rumah Ibu, tapi sebentar deh, bukannya kamu nginep di rumah mama?"
"Nggak jadi, aku nggak jadi berangkat," jawabku membuat wajah mas Riko semakin memerah.
"Tapi Mama bilang kamu udah sampai di sana kemarin," ujar mas Riko lagi.
"Memangnya kenapa? Mama nggak boleh bantuin anaknya? Hah?!" Kini nada suaraku sedikit meninggi.
"Bukannya begitu, tapi apa tujuanmu berbohong seperti itu??" tanya mas Riko masih dengan wajah merahnya.
"Tujuanku? Kamu mau tau tujuanku, Mas?!"
Mas Riko diam seketika mendengar perkataanku begitu juga dengan ibu. Terlihat jelas jika mereka sedang ketakutan saat ini.
"Sekarang aku mau tanya sama kamu, Mas, sama Ibu juga. Siapa perempuan itu? Siapa perempuan yang sedang mengandung itu?!! Perempuan yang sepertinya sangat kalian sayangi itu, perempuan yang dengan senang hati kalian ajak sarapan bersama dan perempuan yang kamu panggil dengan sebutan Bun tadi, siapa dia, Mas? Siapa??!!!!!" tanyaku dengan suara makin tinggi sembari menunjuk ke arah perempuan itu.
Mas Riko hanya diam seribu bahasa. Dia tidak menjawab pertanyaanku yang bertubi-tubi itu sama sekali.
"Jadi kamu tidak mau ngasih tau siapa perempuan itu??? Kamu mau melindunginya???!!!!" bentakku.
"Cukup Lisa, cukup!!!! Perempuan tidak sepantasnya membentak laki-laki seperti itu, apalagi laki-laki itu suamimu sendiri," cerca Ibu.
"Hah???!!!! Suami Ibu bilang?? Suami macam apa dia, Bu??? Apa perlu suami seperti dia dihormati?!” Kini nada bicaraku makin tinggi.
"Cukup!!!! Ibu sudah tidak tahan lagi, pagi-pagi kamu sudah bikin masalah di rumah Ibu. Jika kamu memang sangat ingin tahu dia siapa, dia adalah_" belum selesai Ibu berkata mas Riko langsung memotongnya.
"Bu, biarkan aku yang menjelaskan," ujarnya.
"Biarkan Ibu saja, biar dia tahu apa kekurangannya. Biar dia tahu jika dia tidak mampu memberikan apa yang kita inginkan," sahut Ibu.
Ibu kemudian menuntun perempuan itu lalu membawanya ke hadapanku. Dengan bangga ibu berkata jika dia adalah istri dari mas Riko.
"Istri???? Hahahahaha, Ibu bilang dia istri mas Riko? Apa Ibu sudah lupa sama aku, Bu? Jika dia istri mas Riko lalu aku ini siapa? Hah???”
"Lisa dengarkan Ibu, apa kamu tidak ingin melihat suamimu bahagia? Ria bisa hamil Lisa! Dia bisa ngasih keturunan untuk Riko dan keluarga ini, sedangkan kamu? Mana? Sudah lima tahun kami menunggu, tapi tetap saja hasilnya nihil," ucap Ibu membuat hatiku serasa tergores pisau yang amat sangat tajam.
Oh jadi ini alasan utamanya, karena aku belum juga hamil. Baiklah jika memang kalian akan mencampakkanku karena kekuranganku ini. Tapi ingat, sebelum kalian mencampakkanku, kalian yang akan ku campakkan terlebih dulu.
Tidak ingin berlama-lama berada di rumah ibu aku pun segera melangkahkan kaki keluar tanpa berpamitan ataupun berkata apapun lagi. Sudah cukup aku dihianati seperti ini. Pantas saja semuanya baik padaku selama ini, ternyata ada udang dibalik batu. Mereka sengaja baik agar aku tidak mencurigai gerak- gerik mereka.
Mas Riko yang melihatku pergi segera mengejar dan berusaha menghentikanku.
"Sayang, kamu mau kemana? Kita selesaikan masalah ini dengan kepala dingin," ujarnya.
Aku tidak menanggapinya. Kakiku terus saja melangkah ke depan. Ingin segera pergi ke rumah mama untuk menceritakan semuanya. Akan lebih baik jika papa juga tahu akan hal ini.
"Sayang, tunggu! Jangan emosi gitu, kita selesaikan baik-baik masalah ini," ujar mas Riko sambil terus mengejarku.
"Apa kamu bilang, Mas? Aku tidak salah dengar? Hah??? Kamu bilang kita selesaikan baik-baik masalah ini? Kamu pikir ini masalah sepele???? Ini masalah penghianatan, Mas! Aku tidak terima dengan semua ini!!!" bentakku..
"Tapi aku tidak ingin kita berpisah, aku tidak mau itu terjadi," ujarnya lagi.
Aku tahu kenapa kamu enggan berpisah denganku, karena kamu takut jika keluargamu akan kembali miskin kan? Apa peduliku, Mas! Kamu sendiri yang memulai permainan ini, kamu juga yang harus menanggung semuanya.
"Sayang, aku mohon jangan libatkan bapak dalam masalah ini, dia tidak tahu apa-apa soal ini," pinta mas Riko.
Aku benar-benar ingin berteriak sekeras mungkin saat ini. Rasanya selama ini aku hanya dimanfaatkan saja oleh keluarganya.
"Lisa!!!! Berhenti!!! Aku bilang berhenti!!!!" gertak mas Riko.
Tanganku seketika langsung ditarik dan terpaksa ku hentikan langkahku. Aku tidak ingin para tetangga mendengar pertengkaran kami karena hari memang masih pagi.
"Apa???!!! Mau bilang apa? Mau jelasin apa lagi?!!" Tanyaku.
"Dengarkan aku! Aku minta maaf sebelumnya, Sayang. Aku minta maaf sama kamu, aku memang menutupinya selama ini, aku cuma tidak mau kamu sakit hati," jelasnya.
"Hahhhh????!!!!! Apa kamu bilang, Mas? Tidak ingin buat aku sakit hati?! Jika memang tidak ingin menyakitiku seharusnya kamu nggak melakukan ini semua. Kamu menyakitiku, menghianatiku sama juga menghianati kepercayaan keluargaku!!!! Kamu pikir papa sama mamaku akan memaafkanmu semudah itu?? Tidak, Mas. Tidak semudah itu,” lanjutku.
“Satu lagi, orang tua mana yang rela anaknya di sakiti? Tidak ada. Kamu pikir mereka menyukaimu sejak awal????? Pikir Mas pikir!! Papa setuju dengan hubungan kita karena bujukanku karena rayuanku. Dan sekarang entah apa yang akan papa lakukan padamu dan kekuargamu jika mengetahui ini semua!!!!!"
"Iya makanya kamu nggak usah cerita sama papa, kita selesaikan masalah ini berdua secara baik-baik,” sahut mas Riko
"Baik-baik kamu bilang? Baik seperti apa yang kamu mau??? Aku harus baik sama kamu dan Ibu? Baik sama perempuan itu?? Kamu mau aku menerima kehadiran perempuan itu???? Maaf ya Mas, aku bukan perempuan seperti itu!!!! Aku punya harga diri!! Aku lebih memilih kehilangan laki-laki sepertimu dari pada harus di madu!” gertakku.
Tanpa mempedulikan mas Riko lagi aku segera pergi dengan motor butut yang sengaja ku parkir di seberang jalan.
Dalam perjalanan pulang, air mata tak kuasa untuk ku bendung. Bagaimanapun juga dia adalah suamiku, laki-laki yang ku pilih untuk menjadi pendamping hidupku. Laki-laki yang dengan bangga ku tunjukkan pada papa saat itu, laki-laki yang aku sangat menyayanginya dan kini dengan mudahnya dia menghianatiku.
Sakit yang kurasakan saat ini benar-benar sakit luar biasa. Jika di bilang kecewa, aku sangat kecewa. Bukan saja dihianati oleh suamiku tetapi Ibu mertuaku juga.
"Mungkinkah bapak tidak tahu akan hal ini? Setahuku bapak orang yang sangat baik, tapi jika dia tahu akan hal ini, kenapa dia diam saja melihat perilaku bejat istri dan anaknya? Apa mungkin ini juga rencananya karena ingin segera menimang cucu?" batinku.
Pertanyaan demi pertanyaan muncul di kepalaku. Entah apa yang harus ku lakukan setelah ini, aku bahkan belum bisa memikirkannya. Walaupun hari masih pagi, namun hatiku sudah sangat panas, terbakar. Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan membalas perbuatan mereka. Akan ku balas penghianatan serta penghinaan ini. Baru saja aku sampai di rumah ponselku terus saja berdering. Panggilan masuk dari mas Riko. Beberapa kali panggilan masuk darinya ku tolak, akhirnya mas Riko menyusulku pulang juga. "Sayang, dengarkan penjelasanku dahulu," ujarnya. Lagi-lagi dia memintaku untuk mendengarkan penjelasan yang sebenarnya tidak perlu dia sampaikan itu. Karena semuanya sudah jelas. "Penjelasan apa, Mas? Penjelasan jika kamu akan segera punya anak????!!! Selamat ya!!!!" seruku lalu mengambil tas dan langsung pergi meninggalkan mas Riko. "Kamu mau kemana? Jangan bertingkah bodoh. Kita bicarakan masalah ini dulu dengan kepala dingin. Saat ini kamu masih sangat emosi, jangan pergi kemana-m
Sekali lagi perawat memanggil nama Riana Dewi Utami namun tidak ada siapapun yang datang. "Riana Dewi Utami? Kaya pernah dengar," gumam Lidia lirih. "Apa, Lid?" tanyaku. "Em, enggak papa, Lis," jawabnya. Karena tidak ada pasien lagi, Kinan pun kemudian keluar dan menghampiri kami. Kita bertiga segera beranjak dari rumah sakit. Entah mau pergi kemana selanjutnya kita belum menentukan tujuannya. "Kita ke taman aja kali ya, cari udara segar," kata Kinan dalam perjalanan. "Memangnya Dokter Kinan Yulia Wardani sudah makan?" tanyaku menggodanya. "Apa sih Lis, jangan gitu ah. Nggak enak nih dengarnya," jawab Kinan. "Lah memang benar kan, Dokter Kinan Yulia Wardani," godaku lagi. Jika sudah bertemu dengan teman-teman dan kumpul bertiga seperti ini kita bisa melupakan semua masalah yang ada. Lidia hanya tertawa mendengarku menggoda Kinan sembari menyetir mobil. Sesampainya di taman kita segera mencari tempat yang nyaman untuk mengobrol. Untungnya ada beberapa gazebo di sana.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu tiba-tiba ingin bercerai dari Riko?" tanya papa. "Seperti yang kukatakan tadi, Pa. Lisa hanya merasa bersalah karena tidak bisa memberiku keturunan. Bukan begitu, Sayang?" sahut mas Riko dengan tenang. "Benar begitu, Lisa?" tanya papa lagi. "Katakan saja apa yang sebenarnya terjadi, Lisa! Apakah yang kamu curigai dari Riko itu terbukti?" Kali ini mama ikut menimpali. Dia tahu jika aku mencurigai mas Riko bertindak tidak beres di belakangku. "Curiga? Kamu mencurigaiku soal apa, Sayang?" tanya mas Riko dengan nada terkejut. Mama memandangku tajam. Kemarin aku memang sempat meminta bantuan mama untuk membohongi mas Riko. Namun mama juga belum tahu kelanjutannya karena aku belum bercerita lagi padanya. "Apa yang Lisa katakan pada Mama? Dia mencurigaiku soal apa, Ma? Tolong katakan padaku," ucap mas Riko lagi. Entah kenapa tiba-tiba saja mulutku serasa terkunci. Sulit sekali mengatakan soal pernikahan siri mas Riko di belakangku. Apakah mu
Hari sudah sore akupun kembali ke rumah. Membawa selembar kertas berisikan alamat rumah Ria yang tadi diberikan Kinan padaku. Selembar kertas itu ku taruh di dalam laci meja kamar. Aku akan mendatangi alamat itu besok untuk mencari bukti Bagaimanapun juga, Mas Riko masih untuk kutunjukkan pada papa. Tiba-tiba kudengar Mas Riko pulang ke rumah. Entah untuk tujuan apa dia pulang. Dia mendekatiku, matanya seakan mengatakan bahwa dia merasa sangat bersalah. Aku yang masih enggan untuk berbicara dengannya pun segera memalingkan muka. "Lis, aku datang untuk..." ucapnya. "Maaf, Mas. Aku belum ingin bicara sama kamu untuk saat ini. Mungkin lebih baik kamu kembali ke rumah istrimu yang lain," terangku. "Sejujurnya aku mau bilang jika sikapku kemarin keterlaluan. Aku bahkan berani berbohong pada mama dan papa. Membuatnya seolah-olah kamu yang berbohong. Aku melakukan itu semua semata-mata hanya karena tidak ingin rumah tangga kita berantakan," jelasnya. "Memangnya kamu pikir keluarg
Semalaman aku hanya memikirkan apa yang sebenarnya ingin Ria sampaikan. Jujur, aku bisa melihat dengan jelas dari matanya jika dia tidak bahagia. Mungkin kalian akan menganggapku bodoh karena peduli dengan istri siri suamiku. Namun mungkin saja dari sinilah aku akan menemukan bukti kuat untuk menjatuhkan mas Riko dan keluarganya.Pagi itu aku menghubungi Kinan untuk memata-matai mas Riko dan Ibu. Mungkin saja ada kesempatan untukku menemui Ria tanpa adanya mereka."Ria sudah dibawa pulang Riko dan Ibunya tadi malam, Lis," ungkap Kinan."Hah??? Bukannya Ria masih harus mendapatkan perawatan medis ya, Nan?" "Benar, Lis. Tapi entah kenapa Riko dan Ibunya meminta untuk membawa Ria pulang tadi malam," sambung Kinan.Pertanyaan demi pertanyaan pun muncul di benakku. Sepertinya firasatku benar. Ria memang tidak bahagia menikah dengan mas Riko, pasti ada sesuatu."Oh ya udah, Nan. Thanks ya," ucapku.Selesai menelepon Kinan aku langsung mencari kertas berisikan alamat rumah Ria yang kemarin
Ponselku berdering ketika aku masih bersama dengan Kinan. Sebuah panggilan masuk dari Lidia. Aku tahu jika saat ini dia sedang merasa sangat bersalah padaku. Namun walaupun begitu, aku tetap merasa kesal dan kecewa padanya. "Siapa, Lis?" tanya Kinan setelah kulihat ponselku."Lidia," jawabku.Kinan hanya menatapku. Dia pasti bingung dengan keadaan saat ini. Harus bersikap bagaimana. Tidak mungkin dia akan membuatku tambah membenci Lidia."Mungkin Lidia punya alasan menyembunyikan ini semua darimu, Lis," ujar Kinan."Apapun itu alasannya dia tetap sudah menghianatiku, Nan. Sebagai sahabat dia seharusnya memberitahuku saat dia tahu kebrengsekan mas Riko. Tapi ini? Dia malah ikut merahasiakannya dariku," jawabku yang masih merasa kecewa dengan Lidia.Kinan akhirnya diam. Dia pasti juga berpikiran sama denganku.Telepon dari Lidia kuhiraukan membuatnya kemudian mengirim pesan untukku.(Maafkan aku, Lis. Aku punya alasan soal ini semua. Aku bisa menjelaskannya padamu.) Entah apapun itu
Hari ini aku melihat suamiku berselingkuh dengan temanku sendiri. Rasa kecewa, marah, sedih bercampur jadi satu. Marah dengan mas Radit dan juga sangat kecewa dengan Intan, temanku. Aku bingung harus bagaimana saat ini? Di satu sisi aku masih membutuhkan mas Radit sebagai ayah dari Lalita, anakku. Namun di isisi lain, kemarahan dan kekecewaan ini menyuruhku untuk berpisah darinya.Sedih memang, namun aku harus terus meneruskan hidup. Bagaimanapun jiga dunia tetaplah berputar. Aku menghubungi dua sahabat baikku untuk bercerita serta untuk mengeluarkan unek-unek di dalam hati. Aku akan merasa sedikit lega jika berbagi cerita dengan sahabat-sahabatku. Pasti mereka punya solusi untuk masalahku ini.Pertama aku menelepon Lisa untuk ku ajak bertemu. Namun saat itu dia bilang tidak bisa datang karena salonnya sangat ramai dan tidak bisa ditinggal. Aku sedikit kecewa dengan jawaban yang diberikan Lisa. Memang aku belum menceritakan duduk permasalahannya. Namun kenapa dia tidak mau bertemu
"Tolong bilang sama Lidia jika aku tidak di sini ya, Bik," ucapku selanjutnya."Tapi sepertinya non Lidia tahu jika Non Lisa ada di sini," jelas bik Inah."Temui dulu, Sayang. Siapa tahu Lidia memang punya alasan akan semua ini," sahut mama."Iya, Sayang. Siapa tahu Lidia bisa membantumu untuk mengumpulkan bukti perselingkuhan Riko," sambung papa yang sekarang sudah mulai percaya denganku."Tapi, Ma?""Sudah lah, Sayang. Tidak ada salahnya kamu mendengarkan alasan Lidia terlebih dahulu. Bukankah selama ini kalian sudah bersahabat dengan baik? Mama yakin Lidia pasti punya alasan kuat tidak memberitahumu. Tapi mama yakin setelah ini dia pasti akan membantumu untuk mendapatkan bukti soal Riko dan istri sirinya," tambah mama."Iya, Lis. Paling tidak dia juga bisa menjadi saksi atas pernikahan Riko," tambah papa. Dengan desakan papa dan mama akhirnya akupun mau menemui Lidia. Papa dan mama benar, Lidia pasti akan membantuku setelah ini jika dia merasa bersalah padaku. Dengan begitu akan l
Hari ini sepulang dari salon, aku pergi ke rumah Mila. Aku merasa khawatir dengan salah satu karyawan salonku itu. Tidak bisanya dia begini. Dia selalu menghubungiku jika ada urusan ataupun saat dia sakit. Tapi kenapa kali ini tidak? Hari ini aku akan menyelesaikan dulu soal Mila. Lebih baik aku menghubungi bapaknya mas Riko dan mengatakan apa yang sedang anaknya itu perbuat pada istri sirinya. Ku ambil ponselku kemudian menghubungi nomer pak Beni. Nomer yang sengaja tidak kuhapus sampai saat ini. Tut...tut...tut... Panggilanku segera terhubung ke ponsel mantan bapak mertuaku itu. Tak perlu menunggu waktu lama, bapak segera menjawab panggilan dariku. "Halo, Lisa. Ada apa? Tumben sekali kamu menghubungi bapak. Pasti ada hal yang penting kan?" tanya bapak. "Iya, Pak. Ada sesuatu yang harus bapak tahu," balasku. "Apa, Lisa? Apa ini ada hubungannya dengan Riko?" "Iya, Pak. Mas Riko menyekap tante Laras, istri siri bapak," lanjutku. "Kamu serius, Lisa? Bukankah Laras bilang akan
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan lebih seperempat. Kubuka pintu gerbang rumah kemudian mengeluarkan motor butut kesayanganku. Hari ini aku akan pergi ke salon. Sudah lama aku tidak ke salon semenjak proses perceraianku dengan mas Riko. Kunyalakan motor butut itu kemudian langsung berangkat menuju salon. Tiga puluh menit perjalanan akhirnya aku sampai juga di salon. Kulihat salon sudah ramai pelanggan. "Selamat pagi, Bu," sapa Eni. "Pagi, En." Aku melihat karyawan salonku satu persatu. Namun aku tidak melihat Mila sama sekali. "Di mana Mila, En?" tanyaku pada Eni. "Mila nggak datang, Bu." "Loh sejak kapan?" "Dua hari yang lalu," jawab Eni. "Loh kok nggak ada yang kasih tahu saya? Apa dia sakit?" tanyaku. "Saya nggak tahu, Bu. Dia nggak menghubungi saya juga soalnya," balas Eni. "Oh begitu, makasih ya, En." "Iya, Bu. Kalau begitu saya lanjut kerja lagi ya," kata Eni. Aku segera masuk ke dalam ruanganku untuk menghubungi Mila. Gara-gara banyak masalah yang terjadi
"Hai, Tante," sapaku pada tante Laras. "Halo, Sayang," balas tante Laras. "Maaf ya udah bikin tante menunggu," lanjutku. "Nggak papa, Sayang. Tante juga baru saja datang kok. Justru tante yang minta maaf karena sudah menganggu waktumu," ujar tante Laras kemudian."Aku nggak merasa terganggu sama sekali, Tante. Aku justru senang jika tante berkenan menceritakan masalah tante padaku," jawabku. Tante Laras kemudian mulai menceritakan hubungannya dengan pak Beni. "Apa menurutmu hubungan tante dengan mas Beni harus diakhiri saja ya, Lis?" tanya tante Laras padaku."Kenapa diakhiri, Tante? Bukankah kalian sama-sama saling menyayangi?" "Itu benar. Tapi tetap saja pernikahan kita hanyalah pernikahan siri yang tidak diakui oleh negara. Tidak lebih dari itu," ungkap tante laras."Memangnya apa salahnya menikah siri jika kalian sama-sama merasa nyaman?" kataku berusaha membuat tante Laras tetap semangat. Bukan membenarkan pernikahan siri ini, namun aku hanya tidak ingin membuatnya sedih. A
