Tama sedang mengupaskan jeruk untuk Rubi siang itu saat pintu kamarnya di ketuk Widya. "Bi, ada Nak Regan," ujar Widya diikuti Regantara berjalan di belakang Widya.Terhitung sudah dua hari Rubi beristirahat di rumah, selama itu juga Regantara selalu mengunjunginya. "Ini, Bun." Tama memberikan jeruk yang sudah bersih itu pada Rubi."Makasih, Sayang."Tama sesekali melihat ke arah Regantara yang duduk di dekatnya. Anak lelaki itu dari kemarin mempertanyakan pada Rubi siapa Regantara sebenarnya? ada hubungan apa? kenapa lelaki itu sering datang berkunjung?Jawaban yang di lontarkan Rubi pada Tama hanya sebatas, dia hanya teman. "Om kesini lagi?" Akhirnya Tama memberanikan diri untuk langsung bertanya."Mampir, tadi kebetulan Om dari kunjungan di daerah sekitar sini. Tama sudah mandi?""Belum, sebentar lagi. Kenapa Om sekarang sering kesini?""Tama ...." Rubi berusaha mencegah banyak pertanyaan yang pasti akan Tama tanyakan pada Regantara."Enggak apa-apa," ujar Regantara lembut. "Om
"Mbak ...," bisik Bono saat melihat Regantara siang itu masuk ke kafetaria. "Siapin makan siang, Mbak," goda Bono lagi."Aku tuh nek ndelok Pak Regan kok jantunge koyo meh loncat metu yo, de'e pas ning kandungan ibu'e di ke'i opo sih, ngguanteng tenan (aku tuh kalo liat Pan Regan kok jantungnya seperti mau loncat keluar ya, dia waktu di perut ibunya di kasih apa sih, ganteng banget)," ujar Yanti."Yo di kasih makan, Yan ... mosok sajen," celetuk Bono."Kalian ini, ampun ya," kekeh Rubi."Ya ampun, senyum lagi dia." Yanti memegangi dadanya."Ojo duwur-duwur Yan nek ngimpi, nyungsep kapok (jangan tinggi-tinggi Yan kalo mimpi, jatuh baru tau rasa)." Bono tertawa tak henti-henti.Regantara melangkah semakin mendekat, bukan hanya Yanti saja yang terpana pada ketampanan lelaki beralis tebal dan bermata teduh itu, Rubi yang sudah tiga hari ini selalu di buat luluh lantah oleh Regantara pun masih saja berusaha menetralkan detak jantungnya jika bertatapan atau pun berdekatan."Selamat siang,"
"Papa ...." Teriakan hiruk pikuk sore itu terdengar di halaman rumah besar milik mertua Regantara. Kedua anaknya sudah menunggu sejak setengah jam yang lalu di teras rumah.Kayma dan Arsa berlari menghampiri mobil putih itu, Regantara keluar dari mobil dan berganti memeluk kedua anaknya. Lebih dari satu bulan Regantara tak pulang ke Jakarta."Papa ...." Pelukan hangat itu tak di lepas oleh Kayma dan Arsa. "Kay kangen, Pa," ucap gadis kecil itu."Papa juga." Regantara mencium seluruh wajah Kayma. "Arsa kangen nggak?" Regantara mencium bertubi-tubi badan gempal Arsa."Kangen ... Papa kenapa baru pulang sekarang?" tanya Arsa merengek."Banyak kerjaan, Sayang. Ayo masuk dulu, Oma masak apa?" tanya Regantara pada Kayma."Enggak tau, kata Oma masakan yang sering dibuat oleh Mama untuk Papa.""Coba kita lihat," ujar Regantara sambil menggendong Arsa dan menggandeng Kayma."Sore, Ma ...." Regantara mencium punggung tangan wanita paruh baya itu."Regan, sudah sampai ... Mama heran kamu senan
