Acara dimulai.
Kami duduk di depan meja panjang, dan di depan kami banyak sekali sorotan lampu terang dengan moncong kamera serta jepretan potograper.
Kami duduk berlima. Urutan dari pojok sebelah kiri adalah Inces, aku, Dewik, Kang Bambang dan terakhir di pojok sebelah kanan ada Ahmad Deddy. Seorang pembawa acara kondang langsung membuka acara siang hari ini.
“Hallo, selamat datang di Markas Laskar Cinta yang super megah banget. Senang sekali rasanya saya bisa memandu acara pada siang hari ini. Tapi sebelum itu saya mau ucapkan terima kash kepada Manajemen Artis Laskar Cinta tentu saja sebagai tuan rumah, juga kepada musisi top Ibu Kota yaitu Om Ahmad Deddy, lalu kepada … dan, terakhir tentunya kasih tepuk tangan dong buat personil grup musik: Tak Usah Kau Risau Rumpu Tetangga Masih Hijau!”
Gedung jadi riuh seketika. Selain dipenuhi awak media, ada juga para artis yang turut diundang serta orang-orang biasa yang tak lain adalah para fa
Acara selesai. Mendadak suasana jadi sepi.Semua kru awak media pulang. Para fans telah berhasil mendapatkan foto-foto bersama artis kesayangan, kemudian mereka pulang. Tinggal beberapa orang tamu undangan yang masih bertahan di Markas Laskar cinta ini, juga beberapa artis Laskar Cinta masih duduk-duduk santai sambil berbincang.Kami duduk di salah satu sofa, menyantap Nasi Tumpeng dengan lahap. Yang kumaksud ‘kami’ adalah aku dan kang Bambang, sementara Dewik dan Inces tidak ikut makan.Dewik lebih suka menyandarkan kepalanya ke pundakku dengan mata yang lesu. Dia sangat payah, badannya lemah, dan mulutnya menguap terus akibat ngantuk. Sementara Inces menemui teman-teman artis yang lainnya, mengobrol di meja sana.“Kir, kamu nyangka nggak sih perjalanan kita bisa sampai di sini?” tanya Kang Bambang seraya menggigit paha ayam.“Nggak nyangka. Dulu saat pertama kali manggung aja, bisa dapat uang itu sesuatu yang Alhamdu
BAB BERISI ADEGAN RANJANG (18+) DAN BISA DILEWATI TANPA MENGURANGI PEMAHAMAN MENGENAI ALUR CERITA****Seketika markas ini menjadi ruangan privasi. Tidak boleh ada yang boleh masuk ke dalam markas kecuali hanya para artis Laskar Cinta dan juga tamu-tamu undangan. Penjaga dikerahkan di luar untuk mengawasi situasi, memastikan tidak ada awak media, polisi, atau orang lain yang masuk ke halaman markas.Pesta dimulai!Aku baru pertama kali mengikuti ‘Private Party’ seperti ini.Seluruh jendela dan pintu di ruangan ini ditutup. Keadaan jadi gelap seketika. Kemudian lampu-lampu tembak yang berwarna-warni dinyalakan. Diskotik dadakan!Yah, suasana ini mirip-mirip di sebuah club malam. Tapi yang berbeda, jika di club malam diisi oleh orang-orang umum, namun di sini hanya diisi oleh para artis dan teman-teman akrab Ahmad Deddy. Mengesankan!“Yohooo!!! Are you ready??”Seorang DJ yang tidak lain adalah pemaw
Usai meladeni Jamilla bercinta, segera aku kembali ke hotel naik taksi. Dan rupanya Dewik sudah menungguku di depan pintu kamar, sambil melotot dan kedua tangannya berkacak pinggang.“Kenapa jam segini baru pulang, Mas?” semprotnya langsung.“Eh?” kulihat jam tangan, sudah menunjukkan pukul 20.00.“Mmm, tadi diajak ngobrol-ngobrol dulu sama Inces dan Om Ahmad Deddy. Jadinya ya lama.”“Ngobrol apa? Dari siang hari sampai malam begini?”“Iya. Mmm, ya ngobrolin banyak hal deh.”Dewik mendekati wajahku. Hidungnya mengendus-ngendus seperti anjing pelacak.“Terus, kenapa kok bau alkohol?”“Yah, namanya juga ngobrol santai. Jadi wajarlah kalau diselingi sama minum dikit-dikit. Biar anget. Hehehee.” Aku menggaruk kepala. “Udah ya, aku mau mandi dulu.”“Ihh, sebentar!” Dewik menarik tanganku. “Katanya ngobrol banyak?
