BERISI ADEGAN 18+
ANDA BISA MELEWATI BAB INI DENGAN TANPA KEHILANGAN ALUR CERITA
TERIMA KASIH
***
Menurut Dewik, siang itu setelah menemui aku di Warung Kopi Mbok Bariyah dia langsung pergi ke tempat Juragan Turah menumpang ojek pengkolan. Namun sesampai di rumah Sang Juragan, ternyata tuan rumah tidak ada. Menurut istri ketiganya, Juragan Turah sedang pergi ke Kantor Desa.
“Untuk apa?” tanya Dewik kepada istri ketiga itu.
“Entahlah, Mbak. Tapi yang jelas, Juragan pergi dengan raut wajah marah.”
Mendengar itu Dewik merasa khawatir. Mungkin saja Sang Juragan gila itu sedang mengumpulkan lebih banyak masa dan akan menuntut balas kepadaku. Dia tentu saja tidak akan tinggal diam ketika tiga orang anak buahnya dihajar di Warung Mbok Bariyah.
“Yasudah, saya permisi dulu,” ucap Dewik segera pamit dan pergi ke Kantor Desa.
Masih menggunakan ojek yang sama, bergegas
Dewik menangis setelah bercerita panjang lebar. Bahunya berguncang dan napasnya tersengal satu-satu. Ada perasaan bersalah dari dalam hatinya, serta tentu saja dia sangat takut jika aku menjadi murka terhadapnya. Betina itu segera memelukku dengan erat dan di belakang telingaku dia berkata, “Apa kamu marah terhadapku, Mas?” suaranya parau.Alih-alih bersungut, aku lepaskan pelukannya hingga tampak kedua bola matanya yang basah. Aku tersenyum. “Aku tidak marah. Aku tidak mungkin marah padamu atas hal yang tidak bisa kamu kendalikan. Semua ini bukan salahmu. Jadi untuk apa aku harus murka kepadamu? Bukankah itu tidak adil?”Dia sangat lega ketika aku mengatakannya. Bibirnya dipaksakan tersenyum, meski matanya terus berderai air mata.“Aku cinta kamu.”“Aku juga,” jawabku.Selanjutnya kubaringkan tubuhnya yang lemah itu agar dia tertidur.“Sebaiknya kamu istirahat. Sebentar lagi pasti
Saat itu aku curiga, mengapa keributan di luar sana tetiba berhenti? Dan ternyata baru aku tahu jika inilah yang terjadi:Polisi datang ke rumah Juragan Turah dan segera menengahi keributan siang ini. Aku sengaja menggunkan kata ‘menengahi’, sebab anggota polisi yang datang jumlahnya tidak banyak, hanya 4 orang saja. Karena tentu saja, polisi di wilayah pedesaan seperti ini tidak ada wibawanya sama sekali, dan tidak punya kekuatan sebesar polisi yang berada di wilayah Ibu Kota. Di desa itu, keamanan tertinggi masih dipegang oleh kelompok preman-preman.Rombongan polisi itu muncul dari sebuah mobil sedan dengan cara yang dramatis, kemudian salah seorang polisi yang berkumis tebal itu segera melepaskan tembakan peringatan ke udara.Dorr!!“Berhenti kalian semuanya!”Kang Bambang yang melihat polisi tersebut segera menyuruh kelompoknya untuk berhenti. Begitu pula dengan kelompok anak buah Juragan Turah yang ikut membuang semua