"Kita ke studio foto mau nggak?" tanya Debby. Wanita yang memang selalu sesuka hatinya menentukan keinginan dan tak mau ada penolakan."Mana bisa, Sayang. Kita nggak ada persiapan, masa mau foto dengan pakaian seadanya kayak gini sih?" Meski bukan pakaian yang terlihat tidak layak, namun bagi Regantara berfoto di studio apalagi dengan anggota keluarga lengkap tentu saja dengan pakaian yang lebih berkonsep, bukan dengan sepatu sneaker, celana jeans dan kaos polo seperti yang dia kenakan saat itu."Memangnya kenapa?" Debby menarik kerah baju suaminya mendekat padanya, lalu menempelkan bibirnya pada bibir Regantara. "Kamu begini aja udah ganteng, aku suka," bisik Debby lalu melirik kedua anak mereka yang duduk di kursi tengah mobil."Papa sama Mama kalo mau mesra-mesra jangan di depan kita dong," ucap Kayma anak pertama mereka yang saat itu berusia lima tahun.Arsa yang saat itu berumur dua tahun hanya tersenyum memperhatikan kedua orangtuanya sambil memilin baju boneka kecil yang tak p
"Mukanya sudah empat hari ini nggak ada sinar ya," bisik Yanti pada Bono siang itu."Hooh, kabarnya lagi pulang ke Jakarta." Bono merapikan etalase makanan lalu kembali mengisi masakan ke dalam tempat-tempat catering."Sudah pacaran, po?" tanya Yanti penasaran."Hanya mereka dan Tuhan yang tau, Yan. Wes ah, kerjo sebentar lagi rame," kata Bono sambil melirik Rubi yang duduk di depan meja kasir.Tepat jam empat sore, Bono selesai memasukkan alat-alat catering yang akan di bawa pulang ke rumah."Kita langsung pulang, Mbak?" tanya Bono."Iya, Bon ... aku capek, rasanya badan sakit semua. Kenapa, ya?" tanya Rubi sambil mengurut pundaknya."Mungkin nahan, Mbak," ucap Bono menyalakan mesin mobilnya."Nahan apa, Bon?""Nahan rindu, Mbak," celetuk Yanti sambil tertawa kecil."Ish." Wajah Rubi memerah. Rasanya tidak salah jika dia memang rindu. Lima hari sudah Regantara pergi ke Jakarta, apalagi setelah kejadian mereka berciuman kedua kalinya malam itu, Regantara merasa tak enak hati pada Rub
"Bon, nanti jemput Tama di tempat les bahasa Inggris nya, ya," pinta Rubi kala mereka berada semua ada di dapur. "Mbak Rubi mau pergi?" tabya Bono penasaran. "Enggak, di rumah aja. Cuma lagi males keluar-keluar. Sop iga nanti di hangatkan lagi ya Mbok Inah, biar Tama pulang bisa langsung makan." "Tumben malem Minggu nggak ke toko roti Mbak," selidik Bono. "Di bilang aku lagi males keluar, di rumah aja sama Tama. Lagian ibu juga masih di Jogja, nanti kamu yang tutup toko ya." "Beres, Mbak. Oh ya, pembayaran mobil box sudah jatuh tempo dan dua minggu nanti sewa ruko juga sudah harus dibayarkan." "Oh iya aku lupa, coba nanti aku hitung dulu semuanya. Semoga cukup ya." Rubi tersenyum kecil. Tepat pukul setengah enam sore, Tama sudah sampai di rumah. Rencananya malam ini Rubi hanya ingin menghabiskan waktunya bersama Tama duduk menonton di depan televisi saja. "Sudah selesai makannya?" tanya Rubi pada Tama yang sudah berdiri di depan pintu kamar Rubi. "Sudah. Bunda mau kemana?" "E
"Masak apa Mbak Rubi?" tanya seorang tetangga yang kebetulan membeli sayur di gerobak sayur yang kebetulan berhenti di depan rumah Rubi pagi itu. "Oh, bumbu dapur Bu Suyono, bumbu dapur di rumah habis kebetulan ibu butuh buat nambah bumbu ikan pindang," jawab Rubi ramah. "Mbak Rubi sekarang keliatan beda ya," celetuk seorang ibu bernama Santi. "Beda gimana Bu Santi, perasaan saya begini-begini aja," jawab Rubi sambil memegangi dasternya. "Tambah cantik, Mbak," ujar Pak Budi tukang sayur yang sudah puluhan tahun berjualan di daerah rumah Rubi. "Pak Budi bisa aja," ucap Rubi malu. "Tapi bener selain tambah cantik, auranya saiki ki bedo. Lebih terang, betul toh." Bu Suyono bagaikan kompor yang sedang di sulut oleh api, membara. "Aura wanita matang," kata Bu Santi yang saling bersahutan mengomentari keadaan Rubi sekarang. "Udah tua, Bu ... wajar kalo matang," canda Rubi tanpa mengambil hati setiap perkataan wanita-wanita yang umurnya hampir sama dengan Ibu Widya itu. "Usahanya kel
