“Guntur Alam!” kataku.
Mata mereka membelalak.
“Ah, jangan nuduh sembarangan kamu. Eike kenal baik lho sama istrinya Om Guntur Alam!”
“Betul itu, Mas. Jangan asal ngomong lho. Apa buktinya Mas Cukir tahu kalau pacar Raline adalah Om Guntur Alam?”
Aku mengembuskan asap rokok melalui kedua lubang hidung. “Oke, buat saat ini aku memang belum ada bukti. Tapi aku pastikan jika aku beberapa kali pernah lihat mobil Om Guntur Alam parkir di Hotel Rich, lalu Raline pergi bersamanya.”
“Apa kamu bisa membutikan omonganmu? Maksudnya dari foto atau bukti apaan lah gitu?” Inces mendesak.
Aku menggeleng. “Aku nggak sempet ngambil gambar waktu itu. Namun, aku yakin semua kejahatan Om Guntur Alam pasti segera terungkap juga.”
“Oke stop aja deh berarti ngomongin masalah ini. Soalnya kamu juga nggak punya bukti kuat. Lagipula sekarang, Eike mau ingetin kalian semua buat fokus
Kami senang. Sebab setelah melewati jalanan yang macet, tanjakan tajam, dan perjalanan yang melelahkan, akhirnya sampai juga di lokasi yang sangat asri.Begitu turun dari mobil, kami langsung mengirup udara segar yang masuk memenuhi rongga tenggorokan, turun ke paru-paru, dan berlabuh di sana.“Gimana, cucok kan di sini udaranya?” tanya Inces merasa telah memilih lokasi shooting yang tepat, dan segera dia mengenakan jaket tebalnya.“Iya iya, enak banget!” ucap Dewik cepat-cepat seraya memelukku erat.Mungkin dia kedinginan. Badannya menggigil, dan kaosnya yang tipis itu melekuk, membentuk tubuhnya yang mengangumkan. Sehingga dalam tertegun aku berkata, “Kamu dingin?”“Iya, Mas. Dan tugasmu sekarang adalah memelukku.”“Woe woe woe, no! Sekarang kalian harus cepat kemas-kemas ke lokasi shooting. Ahmad Deddy dan kru udah nungguin daritadi di sana.”“Yah, kenapa kita nggak
Wanita berdarah campuran itu menarik tanganku. Dibawanya aku ke sebuah ruang kecil di halaman belakang, dan aku menyangka jika itu adalah gudang.Ruangan ini penuhi barang-barang lawas. Seperti lukisan, pemutar musik kuno, dan juga buku-buku usang yang berdebu.“Kenapa kita ke sini? Bukankah aku harus segera shooting?” tanyaku heran, tapi Jamilla tak peduli. Wanita itu masih sibuk mengorek-orek tumpukkan buku usang dengan sesekali menghalau debunya menggunakan kibasan tangan.“Ketemu!” katanya senang. Dia mengambil sebuah kacamata hitam, lalu menyelipkan ke saku bajuku dengan perlahan. “Aku ingin kamu memakai ini untuk shooting nanti. Kacamata ini milik seorang musisi yang sangat kukagumi. Soal siapa dia, kamu tidak perlu tahu itu. Yang jelas, dia adalah musisi yang tampan, sama sepertimu.”“Eh?”Sebenarnya aku heran, tapi segera kubuang jauh-jauh perasaan heran itu dari batok kepalaku. Karena jujur s
