"Papaaa ...," seru Arsa saat melihat SUV putih itu memasuki pekarangan rumah mereka. Dua malaikat kecil itu melambai-lambaikan tangannya pada Regantara.
"Papaaa, katanya janji hari ini mau ke tempat mama," ujar Kayma saat Regantara sudah berdiri di hadapan mereka.
"Papa, kan kasihan mama kalo kita nggak dateng lagi," ujar Arsa.
Sembari berjongkok menyamakan posisinya dengan kedua anaknya, Regantara bergantian membelai kepala buah hatinya.
"Besok, kalo udah nggak hujan kita ke tempat mama, ok?"
"Janji ya? Kay udah beliin bunga kesukaan mama tadi."
"Oh ya? Sama siapa belinya?" Regantara berdiri, menggandeng kedua tangan putra dan putrinya itu masuk ke dalam rumah mewah bercat putih.
"Sama Oma dong," sahut wanita separuh baya yang masih sangat terlihat cantik. "Tadi sepulang sekolah mampir ke toko bunga yang biasa—" lanjutnya lagi. "Kamu sudah di tunggu Papa di ruang makan," ujar Irma. "Kay sama Arsa tunggu Papa di kamar ya," titah Irma.
Biasanya jika sedang seperti ini, itu artinya bapak mertua Regantara itu pasti ada hal serius yang akan di bicarakan.
"Regan temui papa dulu, Ma," pamit Regantara diikuti anggukan sang Ibu Mertua yang membawa anak-anaknya naik ke lantai dua.
Lelaki berkulit putih masih menikmati makan malamnya seorang diri lalu melihat kedatangan Regantara dengan menarik sudut bibirnya sedikit.
"Sudah makan?" tanya Wahyu ringan pada menantunya.
"Belum, Pa ... masih kenyang," jawab Regan menarik kursi tepat berada di sisi Wahyu.
"Makan lah sedikit, kasihan mama kamu sudah masak tadi," ujar Wahyu meletakkan sendoknya.
Mau tak mau Regantara mengikuti titah lelaki itu. Lelaki yang sudah 10 tahun ini menjadi mertua sekaligus atasannya di kantor.
"Regan ...."
"Ya, Pa."
"Papa mau menawarkan posisi di perusahaan kita ... untuk kamu." Tatapan Wahyu seperti biasa mulai serius jika membahas masalah pekerjaan.
"Tapi posisi Regan sekarang sudah cukup, Pa."
"Mana ada menantu seorang pengusaha food and beverage ternama di Indonesia hanya seorang Manager Area ... dan jabatan itu sudah hampir 10 tahun!"
"Tapi—"
"Jangan ada alasan tidak enak atau apalah itu, toh kinerja kamu memang bagus. Cukup sudah Papa menahan diri untuk kamu melewatkan kesempatan kali ini ...."
"Regan hanya—"
"Papa mau kamu menerima tawaran Papa tanpa ada penolakan," tegas Wahyu.
"Keluarga Papa sudah terlalu—" Regantara menghentikan kata-katanya, matanya menatap sosok tegas di depannya.
"Papa mau kamu mengembangkan usaha kita yang ada di Semarang, perusahaan itu sudah satu tahun berjalan di sana. Kamu hanya meneruskan kinerja direktur yang lama. Papa tau kamu mampu, jadi tolong di terima. Posisi itu penting untuk kamu, kamu sudah Papa anggap sebagai anak sendiri," ujar Wahyu lalu berdiri dan berjalan menghampiri Regantara.
"Masalah anak-anak kamu, biar Papa dan mama yang ambil alih. Pokus saja dengan pekerjaan, semua akan baik-baik saja di sini." Wahyu menepuk pundak Regantara lalu meninggalkannya seorang diri di ruangan besar itu.
Helaan napas panjang itu terdengar pelan, Regantara meletakkan sendok dan garpunya. Pikirannya melayang pada dua buah hatinya. Meninggalkan mereka dalam kurun waktu yang lama, meski Kayma dan Azka sudah sering ditinggal untuk dinas keluar kota tapi bukan dalam waktu berbulan-bulan.
*****
Regantara membuka handle pintu kamar Kayma dan Arsa, dua bocah kecil itu masih asyik bermain. Di sudut ruangan, Irma masih senantiasa mengerjakan rajutan sweater yang hampir selesai. Katanya, itu sweater untuk Regantara.