“Pak Gio, bisakah bapak jemput kami di hotel?”“Ya, ya, oke, kami tunggu ya, Pak.”Kututup telepon. Hari ini kami akan pindah ke rumah kontrakan yang baru. Tapi sebelum itu, kami berencana untuk membeli beberapa keperluan seperti kasur, lemari pakaian, peralatan rumah tangga dan lain-lain.Kami berempat telah menunggu di depan pintu hotel dengan membawa koper besar-besar. Inces telah menyelesaikan pembayaran hotel dengan nilai fantastis. Namun itu tak masalah, sebab uang kami di rekening masih banyak.“Sudah berangkat ke sini Pak Gio?” tanya Inces padaku.“Iya, katanya udah di jalan. Sebentar lagi paling sampai.”“Cucok.”Tak lama kemudian mobil taksi Pak Gio datang. Pelayan hotel segera membantu kami memasukkan barang-barang ke dalam bagasi mobil, kemudian kami berangkat menuju Mall terlebih dahulu guna membeli barang-barang.“Selamat pagi,” sapa Pak
Sambutan meriah!Kabar mengenai kepindahan kami di Kampung Kembang sudah terdengar oleh seluruh warga. Segera mereka berkumpul di depan gang untuk menyambut kedatangan kami.Anak-anak berlarian membuntuti mobil taksi yang kami tumpangi. Semua sambil menyanyikan lagu-lagu dangdut yang biasa kami bawakan.“Jangan heran ya kalian semua, warga di sini sudah saya beritahu jika kalian mau jadi orang sini. Jadi mereka antusias sekali, apalagi saat saya bilang kalau nanti sepekan sekali bakal ada latihan dangdut di kampung ini.” Pak Gio menerangkan. Kami semua merasa senang.“Terima kasih, Pak Gio. Kami merasa senang sekali dengan sambutan hangat ini,” ujar Kang Bambang di jok depan.“Ah, seharunya kami inilah yang berterima kasih. Di sini nggak pernah ada hiburan. Nah, kalau ada kalian nanti kan jadi ramai, warga pasti jadi lebih semangat setelah dengar lagu dangdut.”Kami tertawa kecil.Rupanya sambutan t
Pesta rakyat malam ini telah berakhir, ditutup dengan meriah sebab salah seorang emak-emak yang mau eksis maju ke panggung seraya menyanyikan lagu-lagu dangdut. Yang bikin kacau, dia bahkan tidak malu melanggak-lenggok layaknya biduan dangdut profesional. Aku dan Kang Bambang sampai ngakak hingga tidak mampu melanjutkan memainkan alat musik.“Wah gila sih tadi emak-emak itu. PD-nya kelewatan,” ucap Kang Bambang sambil minum kopi di ruang tengah. Aku dan Inces cuma ketawa-ketawa aja.“Kalau tadi nggak Eike stop! Waduh, bisa sampai buka baju tadi dia. Emang dasar gila emak-emak itu!” Inces menimpali.“Aku jadi bayangin, apa mungkin besok kalau Dewik udah tua bakal kayak gitu kelakuannya?”“Hey, ember! Boleh jadi itu.”“Lho, kenapa jadi bawa-bawa aku?”Dewik keluar dari kamar mandi langsung protes. Rambutnya masih basah karena baru saja selesai mandi, bahkan dia masih hanya mengenakan
