Malamnya, latihan telah selesai, lalu kami mengemasi alat-alat dan kembali memasukannya ke dalam markas. Dewik datang dengan 2 gelas kopi panas, untukku dan untuk Kang Bambang.
“Terima kasih,” kataku.
“Ah, nggak perlu berterima kasih,” jawab Dewik tanpa beban. Lalu betina itu berkata, “Maaf ya Mas soal kejadian tadi.”
“Iya, Kir. Aku juga minta maaf kalau bercandanya kelewat batas.” Kang Bambang tertawa.
Aku menggeleng. “Enggak perlu minta maaf kok. Malahan aku senang ada yang masih mengingat ulang tahunku. Bahkan aku saja lupa. Dan aku yakin jika Emak pun pasti lupa tak peduli padahal dia yang melahirkanku.”
Kami semua tertawa.
“Nah, tapi kalian ngasih kejutan begini apa nggak ada yang ngasih kado apa?” tanyaku menggoda. Sontak itu membuat Kang Bambang dan Dewik tertawa, seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
“Sebenarnya ada kok. Nggak mungkinlah di hari spe
“Minggu depan kita batal ke Ibu Kota, Kang.”“Apa??” Sontak kami syok! Dewik sampai menganga mulutnya.“Jangan main-main kamu, Inces!” Kang Bambang marah. Tangannya menggebrak-gebrak meja. “Kita udah punya kesepakatan, kan? Bagaimana mungkin bisa gagal?”Suara Inces terdengar tenang di sebrang. Dengan aksen kebencong-bencongan dia berkata, “Ya beginilah dunia hiburan. Semua menganut hokum rimba. Siapa yang punya kekuatan, dia yang akan menang.”“Aku nggak paham maksudmu!” jawab Kang Bambang.Terdengar Inces menyulut rokok dan mengembuskan asapnya ke HP. “Jadi begini, Kang. Aku memang udah buat janji sama temenku yang punya studio. Tapi masalahnya kita kalah di DP! Di dunia hiburan, jangan pernah percaya kepada siapa pun! Itu rumusnya. Dan masalah janji nggak akan ada artinya tanpa adanya pengikat.”“Apa pengikatnya?”“Tentu saja uang!
Rohmat, sang kekasih tercinta Inces, kini sedang mangkal di pasar. Dia itu sejatinya laki-laki, tapi berdandan ala-ala wanita, memakai bedak, gincu, bulu mata palsu, dan ‘baju haram’ yang punggungnya kelihatan. Dia mangkal bersama waria-waria lainnya di sana, di bawah lampu pasar yang menyala kuning temaram.Dari sebrang jalan aku mengamatinya. Kang Bambang yang berada di sebelahku pun berbisik, “Kamu harus pancing dia dulu biar mau ke sini, Kir.”Aku menatap heran. “Caranya?”“Ya kamu godain dia lah. Apalagi?”Sial! Menggoda bencong? Najis tralala, euy!!Aku menggeleng. Menatap Kang Bambang penuh makna. “Kang, demi kehormatanku dan nama baik keluargaku. Aku nggak sudi!”Dijitak kepalaku. “Udahlah cepat. Lagian ini cuma pura-pura aja. Toh nanti kalau Rohmat sampai di sini kita bakal langsung sekap, masukin ke karung lalu bawa pergi pakai motor.”Gila! Gila! Gila!