Selesai dengan urusan polisi, aku langsung kembali pulang. Sepanjang jalan aku melihat warga desa sudah geger akibat kabar meninggalnya sang kepala desa itu. Mereka mulai menerka-nerka atas apa yang terjadi.“Katanya Juragan Turah dibunuh sama perampok.”“Bukan, katanya dia mati karena sakit jantung.”“Mana mungkin sakit jantung bisa sampai lepas kepalanya?”“Ya nggak tahu saya, katanya emang begitu.”“Oh…”Aku cuma mendengarkan obrolan orang-orang itu di sepanjang jalan, dan merasa senang sebab tidak ada satupun yang menyebut namaku sebagai tersangka. Sepertinya polisi sudah menutup kasus ini. Dan tentu saja Kang Bambang sudah bekerja dengan baik sehingga bisa menutupi namaku dalam kasus pembunuhan ini.Tempat pertama yang aku tuju bukanlah rumah, melainkan pemakaman umum. Di sini ramai warga sudah berkumpul. Setelah tadi jenazah Juragan Turah dimandikan, lalu dishola
Akhir-akhir ini Kang Bambang doyan melamun, terutma saat sedang berkumpul-kumpul seperti yang terjadi siang ini. Aku, Dewik, dan juga Mbok Bariyah sampai heran dengan tingkah lakunya, sebab laki-laki yang sudah berkepala empat itu seperti ABG saja kelakuannya.“Woi, Kang, kamu ini kenapa kok kopinya cuma dilihatin aja?” ucapku, tapi dia tak peduli.“Kang Bambang sehat, kan?” Dewik ikut menimpali, tapi laki-laki mantan preman itu tetap saja memaku matanya pada cangkir kopi dengan tatapan yang kosong.Mbok Bariyah yang ikut gemas pun akhirnya buka suara. “Dia itu kesurupan.”“Masak sih, Mbok?” Aku dan Dewik saling berbagi pandang.“Iya, aku udah berpengalaman ngadepin kayak gini.” Mbok Bariyah mendekati Kang Bambang dan mulai melihat-lihat matanya seperti seorang dokter yang tengah memeriksa pasiennya. Wanita tua itu mengangguk dan berkata, “Kesurupan penyakit paling mematikan di dunia
Tidak terasa sudah 1 minggu kami tinggal di desa. Maka sesuai perjanjian yang telah disepakati dengan Inces, kami semua harus kembali lagi ke Ibu Kota. Bekerja. Dan meniti karir untuk grup musik dangdut kami yang sebentar lagi akan bergabung dengan manajemen artis Laskar Cinta.Saat-saat yang seperti ini merupakan yang paling tidak kusukai, sebab aku harus pamit kepada orang-orang yang kucintai. Mulai dari Emak, Aisyah, Temu, Mbok Bariyah, dan tetangga-tetangga yang lainnya.Rasanya memang berat. Namun, sebagaimana roda kehidupan, setiap yang datang pasti akan pergi. Dan inilah daftar orang-orang yang kumintai pamit dan sekalian restu.****AISYAH.Kepadanya aku pamit ketika hari masih pagi. Aku datang ke Ndalem dengan membawa bubur candil yang Emak buat sebelumnya.“Untuk apa ini, Mas?” ucap Aisyah senang.“Untuk kamu dan juga Abah Yai. Tadi pagi Emak yang bikin sendiri.”&ld
Pagi ini kami berangkat. Seperti kemarin, kami telah menyewa travel yang akan mengantar kami sampai di stasiun, kemudian menyambung perjalanan menuju Ibu Kota naik kereta api.Meski hanya seminggu, namun banyak sekali yang sudah terjadi selama liburan kali ini. Dan lebih dari itu, aku bersyukur atas semua yang terjadi, dan sekarang saatnya pergi ke Ibu Kota untuk bekerja keras.Inces mengirim pesan agenda apa saja yang akan kami kerjakan begitu sampai di sana. Yang paling mengejutkan adalah kami tidak akan tinggal lagi di Hotel Rich Jalan Merdeka, namun sudah disewakan rumah kontrakan alias yang akan menjadi markas kami yang baru.Rasanya senang, sebab di markas yang baru kami bisa latihan dengan bebas. Namun ada sedikit perasaan kecewa juga, sebab itu artinya aku harus berpisah dengan wanita cantik yang kukagumi itu, yaitu Raline.Namun masih beruntung, sebab kata Inces, kepindahan kamike markas yang baru baru akan terjadi sekitar 3 hari lagi. Aku masih
