Masih di Caffe Deu Luxury, Lantai 2 Table VIP, Hotel Rich Bintang Lima.
“Lima puluh juta buat satu lagu? Gilak! Apa nggak bisa kurang?”
Seketika Inces tertawa sambil memandangku. “Yaa ampun, tampan-tampan tapi bego! Ya emang harganya sudah segitu, Kir! Emangnya beli tempe ah kok mau ditawar-tawar.”
Kang Bambang memijit-mijit jidatnya. Aku tahu ini merupakan harga yang fantastis.
“Yaudah, pikirkanlah dulu kalian soal ini.” Inces mengambil tasnya dan berdiri. “Kalau deal, kalian calling aku, dan saat itu pula aku mau jadi manajer kalian buat ngurusin segala keperluan kalian.”
“Lha kalau nggak deal, gimana?” tanyaku ragu.
Inces mendekatkan mukanya ke telingaku. “Aku nggak mau jadi manajer kalian.”
Alamak, gawat nih…
“Yasona begindang aja. Inces mau capcus jali-jali cacamarica lekong.”
(Yasudah begitu aja. Inces mau pergi jalan-jalan c
Di rumah. Pukul 02.00 dini hari.Suasana sangat sepi. Pagi masih buta, belum ada cahaya matahari masuk ke jendela, juga belum dapat ditemui tanda-tanda kehidupan. Di saat seperti ini jelas saja aku tidur terlelap, memeluk guling dan bantal dan bersembunyi di balik selimut. Namun tiba-tiba, emak membangunkanku!“Kirr…”Bukan dengan cara beteriak kencang ataupun menamparku seperti biasanya. Namun, kali ini emak hanya menyentuh-nyentuh kakiku dengan perlahan, menarik-narik tanganku, dan sesaat setelah aku terbangun emak berbisik setengah panik.“Kir, kayaknya ada maling.”“Apa?” Kaget aku mendengarnya. Cepat-cepat aku mengucek mata sembari mengumpulkan nyawa.“Maling?”“Iya. Sttt…”“Dimana, Mak?”“Di depan sana.” Jemari emak menunjuk ke arah depan. Suaranya masih lirih berbisik. Kepalanya celingak-celinguk s
Aku tak tahu siapa nama bayi mungil ini, darimana asalnya, dan siapa orang tuanya? Tapi yang jelas aku jengkel sekali rasanya! Sebab, padahal di luar sana banyak orang menginginkan mempunyai momongan, bahkan tetanggaku sampai ada yang belasan tahun menunggu mempunyai buah hati, dan bahkan mengusahakan segala macam cara dari cara jalur medis hingga sampai pengobatan alternatif, hingga akhirnya mereka memutuskan bercerai di tahun ke lima belas sebab salah satu di antara mereka terbukti mandul.Sehingga sekarang sangat wajar jika aku merasa jengkel bukan main! Sebab di hadapanku ada seorang bayi mungil tak berdosa yang telah dibuang oleh seseorang begitu saja! Apa mungkin yang membuang itu orang tuanya sendiri? Apa mungkin ini adalah bayi hasil hubungan terlarang? Entahlah! Tapi yang jelas, yang telah membuangnya sudah melanggar UUD 45, sebab tidak berperikemanusiaan dan perikeadilan!“Apa itu, Kir?” Emak membuyarkan lamunanku.Aku menoleh. Menata
“Waalaikumsallam…”Seorang gadis berpakaian sederhana dengan jilbab merah muda datang. Matanya heran menatap kami, tapi sedetik kemudian dia menundukkan pandangan. Ada dua senyum yang lekas mengembang, dari bibirnya, dan juga bibirku. Soal bibir, gadis itu mempunyai bibir tipis yang alami berwarna merah muda, tanpa memakai gincu. Alisnya yang tebal itu segera melengkung bak busur.Aisyah, matahariku! Di mataku, Aisyah adalah sekumpulan bait-bait puisi yang hidup.“Lho, kok ada Emak, Mas Cukir juga?” tanyanya seketika. Pandangannya masih menunduk malu-malu.“Iya ini, Nduk, ada keperluan sama Abah Yai.” Emak yang menanggapi.Kemudian Aisyah duduk bersama kami setelah membuat empat gelas teh hangat. Sebelum bertanya mengenai bayi di gendongan abahnya, terlebih dulu emak menjelaskan kepadanya segala sesuatu yang baru saja terjadi.“Tadi malam dini hari Emak dan Cukir yang menemukan bayi ini di hal