"Ibu bilang, sebaiknya hubungan kita di resmikan entah itu perkenalan keluarga atau sekedar tunangan," ujar Rubi saat menyiapkan makan malam untuk Regantara di apartemennya. "Lalu kamu jawab apa?" Regantara baru saja selesai membersihkan dirinya saat Rubi datang membawakan makanan seperti biasa. "Aku bilang kita masih penjajakan," ucap Rubi meletakkan mangkuk berisi sop ayam serta satu mangkok lagi berisi telur balado. "Sambelnya jangan banyak-banyak nanti maag kambuh lagi," ujar Rubi mengingatkan. Regantara menarik tubuh Rubi hingga duduk di pangkuannya. Rubi melingkarkan tangannya di bahu Regantara. "Kenapa bilang kita masih penjajakan? Kenapa nggak bilang aku memang serius ingin menikahi kamu," ucap Regantara mengeratkan pelukannya. "Kita baru berhubungan lebih dari satu bulan," kata Rubi. "Lalu kenapa? Kita sudah dewasa Bi, sudah pernah berkeluarga sebelumnya. Mungkin Ibu juga menghindari omongan orang-orang di sekitarnya." "Poto Mbak Debby, kamu simpan dimana?" Rubi mengal
Sudah hampir setahun keluarga Regantara tak datang kembali ke Jakarta, dan khusus tahun ini bertepatan dengan hari ulang tahun almarhum Debby mereka kembali datang. Sebelum sampai di rumah mantan mertuanya, Regantara menyempatkan diri berkunjung ke makam istri pertamanya. Regantara dan Rubi beserta ke empat anak mereka duduk bersimpuh bersisian dengan gundukan tanah berbalut rumput yang di rawat dengan baik. "Apa kabar, Ma?" Suara lirih Kayma membuka keheningan diantara mereka. Sambil mengusap nisan sang Ibu, mata gadis itu pun berkaca-kaca. Ingin rasanya dia bercerita tentang kegundahan hatinya selama ini. Terlebih tentang cerita antara dia dan Tama, jika pun waktu bisa kembali dan berjalan tidak seperti saat ini, bisa jadi jodohnya adalah Tama. "Arsa, pimpin doa," ujar Regantara. Beberapa saat Arsa memimpin doa, Rubi ikut menaburkan bunga di atas gundukan tanah itu lalu dia merangkul pundak Kayma mengusapnya lembut. "Papa tinggal sebentar ya, Bunda dan anak-anak jika ingin men
"Sudah berapa lama kenal Kayma?" tanya Tama dengan napas memburu sambil men-dribel bolanya."Setengah tahun," jawab Saka berusaha meraih bola yang berada di dalam kekuasaan Tama."Sejauh apa?" tanya nya lagi memutar tubuhnya menghindari gerakan Saka."Sampai saat ini masih berteman dan mungkin sebentar lagi akan lebih dari sekedar teman."Tama menghentikan gerakannya, matanya menatap tajam ke arah Saka. Denga satu kali gerakan dia melambungkan bola basket dan tepat masuk ke dalam ring."Benar kata Arsa, permainan Mas Tama keren juga," ujar Saka bergantian memainkan bola yang sudah berada di tangannya.Tama mengindahkan perkataan Saka, masih terngiang di telinganya ucapan Saka yang baru saja terlontar."Lalu menurut kamu, Kayma suka sama kamu?" Tama sekarang bergantian memperebutkan bola di tangan Saka."Ibarat kata orang tua dulu, alon alon waton kelakon. Semua melalui proses Mas, dan kami sedang dalam proses itu," jawab Saka memutar tubuhnya dan memasukkan bola ke dalam ring."Keren