(BAB INI HANYA BERISI ADEGAN DEWASA 18+)KALIAN BISA UNTUK TIDAK MEMBACANYA!****“Aku kedinginan, apa kamu keberatan jika aku menghidupkan shower air hangatnya, Mas?” tanyanya.Mengeleng kepalaku.Selanjutnya dia menyalakan shower. Air hangat membanjuri tubuhnya, barangkali dia merasa nikmat saat kulit putihnya tersentuh oleh semprotan shower itu. Uap air segera memenuhi kamar mandi ini, dan mataku terpana, sebab melihat pemandangan yang begitu menarik.Mataku tak berkedip saat menjelajahi melihat tubuh Dewik dari belakang yang sedang menikmati percikan air hangat itu. Kulihat kepalanya mendongak ke arah sumber air, dan kedua tangannya mengusap-usap rambut yang basah.Mataku lanjut menjelajah, mendapati punggung yang melengkung sempurna, kemudian kuturunkan pandangan lagi hingga sampai melihat kedua bongkahan padat di atas paha. Kedua daging itu mulus tanpa cacat maupun bekas luka. Putih. Dan sempurna.Sampai
Tok Tok Tok.“Siapa?” teriakku di tengah permainan percintaan ini. Tentu aku merasa terganggu sebab saat ini sedang tanggung-tanggungnya.“Ini Jamilla,” pekik suara dari luar.Alamak, ngapain coba ketuk-ketuk pintu pas lagi tanggung gini? Mau minta jatah juga?“Ada apa, Jamilla?” balasku lagi dengan masih menggenjot Dewik.“Nggak apa-apa. Hanya barusan aku dengar suara berisik di kamar kalian. Apa kalian baik-baik saja?”“Iya!” ucapku dengan napas tersengal. “K-kami baik-baik saja.”“Sungguh? Boleh buka dulu pintunya?”Wadaw, sial betul nasipku. Kenapa harus sekarang di saat tanggung begini?“Oke, tunggu.”Akhirnya aku mengalah. Pinggangku berhenti bergerak menghajar Dewik yang terlentang di atas ranjang. Mataku melirik sebentar, dan wanita itu sudah tepar. Matanya terpejam. Barangkali sudah tidak kuat lagi mendapat ser
“Assalamualaikum, Aisyah?”Tidak ada jawaban dari sebrang. Yang terdengar malahan suara isak tangis.“Lho, Aisyah, kamu kenapa?” tanyaku mulai panik. Kutaruh piring yang berisi Gulai Kambing lalu mencari tempat yang lebih tinggi demi mendapatkan sinyal yang bagus.“Mas, kapan kamu pul—?” suara si gadis lirih tidak jelas. Bar sinyal menunjukkan hanya satu batang. Aku terus mencari tempat yang tinggi, hingga walhasil batang sinyal penuh.“Apa, Aiysah? Kenapa kamu nangis kayak gitu?”“Mas, kapan kamu pulang?”“Eh, ada apa emangnya?”Suara tangisan Aisyah semakin menjadi. Dan hal itu membuatku mulai berpikiran yang tidak-tidak. Apakah ini soal Emak, atau soal Temu, atau soal siapa pun dan yang pasti banyak hal buruk yang terlintas dalam pikiranku.“Mas...”“Kenapa, Aisyah? Tolong, sekarang kamu tenang dulu. Ambil napas pelan-pelan
Hari berlalu, dan Ibu Kota makin padat saja. Jalanan macet, rumah-rumah kumuh didirikan di kolong-kolong jembatan, banjir, dan pohon-pohon hijau dibabat digantikan beton-beton bangunan.Sebagian orang miskin bertambah melarat. Namun, sebagian orang kaya bertambah bergelimang harta.Seperti yang terjadi kepadaku. Siapa sangka, jika nominal angka di rekening sudah menyentuh angka ratusan juta. Bahkan sedikit lagi, angkanya sudah hampir menyentuh miliyaran rupiah.Jangan dipikir jika uang itu datang dengan cara tiba-tiba. Tapi kami harus banting tulang demi mendapatkannya.Tetapi, di tengah kebahagiaan yang sedang aku rasakan ini, sebenarnya hatiku gundah.Bayangan Aisyah selalu menyelimuti wajahku. Gadis itu malang, sedang mengharapkan cinta dariku, namun aku belum memberikan apa-apa.Kemarin dia katakan jika waktuku adalah 1 bulan. Dan itu artinya tinggal 3 minggu lagi. Namun sayang, sampai sekarang ini aku masih saja tidak tahu apa yang haru
