Hari ini, Amara akhirnya bisa merasakan kebebasan setelah beberapa hari terkurung di rumah sakit. Kini keduanya berada di dalam kendaraan roda empat, keheningan menemani mereka, membuat Kean yang biasanya selalu suka ketenangan kini mengeluarkan suara menghilangkan rasa canggung. Lelaki itu kini berbeda, dia bahkan saat Amara di rumah sakit, sama sekali tak pergi ke perusahaan. saat Amara bertanya kenapa tidak pergi bekerja saja, dengan wajah percaya diri dia berucap sombong."Aku bos mereka, mana ada yang berani memarahi karena cuma gak ke kantor." Amara hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala mengingat hal tersebut. Disaat wanita itu terus memandang ke depan, suara Kean memecahkan keheningan yang tadi tercipta. "Apa kamu mau minum," tawar Kean. Mendengar tawaran sang suami, wanita itu langsung menatap wajah lelaki tersebut. Ia menganggukan kepala dan senyuman mengembang dari bibir yang masih pucat. Karena sama sekali tidak memakai perona bibir, yang biasa dipakai. "Aku mau m
Mata Amara melotot mendapati lelaki yang dulu menyakitinya itu, ia langsung menarik lengan yang digenggam Fadli. "Ngapain kamu cari aku, ha!" sinis wanita itu. "Dan jangan pegang-pegang, bisa! Aku udah punya suami." Mendengar itu rasa sedih menghampiri, rasanya seperti ditusuk terus menerus tanpa jeda saat ditatap Amara yang begitu penuh kebencian. "Jangan gitu, Mara! Aku selalu mencarimu lho," lontar lelaki itu. Amara mendelik mendengar lontaran sang mantan suami, dia tidak memperdulikan nada suara Fadli yang menyedihkan. "Apa yang mau kamu omongin, kalau gak ada mendingan jauh-jauh deh," usir istri Kean ini.Tangan Fadli hendak kembali meraih lengan Amara, tetapi wanita itu segera menghindar membuat lelaki tersebut menatap kecewa. "Ayo kita rujuk, kamu emang yang terbaik, Mara."Wanita itu langsung mendelik lalu berdecak pelan. Dia bersidekap dan menatap sinis pada sang mantan suami. "Dulu kita pernah ketemu dan statusku udah bersuami, dan tadi juga aku udah bilang. Apakah ka
"Sepertinya kamu sangat bahagia, Fadli!" seru Kean. Lelaki itu tiba-tiba telah muncul di dekat mobil dan langsung membuka pintu kursi belakang dan mendaratkan bokong di jok.Kedua manusia yang berada di depan itu langsung menoleh ke jok belakang. "Mas." Panggilan Amara pada Kean membuat Fadli membulatkan mata. Lalu ia memandang manusia yang berbeda jenis kelamin itu secara bergantian. "Tuan Kean kok ada disini? Apa mobil anda mogok, jadi mau numpang di mobil saya. Dan ... Kamu marah, apa kamu kenal sama Tuan? Kenapa kamu manggilnya gak sopan gitu, harusnya kaya aku dong, manggil Tuan," lontar mantan suami Amara.Amara hanya melirik Fadli lalu kembali memandang suaminya. Ada tatapan kekhawatiran dari binar mata wanita itu, mungkin mengingat jika mantan suaminya memiliki pistol. "Saya mau jemput istri saya," sahut Kean datar. Lelaki itu langsung mengarahkan pistol yang berada di saku ke arah kepala Fadli. Membuat pria tersebut sangat terkejut, bahkan Amara sampai membulatkan mata.
