Aku baru duduk nyaman dalam taksi ketika pesan dari Topan masuk ke ponsel, "Saya khawatir Naila diculik, Pak." Kemudian sebuah tautan dengan informasi bahwa Topan sedang membagikan lokasinya secara real time.
Dengan jari gemetar, kuikuti tautan di peta. Tampak Topan berjalan di jalan tol jagorawi menuju Bogor. Cepat-cepat kutelepon anak itu, "Sama siapa dia?"
"Mbak Naila ngga mau saya jemput, Pak. Dia keukeuh mau pulang sama cowoknya. Jadi ini saya lagi ngikutin. Trus barusan Mbak Naila chat, nyuruh nabrak mobilnya. Makanya saya curiga dia sebenernya lagi diculik."
Mata Amanda membeliak. "Kamu ...?" Kusandarkan kening ke tangan yang bertumpu di pintu. Kepala rasanya mulai pening. Hidungku menyentuh lembutnya helai rambut Amanda. Harum madu kembali menguasai indera penciuman. "Serius?" bisiknya di telingaku. Tanganku pegal. Rasanya tak kuat lagi menggenggam kunai yang sudah licin berlumur darah. Senjata tajam itu meluncur begitu saja, ujungnya memantul di tepi sepatuku. "Kamu bakal mati nanti ...," lirih suaranya mengalun di telinga. "Hidup pun buat apa?" balasku di kupingnya, "semua yang kusayangi udah mati." Tulang-tulang kakiku seperti berubah menjadi jelly. Aku melorot ke dada Amanda. S
Sebelum tidur, telepon Akbar lagi, ngga ada nada sambung. Aneh, deh, Pak CEO, sibuk banget apa, sampe lupa ngecas? Ya udah, matiin hape, tinggal tidur. Jangan harap bisa bangunin tengah malem cuma buat minta report, huh!Paginya, abis salat subuh, nyalain lagi. Akbar masih ngga ada nada sambung juga. Ke mana, Pak Boss? Masa semaleman ngga sadar kalo hape blom dicas? Eh, tapi di sana, kan, siang, ya, berarti sesiangan dia ngga ngecas hape. Emangnya ngga pergi-pergi hari ini? Masa lupa ngecas, sih? Ngga bawa power bank, emangnya?Ah, udahlah. Telepon Naila aja. Ngga diangkat juga. Biar, deh, seenggaknya, telepon masih bisa masuk. Ngga kaya abangnya, sama sekali ngga aktif.
Mas Arta berasumsi seenak perut. Aku musti ngejelasin panjang lebar bahwa ngga ada apa-apa di antara kami berdua. Dia cuma o-o aja dengan nada ngga percaya-percaya amat."Baguslah, kalau begitu. Berarti, Mbak Alisha tak akan terganggu dengan video Pak Akbar yang sedang viral," katanya tenang."Video apa?""Ah, tidak penting. Maaf sudah merepotkan. Saya akan cari solusi sendiri untuk antisipasi situasi."Ya, udah gitu aja. Aku jadi penasaran sama video viralnya. Otomatis search internet, deh. Langsung ketemu, dong. Video rekaman CCTV Akbar di lift lagi ciuman sama cewek. Caption-nya, sih, bilang kalo
"Apa aku semurah itu, Kak?"Aku bengong denger pertanyaan Naila. "Ngga-lah. Manusia ngga mungkin dihargai dengan murah atau mahal."Naila nangis lagi. "Aku denger percakapan mereka. Fikri bilang sama mereka kalo semua utangnya lunas. Mereka iya-iya aja. Tau, ngga, utangnya berapa?"Aku menggeleng. Kaki kiriku yang dipake buat berdiri rasanya jadi lemes banget."Sepuluh juta, Kak."Astaga! Aku sampe nutup mulut saking kagetnya. Cuma sepuluh juta? Ya, ampun! Abangnya aja ngasih 1 M udah kaya bayar gorengan. Ini adeknya dihargain cuma sepuluh juta. Kalo Akbar tahu, udah dibejek-bejek itu Fikri. Kurang ajar!Airmata Naila meleleh lagi. "Padahal kalo cuma segitu, aku juga punya d
Setelah berdeham dua kali, kubacakan rangkaian kata yang pernah kutulis buat dia. Sebenarnya ngga tepat buat dia juga, karena waktu itu aku sadar dia ngga bakal baca tulisan ini, hahaha. Sekarang pun, dia ngga bakal denger, namanya juga lagi ngga sadar, hehehe."Dear, Babang Ganteng. Kapan kamu lewat lagi? Biar kujatuhkan lagi tubuhku di depanmu."Ya, ampun! Ngakak aku baca tulisan jaman dulu. Kenapa ngga sekalian kujatuhkan tubuhku dalam pelukanmu?"Itu yang pertama, ya, Bang," lanjutku, susah payah nahan ketawa. "Ya, cuma segitu. Aku belom tahu kalo ternyata cewekmu tetangga seberang rumah, hahaha."