Siangnya, setelah bakda sholat zuhur, dibawalah Temu menemui Siti di rumahnya. Abah Yai dan Siti dan sopirnya menjemputku di depan rumah memakai mobil. Aku yang sudah mandi dan wangi pun segera masuk ke dalam mobil tersebut.“Assalamualaikum,” kataku menyapa.“Waalaikumsallam. Waah, ganteng sekali Nak Cukir.” Abah Yai tertawa.“Alhamdulillah,” jawabku spontan. “Sudah bawaan dari lahir, Yai.”Abah Yai tertawa. Sang supir juga tertawa. Dan Aisyah yang duduk di depan juga tertawa, meski tanpa mengeluarkan suara. Aku tahu sebab kulihat pundaknya yang bergerak naik-turun.“Yawes. Yuk jalan, Pak. Keburu bayinya lapar.” Abah Yai meyuruh sang supir menancap gas.“Sendiko dawuh, Yai.”Sepanjang jalan Abah Yai tak henti menendangkan lagu-lagu salawat Nabi. Temu terlelap di gendongnya. Aku yang duduk di sampingnya sesekali melirik. Kadang-kadang ke arah Temu yang terlelap, j
Pasar ini sangat ramai meski letaknya tak berada di tengah kota. Ini adalah pasar kecamatan, tapi karena letaknya yang strategis berada di perbatasan 3 kabupaten sekaligus, maka tak heran jika sepanjang waktu ia dikerubuti oleh pedagang dan pembeli.Sejak sebelum subuh hingga sampai tengah malam, hampir 24 jam non stop para pedagang berbodndong menjajakan dagangannya secara bergantian. Pagi hari kebanyakan diisi oleh pedagang sayur mayur, ikan, dan juga aneka daging segar. Siang hari lebih banyak didominasi oleh lapak-lapak yang menjual kebutuhan rumah tangga. Sedangkan malam hari banyak terlihat tenda-tenda yang menjual berbagai macam makanan, seperti nasi goreng, kwetiau, dan juga warung kopi.Tak hanya pedagang, namun para supir angkot dan becak juga ikut mengais rezeki di tempat ini. Kebanyakan mereka adalah warga lokal. Sedangkan boss-boss mereka (si pemilik angkot tersebut) adalah kaum tionghoa.Dan, yang harus kuceritakan juga bahwa di pasar ini jug
“Kemarin dari mana saja kamu, Mas?” Seprot Dewik tiba-tiba begitu aku sampai di markas.“Iya nih, seharian kita telponin HP-mu tapi nggak diangkat.” Kang Bambang ikut menimpali.“Aduh maaf nih, soalnya kemarin ada hal penting yang nggak bisa aku tinggalin,” kataku merasa bersalah. Aku tahu jika seharusnya 10 hari ini akan digunakan buat fokus latihan lagu ciptaan kami. Tapi masalah Temu kemarin benar-benar harus memakan waktuku seharian.“Kamu masih serius mau latihan kan, Kir?” Kang bambang tampak kesal sekali. Baru kali ini kulihat dia berperilaku seperti ini.“Maaf, Kang, tapi—”“Maksudku begini, Kir. Kalau kamu nggak bisa datang latihan yap ling enggak bilang dulu dong. Kabarin kek. Apa kek. Jangan tahu-tahu hilang gitu. Capek lah nungguin orang nggak jelas gitu. Dan kamu tahu nggak, Dewik nungguin kamu di markas sampai larut malam. Kasihan dia!”“Udah, K