Rohmat menjerit seperti baru saja melihat hantu. Tanpa banyak kata, aku dan Kang Bambang segera membekap mulutnya dengan kain yang sudah dibasahi oleh cairan tertentu. Sehingga jeritan Rohmat berhenti. Dia pingsan untuk sementara ini.“Beres,” kata Kang Bambang membuka karung goni. Kemudian Rohmat dimasukkan ke dalam sana, dan kami berdua membawanya membawa sepeda motor.****Di Markas.Layar HP Kang Bambang menunjukkan tulisan 17 panggilan tak terjawab. Semuanya dari Inces. Dewik yang menunggu kami di markas tampak cemas. Dan begitu kami datang betina itu segera berkata, “Gimana? Apakah berhasil? Dari tadi Inces telpon terus tapi nggak aku angkat.”Aku dan Kang Bambang mengangkat karung goni yang berisi Rohmat ke dalam Markas, lalu memasukkannya ke dalam kamar.“Demi Tuhan, ini penculikan!” Dewik tercengang. Betina itu tidak menyangka jika aku dan Kang Bambang akan melakukan ha
Sesampai di Markas situasi masih sepi. Dewik bahkan pulas tertidur di ruang tamu, sementara Rohmat di kamar belum juga siuman, masih terikat dan lelap. Sambil memandangi Rohmat aku mulai berpikir, betapa mengerikan ternyata jika mempunyai masalah dengan para waria-waria itu.“Kita bebaskan saja Rohmat, Kang,” kataku.Kang Bambang tak menanggapi. Dia malah sibuk ke dapur membuat kopi lagi lalu kemudian duduk di sebelahku.“Apa kamu takut?”“Nggak juga sih sebenarnya. Tapi kalau masalah ini nanti bisa berbuntut panjang, malah repot buat grup musik dangdut kita.”Kang Bambang mengibaskan tangan tanda tak setuju. “Kamu masih ingat perkataan Inces kemarin? Di dalam dunia hiburan itu berlaku hukum rimba. Di sini semuanya akan saling memangsa. Yang lemah akan tewas. Pemenangnya adalah yang kuat. Kamu pikir di dunia hiburan itu mudah? Sekadar modal punya suara bagus, tampang menawan, karya keren, lantas bisa jadi b
Paginya aku terbagun. Gorden ruang tamu telah disingkap dan cahaya matahari menusuk ke mataku. Perih. Tapi sebantar, seingatku semalam aku tidur tak memakai bantal, tapi mengapa sekarang kepalaku menyentuh sesuatu yang kenyal?“Selamat pagi, Mas.” Dewik tersenyum. Rambutnya dikuncir sehingga bisa kulihat lehernya yang seksi itu. Dan aku terkejut saat menyadari rupanya aku tengah tidur di pangkuannya.Aku langsung terperanjat!“Kenapa?” tanya betina itu heran. “Kalau masih ngantuk, lanjutin saja tidurnya, Mas.” Dia lalu mendorong kepalaku ke pangkuannya lagi.Aku merasa tak berdaya. Ingin rasanya aku bangun dari gumpalan daging lembut ini. Tapi aku tiada sanggup. Di sini begitu nikmat, begitu hangat. Belum lagi sekarang tepat di atas kepalaku terdapat dua buah bongkahan daging yang besar.“Kamu pasti masih capek kan semalam begadang?” Dewik menatap mataku. Dan seperti bayi yang minta disusui, aku menga
Di Warung Kopi Mbok Bariyah.Seluruh warga geger. Berita kematian seorang bencong di sungai hari ini menjadi perbincangan hangat seantero kecamatan. Di warung kopi, di sawah, di dapur-dapur rumah, di puskesmas dan juga di pasar, rasanya tidak ada satu orang pun yang akan luput mengenai kabar berikut:“Seorang bencong bernama Lily alias Rohmat terkapar tak bernyawa di dekat sungai. Kabarnya, dia diperkosa oleh seseorang sebelum ditemukan mati.”“Ngeri sekali. Siapa pelakunya yang tega dan keji itu?”“Denger-denger sih katanya gerombolan supir bus malam.”“Ah, yang bener? Astaga! Ini sih perbuatan sangat bejad!”“Betul sekali! Meski bencong, tapi dia juga manusia yang punya hak untuk hidup!”“Siapa nama pelakunya?”“Aku nggak tahu. Tapi yang jelas pelakunya supir bus malam.”Aku cukup lega saat menguping permbicaraan orang-orang tersebut di