Pukul sembilan lebih lima belas menit Tama berdiri di ambang pintu rumah besar milik Regantara. Kehadiran dirinya membuat kaget seisi rumah. Rubi berlari memeluk anak pertamanya itu, tangis rindunya tak dapat lagi di bendung."Kenapa nggak bilang kalo pulang, Nak?" Rubi masih memeluk tubuh tegap itu."Surprise, Bunda." Rubi melepaskan pelukannya, memberi ruang pada Tama untuk melepas rindu juga pada Regantara. "Sebenarnya Papa sudah tau dari Ayah kamu," ujar Regantara memeluk erat tubuh putra tirinya. "Tapi Papa nggak tau kamu sampainya hari ini." Regantara menepuk pundak Tama. "Sudah besar kamu, Nak." Mata binar memancarkan kebanggaan dari mata Regantara."Mas Tama," ucap Qiara yang juga menangis karena haru."Adik Mas Tama sudah besar, peluk dong.""Mas Tama ...." Qiara menangis karena rindu, saat di tinggal oleh Tama umurnya masih 6 tahun masih terlalu muda melepas kepergian kakak kandungnya itu."Kangen, ya?" Qiara pun menjawab dengan anggukan. Mata Tama mengarah pada sosok tubu
Ghea duduk menunggu di taman kota tak jauh dari apartemen mereka, tadi sepulang dari kampus dia mengabari Tama untuk menemuinya di sana. Alasannya, agar bisa langsung makan untuk malam ini di luar. Karena minggu ini dia berjanji akan mentraktir Tama."Hai." Suara Tama mengagetkan Ghea. Gadis berambut sebahu itu menoleh. Hari itu, entah mengapa dia melihat Tama lebih tampan dari biasanya."Kok ganteng ...." Kali ini Ghea memutar tubuhnya memastikan Tama memang benar-benar beda hari itu."Kan mau di traktir, emang nggak boleh ganteng?""Jangan ganteng-ganteng, kalo aku naksir gimana?" candanya."Haha ... jadi ada kabar apa?" tanya Tama sambil menyodorkan minuman kaleng oeghangat tubuh."Duduk sini." Ghea menepuk sisi sebelah kirinya lalu mengeluarkan amplop dari tas punggungnya. "Ini.""Apa?""Masih ingat kan kalo aku pernah cerita aku mengajukan beasiswa lagi untuk melanjutkan belajar di negara ini?""Iya," jawab Tama sambil membuka amplop itu dan perlahan membacanya. "Ghe, ini serius?
"Jadi?" tanya Hesti sambil menunggu Kayma membereskan buku-bukunya."Jadi sih, tapi kamu temenin ya. Enggak enak kalo sendirian, nanti kesannya aku ada apa-apa.""Ya ampun, Kay. Ada apa-apa juga enggak apa-apa, selagi dia masih single bukan milik siapa-siapa. Ya lanjut aja," kata Hesti ikut meraih tas punggungnya."Emang enggak ada apa-apa, Hes. Kamu jangan mulai deh.""Kamu mau sampe kapan sih mikirin Mas Tama?"Kayma masih terus berjalan di koridor sekolah, kakinya selalu berat melangkah jika nama Tama di sebut."Enggak ada hubungannya sama Mas Tama, Hes.""Ya jelas ono, wong kamunya aja gagal move on. Pangeran di depan mata aja ketutup," sungut Hesti. "Sing tak pikirke ki Bunda, pasti sedih lihat kalian seperti ini. Saudara bukan, kekasih juga bukan tapi masih memendam cinta. Ayolah, Kay ... Saka juga nggak jauh lebih baik dari Mas Tama. Mas Tama boleh saja jadi cinta pertama kamu tapi, mungkin Saka atau lelaki-lelaki di luar sana yang akan menjadi masa depan kamu."Kayma menghenti
Ghea beranjak dari tempat tidurnya, sudah dua hari ini dia merasakan tubuhnya sedang tidak baik-baik saja, apalagi di tambah dengan halangan yang biasa setiap bulan kaum wanita dapatkan. "Just a minute," ujarnya dengan suara yang sedikit berat. Ghea membukakan pintu apartemennya. Tama sudah berdiri membawa beberapa paper bag makanan. "Masih pagi, Tam ... masuk," ucapnya mempersilahkan Tama untuk masuk. "Aku bawain sarapan pagi," kata Tama yang langsung menuju dapur. "Setelah makan minum obatnya." Tama menyalakan kompor untuk memasak air. Sejak dua hari lalu saat Ghea mengatakan dia sakit, Tama lah yang mondar-mandir memastikan keadaan gadis itu. Maklum saja Ghea adalah perantau luar negara yang tidak mempunyai siapa-siapa. Dan Tama merasa mempunyai kewajiban karena mereka hidup sendiri di negara orang. Ghea menguncir rambutnya hingga tinggi menampakkan leher jenjangnya, dia masih terduduk lemas di sofa. "Di minum teh nya, makan ini." Tama memberikan sebungkus sandwich pada Ghea