Malamnya, latihan telah selesai, lalu kami mengemasi alat-alat dan kembali memasukannya ke dalam markas. Dewik datang dengan 2 gelas kopi panas, untukku dan untuk Kang Bambang.“Terima kasih,” kataku.“Ah, nggak perlu berterima kasih,” jawab Dewik tanpa beban. Lalu betina itu berkata, “Maaf ya Mas soal kejadian tadi.”“Iya, Kir. Aku juga minta maaf kalau bercandanya kelewat batas.” Kang Bambang tertawa.Aku menggeleng. “Enggak perlu minta maaf kok. Malahan aku senang ada yang masih mengingat ulang tahunku. Bahkan aku saja lupa. Dan aku yakin jika Emak pun pasti lupa tak peduli padahal dia yang melahirkanku.”Kami semua tertawa.“Nah, tapi kalian ngasih kejutan begini apa nggak ada yang ngasih kado apa?” tanyaku menggoda. Sontak itu membuat Kang Bambang dan Dewik tertawa, seperti sedang menyembunyikan sesuatu.“Sebenarnya ada kok. Nggak mungkinlah di hari spe
“Minggu depan kita batal ke Ibu Kota, Kang.”“Apa??” Sontak kami syok! Dewik sampai menganga mulutnya.“Jangan main-main kamu, Inces!” Kang Bambang marah. Tangannya menggebrak-gebrak meja. “Kita udah punya kesepakatan, kan? Bagaimana mungkin bisa gagal?”Suara Inces terdengar tenang di sebrang. Dengan aksen kebencong-bencongan dia berkata, “Ya beginilah dunia hiburan. Semua menganut hokum rimba. Siapa yang punya kekuatan, dia yang akan menang.”“Aku nggak paham maksudmu!” jawab Kang Bambang.Terdengar Inces menyulut rokok dan mengembuskan asapnya ke HP. “Jadi begini, Kang. Aku memang udah buat janji sama temenku yang punya studio. Tapi masalahnya kita kalah di DP! Di dunia hiburan, jangan pernah percaya kepada siapa pun! Itu rumusnya. Dan masalah janji nggak akan ada artinya tanpa adanya pengikat.”“Apa pengikatnya?”“Tentu saja uang!
Dua Tahun Kemudian.Kupandangi foto-foto pernikahan di dalam album. Lembar demi lembar kubuka perlahan, sesekali senyumku terbit. Hingga seketika ingatanku terseret kembali di hari pernikahan itu.Pagi itu, acara cukup meriah digelar di pelataran pondok. Tenda-tenda besar warna biru diberdirikan, lengkap dengan kursi dan meja dan tentunya pelaminan serba putih.Saat itu aku masih ingat, tamu udangan kebanyakan dihadiri oleh tamu dari Abah Yai, dan hanya sedikit sekali kawan-kawanku yang datang, paling-paling dari kawan-kawan Emak atau teman dari tetangga desa sebelah.Kang Bambang tentu saja tidak bisa pulang. Inces juga tidak hadir. Dan Dewik tentu saja tidak mungkin mendatangi acara tersebut. Meskipun ketiganya saat itu sudah kuberi undangan dan kabar, namun aku tahu jika mereka sedang sangat sibuk, mempersiapkan konser tour keliling Indonesia bersama Mbak Inul Daratista.Dan sekarang, 2 tahun sudah berlalu, tidak terasa.Pagi ini seperti
