Sora menutup laptopnya, ia beralih menatap Tiano yang diam memainkan bolpoin di tangannya. Laki-laki itu nampak berpikir keras dan wajahnya terlihat sangat emosi. Sora takut sekedar untuk bertanya apa yang terjadi dengan Tiano. "Pak Tiano," panggil Sora, gadis itu berdiri dari duduknya. Tiba-tiba Sora mendekat dan duduk di hadapan Tiano menunjukkan senyuman manisnya. "Apa minuman yang Pak Tiano suka? Biar saya buatkan di dapur belakang," ujarnya dengan wajah antusias. Tiano menatapnya, entah kenapa kesalnya pudar saat gadis ini tersenyum. "Emmm... Aku sangat menyukai es kopi," jawab Tiano. Lantas gadis itu meraih sebuah bolpoin dan kertas di atas meja milik Tiano. Dia menuliskan minuman yang Tiano inginkan. Sora berdiri menegakkan tubuhnya menunjukkan kertas yang dia bawa. "Pesanan akan segera tiba, Pak Presdir!" serunya terkekeh manis. Senyumannya itu dibalas oleh Tiano dengan anggukan manis. Dia pun berlalu membawa kertas itu di tangannya. Sora berjalan mencari dapur di s
Sora berada di dalam kamarnya. Bahkan hingga malam ini gadis itu tidak keluar sama sekali. Di dalam kamarnya yang gelap, hanya cahaya bulan dari luar, dan lampu tidur kecil yang menyala. Sora tengkurap diam di balik selimut menatap boneka anjing kecil miliknya, pemberian Ibunya saat ia masih kecil, dan Sora masih menyimpannya dengan baik. Gadis itu memeluknya seraya menatap ke arah jendela. "Bu... Aku sedih sekali hari ini. Tadinya aku dan dia baik-baik saja, tidak ada masalah apapun antara kami. Tapi... Sora sedih, ternyata dia sudah punya calon istri. Dan Sora harus menjadi orang yang berada di tengah-tengah mereka. Sora melakukan ini demi Ibu, bahkan bila Sora dibenci banyak orang nantinya, semoga Ibu satu-satunya orang yang tidak membenci Sora." Gadis itu tersenyum kecil, dia membalikkan badannya dan menarik selimut tinggi-tinggi. Dia jam yang lalu Sora menyelesaikan pekerjaannya, malam ini Tiano pergi dengan Aldo, hingga Sora sendirian di rumah. Namun beberapa menit kemudian
Pagi ini Sora membawa keranjang rotinya masuk ke dalam kantor. Gadis itu memasang wajah antusias luar biasa. Ia menoleh pada Tiano yang kini disambut oleh Queen di depan sana. Meskipun ada perasaan sedih yang tidak seharusnya, namun Sora bersikap biasa saja. Dia tidak boleh terlalu percaya diri. 'Sora, kau tidak boleh seperti ini. Kau harusnya bersyukur sudah ditolong, bukannya malah berharap lebih seperti orang yang tak tahu terima kasih,' batin gadis itu memarahi dirinya sendiri. Di posisi Tiano, laki-laki itu sangat jengah menghadapi Queen yang tidak mengerti kata cukup. "Nanti aku ikut denganmu pulang, aku sudah meminta izin pada Papaku, dan Papa memberikanku izin," ujar gadis itu mencekal telapak tangan Tiano. "Atau bagaimana kalau kita pergi ke tempat lain saja?" "Aku sibuk, jangan menggangguku!" Tiano melepaskan tangan Sora. Namun gadis itu mencengkeram semakin erat dan memberikan tatapan sedih. "Kenapa kau masih seperti ini padaku, Tiano? Yang lalu biarkanlah berlalu...