"Sudah bicara dengan Papa?'
"Sudah, Ma."
"Bagaimana? Anak-anak biar sama Mama ... Mama masih kuat mengurus mereka, toh ada papa dan pengasuh mereka juga." Irma melipat rajutan sweater tadi lalu mengalihkan pandangannya ke arah dua cucunya.
"Regan sudah banyak meminta bantuan dari Mama dan papa, Regan rasa ... papa terlalu berlebihan, Regan berada di posisi sekarang saja itu sudah cukup." Regantara duduk bersila di samping Kayma yang sedang memainkan boneka Barbie nya. "Sudah bersih-bersih?" tanyanya pada Kayma.
"Sudah, Pa ... tapi sebentar lagi ya tidurnya," ujar Kayma tersenyum diikuti anggukan dari Regantara.
"Kenapa berlebihan? Kamu bagian dari keluarga ini, selamanya akan seperti itu. Papa mu juga pasti tidak sembarangan mengambil keputusan, dia melihat kinerja kamu selama ini bukan hanya karena kamu menantu dari Wahyu Pratama, tapi memang kamu salah satu yang terbaik." Irma sedikit menahan suaranya agar kedua cucunya tidak teralih perhatian.
"Regan pikirkan lagi, Ma."
"Debby juga pasti senang dengan keputusan papa-nya. Sudah lama dia merengek ingin kamu di promosikan tapi kamu bilang pada Debby biarkan waktu yang akan membuktikan. Dan sekarang, Mama rasa ... semua sudah tepat." Irma berdiri dari duduknya. "Jangan khawatirkan cucu-cucu Mama, hanya sementara sampai perusahaan itu benar-benar berkembang di tangan kamu." Irma mengembangkan sudut bibirnya. "Mama tinggal dulu, ya ... Kay, Arsa ... Oma tidur dulu ya, kalian cepat tidur karena besok harus sekolah." Satu per satu dua bocah kecil itu mencium pipi sang Nenek serta memberi pelukan selamat malam.
"Cerita apa yang mau kalian dengar malam ini?" tanya Regantara sambil duduk di sisi tempat tidur.
"Em ... apa ya?" Arsa naik ke tempat tidur, lelaki kecil berusia lima tahun itu mempunyai paras yang begitu mirip ibunya.
"Gimana kalo cerita tentang Papa dan mama lagi?" Kayma menarik selimutnya. "Waktu Papa sama mama pertama kali ketemu," ujarnya lagi.
"Iya ... iya, Arsa nggak bosen dengernya. Apalagi waktu Papa jatuh dari kuda waktu di ajak mama latihan. Papa nangis nggak?"
"Haha ... enggak, Papa enggak nangis, Nak. Cuma sakit ... nih," ujar Regantara menepuk bokongnya.
Regantara berbaring di antara kedua anaknya, bersama dalam satu selimut, menceritakan hal-hal indah antara dia dan Debby semasa hidup, menceritakan awal pertemuan mereka hingga menikah hingga hadirnya Kayma dan Arsa. Cerita itu bisa selalu berulang setiap malam mereka dengar, selain dongeng-dongeng putri dan jagoan-jagoan di dunia khayal.
Setiap malam adalah waktu dimana Regantara selalu menyempatkan diri untuk mendengarkan cerita tentang keseharian anak-anaknya. Berperan sebagai ayah sekaligus ibu untuk kedua buah hatinya sudah dia lakoni semenjak kepergian Debby.
Apa jadinya jika dia menerima tawaran Wahyu Pratama untuk memimpin perusahaan di luar kota. Bagaimana dengan anak-anaknya? Bagaimana dengan kehadirannya yang akan sangat berkurang jika dia menerima tawaran itu? Namun, jika pun dia menolak ... bagaimana dengan kedua mertuanya yang sudah terlalu baik padanya?
Regantara memandangi bergantian wajah anak-anaknya yang sudah terlelap. Perlahan Regantara beranjak dari tempat tidur, berjalan menuju kamar mandi. Tak berapa lama kucuran air itu pun terdengar, lelaki itu berusaha menyejukkan kepalanya. Barangkali saja dia bisa berpikir sedikit jernih untuk merenungi kembali tawaran itu.
Lima belas menit berlalu, lelaki itu keluar dengan wajah yang lebih segar. Sembari berdiri di depan cermin, menatapi dirinya.