Seminggu Berlalu...Langit pagi yang cerah, sebagaimana cerah hati dan perasaanku. Hari ini adalah momentum bersejarah, sebab pada akhirnya, aku akan melamar seorang gadis anak Kiai, Aisyah.Sejak habis subuh, aku sudah sibuk mandi dan berdandan sangat rapi. Meskipun jarak rumah kami hanyalah selemparan batu, tapi aku tidak mau menyepelekan, apalagi kalau nanti sampai telat!Emak pun sudah ikut berdandan seraya mempersiapkan semua keperluan. Kotak-kotak yang berisi barang-barang seserahan, seperti jajanan pasar, baju-baju gamis, alat-alat mandi, roti, seperangkat alat rias, semua sudah tertata rapi di teras rumah, dibungkus kotak mika transparan serta diberi ikatan pita berwarna biru.Dan di antara kotak-kota besar itu, ada sebuah kotak kecil yang berisi cincin bbermata berlian biru. Mengilap terkena cahaya matahari pagi.Duh... cantiknya.Orang-orang mulai berdatangan di pagi yang masih ranum itu. Mereka adalah Pak Erte, Pak Erwe, serta beb
“Cincin siapa ini, Kir? Atau ini jangan-jangan mau diberikan ke Aisyah?” Emak berkata dengan masih menerawang cincin tersebut di bawah sinar matahari.Tampak berkilau dan terang, perhiasan itu jika ditilik sekilas memang sangat mahal.“Mmm, cincin itu sebenarnya punya Raline, Mak. Wanita itu yang memberikannya padaku. Dia bilang, suatau hari pasti akan berguna.”“Raline artis itu?”Aku mengangguk.Emak lanjut bicara dengan tertawa-tawa, “Woalah, ada-ada aja. Masak barang sebagus ini dikasihkan ke kamu?”“Memangnya itu bagus, Mak?”Emak mengendikkan kedua bahu. “Kalau pastinya ya Emak kurang tahu. Soalnya ini berlian. Tapi, Emak yakin harganya sangat mahal.”Tiba-tiba terbesit ide brilian. “Mak, pagi ini mau ke pasar nggak?”“Iya. Emak mau beli sayur buat masak.”“Yuk aku anterin, hehehehee. Sekalian manasin Vespa,
Awalnya aku tak ingin mengangkat. Lama telepon kubiarkan berdering. Tapi pada akhirya kuangkat juga panggilan tersebut.“Hallo?”“Mas...” suara Dewik serak, seperti baru saja menangis. “Kamu pulang tanpa pamit sama aku?”“Aku pikir kemarin kamu sedang sibuk.”“Tapi kalau sampai tidak pamit itu keterlaluan, Mas. Kita pergi ke Ibu Kota bersama, lalu sekarang kamu memutuskan untuk pulang dan menikai seorang gadis lain, aku terima! Tapi apakah berat mengucapkan pamit?”Sebentar aku diam. Suara seraknya semakin kentara.“Mas? Hallo?”“Aku tahu kamu sedang sibuk dengan seorang laki-laki muda pengusaha kaya raya. Sebab itulah aku sengaja tidak pamit. Aku taku ganggu.”“Astaga, Mas! Mas?”Telepon kututup. Singkat tapi padat, aku tak ingin bicara lagi dengan dia. Malam ini tidak tepat. Sebab aku ingin segera tidur, dan berharap m
Selepas shalat magrib aku langsung diajak Abah Yai menuju ke Ndalem. Memang benar ternyata, setelah shalat hatiku terasa lebih adem.Abah Yai mempersilakan aku duduk dan berkata, “Gimana? Sudah adem kan hatinya sekarang?”“Betul, Yai. Sudah enakan.”“Nah, makanya jangan pernah tinggalkan sholat, ya.”Aku hanya mengangguk.“Jadi gimana tadi, soal mau melamar Aisyah? Nak Cukir sudah janji sama Aisyah?”“Betul, Yai. Bahkan saya sekarang ini sudah tidak ikut ke grup dangdut lagi. Saya sudah keluar karena saya ingin melamar Aisyah.”Mendengarku bicara, Abah Yai membuang napas berat. Seperti ada penyesalan dalam dadanya.“Mmm, maaf, Nak Cukir. Aisyah sekarang sudah dilamar sama orang. Lebih tepatnya kemarin siang, rombongan teman Abah datang ke sini buat melamarkan putranya. Yah, sayang sekali. Padahal kalau Nak Cukir yang melamar duluan tentu saja Abah mau.”