Dua bukan berlalu, Amara tenggelam dalam mengelola rumah makan yang dihadiahi sang suami. Setiap hari, ia akan datang lebih awal, membantu melayani pelanggan dengan senyuman terus membingkai di bibir. Tidak hanya itu, dia juga selalu ada untuk karyawannya, memberikan bantuan dan kadang motivasi. membuat mereka merasa dihargai walau hanya seorang pegawai. "Sebenernya senang banyak banget pelanggan, tapi ... aku bahkan sempat istirahat dan mengisi perut," keluh Tiara. Perempuan itu memegang perutnya dan tanpa sengaja Amara mendengar gerutuan karyawati tersebut. Ia segera menutup pintu dapur dan mendekati Tiara, tangan pemilik rumah makan ini menepuk bahu pegawainya. Membuat sang empu terkejut. "Eh, Mbak ada di sini," kata Tiara. Suaranya terbata-bata karena gugup, bahkan menggaruk leher padahal tidak merasa gatal. "Iya, baru aja masuk dan denger apa yang kamu keluhin." Mendengar hal itu Tiara menundukan kepala dan memilih-milih pakaian membuat Amara terkekeh. "Gak usah gak enak, h
Arum langsung bungkam mendengar apa yang dilontarkan oleh mantan menantunya. Lalu saat tersadar segera mengajak teman arisan untuk pulang."Kalau kamu emang pemilik rumah makan ini, kamu harus mentraktir kami dong. Jadi aku gak akan membayar pesanan yang di meja ini semua," seru Arum.Wanita itu menyeringai setelah berkata demikian, lalu ia segera berbalik dan melangkah menjauh. Tetapi hal yang ditunggu tidak keluar dari bibir Amara, ia lekas mendekati istri Kean lagi."Kenpa kamu gak menghentikanku, huh! Jangan terlalu sok," cecar Ibu Fadli.Mendengar itu Amara memiringkan kepala, lalu menatap malas Arum."Buat apa aku ngelarang kamu pergi, kalau mau pergi ya pergi aja," balas Amara.Mantan mertuanya itu merasa kesal karena sama sekali tidak menemukan riak ketakutan di wajah Amara."Buat bayar ini semua lah, kamu pasti tau kalau makanan yang dipesen itu mahal semua. Kamu mana mampuh bayarnya, bahkan gajimu juga mungkin masih kurang."Istri Kean ini hanya menatap datar mantan mertuany
Dadanya langsung dihantam rasa sesak mendengar hal itu, seperti jantung sedang ditikam berkali-kali, berdarah dan terluka sangat menyiksa. Dia berusaha menahan gejolak emosi yang menyerang, tetapi sangat sulit dikendalikan. Mata wanita itu berkaca-kaca, menahan agar tidak tumpah di hadapan mereka. Tangan Amara meremas pakaian dengan erat, mencoba mencari pegangan dalam kekacauan hati. Dia sudah tak tahan, memilih berlari meninggalkan mereka. Melangkah dengan kaki yang terasa berat, seolah tengah membawa beban dunia. "Kenapa sesakit ini," batin Amada menjerit. Sangat sulit menggambarkan bagaimana kacaunya pikiran wanita itu dan keadaan hati istri Kean ini. Ia meremas dan memukul dada, mencoba melakukan seperti itu agar meredakan rasa sakit yang menghantam. Suara sang suami yang memanggil terdengar jauh di telinga, namun karena sesaknya dada ia memilih mengabaikan panggil itu. Karena lelaki tersebut dia rasa tidak mengejar. "Bahkan ini lebih menyakitkan dari pada saat Mas Fadli me