Baru duduk di bangku taksol, hape bergetar. Ada panggilan dari Naila. Belom sempet ngucap salam, dia langsung merepet, "Kakak, Bang Akbar koma? Sejak kapan? Kakak udah tahu? Kenapa Kakak ngga kasih tahu aku?"Alamak, aku sampe nahan napas dengernya. "Bentar, Nai. Napas dulu."Kedengeran Naila ngambil napas dan niup pelan-pelan."Siapa yang bilang Akbar koma?""Bang Topan," jawabnya lirih.Argh, Topan! Ngga pengertian banget, sih?"Kak? Kak Alisha tahu, kan? Kata Bang Topan Kak Alisha udah tahu. Kenapa ngga kasih tahu aku, Kak?" Trus dia terisak.Hadeh! Topan, nih. Padahal tadi pagi dia udah keliatan tenang, jadi kacau lagi, kan?
Sore itu, rapat dihelat agar keputusan dapat dibuat. Kami manggil Mas Arta dan Topan buat meeting di rumah. Namun, hasilnya bener-bener mengacaukan duniaku.Hiyaaa! Pengen lari sambil teriak sekuatnya. Ini gara-gara kita semua mentok nyari solusi buat dua hal, siapa yang bakal ke Baltimore buat ngurusin Akbar dan siapa yang bakal gantiin Akbar sebagai Presdir. Masalahnya, jawaban untuk kedua pertanyaan itu hanya satu orang, Naila, satu-satunya keluarga Akbar."Kenapa ngga Mbak Alisha aja?" tiba-tiba Topan nyeletuk. Kita semua saling berpandangan. Ini solusi ngga masuk akal, kan?"Mbak Alisha calonnya Pak Akbar, kan?" lanjut Topan lagi.Belom sempet ngejelasin, Naila langsung nyamber ta
"Kayanya aku parah banget tadi," kataku sama Naila setelah keluar dari ruang rapat.Dia malah ketawa dicurhatin. "Nyantai, Kak. Kak Alisha udah pegang surat kuasa, emang mereka berani bilang apa?"Hadeh, pemegang saham terbanyak, sih, wajar pola pikirnya gitu. Lah, aku? Kayanya mulai sekarang harus belajar pola pikir presdir Purwaka Grup.Hari itu aku ngga banyak di kantor. Bisa dibilang, begitu selesai perkenalan langsung ke bandara, nganterin Naila berangkat ke Baltimore. Jet pribadinya udah disuruh balik buat jemput trus nganter ke Baltimore lagi. Jiah, orang kaya, anter-jemput pake jet pribadi.Begitu Naila masuk pesawat, aku dianter Topan ke bank buat ngelunasin biaya haji. Kata Mbak CS-nya, kemungkinan baru dapet jatah dua puluh tahun lagi.
Akhirnya, kutelepon nomor Alisha. Pada usaha pertama, teleponnya hanya berdering, tetapi tidak diangkat. Panggilan video kedua, juga diabaikan. Pada panggilan ketiga, baru diangkat oleh orang lain.“Halo.” Wajah Alex memenuhi layar. Ternyata dia benar-benar menunggui Alisha.“Halo,” jawabku tak bersemangat, “apa Alisha ada di sana?”Dia menoleh ke samping lalu berkata, “Dia lagi tidur.“Saya mau lihat bagaimana keadaannya,” kataku, memberi kode baginya untuk memasukkan Alisha ke dalam layar.Namun, dia tak menangkap kodeku, atau memang pura-pura tak paham. Aku memilih opsi kedua. “Semua sudah diurus dokter. Luka bakar sedang, derajat dua, di punggung dan kaki.
Aku minta ijin buat jalan-jalan sendiri di area proyek. “Hati-hati, ya, Bu,” kata Hanif, “tetap dipakai sepatu safety dan helmnya.”Jadi, begitu masuk area proyek, aku sama Sari langsung dipinjemin peralatan-peralatan penunjang. “Sebenarnya pakai gamis kurang cocok untuk di sini, tapi hati-hati aja, ya, Bu,” gitu katanya.Aku manggut-manggut aja, sih. Manutlah, sama manajer proyek. Apalagi manajernya seganteng Hanif, uhuk.Astaghfirullah, tobat, Sha.Tapi beneran, deh, feeling-ku bilang kalo dia udah ada yang punya. Soalnya, dia seksi banget, astaghfirullah.
Pagi-pagi, Sari udah buru-buru ngedatengin aku pas lagi sarapan. “Mobil hotel sedang dipakai mengantar tamu, Bu. Saya sedang berusaha menghubungi travel untuk meminjam salah satu mobil mereka,” katanya dengan wajah agak cemas. Kayanya takut dimarahin karena ngga bisa ngurus soal mobil doang.Dalam hati, ketaw. Kebayang, dong, gimana kalo yang lagi dilaporin kaya ginian Akbar. Kalo aku, sih, cuma manggut-manggut trus kasih senyum semanis mungkin. Dia pasti udah berusaha keras buat dapetin mobil buat PJS Presdir. “Kalo pake taksol aja, gimana?” usulku.Sari keliatan lega dan ngangguk seneng. “Baik, Bu. Nanti kalo ngga dapat jawaban dari travel, saya akan langsung
Naila terbahak. "Gayamu, Bang, kaya yang sanggup aja matiin orang." Kubiarkan dia menyelesaikan tawanya. Rasanya sudah lama sekali tak melihatnya tertawa selepas itu, tetapi pelayan malah menginterupsi dengan meletakkan lemon tea di hadapannya. "Biasanya kamu pesan cappucinno," kataku. "Kopi ngga bagus buat ibu hamil." Aku terdiam. Dia terdiam. Kami bertatapan. "Jadi udah fixed?"