“Guntur Alam!” kataku.Mata mereka membelalak.“Ah, jangan nuduh sembarangan kamu. Eike kenal baik lho sama istrinya Om Guntur Alam!”“Betul itu, Mas. Jangan asal ngomong lho. Apa buktinya Mas Cukir tahu kalau pacar Raline adalah Om Guntur Alam?”Aku mengembuskan asap rokok melalui kedua lubang hidung. “Oke, buat saat ini aku memang belum ada bukti. Tapi aku pastikan jika aku beberapa kali pernah lihat mobil Om Guntur Alam parkir di Hotel Rich, lalu Raline pergi bersamanya.”“Apa kamu bisa membutikan omonganmu? Maksudnya dari foto atau bukti apaan lah gitu?” Inces mendesak.Aku menggeleng. “Aku nggak sempet ngambil gambar waktu itu. Namun, aku yakin semua kejahatan Om Guntur Alam pasti segera terungkap juga.”“Oke stop aja deh berarti ngomongin masalah ini. Soalnya kamu juga nggak punya bukti kuat. Lagipula sekarang, Eike mau ingetin kalian semua buat fokus
Kami senang. Sebab setelah melewati jalanan yang macet, tanjakan tajam, dan perjalanan yang melelahkan, akhirnya sampai juga di lokasi yang sangat asri.Begitu turun dari mobil, kami langsung mengirup udara segar yang masuk memenuhi rongga tenggorokan, turun ke paru-paru, dan berlabuh di sana.“Gimana, cucok kan di sini udaranya?” tanya Inces merasa telah memilih lokasi shooting yang tepat, dan segera dia mengenakan jaket tebalnya.“Iya iya, enak banget!” ucap Dewik cepat-cepat seraya memelukku erat.Mungkin dia kedinginan. Badannya menggigil, dan kaosnya yang tipis itu melekuk, membentuk tubuhnya yang mengangumkan. Sehingga dalam tertegun aku berkata, “Kamu dingin?”“Iya, Mas. Dan tugasmu sekarang adalah memelukku.”“Woe woe woe, no! Sekarang kalian harus cepat kemas-kemas ke lokasi shooting. Ahmad Deddy dan kru udah nungguin daritadi di sana.”“Yah, kenapa kita nggak
Dua Tahun Kemudian.Kupandangi foto-foto pernikahan di dalam album. Lembar demi lembar kubuka perlahan, sesekali senyumku terbit. Hingga seketika ingatanku terseret kembali di hari pernikahan itu.Pagi itu, acara cukup meriah digelar di pelataran pondok. Tenda-tenda besar warna biru diberdirikan, lengkap dengan kursi dan meja dan tentunya pelaminan serba putih.Saat itu aku masih ingat, tamu udangan kebanyakan dihadiri oleh tamu dari Abah Yai, dan hanya sedikit sekali kawan-kawanku yang datang, paling-paling dari kawan-kawan Emak atau teman dari tetangga desa sebelah.Kang Bambang tentu saja tidak bisa pulang. Inces juga tidak hadir. Dan Dewik tentu saja tidak mungkin mendatangi acara tersebut. Meskipun ketiganya saat itu sudah kuberi undangan dan kabar, namun aku tahu jika mereka sedang sangat sibuk, mempersiapkan konser tour keliling Indonesia bersama Mbak Inul Daratista.Dan sekarang, 2 tahun sudah berlalu, tidak terasa.Pagi ini seperti
Seminggu Berlalu...Langit pagi yang cerah, sebagaimana cerah hati dan perasaanku. Hari ini adalah momentum bersejarah, sebab pada akhirnya, aku akan melamar seorang gadis anak Kiai, Aisyah.Sejak habis subuh, aku sudah sibuk mandi dan berdandan sangat rapi. Meskipun jarak rumah kami hanyalah selemparan batu, tapi aku tidak mau menyepelekan, apalagi kalau nanti sampai telat!Emak pun sudah ikut berdandan seraya mempersiapkan semua keperluan. Kotak-kotak yang berisi barang-barang seserahan, seperti jajanan pasar, baju-baju gamis, alat-alat mandi, roti, seperangkat alat rias, semua sudah tertata rapi di teras rumah, dibungkus kotak mika transparan serta diberi ikatan pita berwarna biru.Dan di antara kotak-kota besar itu, ada sebuah kotak kecil yang berisi cincin bbermata berlian biru. Mengilap terkena cahaya matahari pagi.Duh... cantiknya.Orang-orang mulai berdatangan di pagi yang masih ranum itu. Mereka adalah Pak Erte, Pak Erwe, serta beb