Kean yang melihat riak kekecewaan di wajah sang istri segera menggenggam jemari wanita itu. "Kita bahan ini di rumah aja yuk," ajak Kean lembut. Tatapan lelaki itu sangat berbeda saat memandang istrinya. Berpikir ini memang bukan tempat yang pas untuk membicara urusan rumah tangga mereka, Amara menganggukan kepala lalu Kean segera membayar minuman yang tadi ia teguk, tidak lupa membayar punya sang kekasih juga. "Oh iya, kita mampir dulu ke minimarket, buat beli susu, soalnya susu kamu kan habis," seru lelaki tersebut.Mendengar hal itu Amara mengangguk kepala, lalu Kean langsung tersenyum. Dia lekas membuka pintu mobil dan membantu sang istri untuk masuk ke kendaraan roda empat miliknya. Ia lekas melajukan transportasi ini, setelah mampir ke minimarket, lelaki berstatus anak Selena tersebut segera pergi ke kediaman sang Oma. Sedangkan Amara wanita tersebut terlelap, Kean melihat sang istri tidur hanya mengembangkan senyuman. Dia memilih membangunkan perempuan itu, dan saat membuka
Wanita hamil itu tenggelam dalam lamunan, tetapi tangan terus bergerak melakukan pekerjaan. Sampai ia tanpa sengaja melukai jari telunjuknya sendiri. Cairan berwarna merah langsung terlihat, Selena yang baru sampai melihat adegan tersebut segera berlari mendekat. "Mara! Jari kamu berdarah," pekik wanita itu.Sang mertua segera menyambar lengan Amara, mendengar ucapan Selena. Wanita itu tersadar dari lamunan, ia meringis mulai merasakan perih. Oma Ica langsung mendekati istri cucunya lalu melihat jari Amara dan dengan cepat menyalakan keran lalu membersihkan luka tersebut di air mengalir. Sedangkan Selena bergegas mengambil obat merah dan plester. "Jangan berisik, jangan sampe Kean tau," seru Oma Ica. Amara mengangguk menyetujui ucapan sang Oma, sesekali ia meringis menahan sakit luka di jari yang tengah dibersihkan. "Bener kata, Oma. Jangan sampe dia tau. Kalau dia tau bisa ribet, dia heboh banget kalau aku kenapa-napa."Mendengar perkataan sang Ibu dan menantunya, Selena merasa se
Arum mendorong Fadli ke kamar lelaki itu, sedangkan sang anak langsung tertawa. "Ibu, nanti jangan lupa kasih Fadli, adik ya," kelakar lelaki tersebut. Wanita itu langsung mendaratkan cubitan pada anaknya. "Kamu ...!" Setelah berkata demikian wanita itu memilih pergi meninggalkan putranya. Dari pada meladeni perkataan pria tersebut, malah semakin membuat pipi memerah karena malu. "Aku pengen kamu selalu bahagia." Fadli berkata demikian saat memandang punggung Ibunya yang mulai menghilang. ***Waktu terus berjalan, tidak terasa tiga bulan telah dilalui. Arfa telah pensiun dan digantikan oleh sang putra. Lelaki yang berstatus duda ini sangat cekatan dalam mengurus perusahaan milik Ayahnya. Fadli mengembuskan npas panjang saat merasakan penuh kepuasan laly mendudukan bokong ke kursi kebesaran. "Akhirnya semua udah beres, udah terkendal." Lelaki itu bermonolog, rasa syukur yang sangat dalam. Fadli memejamkan mata kala kepala bersandar. "Kangen iu sama Manda, udah seminggu sibuk d
Dia segera mendekati Arum lalu memegang kedua pipi wanita itu. Air mata berjatuhkan, lalu Ibu Fadli menundukan kepala. "Apa kamu beneran Mas Arfa? Aku gak lagi mimpi kan," lontar Arum pelan. Arfa segera membuat Arum menatapnya, dia menggelengkan kepala. "Iya, Rum. Ini Mas, ternyata ini beneran kamu, aku selalu cari kamu lho selama ini." Pria tersebut segera menarik Arum dalam dekapannya, suara sesegukan terdengar. Nesa paham situasi sekarang, ia segera mengajak Ayah mertua dan Ibu Fadli untuk mengikuti dia.Kedua makhluk yang baru saling bertemu itu saling bertautan tangan, Nesa mengajak mereka ke ruangan. Segera menyiapkan minuman untuk mereka."Di mana anakku, Mas?" tanya wanita itu. Arum bertanya setelah Nesa pergi dari ruangan ini. Arfa langsung diam, lalu menundukan kepala. "Dia udah berada di sisi Allah, Rum. Dia juga udh punya seorang putri yang cantik, Nesa, istri almarhum anaj kita," jelas Arfa. Arum menangis mendapati tidak akan pernah lagi bertemu anak pertamanya. Ar