Pikiranku kacau, hilang fokus. Aku harus segera menata ulang lagi isi otak kalau mau tetap on track.Setelah mempelajari gmaps, kuputuskan untuk berjalan-jalan di sekitar rumah. Ada sebuah taman yang terlihat cukup menarik untuk dijelajahi.Setelah pamit kepada Ibu Topan, aku keluar dengan menautkan ritsleting jaket. Layar ponsel memang menunjukkan bahwa suhu di luar cuma dua belas derajat, tetapi dengan angin yang lumayan kencang, rasanya jadi lebih rendah dari itu, mungkin sepuluh derajat.Alisha pasti sudah menggigil di cuaca sedingin ini. Kulirik ponsel, tak ada notifikasi apa pun. Masih pukul delapan pagi di Yogya, mungkin dia m
Aku terbangun di atas sajadah dengan selimut menutupi badan. Sepertinya aku tertidur setelah salat subuh dan entah siapa menyelimutiku. Cahaya matahari pagi masuk melalui kaca jendela, menyilaukan mata. Kualihkan pandang ke kolong meja yang gelap. Sinar matahari menghangatkan kuping yang terasa beku.Aku malas bangun. Andai boleh memilih, aku tidak ingin menjalani hari ini.Ayah pasti akan memarahiku kalau bermalas-malasan seperti ini, tetapi dia sendiri ....Argh! Kenapa sulit sekali menerimanya? Baiklah, dia pernah bersalah, tetapi selama dia menjadi ayah, dia telah melakukan segala yang terbaik. Apa itu tidak cukup untuk menerimanya?Kenapa meributkan satu orang pacar Ayah, tetapi memaklumi sepuluh mantan Alisha?Ya,
Siang itu, mulai, deh, mempelajari segala hal tentang proyek resort di Magelang. Capek juga baca tumpukan dokumen satu-satu. Apalagi ini bukan dokumen yang aku ngerti sepenuhnya. Gambar-gambar rancangan, model 3D, anggaran, ya, ampun, kenapa Akbar nyuruh aku ngerjain yang kaya ginian, sih?Akhirnya aku cuma nyuruh mereka presentasiin progress proyek sampe hari ini, dan semua baik-baik aja. Jadi investigasi apa yang musti aku lakuin? Sama sekali ngga ngerti, deh, proyek ginian. Dia mau aku nyari kesalahan di mana?Akhirnya nanya-nanya Sari, si sekretaris magang yang dapat tugas buat jadi semacam pendampingku selama di Yogya. Dia cerita semua yang dia tahu soal proyek
Masih pagi waktu pesawat mendarat mulus di Adi Sutjipto. "Hoaaa!" Aku bener-bener bahagia jadi orang Indonesia. Matahari sepanjang tahun, ngga ada angin dingin yang bikin tulang jadi beku, daun-daun selalu ijo. Biar pun daun merah oranye cakep juga, sih, tapi daun ijo selalu nyegerin.Saking hepinya, aku diem dulu bentar di landasan, rentangin tangan sambil merem, menikmati hangatnya cahaya matahari pagi. Duh, tanahku emang tanah surga. Mungkin karena dulu ke New York pas lagi summer, jadi ngga berasa banget bedanya. Sekarang nyobain musim gugur di Baltimore, plis, deh, paling nikmat Indonesia ke mana-mana.Masuk ke gedung bandara, angin sejuk dari AC langsung menghambur. Tanpa sadar aku jadi senyam-senyum sendiri. Udara AC ini jadi kerasa ngga ada apa-apanya dibanding
Selagi menunggu mobil yang akan mengantar ke Kedutaan Korea, aku bertemu lagi dengannya. Dia menghampiriku dengan langkah tegap dan pandangan lurus tanpa ragu. "Saya sudah membicarakannya dengan calon istri. Kami sepakat menjadikan ini urusan keluarga."Aku berdiri, menantang matanya lurus-lurus. "Apa yang akan kalian lakukan?""Kami akan menggelar forum keluarga, keputusannya tergantung hasil pembicaraan di forum itu nanti."Kuanggukkan kepala. "Satu minggu," kataku, "jika dalam seminggu saya tidak mendengar tentang kelanjutan proses hukum kasus ini, saya sendiri yang akan minta dukungan Presiden untuk menuntaskannya."Sinar matanya yang mantap menatap, seketika berubah. Hanya sesaat, kemudian sebuah seringai tergambar di wajahnya. "Anda cukup pandai menggertak."