Ibu Kota.Jam sudah menunjukkan pukul 21.00 begitu kami turun dari kereta api. Seketika kami langsung disambut oleh suasana sangat berbeda dengan di desa. Pedagang asongan menawarkan rokok dan minuman. Calo tiket mengejar kami menawarkan tiket kereta. Dan banyak orang lalu-lalang sambil bertelepon.Semua orang berjalan dengan langkah-langkah cepat, seperti sedang diburu oleh waktu. Begitu pula dengan kami yang mengejar taksi untuk segera pergi menemui Inces di Hotel.“Selamat malam, Pak, Bu. Mau diantar kemana?” sapa ramah si supir taksi.“Hotel Rich di Jalan Merdeka.”“Baik.” Dinyalakan argo taksi kemudian kami melaju.Ibu Kota tak pernah tidur, meski malam semakin melarut. Bahkan di jam segini kami pun terjebak macet di beberapa jalan-jalan protokol.Kang Bambang yang duduk di sebelah sang supir membuka jendela dan menyalakan rokok.“Boleh saya merokok?”“Oh silakan
Setelah perempuan yang disebut Mami itu menjelaskan panjang lebar, akhirnya kami tahu jika ini adalah tempat pijat relfeksi, yang utamanya berfokus pada kaki.“Di kaki itu terdapat saraf-saraf penting yang terhubung ke seluruh badan. Jadi, kalau kalian baru menempuh perjalan, paling cocok buat pijat di sini. Dijamin setelah itu semua pegal-pegal akan hilang, dan nanti malam tidur kalian pastilah nyenyak.”Aku mengangguk-angguk.Tapi, awalnya Dewik protes. Dia tidak mau jika aku akan dipijit oleh wanita-wanita cantik itu. Tentu saja betina itu cemburu.“Aku ingin laki-laki dipijit laki-laki, dan perempuan juga dipijit oleh perempuan,” katanya langsung.Mami tersenyum dan berkata, “Boleh saja, kebetulan kami juga punya terapis laki-laki dan juga perempuan.”Kang Bambang langsung kecewa mendengarnya.Seorang terapis perempuan datang setelah dipanggil oleh Mami. Kemudian dia ditugaskan oleh Mami untuk m
Dua Tahun Kemudian.Kupandangi foto-foto pernikahan di dalam album. Lembar demi lembar kubuka perlahan, sesekali senyumku terbit. Hingga seketika ingatanku terseret kembali di hari pernikahan itu.Pagi itu, acara cukup meriah digelar di pelataran pondok. Tenda-tenda besar warna biru diberdirikan, lengkap dengan kursi dan meja dan tentunya pelaminan serba putih.Saat itu aku masih ingat, tamu udangan kebanyakan dihadiri oleh tamu dari Abah Yai, dan hanya sedikit sekali kawan-kawanku yang datang, paling-paling dari kawan-kawan Emak atau teman dari tetangga desa sebelah.Kang Bambang tentu saja tidak bisa pulang. Inces juga tidak hadir. Dan Dewik tentu saja tidak mungkin mendatangi acara tersebut. Meskipun ketiganya saat itu sudah kuberi undangan dan kabar, namun aku tahu jika mereka sedang sangat sibuk, mempersiapkan konser tour keliling Indonesia bersama Mbak Inul Daratista.Dan sekarang, 2 tahun sudah berlalu, tidak terasa.Pagi ini seperti