Kean memandang wanita yang melahirkannya sebentar lalu memalingkan wajah. Sedangkan Oma Ica segera mendekati sang putri dan mendekap agar Selena tenang. "Maaf jadi buat kalian panik, kalian mau nginep di sini? Kami juga mau nginep soalnya. Enak kan kalau rame-rame gini, sambil jagain Amara, lontar Oma Ica. Mendengar tawaran Oma Ica, mereka saling menatap sedangkan Kean hanya fokus menatap istrinya. Tangan lelaki itu terus menggenggam jemari Amara, Amanda langsung menganggukan kepala membuat Ibu Selena hanya tersenyum melihat gadis kecil ini. "Kamu udah besar ya, Manda. Sini sama Oma gendong," seru wanita itu. Dia segera menganggukan kepala lalu meminta sang Bunda agar menurunkannya. Kini Amanda beralih ke gendongan wanita tersebut. "Manda mau nginep gak? Bantu nemenin Tante Ara." Amanda langsung menganggukan kepala dan mengiyakan ucapan Oma Ica. Gadis kecil itu segera menatap Nesa yang dibalas anggukan sang Ibu, lalu tatapan Amanda beralih ke Arum dan Fadli. "Ayah ... Manda pen
Mantan suami Amara ini telah ditangani oleh dokter pribadi keluarga Kean. Pria tersebut masih terbaring lemah di atas ranjang, netranya masih tertutup rapat. Padahal dua jam telah berlalu, Amanda memandang cemas lelaki yang dipanggil Ayah. Air mata bercucuran, karena tidak bisa melakukan apapun untuk Fadli, dia memegang lengan pria tersebut. "Ayah ... ayo dong bangun! Jangan buat Manda takut, Manda minta maaf gara-gara ninggalin Ayah." Isakan terdengar sangat memilukan, ia bahkan mendaratkan bibir berkali-kali ke punggung tangan lelaki itu. Nesa, melihat keadaan sang anak, ia segera merengkuh tubuh kecil putrinya. Menepuk-nepuk berusaha menenangkan, saat Amanda sudah tidak menangis, dia langsung membenamkan wajah di dada perempuan yang melahirkannya. Sementara itu, Fadli mulai menunjukkan tanda kesadaran. Dia menggerakan jari, tetapi mata masih tertutup rapat. "Aku kenapa," ucapnya lemah. Mendengar suara sang anak, Arum langsung mengusap kening Fadli dan mendorong rambut agar tida
Suami Amara ini segera menerima semua hadiah dari Nesa, lalu meminta sang pembantu untuk lekas menyimpan di setumpuk kado. Tatapan tak senang masih terpancar di manik mata pria tersebut. Dan ia mengerutkan kening kLa melihat Fadli yang di pegangi Arum, bahkan tangan satu memegang tongkat. "Kenapa lo bawa mereka sih," ketus lelaki itu. Nesa mengangkat sebelas alis dengan ucapan ketus sang teman. Ia memandang suami Amara dengan tatapan keheranan. "Emangnya ada masalah? Mereka cuma mau liat jenguk Ara sama anaknya lho ...." Jawaban Nesa mendapatkan dengkusan dari lelaki itu. "Bener ternyata, ternyata lo kenal sama mereka," ucap suami Amara. "Nih gue kasih tau, gue gak suka liat mereka tau gak!" Kean sama sekali tidak menyembunyikan rasa bencinya, membuat Arum meremas tangan anaknya. Sedangkan Fadli menelan ludah, ia memang tidak bisa melihat riak marah suami Amara ini. Tetapi mendengar suara dan hawa di ruangan tersebut membuat Fadli seperti kesulitan bernapas. "Maafin saya, Bos.