“Mak, ayo pulang.”“Kenapa, Kir?”“Aku lapar,” bisikku lirih.Karena Emak nggak tega lihat perutku keroncongan, akhirnya kami pamit pulang. Abah Yai berpesan padaku, untuk jangan sering tidur menginap di tempat orang lain.“Temanilah Emakmu. Kasihan kalau nanti ada maling malam-malam.” Abah Yai bercanda.Aisyah kemudian mendekat dan memberikan bungkusan jajan padaku. “Ini buat Mas Cukir,” katanya manis sekali. “Aku tadi pagi bikin kue. Tapi maaf ya, Mas, kalau rasanya kurang enak. Aku lagi belajar bikin kue kering.”Wajahku berbinar. “Waah cocok banget buat temen rokok. Hahahaa!”“Huss!” Emak menyikutku. Matanya melotot. “Jangan keras-keras kalau ketawa. Nggak sopan ah.”“Iya-iya, Maaf,” ujarku sambil menggaruk-garuk kepala. Aisyah tersenyum senang saat kuterima kue kering buatannya.Setelah itu aku dan
H-5 menjelang rekaman.Pagi cerah, langit-langit rekah,cahaya matahari menembus ke bumi dengan perlahan dan tabah. Tadi pagi aku solat subuh berjamaah seperti yang disuruhkan Emak, tapi setalah itu aku ngantuk berat dan kembali tidur. Hingga pagi Emak kembali datang ke kamarku guna membangunkanku.“Bangun, Kir. Itu ada Aiysah.”“Astagfirullah!”“Kenapa kamu ini? Kayak orang kesetrum aja?”“Dimana Aisyah, Mak?” tanyaku mengucek mata.“Di luar itu nungguin kamu. Dia mau ngajak kamu jalan-jalan pagi sambil berjemur bareng Temu.”Baiklah kalau begitu. Maka hal pertama yang harus kulakukan adalah mandi sebersih mungkin, gosok gigi hingga gigiku menjadi seputih mungkin, dan memakai minyak wangi agar harum seharum-harumnya.Aku beranjak dan langsung melakukan itu semua. Aku bersiul-siul di kamar mandi. Membayangkan wajah Aisyah yang manis, lugu, polos, tentu membuat bulu kudu
Dua Tahun Kemudian.Kupandangi foto-foto pernikahan di dalam album. Lembar demi lembar kubuka perlahan, sesekali senyumku terbit. Hingga seketika ingatanku terseret kembali di hari pernikahan itu.Pagi itu, acara cukup meriah digelar di pelataran pondok. Tenda-tenda besar warna biru diberdirikan, lengkap dengan kursi dan meja dan tentunya pelaminan serba putih.Saat itu aku masih ingat, tamu udangan kebanyakan dihadiri oleh tamu dari Abah Yai, dan hanya sedikit sekali kawan-kawanku yang datang, paling-paling dari kawan-kawan Emak atau teman dari tetangga desa sebelah.Kang Bambang tentu saja tidak bisa pulang. Inces juga tidak hadir. Dan Dewik tentu saja tidak mungkin mendatangi acara tersebut. Meskipun ketiganya saat itu sudah kuberi undangan dan kabar, namun aku tahu jika mereka sedang sangat sibuk, mempersiapkan konser tour keliling Indonesia bersama Mbak Inul Daratista.Dan sekarang, 2 tahun sudah berlalu, tidak terasa.Pagi ini seperti