Kayma masih mengenakan piyamanya pagi itu, dia berdiri di sandaran pintu kaca besar yang menghubungkan ruang makan pada taman samping rumah. Suara riuh Qiara yang bersorak tadi membangunkannya. Pandangannya jatuh pada tubuh atletis Saka yang tak mengenakan kaos, hanya dengan celana pendek Tama yang dia berikan semalam. Saka sedang asyik men-dribel bola basket dan mengecoh gerakan Arsa. "Yeay ... Qia tim Abang Saka. Semangat Abang," sorak Qiara. "Abang?" Kayma bergumam. "Eh Kak Kay udah bangun." Qiara menghampiri Kayma lalu menggandeng tangan sang Kakak dan duduk di kursi panjang. "Iya, soalnya kamu berisik," kekeh Kayma sambil mengusak rambut Qiara. Saka menghentikan permainannya, matanya menatap Kayma lalu tersenyum. Tubuh berpenuh peluh itu begitu terlihat silau terkena pantulan matahari. "Qiara kalo udah gede pengen punya pacar kayak Abang, ganteng baik lagi." "Anak kecil, mikirnya." Kayma meraup wajah Qiara. "Emang Kakak nggak suka ya? Kalo Kakak nggak suka nanti Qia bilang
"Apa kabar, Kay?" Saka mengulurkan tangannya pada Kayma."Baik," jawab Kayma masih tak percaya lelaki berseragam itu ada di supermarket. "Kok ada di sini?" tanya Kayma sambil mengerutkan keningnya."Mm ... belanja," jawab Saka bohong."Hah?""Aku ... itu, belanja ... iya belanja.""Oh ....""Kamu, sendirian?""Sama Bunda di sana ... oh iya aku butuh butter dan mayonaise." Cepat-cepat Kayma meraih barang yang di minta oleh Rubi. "Saka, maaf ya aku harus pu—""Saka? Wah kebetulan sekali ketemu di sini. Sedang libur tugas?" Rubi berjalan menghampiri mereka."I-iya Tante, libur.""Kapan masuk?""Besok, Tante ....""Kalo gitu ikut Tante, makan malam di rumah, ya.""Tapi—""Tante nggak terima penolakan loh, kamu pulang sekarang juga ngapain, kan libur?""Iya, tapi—"Mata Saka sekilas menatap Kayma, rasanya kemarin saat Rubi menelponnya skenarionya hanya makan malam tidak ada menginap di rumah keluarga mereka."Kay, ayo kita antri di kasir. Saka, bisa minta tolong di dorongan troli nya ya,"
"Hah? Cowok berseragam ... si Mas-mas Taruna? Serius?" Hesti terkejut saat Kayam menceritakan bahwa dia dan pemuda berseragam bernama Saka saling kenal. "Oh, bapaknya siap namanya?" "Saka." "Nah iya si Saka itu ternyata bapaknya satu komunitas dengan Papa Regan?" "Iya, kemarin sebelum mereka pulang, Papa mengundang keluarga Saja untuk makan siang di resto Bunda." "Ya ampun, Kay. Jodoh emang nggak kemana ya." "Jodoh apaan?" "Jodoh Mas Taruna lah .... Terus ada kelanjutannya?" tanya Hesti penasaran. "Kemarin minta nomer hp." "Aduh duuuh, Kay. Mbok kamu kasih?" "Enggak." "Laaah ... yo ngopi, Kay. Di kasih to yah, emang kenapa sih? Buka hati Kay, anggaplah berteman dulu kan nggak harus pacaran. Emang kamu bisa pastiin Mas Tama di sana nggak punya pacar?" Kayma terdiam, apa pula haknya memikirkan Tama. Bahkan lelaki yang pernah mengisi hatinya itu pun tak pernah sedikitpun menanyakan kabarnya atau sekali saja menelpon untuk mendengar suaranya. "Tapi dia kasih nomer hp nya?" H