Beberapa bulan berlalu, Fadli telah terbiasa dengan keadaannya. Ia bahkan hafal setiap sudut kediaman Arum dan Nesa. Ia menjual rumah tempat dulu ia tinggali bersama Amara. Agar tidak terus larut dapat penyesalan, karena menelantarkan wanita sebaik Amara. "Yah ...." Amanda segera berlari saat melihat Fadli berada di dekat pintu masuk, gadis kecil itu langsung menggenggam jemari pria tersebut. "Apa, Sayang ...," sahut lelaki itu. Tangan pria itu beralih memegang puncuk kepala gadis kecil tersebut, Amanda tersenyum lebar walau lelaki di hadapannya ini tidak melihat senyuman yang begitu manis. "Ayah ... Manda seneng banget akhirnya ketemu Ayah," ungkap Amanda. Gadis kecil itu membawa Fadli agar dia duduk di kursi yang ada si depan pintu, lalu dia duduk dipangkuan lelaki tersebut. "Om juga seneng, Manda," sahut Fadli. Dia mendekap dengan penuh kasih sayang anak Nesa, ia sudah sangat menyayangi gadis kecil itu. "Ayah ... kenapa gak ikut ke rumah Grandma dan Granpa? Padahal di sana
Siska langsung terdiam saat mendengar perkataan Nesa. Ia memilih pergi tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, menebalkan wajah saat meninggalkan tempat ini. "Untung aku tadi belum bawa ke kasir, kalau udah bisa malu banget," batin wanita tersebut. Dia hanya membawa uang senilai lima ratus ribu, ia kjra baju hanya seharga dua ratusan aja ternyata sebesar gaji sebulan. "Maaf, Nes. Buat keributan di butikmu," kata Arum. Nesa langsung memandang Arum saat wanita itu berkata demikian, memang ia yang menyuruh agar Ibu Fadli ini memanggil nama saja tanpa ada embel-embel. "Udahlah, Bu. Mendingan kita jenguk anakmu aja, soalnya Manda pengen ketemu." Arum langsung menganggukan kepala dan menceritakan jika putranya sudah dikasih tau siuman oleh pihak rumah sakit. Amanda segera meminta Bundanya lekas pergi sekarang. Kini mereka sampai di tempat dimana orang berobat, setelah membuka pintu anak Nesa ini mendaratkan pelukan di lengan Fadli membuat pria tersebut terkejut."Ayah ...." Suara Amanda
"Tuh udah dibolehin sama Grandma, sekarang ayo kita pergi ketemu Tante Ara dulu ya. Grandma juga di ajak kok, soalnya kita mau pergi ke butik dulu," jelas Nesa. Amanda mengangguk lalu tangannya terulur meminta digendong, Nesa segera menyambut hal tersebut. "Mereka sangat baik, padahal kami baru bertemu beberapa kali. Beda banget sama aku. Aku memandang orang dari statusnya, bahkan menghina Amara ...." ***Ibu Fadli menatap langit malam, karena sang putra masih berada di rumah sakit. Ia kini hanya sendiri di kediaman, biasanya dulu ia berbincang dengan lelaki yang dulu ia kandung selama sembilan bulan itu. Matanya terpejam mengingat kenangan peristiwa tadi, ternyata wanita yang menolong mereka, berjanjian bertemu dengan Amara.Dunia sangat sempit bukan? dia dipertemukan lagi dengan mantan istri anaknya, perempuan yang dulu ia hina kini malah hidup sangat enak. Kalau saja tau mungkin ia memilih tak ikut, karena diri sangat malu akibat Amara sangat beda memperlakukannya. Dikira akan me
Arum segera berlari mencari tempat untuk berteduh, mengingat di kantongnya ada uang. Wanita itu segera merogoh saku lalu memandangi benda yang lumayan basah. Isi dompet yang hanya ada tiga ratus lima puluh rupiah, hasil kerja keras di tempat yang tadi memecat. Ia memang selalu meminta digaji perhari, memandang guyuran hujan yang sekarang lumayan tidak derai segera menerobos karena ingin segera ke rumah sakit. "Aku harus buru-buru nyari kerjaan lagi, tapi di mana ya ...." Arum bergumam lalu segera memasuki uangnya lagi ke dompet dan segera ia taruh di kantong dan segera menerobos hujan. Seseorang mengeryitkan kening kala lalu segera memanggil wanita itu sangat mengenali wajah Ibu Fadli. "Bu ... sini! Cepat masuk mobil, diluar hujan lho," seru perempuan itu. Merasa familiar dengan suara wanita yang memanggilnya, Arum segera mendekat lalu mengeryitkan alis dan segera masuk setelah mengenali wajah Nesa. Lagian tubuhnya menggigil karena kedinginan. "Ini Grandma, pake handuk Manda aja,