“Cincin siapa ini, Kir? Atau ini jangan-jangan mau diberikan ke Aisyah?” Emak berkata dengan masih menerawang cincin tersebut di bawah sinar matahari.Tampak berkilau dan terang, perhiasan itu jika ditilik sekilas memang sangat mahal.“Mmm, cincin itu sebenarnya punya Raline, Mak. Wanita itu yang memberikannya padaku. Dia bilang, suatau hari pasti akan berguna.”“Raline artis itu?”Aku mengangguk.Emak lanjut bicara dengan tertawa-tawa, “Woalah, ada-ada aja. Masak barang sebagus ini dikasihkan ke kamu?”“Memangnya itu bagus, Mak?”Emak mengendikkan kedua bahu. “Kalau pastinya ya Emak kurang tahu. Soalnya ini berlian. Tapi, Emak yakin harganya sangat mahal.”Tiba-tiba terbesit ide brilian. “Mak, pagi ini mau ke pasar nggak?”“Iya. Emak mau beli sayur buat masak.”“Yuk aku anterin, hehehehee. Sekalian manasin Vespa,
Awalnya aku tak ingin mengangkat. Lama telepon kubiarkan berdering. Tapi pada akhirya kuangkat juga panggilan tersebut.“Hallo?”“Mas...” suara Dewik serak, seperti baru saja menangis. “Kamu pulang tanpa pamit sama aku?”“Aku pikir kemarin kamu sedang sibuk.”“Tapi kalau sampai tidak pamit itu keterlaluan, Mas. Kita pergi ke Ibu Kota bersama, lalu sekarang kamu memutuskan untuk pulang dan menikai seorang gadis lain, aku terima! Tapi apakah berat mengucapkan pamit?”Sebentar aku diam. Suara seraknya semakin kentara.“Mas? Hallo?”“Aku tahu kamu sedang sibuk dengan seorang laki-laki muda pengusaha kaya raya. Sebab itulah aku sengaja tidak pamit. Aku taku ganggu.”“Astaga, Mas! Mas?”Telepon kututup. Singkat tapi padat, aku tak ingin bicara lagi dengan dia. Malam ini tidak tepat. Sebab aku ingin segera tidur, dan berharap m
Selepas shalat magrib aku langsung diajak Abah Yai menuju ke Ndalem. Memang benar ternyata, setelah shalat hatiku terasa lebih adem.Abah Yai mempersilakan aku duduk dan berkata, “Gimana? Sudah adem kan hatinya sekarang?”“Betul, Yai. Sudah enakan.”“Nah, makanya jangan pernah tinggalkan sholat, ya.”Aku hanya mengangguk.“Jadi gimana tadi, soal mau melamar Aisyah? Nak Cukir sudah janji sama Aisyah?”“Betul, Yai. Bahkan saya sekarang ini sudah tidak ikut ke grup dangdut lagi. Saya sudah keluar karena saya ingin melamar Aisyah.”Mendengarku bicara, Abah Yai membuang napas berat. Seperti ada penyesalan dalam dadanya.“Mmm, maaf, Nak Cukir. Aisyah sekarang sudah dilamar sama orang. Lebih tepatnya kemarin siang, rombongan teman Abah datang ke sini buat melamarkan putranya. Yah, sayang sekali. Padahal kalau Nak Cukir yang melamar duluan tentu saja Abah mau.”