"Bagaimana menurut kamu, Sayang? Tawaran Papa apa harus aku tolak atau aku terima?" Helaan napas itu kembali terdengar. "Aku butuh pendapat kamu," gumam Regantara yang selalu mengharapkan kehadiran Debby di saat dia membutuhkan solusi.
"Pak, meeting setengah jam lagi di mulai," kata Arven assisten Regantara."Kenapa mendadak meetingnya, Ven?" Regantara beranjak dari kursi kerjanya menutup laptop."Kurang tahu juga, Pak. Pak Wahyu meminta semua jajaran terkait untuk hadir, termasuk tadi saya lihat direktur perusahaan cabang kita di Semarang," terang Arven.Regantara orang pertama yang hadir di rapat sore itu lalu di susul beberapa manager divisi dan para jajaran direksi perusahaan food and beverage yang sudah berdiri lebih dari 30 tahun itu. Dan terakhir sosok lelaki tua yang masih nampak gagah itu pun memasuki ruangan.Rapat sore itu berjalan dengan baik, laporan dari semua cabang pun di terima Wahyu dengan garis bibir yang bangga, termasuk cabang baru mereka di Semarang."Ada satu hal yang ingin saya sampaikan, terkait dengan perkembangan cabang baru kita di Semarang. Pak Ramli ...." Sorot mata Wahyu berhenti menatap lelaki berumur 50 tahun itu. "Sebagaimana kita tahu kesehatan Pak Ramli belakangan ini sedang berma
"Bonoooo ...."Suara nyaring Rubi membuat Bono harus berlari tergopoh-gopoh menghampiri pemilik catering tempat dia bekerja."Ini sudah selesai semua," kata Rubi menyodorkan dua paper box berisi sambal ati kentang dan ikan pesmol yang akan dia bawa ke sebuah perusahaan food and beverage."Mudah-mudahan tendernya, kita menangkan ya, Mbak," ucap Bono merapikan perlengkapan yang akan mereka bawa."Iya, mudah-mudahan ... habis antar aku, nanti jemput Tama ya. Takutnya hujan ... banjir." Rubi meraih tas tangannya."Terus, Mbak Rubi nanti naik apa?""Aku bisa pake ojek online, sekalian mau ke toko Bu Ratih beli perlengkapan roti, sudah mulai sedikit.""Oke ....""Cepet ya, Bon. 15 menit kita sudah harus berada di sana," ujar Rubi meraih helm dari tangan Bono."Iya, Mbak ...."Nyatanya, 15 menit berubah menjadi 30 menit lantaran mereka harus terjebak macet di Simpang Lima."Demo, Mbak," ujar Bono membuka kaca helmnya."Demo apalagi?""BBM, Mbak.""Ya ampun." Rubi mendegus kesal."Mau demo ka
"Jadi ... ditinggal gitu aja, Mbak?" Bono menyeruput es jeruknya."Setelah dia mencicipi masakan kita," jawab Rubi."Hhmm ... tapi kayaknya kita menang, Mbak," kata Bono yakin."Seyakin itu kamu, Bon." Rubi kembali berkutat dengan catatannya."Mbak Rubi cerita kalo wajahnya kayak seneng gitu kan waktu nyobain sambal goreng ati." Bono menggeser sedikit gelas berisi es jeruk ke sisi kanannya."Iya sih.""Nah ... masakan yang kita suguhkan kemarin itu aku rasa lebih merakyat. Ya Mbak Rubi tau lah, di sana banyak karyawan pabrik kan ... rata-rata penikmat masakan biasa, itu yang kita jual." Bono mengubah posisi duduknya."Iya, aku ngerti ... cuma aku gak suka bos nya. Sombong ... ih kamu kalo liat juga bakal gemes." Rubi meletakkan pulpennya. "Mukanya itu nyebelin, gayanya gini kalo ngomong," ujar Rubi memperagakan tangan Regantara yang di lipat di depan dada."Haha ... hati-hati Mbak, biasanya dari benci jadi cinta." Bono tertawa."Hush ... opo toh, kamu ada-ada aja. Eh iya, kamu hari in