"Tak terasa sudah satu minggu lebih aku di sini. Bukannya kita harus menjenguk Ibu?" Sora mendongak menatap Tiano seraya berjalan di lorong kantor. Laki-laki itu berjalan merangkul pinggangnya seperti seseorang merangkul kekasihnya sendiri. "Heem, mau kapan menjenguk Ibu? Malam ini, atau besok menunggu hari libur?" tanya Tiano menunduk melirik wajah cantik Sora. "Kalau menunggu besok, pasti akan lama. Tapi kalau malam ini, perjalanan kan jauh, kita-""Kita bisa menginap di hotel untuk istirahat sambil menunggu pagi." Tiano menyela cepat. "Ohhh, begitu ya? Hemm... Hutangku menumpuk sekali padamu. Pakai acara menyewa kamar hotel segala!" Sora menangkup kedua pipinya sendiri dengan ekspresi resah.Hanya kekehan yang menjadi jawaban dari Tiano. Laki-laki itu tetap merangkul erat tubuh Sora bahkan ketika keduanya kini sampai di lantai satu. Sora berusaha menyingkirkan tangan Tiano, namun bukannya menyingkir, malah bertambah erat tangan itu. "Semua orang melihat kita," bisik Sora me
Perjalan malam ini menuju Scarborough sejak beberapa jam yang lalu. Tiano bersama dengan Sora yang diam saja selama perjalanan. Mereka berdua tidak membawa banyak barang, Tiano mengatakan lebih baik membelikan oleh-oleh untuk Ibu Sora saat tiba di Scarborough. "Kita cari penginapan, aku tidak bisa mengemudi saat lelah," ujar Tiano. Sora menoleh dan mengangguk paham. "Iya, istirahat dulu. Kepalaku juga pusing, ngantuk." Mendengar hal itu, Tiano lantas mengulurkan tangannya mengusap pucuk kepala Sora dengan lembut. Mobil hitam milik Tiano langsung berbelok memasuki sebuah kawasan hotel berbintang. Sora hanya diam menatap sekitar, mereka berdua pun keluar dari dalam mobil saat itu juga. "Wahh, kita menginap di sini?" tanya Sora menunjuk ke dalam hotel."Kenapa memangnya? Kau mau tidur di dalam hotel atau tidur di mobil?" tawar Tiano terkekeh. Gadis itu tersenyum manis dan memukul lengan Tiano dengan kesal. "Aku ikut denganmu." Mereka berdua memesan kamar, Sora mengerjapkan kedua
Sapaan itu membuat Sora terdiam bergeming. Ia menunjukkan senyuman tipisnya dan menyembunyikan wajahnya di balik selimut seketika. "Ini sudah jam enam," ujar Sora beranjak duduk. Gadis itu menatap pemandangan dinding kaca luar yang buram karena embun pagi. "Cepat bersihkan tubuhmu, mandi dan bersiap melanjutkan perjalanan," ujar Tiano sembari mengusap rambut panjang Sora. "Masih dingin," balas gadis itu membalikkan badannya menatap Tiano.Laki-laki itu terkekeh. "Kalau mau hangat, kembalilah ke pelukanku, Sayang..." Kedua pipi Sora bersemu saat Tiano memanggilnya dengan sebutan Sayang. Lantas Sora kembali berbaring dan meringkuk ke arah Tiano. Kembali Tiano menutupkan selimut pada tubuh kecil itu dan memeluknya dengan erat. "Bu Queen pasti marah kalau melihat kita seperti ini," ujar Sora tiba-tiba seraya menggigit ujung ibu jarinya. "Dia tidak punya hak untuk marah, apalagi padamu." Tiano menunduk menatap Sora. "Queen tidak sebaik seperti yang orang lain lihat, Sora." "Hemm,
Sora menyelimuti Hima yang sudah tertidur beberapa menit yang lalu. Gadis itu berdiri di samping brankar di mana Ibunya berbaring. Wajah Sora menunjukkan ekspresi yang tidak bisa dijelaskan. Antara sedih, terharu, dan Sora bersyukur bisa melihat senyuman Ibunya lagi. "Sudah, ayo kita pulang," ajak Tiano, laki-laki itu mengusap punggung Sora. "Heem, Iya." Sora mengangguk, gadis itu mendekati Ibunya dan mengecup pipinya. Setelah itu barulah mereka berdua berjalan keluar. Pintu kaca ditutup pelan-pelan oleh Tiano. Di depan ada seorang perawat yang akan masuk menemani Hima. Sora memperhatikan Tiano yang nampak berbincang dengan perawat perempuan itu sebelum ia kembali mendekati Sora. "Ada apa?" tanya Sora mendongak menatapnya. "Tidak papa, pengobatan Ibu akan terus berjalan. Sampai Ibuku kembali benar-benar pulih." Senyuman lembut terukir di bibir Sora, tak bisa diartikan betapa senangnya ia kali ini. Mereka berjalan di lorong rumah sakit berduaan. Helaan napas panjang terdengar
Suasana kantor sangat sibuk pagi ini, Sora juga mondar-mandir mengantarkan berkas di beberapa ruangan. Dan kini pun gadis itu berada di lantai satu tengah mencetak beberapa berkas. "Ada Pak Tino, tumben sekali dia ke sini, mungkin mau bertemu Pak Presdir." "Mereka sangat mirip ya?" Suara desas-desus itu membuat Sora menoleh ke depan sana dan melihat ada apa hingga para karyawan itu pagi-pagi sudah heboh. Sora mengerutkan keningnya bingung. Sampai akhirnya seorang laki-laki berbalut kemeja katun putih dengan lengan panjangnya yang digulung hingga siku, berdasi merah, dan tuxedo yang ia sampirkan di lengan kirinya, berjalan santai masuk ke dalam kantor. Kedua mata Sora membulat melihat laki-laki itu. "Persis sekali dengan Tiano? Tapi... Dia terlihat seperti orang yang santai, dari cara berpakaiannya sudah terlihat jauh tidak seperti Tiano yang super perfeksionis," gumam Sora. Setelah melakukan pekerjaannya, Sora pun bergegas kembali ke ruangan Tiano.Gadis itu mendengar suara ta
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut