Aku tak sadar kapan benar-benar tertidur hingga River menepuk lenganku dengan pelan. “Hei, bangun. Kita sudah sampai.”
Mataku mengerjap-ngerjap sejenak. Suara pintu mobil yang ditutup membuatku tersadar sepenuhnya. Aku melihat ke depan. Benjamin sudah tidak lagi berada di belakang kemudi. Mataku melihat ke sekeliling, mobil berhenti di depan pekarangan rumah yang megah dengan desain klasik. Cahaya lembut dari lampu-lampu taman menyinari pekarangan, memberikan nuansa elegan pada rumah tersebut. Pohon-pohon rindang di sekitarnya memberikan kesan asri dan menambah keindahan lingkungan. Bangunan rumah terlihat tidak terlalu besar, tetapi kesan megahnya terpancar dari detail arsitektur yang dipilih dengan cermat.
“Kupikir aku hanya memejamkan mata dua menit,” racauku sambil menguap, kemudian meregangkan tubuh.
Keesokan harinya, ketika aku terbangun, River sudah tidak berada di tempat tidur. Aku mendudukkan diri lalu meregangkan tubuh sambil menguap begitu lebar. Sekitar semenit aku memandang kosong ke jendela kamar yang tirainya terbuka separuh, memutar secara cepat kejadian-kejadian kemarin dari pagi hingga malam.Pintu kamar mandi terbuka, membuatku menoleh ke sumber suara. River keluar dari sana hanya dengan handuk yang dililitkan pada pinggangnya. Rambutnya yang terbiasa disisir rapi ke belakang, kali ini tampak berantakan dan basah. Dan seksi. Oh, astaga!“Hai,” sapaku konyol.Ia menggosok-gosokkan kakinya di keset sambil menatapku acuh tak acuh. “Mandilah, lalu kita akan turun bersama. Evan sudah datang.”Aku turun dari tempat tidur ketika dia sud
Malam harinya, aku dan River menonton pertandingan bola di televisi. Kedua tubuh kami terbungkus selimut tipis berwarna putih. Dia bersandar pada sandaran sofa, sementara aku bersandar pada dadanya, merasakan tangan kirinya melingkar melintasi punggungku.Aku menggeser tubuh untuk semakin menempel pada River ketika melihat Evan turun dari lantai atas. Tangan kiri River naik ke kepalaku, mengusap-usapnya dengan lembut dan—tampak—penuh kasih sayang. Dari ekor mataku terlihat Evan berjalan melewati ruang televisi, tapi aku sengaja tidak menatapnya sama sekali dan berpura-pura fokus menonton televisi.“Apakah normalnya orang menonton bola sambil berpelukan dan bergelung di dalam selimut seperti ini?” gumam River setelah beberapa saat, yakin bahwa Evan sudah tidak berada dalam jarak dengar.&ldquo
“Kau yakin ingin melakukan ini?” tanya River, kuharap untuk yang terakhir kalinya. Aku yakin dia tidak benar-benar berharap aku akan berpikir ketika dia menanyakan itu dengan bibirnya yang masih menggesek ujung bibirku. Dan dari betapa kerasnya tonjolan yang kurasakan di bawah pantatku, River jelas menginginkan ini berakhir seperti keinginan Sharon.Rasa panas di tubuhku terasa makin menyiksa. Tanganku berhenti bergerak di kancing kemejanya dengan putus asa. “Kita berdua akan mati jika tidak melakukannya,” jawabku, kemudian menyambut bibir River kembali.Tanganku dengan cepat melepas kemejanya, membuat ciuman kami harus terjeda dan dimanfaatkan River untuk menarik lepas pula baju hangatku. Bibirnya mengarah ke leherku, sementara tangannya dengan mudah melepaskan braku dan melemparnya sembarangan ke lantai.
River mencabut penisnya, membiarkanku melepas penat selama beberapa detik. Tatapannya masih penuh dengan kabut gairah, mengamatiku yang tengah bernapas tersengal-sengal.“Kau masih keras,” ucapku lesu.River mengangguk sama lesunya denganku. Ia kemudian menundukkan kepala, menelisik leherku sebelum mendaratkan ciuman di sana. "Biarkan aku melakukan apa yang kuinginkan.""Silakan," bisikku, menariknya lebih dekat untuk mencium kembali bibir Inggris itu. Tak butuh waktu lama bagi River untuk membangkitkan gairahku lagi.Tangan River menelusuri kedua tanganku, kemudian menggabungkannya jadi satu lalu menekannya hingga terikat di kepala tempat tidur. Bibir River turun ke daguku, memberi kecupan ringan di sana, kemudian turun ke dadaku. Wajahnya mendongak selama s
Pagi itu adalah mandi paling menyengsarakan yang pernah kualami selama hidupku. Setiap kali aku menyentuh setiap inci tubuhku, aku juga seolah-olah bisa merasakan sentuhan River di sana, seperti tadi malam ketika tangan dan bibirnya menyapu sekujur tubuhku. Setiap kali aku memejamkan mata ketika pancuran air menerpa wajahku, visual River juga selalu muncul di kepalaku.Saat keluar dari kamar mandi, aku melilitkan handuk ke tubuhku dan menuju ke walk-in closet untuk berpakaian. Aku tidak bisa tidak bertanya-tanya apa yang sedang dipikirkan oleh River. Apakah kami sudah melewati batas? Apakah ini hanya terjadi sekali saja, atau apakah ini akan mengubah dinamika di antara kami?Aku menemukan River di dapur, sedang menuangkan secangkir kopi untuk dirinya sendiri. Dia mendongak ketika mendengar kedatanganku dan memberiku senyuman kecil.
“Orang-orang ramai berkomentar mengenai River Lynch di media sosial kita,” kata Cody dari meja kerjanya. Aku langsung menoleh padanya, tertarik dengan apa yang dia katakan.Lukas pun kelihatannya juga begitu karena dia langsung meninggalkan rak pakaian dan mendekati Cody tanpa basa-basi. “Coba aku lihat!” katanya, melongokkan kepala untuk ikut menengok layar ponsel Cody, yang cukup lama digulir ke bawah, keduanya tampak sedang membaca komentar-komentar—mungkin pada postingan mengenai peluncuran Majalah Pamela Edisi November tahun ini. “Gadis-gadis itu sangat mengerikan.” Lukas bergidik, tapi terus melanjutkan membaca.Karena penasaran, aku ikut membuka akun media sosial Pamela Magazine, membaca komentar-komentar pada postingan terakhir.Aku tidak menyangka parfum favorit
“Aku penasaran bagaimana kondisi dapur di rumahmu.” River tiba-tiba berkata tanpa melihat ke arahku.Aku duduk di kursi bar, bersandar pada mejanya dan memandangi River yang sedang menyiapkan ravioli. Dia memakai kaus putih polos yang cukup tipis, membuat tulang belikatnya terlihat menyembul ketika tangannya melakukan gerakan tertentu. Celemek berwarna hitam memeluk tubuhnya dari depan.“Sangat rapi, tentu saja.” Karena hampir tak pernah ada aktivitas apa pun di sana … jika kau tidak menghitung melakukan hubungan seks adalah salah satu aktivitas yang wajar dilakukan di dapur.“Aku akan mengeceknya sendiri kapan-kapan,” ucapnya, yang kemudian gerakan tangannya berhenti sesaat. Aku yakin dia sendiri tidak berharap kata-kata itu akan keluar dari mulutnya.
“Mia,” panggilnya lagi sambil menguraikan pelukan, mengisi jarak di antara kami dengan embusan angin malam. Mata River yang sendu menatapku yang tiba-tiba merana. “Sebesar apa pun keinginanku untuk menghajar bokongnya, anak itu tetap putra dari mendiang saudara kembarku. Dan aku tidak bisa memungkiri bahwa aku juga menyayanginya.”“Jangan membelanya,” sahutku dengan kesal. Dia kemudian tersenyum lembut, begitu lembut hingga membuatku makin merana. Tatapannya berhasil mengunciku untuk tidak bergerak sama sekali. “Kesepakatan yang kita lakukan … aku melakukannya sebagai paman Evan. Namun, di sisi lain, sisi River Lynch yang berdiri sendiri, aku ingin bersikap egois karena menginginkanmu.”Aku terlalu terkejut untuk berkata-kata. Mataku terpejam ketika tangan hangatnya mengusap lembut pipiku. “River ….”Napas River makin terasa dingin ketika ia makin menyisihkan jarak di antara kami. “Mia … izinkan aku untuk menginginkanmu.”“River … kau mabuk …,” gumamku, mencoba menyadarkannya walaupu
Richard membukakan sebuah pintu yang agak berbeda dengan pintu-pintu lainnya lalu mengisyaratkanku untuk masuk. Dan hal pertama yang kulihat adalah River yang sedang duduk di balik meja kerjanya. Dia tak lagi mengenakan jasnya, yang kemudian kulihat sedang tergantung di standing hanger dekat jendela besar di belakang bangkunya.“Apa yang ingin Anda diskusikan, Mr. Lynch?” tanyaku sopan, mengantisipasi ada orang lain di ruangan ini.Dengan gerakan mulus, River bangkit dari kursinya. “Banyak sekali,” jawabnya sambil berjalan ke arahku. Aku terlena dengan entah bagaimana waktu seakan melambat seiring dengan langkahnya yang kian mendekatiku. “Banyak sekali yang ingin kudiskusikan,” ucapnya lagi, suaranya mengalun lembut di telingaku. Dia menarikku mendekat, tangannya menangkup pipiku, dan aku merasa seperti terhipnotis oleh kehangatan sentuhan itu.Lututku mendadak terasa seperti jeli ketika bibirnya menekan bibirku, dan aku pasti sudah ambruk ke belakang jika saja tangannya tidak melingk
“Jadi, Richard tahu tentang kita?” tanyaku sambil memainkan kancing piamanya. Kami berada di atas tempat tidur River, berbaring dengan lengan besarnya berada di bawah kepalaku.“Seperti itulah,” jawabnya sederhana, tangannya memainkan rambut cokelatku.“Kau bisa saja mengirimiku pesan teks untuk bertemu. Kenapa harus menyuruh Richard berbohong?”“Kau sendiri yang tidak ingin orang-orang tahu, kan?” balasnya dengan tenang. Aku mengingat-ingat di mana ketika aku berkata pada River mengenai orang-orang di kantorku yang tak perlu mengetahui hubunganku dengan River—yang pada saat itu mengacu pada hubungan di atas perjanjian. Namun, meskipun Cody (hanya Cody) tahu mengenai bagaimana hubunganku dengan River waktu itu, dia masih belum tahu bahwa kini hubungan kami mulai berbeda. “Akan lebih masuk akal bagi rekan-rekanmu jika aku mengungkit-ungkit mengenai pekerjaan.”“Kau ada benarnya juga sih …,” gumamku, melihat ke wajahnya yang sedang menampilkan tampang sombong, seolah-olah berkata “tentu
Berhubung aku, Cody, dan Sasha—orang terpilih dari Departemen Periklanan—tidak ada yang membawa mobil ke kantor, Lukas dengan murah hati meminjami kami Volvo merahnya untuk digunakan ke kantor River Lynch.“Memangnya di mana sih mobilmu?” tanya Cody yang sedang menyetir.“Sedang diperbaiki,” jawabku berbohong, diam-diam mengirim sinyal pada Cody agar tak membicarakannya lebih lanjut karena ada orang lain yang bisa mendengar.Shasa duduk di jok belakang. Dia sedang fokus mempelajari catatan Cody sambil membuka tabletnya. Dia pernah dua kali mewakili divisi periklanan mengikuti rapat tim proyek ulang tahun merk Sèduisant. Cody memilih orang yang tepat. Atau mungkin bukan Cody yang memilihnya? Bisa saja dia mengajukan diri atau Kepala Departemen Periklanan yang menugaskannya.Cody manggut-manggut mendengar jawaban asal-asalanku, meski dilihat dari sisi wajahnya pun aku tahu dia sedang tersenyum penuh makna. “Apanya yang rusak?” tanyanya lagi, mengetes. Ya Tuhan, aku ingin memecahkan kepa
Aku tak tahu lagi mengenai nasib perjanjian yang kusepakati dengan River. Apakah sekarang perjanjian itu batal karena hubungan kami tak lagi pura-pura? Tunggu, aku bahkan jadi bingung mengenai status hubungan kami yang sebenarnya. Apakah hubungan kami masih berlandaskan simbiosis mutualisme? Apakah kami jadi pasangan sesungguhnya seperti orang normal lainnya? Hubungan berlandaskan perasaan? Memang apa perasaanku padanya? River juga tak pernah menyebut-nyebut tentang perasaannya padaku. Dia hanya bilang menginginkanku, beberapa saat sebelum kami berhubungan seks. Barangkali River hanya merujuk pada keinginan biologisnya untuk bercinta denganku.“Hei!” Sebuah kibasan tangan di depan wajahku tiba-tiba menyadarkanku di mana aku sedang berada. Aku berada di dalam mobil River yang sudah terparkir di basement gedung Pamela Magazine. Saat sarapan tadi, River meminta untuk mengantarku bekerja lagi