"Dua menu ini untuk hari Senin dan Selasa ya, Bu," ujar Rubi meletakkan dua kantung kresek di lantai dapur di susul Bono yang membawa lebih banyak kantung kresek berwarna hitam."Ya sudah, nanti Ibu dan Mbok Inah yang kerjakan. Kamu siap-siap sekarang," ujar wanita berumur 55 tahun itu pada Rubi."Nanti ada Yanti yang akan membantu kita, Bu. Rubi hanya sebentar kok ....""Terus yang di toko hanya dua orang? Roti sudah dikerjakan semua?" tanya Widya lagi."Sudah semua, semua tugas mereka sudah Rubi bagi-bagi. Jadi mudah-mudahan ndak ada masalah."Ibu Widya mengangguk-angguk, selama ini wanita paruh baya itu selalu percaya dengan semua yang Rubi kerjakan. Rubi hanya memintanya untuk membantu sebisanya saja."Mbak, ayo nanti kita terlambat ... enggak enak," ujar Bono. "Aku tunggu di depan, ya.""Iya, aku siap-siap dulu," ucap Rubi lalu menoleh ke arah Widya. "Mbok Inah, semangat ya ...." Rubi mengangkat lengannya lalu tersenyum ke arah wanita yang sama tuanya dengan sang Ibu."Iya, Mbak
"Kenapa nggak naik pesawat?" tanya Irma saat Regantara memasuki kamar rawat inap Arsa malam itu. Regantara langsung menghampiri tempat tidur dimana Arsa yang sudah terlelap."Gimana Arsa, Ma?" tanya Regantara tanpa menjawab terlebih dahulu pertanyaan Irma."Sudah stabil," jawab Irma. "Panasnya sudah tiga hari sama hari ini, siang tadi panasnya tinggi sekali. Waktu mau di antar ke rumah sakit, Arsa mengalami kejang," ujar Irma yang berdiri di ujung tempat tidur. "Maaf ... Mama jadi kecolongan—""Enggak apa-apa, Ma. Yang penting sekarang Arsa sudah stabil." Regantara tersenyum, dia tidak ingin ibu mertuanya itu semakin sedih. "Dokter bilang apa, Ma?""Tadi sudah cek lab, nanti mungkin dokter jaga yang akan membacakan hasilnya. Mama juga dari tadi menunggu." Irma melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 8 malam."Kayma?""Kayma pulang sama opa nya, dia mau nunggu kamu tapi Mama bilang besok saja, nanti kecapekan." Irma menarik kursi di dekatnya. "Kamu sudah makan?""Belum, Ma ... bel
Lonceng di pintu masuk toko roti malam itu berbunyi. Rubi masih menghitung sisa roti yang berada di etalase, sedangkan dua pegawai lainnya berada di ruang belakang membereskan peralatan, maklum saja sudah pukul setengah sembilan malam yang artinya toko sebentar lagi tutup."Mau yang ini satu, ini satu, ini juga, yang ini masih bagus?" Regantara menunjuk satu roti keju, roti isi coklat, rasa kopi dan dua risole mayonaise yang tersisa tiga buah id etalase dekat Rubi berdiri.Rubi mengangkat wajahnya, wanita itu gelagapan saat melihat Regantara berada di toko roti miliknya."Pak Regan?""Kamu?" Regantara ikut terkejut melihat wanita berpostur sedang itu berdiri di balik etalase roti. "Kok di sini?" tanya Regantara."Milik saya, Pak," jawab Rubi canggung."Oh ... milik kamu." Regantara mengangguk-angguk."Saya siapkan dulu pesanan Bapak," ucap Rubi sambil mengambil kotak kue. "Hanya ini saja, Pak?" tanya Rubi memberanikan diri menatap lelaki itu."Iya, berapa?""Tiga puluh lima ribu," jaw
"Mbak ...." Bono memanggil Rubi membuat wanita itu pun ikut menoleh ke arah pintu masuk. Rubi cepat-cepat beranjak dari tempat duduknya saat melihat Regantara berjalan ke arahnya. "Pak," sapa Rubi sambil menundukkan sedikit kepalanya memberi hormat diikuti Yanti dan Bono. "Saya bisa minta kopi?" tanya Regantara. "Hah?" Mata Rubi terbelalak. "Diantar ke meja dekat jendela," kata Regantara lagi. "Oh, iya Pak." Rubi memberanikan kode pada Bono untuk membuatkan Regantara kopi. "Mbak, manis?" tanya Bono. "Enggak tau," jawab Rubi. "Lah, terus?" Bono kebingungan. "Tanya gih," titah Rubi. "Yang nanya?" tanya Bono lagi. "Ya kamu, Bon," jawab Rubi kesal. "Wes, biar aku yang nanya," sahut Yanti mengikat tinggi rambutnya. "Woo ... kesempatan dia." Bono menggelengkan kepala. Tak berapa lama Yanti kembali dengan tersenyum. "Kopi apa?" tanya Bono dan Rubi bersamaan. "Tanpa gula," cebik Yanti. "Pas di tanya mukanya datar buanget, huh." "Lah terus tadi ngapain senyum?" Bono mulai ta