Ponselku berdering saat aku hendak memejamkan mata. Saat kulihat ternyata sebuah panggilan masuk dari tante Laras. "Ada apa dia menghubungiku malam-malam begini?" gumamku.Merasa penasaran kenapa dia menghubungiku malam-malam begini, aku pun langsung menjawab panggilan dari tante Laras."Halo, Tante," kataku memulai obrolan."Hai, Lis. Lagi ngapain?" tanya tante Laras."Lagi mau tidur nih, Tante. Ada apa Tante menghubungiku malam-malam begini?" tanyaku kemudian."Tante ganggu ya?" tanya tante Laras."Nggak kok, Tante. Tenang saja," sambungku."Sebenarnya Tante mau cerita sama kamu. Apa kamu nggak keberatan dengerin cerita Tante?" tanya tante Laras setelah itu."Cerita soal apa, Tante?" tanyaku."Soal hubungan tante dengan mas Beni," jawab tante Laras setelah itu."Kenapa memangnya dengan hubungan kalian?""Tante mau kita ketemu saja ya besok. Bisa nggak kira-kira, Lis?" tanya tante Laras."Em sebenarnya aku mau ke salon sih, Tante. Tapi nggak papa deh. Ke salonnya bisa lusa saja," j
"Kamu seharusnya bersyukur bisa menjadi istri Riko. Dia sudah banyak membantumu dan keluargamu kan selama ini?!" terdengar suara Ibu membentak Ria."Beruntung bagaimana ya? Dia diperkosa oleh mas Riko, itu apa sebuah keberuntungan?!" sahutku yang tiba-tiba masuk ke ruang rawat Ria dan membuat ibu mas Riko kaget."Lisa! Ngapain kamu di sini. Jangan ikut campur kamu?! Urusanmu dengan Riko sudah selesai kan? Jangan malah menambah masalah baru!!" gertak ibu mas Riko."Memang benar urusanku dengan mas Riko sudah selesai. Tapi urusan mas Riko dengan Ria belum selesai. Di sini aku hanya berusaha membela Ria. Perempuan yang sangat menderita setelah menjadi istri siri mas Riko!" gertakku balik.Ayah Ria dan Ria hanya diam saja mendengarku dan ibu mas Riko saling beradu mulut."Menderita kamu bilang?! Ria sangat bahagia hidup dengan Riko selama ini, bukan begitu, Ria?" tanya Ibu mas Riko seraya menatap ke arah Ria.Ria tidak menjawab pertanyaan ibu mas Riko. Dia hanya diam saja tanpa mengatakan
"Halo, Lis," kata Lidia melalui sambungan telepon."Hai, Lid. Ada apa?" tanyaku."Bagaimana Ria? Dia jadi dioperasi kan?""Jadi kok. Ini sudah selesai dan dia sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa," jelasku. "Syukurlah jika begitu. Berarti Kinan bisa meyakinkan dokter Indra dong kalau begitu?" tanya Lidia."Iya. Jika kuperhatikan sepertinya Kinan dan dokter Indra ada sesuatu deh," ucapku membuat Lidia kaget."Masa sih? Nggak mungkin lah. Kamu kaya nggak kenal Kinan aja. Dia kan susah sekali di dekati," kata Lidia kemudian."Kali ini beda, Lid. Sepertinya Kinan yang menaruh hati pada dokter Indra deh," tebakku."Ah masa sih?" kata Lidia masih belum percaya."Iya sepertinya. Nanti jika kita bertemu Kinan kita tanya saja langsung padanya," sambungku. "Sip deh. Oh iya, ada berita penting nih, Lid" lanjut Lidia membuatku penasaran. "Berita apa?" tanyaku penasaran."Riko di bebaskan dari tuntutannya. Polisi bilang tidak ada bukti kuat yang bisa memenjarakan Riko," kata Lidia."What???