Aku tiba di gang ujung desa saat hari hampir surup. Langit senja menguning keemasan, sebentar lagi pasti akan padam.Aku berjalan pelan dengan tangan membawa koper dan barang-barang serta sedikit oleh-oleh yang sengaja aku beli di stasiun tadi. Meski uangku telah habis, tapi membawa buah tangan adalah hal yang lumrah dan harus kulakukan.“Emak lagi apa, ya?” batinku girang merasa sudah rindu sekali dengan perempuan tua itu. Maka segera kakiku melangkah lebih melalui jalan desa yang becek, barangkali hujan baru saja reda.Begitu sampai di depan rumah, betapa aku kaget karena merasa asing dengan bangunan tersebut. Aku sampai mengucek-ngucek mata guna memastikan jika penglihatanku tidak keliru.“Apa benar ini rumahku?”Sebab rumah yang tadinya kurang layak pakai kini telah menjadi lantai dua. Emak pasti sudah memanggil tukang dan juga merehapnya. Semuanya di cat serba warna putih dan bahkan kami sekarang memiliki pagar da
Pagi yang cerah.Aku terbangun dengan mata masih berat, dan ternyata Kang Bambang tidur di sebelahku.Semalam dia ikut bantu-bantu mengemasi barang-barangku, dan sekarang, waktunya aku pulang ke desa untuk menemui Emak dan Aisyah.Ada perasaan sedih sebenarnya, mengingat bila selama ini perjalanan di Ibu Kota tidaklah mudah. Tapi, keputusanku sudah bulat sempurna, sehingga aku beranjak dari kasur kemudian mandi.Selesai mandi, aku menyisir rambutku agar rapi.“Kang, oi, bangun, Kang!” Badan Kang Bambang kugoyang-goyangkan, dan seketika matanya mengerjap.“Eh?”“Anterin aku ke stasiun, yuk!”“Kamu yakin mau pulang sekarang?” tanyanya sambil menguap.“Yakin lah.”“Nggak nunggu yang lainnya?”“Lainnya siapa?”“Dewik, Inces, atau Yudi Keling mungkin?”Kulihat di sekitar Markas. Sepi. Manusia-manusia yan
“Tolong berhenti di minimarket depan itu, Pak.”“Baik.”Setelah taksi merapat di bahu jalan, segera aku keluar dan mengambil 2 botol minuman. Satu untuk aku, satunya lagi untuk si supir.Namun ketika sampai kasir dan kuberikan kartu ATM, lagi-lagi ini eror.“Maaf, Pak, kartunya nggak bisa dipakai.”“Apa? Kenapa bisa begitu?”“Saya kurang tahu. Sepertinya ada yang memblokir kartu bapak.”“Mana mungkin, Mbak? Aku nggak pernah merasa memblokirnya.”Si kasir menyerahkan kartu tersebut dan berkata, “Kalau ada orang lain yang punya semua identitas bapak, mungkin saja dia yang melaukannya.”“Pasti ini ulah Inces!”“Maaf, Pak?”“Oh, nggak apa-apa. Mmm, kalau begitu saya bayar pakai uang tunai saja.”“Baik, Pak.”Dengan perasaan kesal aku menuju ke taksi dan langsung pulan
“Kenapa? Ada apa di meja VIP nomor tujuh?” tanyaku penasaran.Lita dengan wajah yang serius berkata, “Ada Mbak Dewik, Mas.”“Dewik?”“Iya. Sepertinya dia sedang mabuk berat. Barusan aku menyapa, tapi Mbak Dewik hanya ketawa-tawa seperti tidak mengenalku. Dan yang jelas, dia sedang bersama laki-laki muda yang mesum itu, berduaan saja,” pungkas Lita kemudian dia mengelap meja bar.Sial. Apa yang mesti kulakukan sekarang? Apakah aku harus pergi ke meja VIP nomor tujuh kemudian membawanya pulang? Atau aku biarkan saja dia, toh sekarang kami punya kehidupan sendiri-sendiri? Bingung. Aku benar-benar bingung.Malam semakin ramai. Pengunjung makin banyak memadati club, dan satu per satu mereka memesan minuman. Ada yang datang berdua membawa pasangan. Namun kebanyakan mereka atang sendirian, dan nanti berharap sepulang dari sini mereka akan membawa pasangan dalam keadaan mabuk kemudian melakukan kencan satu ma