Entah ini kali ke berapa mereka berinteraksi, hanya percakapan sederhana tapi kali ini jantung Rubi berdetak begitu kencang ketika tawaran itu terucap dari bibir Regantara. "Masuk," pinta Regantara lagi dan benar saja hujan tiba-tiba turun begitu deras. "Terimakasih, Pak," ucap Rubi. "Sama-sama," jawab Regantara dengan tatapan lurus ke depan menatap jalan yang di guyur hujan deras. "Mau kemana?" "Saya?" "Ya iya kamu, kan di sini cuma ada saya dan kamu." Regantara tersenyum tipis. Rubi ikut tersenyum. "Saya mau ke salah satu kafe di jalan Ahmad Yani, bertemu teman," ujar Rubi. "Hujannya makin deras," ucap Regantara melihat ke atas langit. "Menurut kamu banjir nggak jalan Ahmad Yani?" "Biasanya banjir tapi nggak parah, Bapak bisa turunkan saya di halte nggak jauh dari jalan protokol." "Enggak perlu, biar sekalian saya antar," ujar Regantara tanpa menoleh ke arah Rubi. Hujan mulai reda saat mereka mendekati kafe, meski terhalang dengan kemacetan dikarenakan beberapa genangan ai
Sudah hampir setahun keluarga Regantara tak datang kembali ke Jakarta, dan khusus tahun ini bertepatan dengan hari ulang tahun almarhum Debby mereka kembali datang. Sebelum sampai di rumah mantan mertuanya, Regantara menyempatkan diri berkunjung ke makam istri pertamanya. Regantara dan Rubi beserta ke empat anak mereka duduk bersimpuh bersisian dengan gundukan tanah berbalut rumput yang di rawat dengan baik. "Apa kabar, Ma?" Suara lirih Kayma membuka keheningan diantara mereka. Sambil mengusap nisan sang Ibu, mata gadis itu pun berkaca-kaca. Ingin rasanya dia bercerita tentang kegundahan hatinya selama ini. Terlebih tentang cerita antara dia dan Tama, jika pun waktu bisa kembali dan berjalan tidak seperti saat ini, bisa jadi jodohnya adalah Tama. "Arsa, pimpin doa," ujar Regantara. Beberapa saat Arsa memimpin doa, Rubi ikut menaburkan bunga di atas gundukan tanah itu lalu dia merangkul pundak Kayma mengusapnya lembut. "Papa tinggal sebentar ya, Bunda dan anak-anak jika ingin men
"Sudah berapa lama kenal Kayma?" tanya Tama dengan napas memburu sambil men-dribel bolanya."Setengah tahun," jawab Saka berusaha meraih bola yang berada di dalam kekuasaan Tama."Sejauh apa?" tanya nya lagi memutar tubuhnya menghindari gerakan Saka."Sampai saat ini masih berteman dan mungkin sebentar lagi akan lebih dari sekedar teman."Tama menghentikan gerakannya, matanya menatap tajam ke arah Saka. Denga satu kali gerakan dia melambungkan bola basket dan tepat masuk ke dalam ring."Benar kata Arsa, permainan Mas Tama keren juga," ujar Saka bergantian memainkan bola yang sudah berada di tangannya.Tama mengindahkan perkataan Saka, masih terngiang di telinganya ucapan Saka yang baru saja terlontar."Lalu menurut kamu, Kayma suka sama kamu?" Tama sekarang bergantian memperebutkan bola di tangan Saka."Ibarat kata orang tua dulu, alon alon waton kelakon. Semua melalui proses Mas, dan kami sedang dalam proses itu," jawab Saka memutar tubuhnya dan memasukkan bola ke dalam ring."Keren