Berita di koran halaman utama:“Penguasaha Kaya Guntur Alam Diperiksa Polisi Terkait Kasus Bunuh Diri Artis Raline.” ucapku mengeja judul di koran itu.Ada perasaan lega sebab kasus ini akhirnya mulai terkuak juga. Dasar sialan memang Si Buaya Darat itu, sudah punya istri tapi masih mengencani Raline dan wanita-wanita lain. Apa maunya orang itu sebenarnya?“Oi, Mas Cukir!” digebuk tanganku sama dia.“Heh! Apaan sih?”“Hahahahaa, habisnya pagi-pagi ngelamun gitu. Baca koran kok diem aja kayak patung.” Yudi Keling ketawa.“Heh, dasar bocah nggak tahu sopan santun. Aku itu lagi baca berita yang udah lama kutunggu-tunggu.”“Soal apa emang?”“Tentang seorang penjahat kelamin yang akhirnya aksinya mulai terendus juga.”Yudi Kelng menggeleng. Dia tidak tertarik.Sebentar kemudian Dewik datang membawakan kopi untuk Si Bocah kurang aj
Begitu masuk rumah, Inces langusng menyalakan layar LCD yang terpasang di dinding.Aku dan Dewik duduk menyimpan rasa penasaran.“Nih, Eike itu baru dari tempatnya Pak Aji. Dan video klip kita udah jadi!” Dari dalam tas dia mengambil sebuah piringan CD.Aku dan Dewik sebentar berpandangan, kemudian meledak girang!“Sudah jadi, ya ampun, udah nggak sabar aku nungguin ini!” Mata Dewik berbinar-binar.“Iyap tul betul banget! Tadi pagi Pak Aji telpon Eike dan ngabarin kalau video klipnya ternyata udah jadi. Cepet sih ini. Yang katanya 2 minggu, eh ternyata udah jadi seminggu aja. Makanya cap-cus deh Eike langsung ke sana.”“Iya iya! Ayok Inces kita tonton coba.” Dewik tidak sabaran.“Eh tapi sebentar,” kataku menyela. “Kan, sekarang ini Kang Bambang belum pulang. Nah, gimana kalau kita nunggu Kang Bambang dulu.”Dewik kecewa. Lalu dia melayangkan protes. &ldquo
Dua Tahun Kemudian.Kupandangi foto-foto pernikahan di dalam album. Lembar demi lembar kubuka perlahan, sesekali senyumku terbit. Hingga seketika ingatanku terseret kembali di hari pernikahan itu.Pagi itu, acara cukup meriah digelar di pelataran pondok. Tenda-tenda besar warna biru diberdirikan, lengkap dengan kursi dan meja dan tentunya pelaminan serba putih.Saat itu aku masih ingat, tamu udangan kebanyakan dihadiri oleh tamu dari Abah Yai, dan hanya sedikit sekali kawan-kawanku yang datang, paling-paling dari kawan-kawan Emak atau teman dari tetangga desa sebelah.Kang Bambang tentu saja tidak bisa pulang. Inces juga tidak hadir. Dan Dewik tentu saja tidak mungkin mendatangi acara tersebut. Meskipun ketiganya saat itu sudah kuberi undangan dan kabar, namun aku tahu jika mereka sedang sangat sibuk, mempersiapkan konser tour keliling Indonesia bersama Mbak Inul Daratista.Dan sekarang, 2 tahun sudah berlalu, tidak terasa.Pagi ini seperti