Aku tiba di gang ujung desa saat hari hampir surup. Langit senja menguning keemasan, sebentar lagi pasti akan padam.Aku berjalan pelan dengan tangan membawa koper dan barang-barang serta sedikit oleh-oleh yang sengaja aku beli di stasiun tadi. Meski uangku telah habis, tapi membawa buah tangan adalah hal yang lumrah dan harus kulakukan.“Emak lagi apa, ya?” batinku girang merasa sudah rindu sekali dengan perempuan tua itu. Maka segera kakiku melangkah lebih melalui jalan desa yang becek, barangkali hujan baru saja reda.Begitu sampai di depan rumah, betapa aku kaget karena merasa asing dengan bangunan tersebut. Aku sampai mengucek-ngucek mata guna memastikan jika penglihatanku tidak keliru.“Apa benar ini rumahku?”Sebab rumah yang tadinya kurang layak pakai kini telah menjadi lantai dua. Emak pasti sudah memanggil tukang dan juga merehapnya. Semuanya di cat serba warna putih dan bahkan kami sekarang memiliki pagar da
Pagi yang cerah.Aku terbangun dengan mata masih berat, dan ternyata Kang Bambang tidur di sebelahku.Semalam dia ikut bantu-bantu mengemasi barang-barangku, dan sekarang, waktunya aku pulang ke desa untuk menemui Emak dan Aisyah.Ada perasaan sedih sebenarnya, mengingat bila selama ini perjalanan di Ibu Kota tidaklah mudah. Tapi, keputusanku sudah bulat sempurna, sehingga aku beranjak dari kasur kemudian mandi.Selesai mandi, aku menyisir rambutku agar rapi.“Kang, oi, bangun, Kang!” Badan Kang Bambang kugoyang-goyangkan, dan seketika matanya mengerjap.“Eh?”“Anterin aku ke stasiun, yuk!”“Kamu yakin mau pulang sekarang?” tanyanya sambil menguap.“Yakin lah.”“Nggak nunggu yang lainnya?”“Lainnya siapa?”“Dewik, Inces, atau Yudi Keling mungkin?”Kulihat di sekitar Markas. Sepi. Manusia-manusia yan
“Tolong berhenti di minimarket depan itu, Pak.”“Baik.”Setelah taksi merapat di bahu jalan, segera aku keluar dan mengambil 2 botol minuman. Satu untuk aku, satunya lagi untuk si supir.Namun ketika sampai kasir dan kuberikan kartu ATM, lagi-lagi ini eror.“Maaf, Pak, kartunya nggak bisa dipakai.”“Apa? Kenapa bisa begitu?”“Saya kurang tahu. Sepertinya ada yang memblokir kartu bapak.”“Mana mungkin, Mbak? Aku nggak pernah merasa memblokirnya.”Si kasir menyerahkan kartu tersebut dan berkata, “Kalau ada orang lain yang punya semua identitas bapak, mungkin saja dia yang melaukannya.”“Pasti ini ulah Inces!”“Maaf, Pak?”“Oh, nggak apa-apa. Mmm, kalau begitu saya bayar pakai uang tunai saja.”“Baik, Pak.”Dengan perasaan kesal aku menuju ke taksi dan langsung pulan
“Kenapa? Ada apa di meja VIP nomor tujuh?” tanyaku penasaran.Lita dengan wajah yang serius berkata, “Ada Mbak Dewik, Mas.”“Dewik?”“Iya. Sepertinya dia sedang mabuk berat. Barusan aku menyapa, tapi Mbak Dewik hanya ketawa-tawa seperti tidak mengenalku. Dan yang jelas, dia sedang bersama laki-laki muda yang mesum itu, berduaan saja,” pungkas Lita kemudian dia mengelap meja bar.Sial. Apa yang mesti kulakukan sekarang? Apakah aku harus pergi ke meja VIP nomor tujuh kemudian membawanya pulang? Atau aku biarkan saja dia, toh sekarang kami punya kehidupan sendiri-sendiri? Bingung. Aku benar-benar bingung.Malam semakin ramai. Pengunjung makin banyak memadati club, dan satu per satu mereka memesan minuman. Ada yang datang berdua membawa pasangan. Namun kebanyakan mereka atang sendirian, dan nanti berharap sepulang dari sini mereka akan membawa pasangan dalam keadaan mabuk kemudian melakukan kencan satu ma