Pukul sembilan lebih lima belas menit Tama berdiri di ambang pintu rumah besar milik Regantara. Kehadiran dirinya membuat kaget seisi rumah. Rubi berlari memeluk anak pertamanya itu, tangis rindunya tak dapat lagi di bendung."Kenapa nggak bilang kalo pulang, Nak?" Rubi masih memeluk tubuh tegap itu."Surprise, Bunda." Rubi melepaskan pelukannya, memberi ruang pada Tama untuk melepas rindu juga pada Regantara. "Sebenarnya Papa sudah tau dari Ayah kamu," ujar Regantara memeluk erat tubuh putra tirinya. "Tapi Papa nggak tau kamu sampainya hari ini." Regantara menepuk pundak Tama. "Sudah besar kamu, Nak." Mata binar memancarkan kebanggaan dari mata Regantara."Mas Tama," ucap Qiara yang juga menangis karena haru."Adik Mas Tama sudah besar, peluk dong.""Mas Tama ...." Qiara menangis karena rindu, saat di tinggal oleh Tama umurnya masih 6 tahun masih terlalu muda melepas kepergian kakak kandungnya itu."Kangen, ya?" Qiara pun menjawab dengan anggukan. Mata Tama mengarah pada sosok tubu
Ghea duduk menunggu di taman kota tak jauh dari apartemen mereka, tadi sepulang dari kampus dia mengabari Tama untuk menemuinya di sana. Alasannya, agar bisa langsung makan untuk malam ini di luar. Karena minggu ini dia berjanji akan mentraktir Tama."Hai." Suara Tama mengagetkan Ghea. Gadis berambut sebahu itu menoleh. Hari itu, entah mengapa dia melihat Tama lebih tampan dari biasanya."Kok ganteng ...." Kali ini Ghea memutar tubuhnya memastikan Tama memang benar-benar beda hari itu."Kan mau di traktir, emang nggak boleh ganteng?""Jangan ganteng-ganteng, kalo aku naksir gimana?" candanya."Haha ... jadi ada kabar apa?" tanya Tama sambil menyodorkan minuman kaleng oeghangat tubuh."Duduk sini." Ghea menepuk sisi sebelah kirinya lalu mengeluarkan amplop dari tas punggungnya. "Ini.""Apa?""Masih ingat kan kalo aku pernah cerita aku mengajukan beasiswa lagi untuk melanjutkan belajar di negara ini?""Iya," jawab Tama sambil membuka amplop itu dan perlahan membacanya. "Ghe, ini serius?
"Jadi?" tanya Hesti sambil menunggu Kayma membereskan buku-bukunya."Jadi sih, tapi kamu temenin ya. Enggak enak kalo sendirian, nanti kesannya aku ada apa-apa.""Ya ampun, Kay. Ada apa-apa juga enggak apa-apa, selagi dia masih single bukan milik siapa-siapa. Ya lanjut aja," kata Hesti ikut meraih tas punggungnya."Emang enggak ada apa-apa, Hes. Kamu jangan mulai deh.""Kamu mau sampe kapan sih mikirin Mas Tama?"Kayma masih terus berjalan di koridor sekolah, kakinya selalu berat melangkah jika nama Tama di sebut."Enggak ada hubungannya sama Mas Tama, Hes.""Ya jelas ono, wong kamunya aja gagal move on. Pangeran di depan mata aja ketutup," sungut Hesti. "Sing tak pikirke ki Bunda, pasti sedih lihat kalian seperti ini. Saudara bukan, kekasih juga bukan tapi masih memendam cinta. Ayolah, Kay ... Saka juga nggak jauh lebih baik dari Mas Tama. Mas Tama boleh saja jadi cinta pertama kamu tapi, mungkin Saka atau lelaki-lelaki di luar sana yang akan menjadi masa depan kamu."Kayma menghenti
Ghea beranjak dari tempat tidurnya, sudah dua hari ini dia merasakan tubuhnya sedang tidak baik-baik saja, apalagi di tambah dengan halangan yang biasa setiap bulan kaum wanita dapatkan. "Just a minute," ujarnya dengan suara yang sedikit berat. Ghea membukakan pintu apartemennya. Tama sudah berdiri membawa beberapa paper bag makanan. "Masih pagi, Tam ... masuk," ucapnya mempersilahkan Tama untuk masuk. "Aku bawain sarapan pagi," kata Tama yang langsung menuju dapur. "Setelah makan minum obatnya." Tama menyalakan kompor untuk memasak air. Sejak dua hari lalu saat Ghea mengatakan dia sakit, Tama lah yang mondar-mandir memastikan keadaan gadis itu. Maklum saja Ghea adalah perantau luar negara yang tidak mempunyai siapa-siapa. Dan Tama merasa mempunyai kewajiban karena mereka hidup sendiri di negara orang. Ghea menguncir rambutnya hingga tinggi menampakkan leher jenjangnya, dia masih terduduk lemas di sofa. "Di minum teh nya, makan ini." Tama memberikan sebungkus sandwich pada Ghea