Seminggu Berlalu...Langit pagi yang cerah, sebagaimana cerah hati dan perasaanku. Hari ini adalah momentum bersejarah, sebab pada akhirnya, aku akan melamar seorang gadis anak Kiai, Aisyah.Sejak habis subuh, aku sudah sibuk mandi dan berdandan sangat rapi. Meskipun jarak rumah kami hanyalah selemparan batu, tapi aku tidak mau menyepelekan, apalagi kalau nanti sampai telat!Emak pun sudah ikut berdandan seraya mempersiapkan semua keperluan. Kotak-kotak yang berisi barang-barang seserahan, seperti jajanan pasar, baju-baju gamis, alat-alat mandi, roti, seperangkat alat rias, semua sudah tertata rapi di teras rumah, dibungkus kotak mika transparan serta diberi ikatan pita berwarna biru.Dan di antara kotak-kota besar itu, ada sebuah kotak kecil yang berisi cincin bbermata berlian biru. Mengilap terkena cahaya matahari pagi.Duh... cantiknya.Orang-orang mulai berdatangan di pagi yang masih ranum itu. Mereka adalah Pak Erte, Pak Erwe, serta beb
“Cincin siapa ini, Kir? Atau ini jangan-jangan mau diberikan ke Aisyah?” Emak berkata dengan masih menerawang cincin tersebut di bawah sinar matahari.Tampak berkilau dan terang, perhiasan itu jika ditilik sekilas memang sangat mahal.“Mmm, cincin itu sebenarnya punya Raline, Mak. Wanita itu yang memberikannya padaku. Dia bilang, suatau hari pasti akan berguna.”“Raline artis itu?”Aku mengangguk.Emak lanjut bicara dengan tertawa-tawa, “Woalah, ada-ada aja. Masak barang sebagus ini dikasihkan ke kamu?”“Memangnya itu bagus, Mak?”Emak mengendikkan kedua bahu. “Kalau pastinya ya Emak kurang tahu. Soalnya ini berlian. Tapi, Emak yakin harganya sangat mahal.”Tiba-tiba terbesit ide brilian. “Mak, pagi ini mau ke pasar nggak?”“Iya. Emak mau beli sayur buat masak.”“Yuk aku anterin, hehehehee. Sekalian manasin Vespa,
Awalnya aku tak ingin mengangkat. Lama telepon kubiarkan berdering. Tapi pada akhirya kuangkat juga panggilan tersebut.“Hallo?”“Mas...” suara Dewik serak, seperti baru saja menangis. “Kamu pulang tanpa pamit sama aku?”“Aku pikir kemarin kamu sedang sibuk.”“Tapi kalau sampai tidak pamit itu keterlaluan, Mas. Kita pergi ke Ibu Kota bersama, lalu sekarang kamu memutuskan untuk pulang dan menikai seorang gadis lain, aku terima! Tapi apakah berat mengucapkan pamit?”Sebentar aku diam. Suara seraknya semakin kentara.“Mas? Hallo?”“Aku tahu kamu sedang sibuk dengan seorang laki-laki muda pengusaha kaya raya. Sebab itulah aku sengaja tidak pamit. Aku taku ganggu.”“Astaga, Mas! Mas?”Telepon kututup. Singkat tapi padat, aku tak ingin bicara lagi dengan dia. Malam ini tidak tepat. Sebab aku ingin segera tidur, dan berharap m
Selepas shalat magrib aku langsung diajak Abah Yai menuju ke Ndalem. Memang benar ternyata, setelah shalat hatiku terasa lebih adem.Abah Yai mempersilakan aku duduk dan berkata, “Gimana? Sudah adem kan hatinya sekarang?”“Betul, Yai. Sudah enakan.”“Nah, makanya jangan pernah tinggalkan sholat, ya.”Aku hanya mengangguk.“Jadi gimana tadi, soal mau melamar Aisyah? Nak Cukir sudah janji sama Aisyah?”“Betul, Yai. Bahkan saya sekarang ini sudah tidak ikut ke grup dangdut lagi. Saya sudah keluar karena saya ingin melamar Aisyah.”Mendengarku bicara, Abah Yai membuang napas berat. Seperti ada penyesalan dalam dadanya.“Mmm, maaf, Nak Cukir. Aisyah sekarang sudah dilamar sama orang. Lebih tepatnya kemarin siang, rombongan teman Abah datang ke sini buat melamarkan putranya. Yah, sayang sekali. Padahal kalau Nak Cukir yang melamar duluan tentu saja Abah mau.”