Seminggu Berlalu...Langit pagi yang cerah, sebagaimana cerah hati dan perasaanku. Hari ini adalah momentum bersejarah, sebab pada akhirnya, aku akan melamar seorang gadis anak Kiai, Aisyah.Sejak habis subuh, aku sudah sibuk mandi dan berdandan sangat rapi. Meskipun jarak rumah kami hanyalah selemparan batu, tapi aku tidak mau menyepelekan, apalagi kalau nanti sampai telat!Emak pun sudah ikut berdandan seraya mempersiapkan semua keperluan. Kotak-kotak yang berisi barang-barang seserahan, seperti jajanan pasar, baju-baju gamis, alat-alat mandi, roti, seperangkat alat rias, semua sudah tertata rapi di teras rumah, dibungkus kotak mika transparan serta diberi ikatan pita berwarna biru.Dan di antara kotak-kota besar itu, ada sebuah kotak kecil yang berisi cincin bbermata berlian biru. Mengilap terkena cahaya matahari pagi.Duh... cantiknya.Orang-orang mulai berdatangan di pagi yang masih ranum itu. Mereka adalah Pak Erte, Pak Erwe, serta beb
“Cincin siapa ini, Kir? Atau ini jangan-jangan mau diberikan ke Aisyah?” Emak berkata dengan masih menerawang cincin tersebut di bawah sinar matahari.Tampak berkilau dan terang, perhiasan itu jika ditilik sekilas memang sangat mahal.“Mmm, cincin itu sebenarnya punya Raline, Mak. Wanita itu yang memberikannya padaku. Dia bilang, suatau hari pasti akan berguna.”“Raline artis itu?”Aku mengangguk.Emak lanjut bicara dengan tertawa-tawa, “Woalah, ada-ada aja. Masak barang sebagus ini dikasihkan ke kamu?”“Memangnya itu bagus, Mak?”Emak mengendikkan kedua bahu. “Kalau pastinya ya Emak kurang tahu. Soalnya ini berlian. Tapi, Emak yakin harganya sangat mahal.”Tiba-tiba terbesit ide brilian. “Mak, pagi ini mau ke pasar nggak?”“Iya. Emak mau beli sayur buat masak.”“Yuk aku anterin, hehehehee. Sekalian manasin Vespa,
Awalnya aku tak ingin mengangkat. Lama telepon kubiarkan berdering. Tapi pada akhirya kuangkat juga panggilan tersebut.“Hallo?”“Mas...” suara Dewik serak, seperti baru saja menangis. “Kamu pulang tanpa pamit sama aku?”“Aku pikir kemarin kamu sedang sibuk.”“Tapi kalau sampai tidak pamit itu keterlaluan, Mas. Kita pergi ke Ibu Kota bersama, lalu sekarang kamu memutuskan untuk pulang dan menikai seorang gadis lain, aku terima! Tapi apakah berat mengucapkan pamit?”Sebentar aku diam. Suara seraknya semakin kentara.“Mas? Hallo?”“Aku tahu kamu sedang sibuk dengan seorang laki-laki muda pengusaha kaya raya. Sebab itulah aku sengaja tidak pamit. Aku taku ganggu.”“Astaga, Mas! Mas?”Telepon kututup. Singkat tapi padat, aku tak ingin bicara lagi dengan dia. Malam ini tidak tepat. Sebab aku ingin segera tidur, dan berharap m
Selepas shalat magrib aku langsung diajak Abah Yai menuju ke Ndalem. Memang benar ternyata, setelah shalat hatiku terasa lebih adem.Abah Yai mempersilakan aku duduk dan berkata, “Gimana? Sudah adem kan hatinya sekarang?”“Betul, Yai. Sudah enakan.”“Nah, makanya jangan pernah tinggalkan sholat, ya.”Aku hanya mengangguk.“Jadi gimana tadi, soal mau melamar Aisyah? Nak Cukir sudah janji sama Aisyah?”“Betul, Yai. Bahkan saya sekarang ini sudah tidak ikut ke grup dangdut lagi. Saya sudah keluar karena saya ingin melamar Aisyah.”Mendengarku bicara, Abah Yai membuang napas berat. Seperti ada penyesalan dalam dadanya.“Mmm, maaf, Nak Cukir. Aisyah sekarang sudah dilamar sama orang. Lebih tepatnya kemarin siang, rombongan teman Abah datang ke sini buat melamarkan putranya. Yah, sayang sekali. Padahal kalau Nak Cukir yang melamar duluan tentu saja Abah mau.”