Dengan desakan yang dilakukan oleh Kinan akhirnya Ria berhasil juga di operasi. Dia sudah siuman dan juga sudah dipindahkan ke kamar rawat biasa satu jam yang lalu."Kenapa kamu nggak pernah cerita padaku jika perutmu sering sakit?" tanyaku pada Ria."Saya tidak ingin membuat bu Lisa ataupun yang lain khawatir," jawab Ria."Tapi pasti sakit banget kan?"Ria hanya menganggukkan kepalanya. "Untunglah kamu tinggal di rumah jadi mama tahu jika kamu demam dan segera membawamu ke rumah sakit. Coba kalau tidak, nyawamu jadi taruhannya, Ria," sambungku."Iya, Bu. Terimakasih sudah menolong saya. Saya sangat bersyukur bisa mengenal keluarga kalian. Orang-orang yang sangat baik dan tidak membeda-bedakan orang lain," kata Ria selanjutnya."Semua manusia itu sama, Ria. Jadi untuk apa di beda-bedakan. Hanya saja kami memang tidak menyukai orang jahat," jawabku seraya tertawa."Pokoknya terimakasih banyak ya bu Lisa atas pertolongannya selama ini. Saya sudah banyak merepotkan keluarga bu Lisa," s
Ternyata masih ada plasenta yang masih tertinggal dalam rahim Ria. Sepertinya saat itu mas Riko dan Ibunya tidak begitu memperhatikan Ria setelah tahu jika bayi mereka meninggal dunia."Lalu apa yang harus kita lakukan, Dok?" tanyaku kemudian."Dia harus menjalani operasi dengan segera guna mengambil plasenta yang tertinggal," jawab dokter.Apakah selama ini Ria tidak merasakan ada keanehan atau rasa sakit dalam perutnya? Kenapa dia tidak mengatakannya??"Baik, Dok. Lakukan apapun itu asalkan dia bisa kembali sehat," ucapku pada akhirnya."Baiklah jika begitu. Saya harus mendapatkan tanda tangan dari suaminya terlebih dahulu," lanjut dokter."Suami, Dok? Suaminya nggak ada. Bolehkah jika ayahnya saja yang tanda tangan?" tanyaku."Boleh boleh saja. Tapi saya lebih menyarankan jika suaminya saja yang menandatanganinya," tambah dokter."Tapi suami dia sedang berada di kantor polisi saat ini, Dok. Bisakah diwakilkan saja?" tanyaku lagi."Aduh saya tidak berani memgambil tindakan jika buka
Aku menemui tante Laras seperti janjiku lewat telepon kemarin. Entah apa yang sebenarnya ingin dia katakan padaku."Hai, Lisa," sapa tante Laras yang baru saja datang."Hai, Tante," sapaku."Maaf ya udah bikin kamu nunggu," lanjut tante Laras. "Nggak kok, Tante. Aku juga baru saja datang," jawabku.Tante Laras kemudian memesan minuman dan makanan untuknya dan juga untukku."Mau makan apa, Lisa?" tanya tante Laras."Aku sudah makan, Tante. Aku pesan minum saja," jawabku.Setelah memesan makan dan minum tante Laras kemudian duduk dan berbicara serius denganku."Ini soal istri sahnya mas Beni. Dia nggak mau diceraikan, Lisa," kata tante Lisa."Hah???? Yang bener, Tante?" tanyaku kaget."Iya, Lisa. Padahal mas Beni sudah mengatakan jika dia lebih memilih Tante dari pada istri sahnya itu, namun dia tetap saja kekeh tidak mau diceraikan," lanjut tante Laras."Kok ada ya perempuan seperti itu. Sudah tahu kita disakiti sama pasangan, eh tetep saja mau mempertahankan rumah tangganya," ujarku