Seminggu Berlalu...Langit pagi yang cerah, sebagaimana cerah hati dan perasaanku. Hari ini adalah momentum bersejarah, sebab pada akhirnya, aku akan melamar seorang gadis anak Kiai, Aisyah.Sejak habis subuh, aku sudah sibuk mandi dan berdandan sangat rapi. Meskipun jarak rumah kami hanyalah selemparan batu, tapi aku tidak mau menyepelekan, apalagi kalau nanti sampai telat!Emak pun sudah ikut berdandan seraya mempersiapkan semua keperluan. Kotak-kotak yang berisi barang-barang seserahan, seperti jajanan pasar, baju-baju gamis, alat-alat mandi, roti, seperangkat alat rias, semua sudah tertata rapi di teras rumah, dibungkus kotak mika transparan serta diberi ikatan pita berwarna biru.Dan di antara kotak-kota besar itu, ada sebuah kotak kecil yang berisi cincin bbermata berlian biru. Mengilap terkena cahaya matahari pagi.Duh... cantiknya.Orang-orang mulai berdatangan di pagi yang masih ranum itu. Mereka adalah Pak Erte, Pak Erwe, serta beb
“Cincin siapa ini, Kir? Atau ini jangan-jangan mau diberikan ke Aisyah?” Emak berkata dengan masih menerawang cincin tersebut di bawah sinar matahari.Tampak berkilau dan terang, perhiasan itu jika ditilik sekilas memang sangat mahal.“Mmm, cincin itu sebenarnya punya Raline, Mak. Wanita itu yang memberikannya padaku. Dia bilang, suatau hari pasti akan berguna.”“Raline artis itu?”Aku mengangguk.Emak lanjut bicara dengan tertawa-tawa, “Woalah, ada-ada aja. Masak barang sebagus ini dikasihkan ke kamu?”“Memangnya itu bagus, Mak?”Emak mengendikkan kedua bahu. “Kalau pastinya ya Emak kurang tahu. Soalnya ini berlian. Tapi, Emak yakin harganya sangat mahal.”Tiba-tiba terbesit ide brilian. “Mak, pagi ini mau ke pasar nggak?”“Iya. Emak mau beli sayur buat masak.”“Yuk aku anterin, hehehehee. Sekalian manasin Vespa,
Awalnya aku tak ingin mengangkat. Lama telepon kubiarkan berdering. Tapi pada akhirya kuangkat juga panggilan tersebut.“Hallo?”“Mas...” suara Dewik serak, seperti baru saja menangis. “Kamu pulang tanpa pamit sama aku?”“Aku pikir kemarin kamu sedang sibuk.”“Tapi kalau sampai tidak pamit itu keterlaluan, Mas. Kita pergi ke Ibu Kota bersama, lalu sekarang kamu memutuskan untuk pulang dan menikai seorang gadis lain, aku terima! Tapi apakah berat mengucapkan pamit?”Sebentar aku diam. Suara seraknya semakin kentara.“Mas? Hallo?”“Aku tahu kamu sedang sibuk dengan seorang laki-laki muda pengusaha kaya raya. Sebab itulah aku sengaja tidak pamit. Aku taku ganggu.”“Astaga, Mas! Mas?”Telepon kututup. Singkat tapi padat, aku tak ingin bicara lagi dengan dia. Malam ini tidak tepat. Sebab aku ingin segera tidur, dan berharap m
Selepas shalat magrib aku langsung diajak Abah Yai menuju ke Ndalem. Memang benar ternyata, setelah shalat hatiku terasa lebih adem.Abah Yai mempersilakan aku duduk dan berkata, “Gimana? Sudah adem kan hatinya sekarang?”“Betul, Yai. Sudah enakan.”“Nah, makanya jangan pernah tinggalkan sholat, ya.”Aku hanya mengangguk.“Jadi gimana tadi, soal mau melamar Aisyah? Nak Cukir sudah janji sama Aisyah?”“Betul, Yai. Bahkan saya sekarang ini sudah tidak ikut ke grup dangdut lagi. Saya sudah keluar karena saya ingin melamar Aisyah.”Mendengarku bicara, Abah Yai membuang napas berat. Seperti ada penyesalan dalam dadanya.“Mmm, maaf, Nak Cukir. Aisyah sekarang sudah dilamar sama orang. Lebih tepatnya kemarin siang, rombongan teman Abah datang ke sini buat melamarkan putranya. Yah, sayang sekali. Padahal kalau Nak Cukir yang melamar duluan tentu saja Abah mau.”