Aku tiba di gang ujung desa saat hari hampir surup. Langit senja menguning keemasan, sebentar lagi pasti akan padam.Aku berjalan pelan dengan tangan membawa koper dan barang-barang serta sedikit oleh-oleh yang sengaja aku beli di stasiun tadi. Meski uangku telah habis, tapi membawa buah tangan adalah hal yang lumrah dan harus kulakukan.“Emak lagi apa, ya?” batinku girang merasa sudah rindu sekali dengan perempuan tua itu. Maka segera kakiku melangkah lebih melalui jalan desa yang becek, barangkali hujan baru saja reda.Begitu sampai di depan rumah, betapa aku kaget karena merasa asing dengan bangunan tersebut. Aku sampai mengucek-ngucek mata guna memastikan jika penglihatanku tidak keliru.“Apa benar ini rumahku?”Sebab rumah yang tadinya kurang layak pakai kini telah menjadi lantai dua. Emak pasti sudah memanggil tukang dan juga merehapnya. Semuanya di cat serba warna putih dan bahkan kami sekarang memiliki pagar da
Pagi yang cerah.Aku terbangun dengan mata masih berat, dan ternyata Kang Bambang tidur di sebelahku.Semalam dia ikut bantu-bantu mengemasi barang-barangku, dan sekarang, waktunya aku pulang ke desa untuk menemui Emak dan Aisyah.Ada perasaan sedih sebenarnya, mengingat bila selama ini perjalanan di Ibu Kota tidaklah mudah. Tapi, keputusanku sudah bulat sempurna, sehingga aku beranjak dari kasur kemudian mandi.Selesai mandi, aku menyisir rambutku agar rapi.“Kang, oi, bangun, Kang!” Badan Kang Bambang kugoyang-goyangkan, dan seketika matanya mengerjap.“Eh?”“Anterin aku ke stasiun, yuk!”“Kamu yakin mau pulang sekarang?” tanyanya sambil menguap.“Yakin lah.”“Nggak nunggu yang lainnya?”“Lainnya siapa?”“Dewik, Inces, atau Yudi Keling mungkin?”Kulihat di sekitar Markas. Sepi. Manusia-manusia yan
“Tolong berhenti di minimarket depan itu, Pak.”“Baik.”Setelah taksi merapat di bahu jalan, segera aku keluar dan mengambil 2 botol minuman. Satu untuk aku, satunya lagi untuk si supir.Namun ketika sampai kasir dan kuberikan kartu ATM, lagi-lagi ini eror.“Maaf, Pak, kartunya nggak bisa dipakai.”“Apa? Kenapa bisa begitu?”“Saya kurang tahu. Sepertinya ada yang memblokir kartu bapak.”“Mana mungkin, Mbak? Aku nggak pernah merasa memblokirnya.”Si kasir menyerahkan kartu tersebut dan berkata, “Kalau ada orang lain yang punya semua identitas bapak, mungkin saja dia yang melaukannya.”“Pasti ini ulah Inces!”“Maaf, Pak?”“Oh, nggak apa-apa. Mmm, kalau begitu saya bayar pakai uang tunai saja.”“Baik, Pak.”Dengan perasaan kesal aku menuju ke taksi dan langsung pulan
“Kenapa? Ada apa di meja VIP nomor tujuh?” tanyaku penasaran.Lita dengan wajah yang serius berkata, “Ada Mbak Dewik, Mas.”“Dewik?”“Iya. Sepertinya dia sedang mabuk berat. Barusan aku menyapa, tapi Mbak Dewik hanya ketawa-tawa seperti tidak mengenalku. Dan yang jelas, dia sedang bersama laki-laki muda yang mesum itu, berduaan saja,” pungkas Lita kemudian dia mengelap meja bar.Sial. Apa yang mesti kulakukan sekarang? Apakah aku harus pergi ke meja VIP nomor tujuh kemudian membawanya pulang? Atau aku biarkan saja dia, toh sekarang kami punya kehidupan sendiri-sendiri? Bingung. Aku benar-benar bingung.Malam semakin ramai. Pengunjung makin banyak memadati club, dan satu per satu mereka memesan minuman. Ada yang datang berdua membawa pasangan. Namun kebanyakan mereka atang sendirian, dan nanti berharap sepulang dari sini mereka akan membawa pasangan dalam keadaan mabuk kemudian melakukan kencan satu ma