Mataku terbuka saat merasakan tubuh River menempel di tubuhku. Pemandangan pertama yang kulihat adalah dada bidang River, dan kurasakan lengannya melingkari pinggangku dengan erat. Beberapa titik di tubuhku terasa nyeri, dan pipiku langsung memerah saat aku mengingat kegiatan kami yang menguras tenaga semalam.“Wake up, sleepyhead,” bisiknya, bibirnya menempel di telingaku.Aku menguap dan meregangkan tubuh, merasakan lengannya mengencang di sekelilingku saat tubuhku bereaksi terhadap sentuhannya. “Jam berapa sekarang?” Aku bergumam, meringkuk lebih dekat dengannya.River tertawa pelan dan mengecup leherku. “Ini jam kau-akan-terlambat,” jawabnya.“Apa?” Kesadaran menyergapku seketika. Dengan gerakan cepat, aku bangkit dan melihat sekeliling untuk mencari benda apa saja yang bisa menunjukkan waktu. Dan tatapanku tertuju pada jam persegi di atas meja kecil di samping tempat tidur. “Kenapa kau tidak membangunkanku dari tadi?” Mataku tertuju pada angka 8.42 yang berkedip-kedip futuristik
Aku menyandarkan kepalaku ke sandaran sofa sambil terengah-engah, melihat dia melepaskan semua pakaiannya dan kemudian meraih tubuhku lagi. Dia mengangkat tubuhku dan membalikkannya, memosisikanku di atas pangkuannya sementara dia sudah duduk di sofa.Jantungku berdegup kencang saat merasakan paha keras River menekan pangkal pahaku yang sudah basah, tangannya memandu tanganku menuju ereksinya. Aku terkesiap, mataku membelalak saat dia dengan lembut membimbing tanganku, menunjukkan padaku apa yang harus kulakukan. Dengan ragu-ragu aku melingkarkan jari-jariku di sekelilingnya, pipiku memerah karena merasakan kekerasannya di tanganku.Dia tersenyum, matanya tidak pernah lepas dari mataku saat dia mendorong tanganku lebih jauh, menuntunku untuk mengelusnya. Aku menggerakkan tanganku ke atas dan ke bawah, perlahan-lahan pada awalnya, kemudian meningkatkan kecepatan saat aku merasakan nafasnya semakin cepat dan matanya penuh dengan gairah.“Kau tidak tahu betapa aku sangat menginginkan ini
“Mia,” panggilnya lagi sambil menguraikan pelukan, mengisi jarak di antara kami dengan embusan angin malam. Mata River yang sendu menatapku yang tiba-tiba merana. “Sebesar apa pun keinginanku untuk menghajar bokongnya, anak itu tetap putra dari mendiang saudara kembarku. Dan aku tidak bisa memungkiri bahwa aku juga menyayanginya.”“Jangan membelanya,” sahutku dengan kesal. Dia kemudian tersenyum lembut, begitu lembut hingga membuatku makin merana. Tatapannya berhasil mengunciku untuk tidak bergerak sama sekali. “Kesepakatan yang kita lakukan … aku melakukannya sebagai paman Evan. Namun, di sisi lain, sisi River Lynch yang berdiri sendiri, aku ingin bersikap egois karena menginginkanmu.”Aku terlalu terkejut untuk berkata-kata. Mataku terpejam ketika tangan hangatnya mengusap lembut pipiku. “River ….”Napas River makin terasa dingin ketika ia makin menyisihkan jarak di antara kami. “Mia … izinkan aku untuk menginginkanmu.”“River … kau mabuk …,” gumamku, mencoba menyadarkannya walaupu
“Aku penasaran bagaimana kondisi dapur di rumahmu.” River tiba-tiba berkata tanpa melihat ke arahku.Aku duduk di kursi bar, bersandar pada mejanya dan memandangi River yang sedang menyiapkan ravioli. Dia memakai kaus putih polos yang cukup tipis, membuat tulang belikatnya terlihat menyembul ketika tangannya melakukan gerakan tertentu. Celemek berwarna hitam memeluk tubuhnya dari depan.“Sangat rapi, tentu saja.” Karena hampir tak pernah ada aktivitas apa pun di sana … jika kau tidak menghitung melakukan hubungan seks adalah salah satu aktivitas yang wajar dilakukan di dapur.“Aku akan mengeceknya sendiri kapan-kapan,” ucapnya, yang kemudian gerakan tangannya berhenti sesaat. Aku yakin dia sendiri tidak berharap kata-kata itu akan keluar dari mulutnya.
“Orang-orang ramai berkomentar mengenai River Lynch di media sosial kita,” kata Cody dari meja kerjanya. Aku langsung menoleh padanya, tertarik dengan apa yang dia katakan.Lukas pun kelihatannya juga begitu karena dia langsung meninggalkan rak pakaian dan mendekati Cody tanpa basa-basi. “Coba aku lihat!” katanya, melongokkan kepala untuk ikut menengok layar ponsel Cody, yang cukup lama digulir ke bawah, keduanya tampak sedang membaca komentar-komentar—mungkin pada postingan mengenai peluncuran Majalah Pamela Edisi November tahun ini. “Gadis-gadis itu sangat mengerikan.” Lukas bergidik, tapi terus melanjutkan membaca.Karena penasaran, aku ikut membuka akun media sosial Pamela Magazine, membaca komentar-komentar pada postingan terakhir.Aku tidak menyangka parfum favorit