Kayma masih mengenakan piyamanya pagi itu, dia berdiri di sandaran pintu kaca besar yang menghubungkan ruang makan pada taman samping rumah. Suara riuh Qiara yang bersorak tadi membangunkannya. Pandangannya jatuh pada tubuh atletis Saka yang tak mengenakan kaos, hanya dengan celana pendek Tama yang dia berikan semalam. Saka sedang asyik men-dribel bola basket dan mengecoh gerakan Arsa. "Yeay ... Qia tim Abang Saka. Semangat Abang," sorak Qiara. "Abang?" Kayma bergumam. "Eh Kak Kay udah bangun." Qiara menghampiri Kayma lalu menggandeng tangan sang Kakak dan duduk di kursi panjang. "Iya, soalnya kamu berisik," kekeh Kayma sambil mengusak rambut Qiara. Saka menghentikan permainannya, matanya menatap Kayma lalu tersenyum. Tubuh berpenuh peluh itu begitu terlihat silau terkena pantulan matahari. "Qiara kalo udah gede pengen punya pacar kayak Abang, ganteng baik lagi." "Anak kecil, mikirnya." Kayma meraup wajah Qiara. "Emang Kakak nggak suka ya? Kalo Kakak nggak suka nanti Qia bilang
"Apa kabar, Kay?" Saka mengulurkan tangannya pada Kayma."Baik," jawab Kayma masih tak percaya lelaki berseragam itu ada di supermarket. "Kok ada di sini?" tanya Kayma sambil mengerutkan keningnya."Mm ... belanja," jawab Saka bohong."Hah?""Aku ... itu, belanja ... iya belanja.""Oh ....""Kamu, sendirian?""Sama Bunda di sana ... oh iya aku butuh butter dan mayonaise." Cepat-cepat Kayma meraih barang yang di minta oleh Rubi. "Saka, maaf ya aku harus pu—""Saka? Wah kebetulan sekali ketemu di sini. Sedang libur tugas?" Rubi berjalan menghampiri mereka."I-iya Tante, libur.""Kapan masuk?""Besok, Tante ....""Kalo gitu ikut Tante, makan malam di rumah, ya.""Tapi—""Tante nggak terima penolakan loh, kamu pulang sekarang juga ngapain, kan libur?""Iya, tapi—"Mata Saka sekilas menatap Kayma, rasanya kemarin saat Rubi menelponnya skenarionya hanya makan malam tidak ada menginap di rumah keluarga mereka."Kay, ayo kita antri di kasir. Saka, bisa minta tolong di dorongan troli nya ya,"
"Hah? Cowok berseragam ... si Mas-mas Taruna? Serius?" Hesti terkejut saat Kayam menceritakan bahwa dia dan pemuda berseragam bernama Saka saling kenal. "Oh, bapaknya siap namanya?" "Saka." "Nah iya si Saka itu ternyata bapaknya satu komunitas dengan Papa Regan?" "Iya, kemarin sebelum mereka pulang, Papa mengundang keluarga Saja untuk makan siang di resto Bunda." "Ya ampun, Kay. Jodoh emang nggak kemana ya." "Jodoh apaan?" "Jodoh Mas Taruna lah .... Terus ada kelanjutannya?" tanya Hesti penasaran. "Kemarin minta nomer hp." "Aduh duuuh, Kay. Mbok kamu kasih?" "Enggak." "Laaah ... yo ngopi, Kay. Di kasih to yah, emang kenapa sih? Buka hati Kay, anggaplah berteman dulu kan nggak harus pacaran. Emang kamu bisa pastiin Mas Tama di sana nggak punya pacar?" Kayma terdiam, apa pula haknya memikirkan Tama. Bahkan lelaki yang pernah mengisi hatinya itu pun tak pernah sedikitpun menanyakan kabarnya atau sekali saja menelpon untuk mendengar suaranya. "Tapi dia kasih nomer hp nya?" H