Aku tiba di gang ujung desa saat hari hampir surup. Langit senja menguning keemasan, sebentar lagi pasti akan padam.Aku berjalan pelan dengan tangan membawa koper dan barang-barang serta sedikit oleh-oleh yang sengaja aku beli di stasiun tadi. Meski uangku telah habis, tapi membawa buah tangan adalah hal yang lumrah dan harus kulakukan.“Emak lagi apa, ya?” batinku girang merasa sudah rindu sekali dengan perempuan tua itu. Maka segera kakiku melangkah lebih melalui jalan desa yang becek, barangkali hujan baru saja reda.Begitu sampai di depan rumah, betapa aku kaget karena merasa asing dengan bangunan tersebut. Aku sampai mengucek-ngucek mata guna memastikan jika penglihatanku tidak keliru.“Apa benar ini rumahku?”Sebab rumah yang tadinya kurang layak pakai kini telah menjadi lantai dua. Emak pasti sudah memanggil tukang dan juga merehapnya. Semuanya di cat serba warna putih dan bahkan kami sekarang memiliki pagar da
Pagi yang cerah.Aku terbangun dengan mata masih berat, dan ternyata Kang Bambang tidur di sebelahku.Semalam dia ikut bantu-bantu mengemasi barang-barangku, dan sekarang, waktunya aku pulang ke desa untuk menemui Emak dan Aisyah.Ada perasaan sedih sebenarnya, mengingat bila selama ini perjalanan di Ibu Kota tidaklah mudah. Tapi, keputusanku sudah bulat sempurna, sehingga aku beranjak dari kasur kemudian mandi.Selesai mandi, aku menyisir rambutku agar rapi.“Kang, oi, bangun, Kang!” Badan Kang Bambang kugoyang-goyangkan, dan seketika matanya mengerjap.“Eh?”“Anterin aku ke stasiun, yuk!”“Kamu yakin mau pulang sekarang?” tanyanya sambil menguap.“Yakin lah.”“Nggak nunggu yang lainnya?”“Lainnya siapa?”“Dewik, Inces, atau Yudi Keling mungkin?”Kulihat di sekitar Markas. Sepi. Manusia-manusia yan
“Tolong berhenti di minimarket depan itu, Pak.”“Baik.”Setelah taksi merapat di bahu jalan, segera aku keluar dan mengambil 2 botol minuman. Satu untuk aku, satunya lagi untuk si supir.Namun ketika sampai kasir dan kuberikan kartu ATM, lagi-lagi ini eror.“Maaf, Pak, kartunya nggak bisa dipakai.”“Apa? Kenapa bisa begitu?”“Saya kurang tahu. Sepertinya ada yang memblokir kartu bapak.”“Mana mungkin, Mbak? Aku nggak pernah merasa memblokirnya.”Si kasir menyerahkan kartu tersebut dan berkata, “Kalau ada orang lain yang punya semua identitas bapak, mungkin saja dia yang melaukannya.”“Pasti ini ulah Inces!”“Maaf, Pak?”“Oh, nggak apa-apa. Mmm, kalau begitu saya bayar pakai uang tunai saja.”“Baik, Pak.”Dengan perasaan kesal aku menuju ke taksi dan langsung pulan
“Kenapa? Ada apa di meja VIP nomor tujuh?” tanyaku penasaran.Lita dengan wajah yang serius berkata, “Ada Mbak Dewik, Mas.”“Dewik?”“Iya. Sepertinya dia sedang mabuk berat. Barusan aku menyapa, tapi Mbak Dewik hanya ketawa-tawa seperti tidak mengenalku. Dan yang jelas, dia sedang bersama laki-laki muda yang mesum itu, berduaan saja,” pungkas Lita kemudian dia mengelap meja bar.Sial. Apa yang mesti kulakukan sekarang? Apakah aku harus pergi ke meja VIP nomor tujuh kemudian membawanya pulang? Atau aku biarkan saja dia, toh sekarang kami punya kehidupan sendiri-sendiri? Bingung. Aku benar-benar bingung.Malam semakin ramai. Pengunjung makin banyak memadati club, dan satu per satu mereka memesan minuman. Ada yang datang berdua membawa pasangan. Namun kebanyakan mereka atang sendirian, dan nanti berharap sepulang dari sini mereka akan membawa pasangan dalam keadaan mabuk kemudian melakukan kencan satu ma