Aku tiba di gang ujung desa saat hari hampir surup. Langit senja menguning keemasan, sebentar lagi pasti akan padam.Aku berjalan pelan dengan tangan membawa koper dan barang-barang serta sedikit oleh-oleh yang sengaja aku beli di stasiun tadi. Meski uangku telah habis, tapi membawa buah tangan adalah hal yang lumrah dan harus kulakukan.“Emak lagi apa, ya?” batinku girang merasa sudah rindu sekali dengan perempuan tua itu. Maka segera kakiku melangkah lebih melalui jalan desa yang becek, barangkali hujan baru saja reda.Begitu sampai di depan rumah, betapa aku kaget karena merasa asing dengan bangunan tersebut. Aku sampai mengucek-ngucek mata guna memastikan jika penglihatanku tidak keliru.“Apa benar ini rumahku?”Sebab rumah yang tadinya kurang layak pakai kini telah menjadi lantai dua. Emak pasti sudah memanggil tukang dan juga merehapnya. Semuanya di cat serba warna putih dan bahkan kami sekarang memiliki pagar da
Pagi yang cerah.Aku terbangun dengan mata masih berat, dan ternyata Kang Bambang tidur di sebelahku.Semalam dia ikut bantu-bantu mengemasi barang-barangku, dan sekarang, waktunya aku pulang ke desa untuk menemui Emak dan Aisyah.Ada perasaan sedih sebenarnya, mengingat bila selama ini perjalanan di Ibu Kota tidaklah mudah. Tapi, keputusanku sudah bulat sempurna, sehingga aku beranjak dari kasur kemudian mandi.Selesai mandi, aku menyisir rambutku agar rapi.“Kang, oi, bangun, Kang!” Badan Kang Bambang kugoyang-goyangkan, dan seketika matanya mengerjap.“Eh?”“Anterin aku ke stasiun, yuk!”“Kamu yakin mau pulang sekarang?” tanyanya sambil menguap.“Yakin lah.”“Nggak nunggu yang lainnya?”“Lainnya siapa?”“Dewik, Inces, atau Yudi Keling mungkin?”Kulihat di sekitar Markas. Sepi. Manusia-manusia yan
“Tolong berhenti di minimarket depan itu, Pak.”“Baik.”Setelah taksi merapat di bahu jalan, segera aku keluar dan mengambil 2 botol minuman. Satu untuk aku, satunya lagi untuk si supir.Namun ketika sampai kasir dan kuberikan kartu ATM, lagi-lagi ini eror.“Maaf, Pak, kartunya nggak bisa dipakai.”“Apa? Kenapa bisa begitu?”“Saya kurang tahu. Sepertinya ada yang memblokir kartu bapak.”“Mana mungkin, Mbak? Aku nggak pernah merasa memblokirnya.”Si kasir menyerahkan kartu tersebut dan berkata, “Kalau ada orang lain yang punya semua identitas bapak, mungkin saja dia yang melaukannya.”“Pasti ini ulah Inces!”“Maaf, Pak?”“Oh, nggak apa-apa. Mmm, kalau begitu saya bayar pakai uang tunai saja.”“Baik, Pak.”Dengan perasaan kesal aku menuju ke taksi dan langsung pulan
“Kenapa? Ada apa di meja VIP nomor tujuh?” tanyaku penasaran.Lita dengan wajah yang serius berkata, “Ada Mbak Dewik, Mas.”“Dewik?”“Iya. Sepertinya dia sedang mabuk berat. Barusan aku menyapa, tapi Mbak Dewik hanya ketawa-tawa seperti tidak mengenalku. Dan yang jelas, dia sedang bersama laki-laki muda yang mesum itu, berduaan saja,” pungkas Lita kemudian dia mengelap meja bar.Sial. Apa yang mesti kulakukan sekarang? Apakah aku harus pergi ke meja VIP nomor tujuh kemudian membawanya pulang? Atau aku biarkan saja dia, toh sekarang kami punya kehidupan sendiri-sendiri? Bingung. Aku benar-benar bingung.Malam semakin ramai. Pengunjung makin banyak memadati club, dan satu per satu mereka memesan minuman. Ada yang datang berdua membawa pasangan. Namun kebanyakan mereka atang sendirian, dan nanti berharap sepulang dari sini mereka akan membawa pasangan dalam keadaan mabuk kemudian melakukan kencan satu ma