Aldrich kembali membeli Ramen, kini ia menemani istrinya makan. Menyuapinya dengan perlahan hingga Tiana tiba-tiba tertidur sebelum makannya selesai. Ia tidak membangunkannya, melihat wajah Tiana yang begitu lelah, Aldrich tidak tega. "Kau pasti lelah, Sayang?" bisik Aldrich mengecup pipi Tiana dan membaringkannya perlahan. Aldrich menyelimuti dengan hangat, menemaninya beberapa menit sekedar menatap wajah cantik istrinya. Barulah itu melangkah keluar dari dalam kamar. Di depan pintu Aldrich melihat Bibi berdiri di sana menatapnya dengan tatapan khawatir. "Tuan, Nyonya baik-baik saja kan? Makannya tidak habis, ya?" Anggukan Aldrich berikan. "Iya Bi. Mungkin dia masih marah padaku." Wajah Aldrich menjadi sangat kecewa. Bibi menatapnya dengan tatapan kasihan, wanita itu menghela napas. Aldrich sendiri juga tahu betul kalau Bibi sangat menyayangi Tiana dan begitu perhatian sekalipun Tiana meminta hal yang aneh-aneh padanya. "Nyonya Tiana sangat sensitif, Tuan. Di masa kehamilanny
Seperti seorang bocah yang semua keinginannya harus dipenuhi, Tiana sungguh mengajak Aldrich ke rumah Mami dan Papinya. Bisa tidak bisa ia ingin mengadukan suaminya itu pada Papinya, biar dimarahi dan tidak mengulang kesalahan yang sama. Tiana pun langsung berjalan masuk ke dalam rumah begitu sampai. "Mami...!" pekiknya keras-keras berjalan masuk ke dalam. "Mam... Mami!" "Heh! Teriak-teriak aja!" sahut Tino dengan nada tinggi. "Mami mana? Papi mana?" tanya Tiana menatap Tino yang duduk di sofa ruang keluarga sembari bermain game di televisi. "Cari Tiana! Ya ampun, kebiasaan sekali sih! Punya kaki, mata juga sudah disambung dengan kaca mata, cari!" pekik kembarannya itu masih fokus pada game yang dia mainkan. Saat itu juga Tiana meraih bantalan sofa dan melemparkannya ke arah Tino seketika."Tidak usah marah juga! Tiana itu juga punya perasaan tahu!" pekik Tiana merengek. Keributan itu membuat Aldrich menghela napasnya panjang-panjang. Laki-laki itu berdiri di ambang pintu mena
"Kau kemarin-kemarin memarahi Tiana, ya?" Pertanyaan itu dilontarkan oleh Tino pada Aldrich saat ada Sebastian, juga ada Tiano pula di ruangan yang mereka tempati saat ini. Aldrich mengangguk, Sebastian langsung menutup berkas di tangannya dan menatap lekat pada menantunya. "Perkara apa, Al?" tanya Sebastian. "Panjang ceritanya, Pi." Aldrich memasang wajah menyesal. "Emmm, kau membentak Tiana?" tanya Tino sekali lagi, dia menggaruk pelan pipinya dan mengela napas. "Aku tidak bermaksud ikut campur, hanya saja tadi adikku mengadu, katanya kau membentak dia..." Aldrich mengangguk lagi, dan Sebastian belum meresponnya. "Ya, aku kesal padanya karena dia pergi tanpa pamit. Ternyata dia menghubungiku dan aku sibuk sejak pagi tidak membuka ponsel. Aku tidak sengaja bertemu dengan Tiana di rumah makan, dia bersama Renhard. Sejak dulu... Aku tidak suka dengan laki-laki itu." Penjelasan dari Aldrich didengar oleh semua saudara-saudara Tiana, begitupula Papinya yang menganggukkan kepalany
Beberapa Bulan Kemudian..."Aldrich mau ke mana? Bisa tidak di rumah saja temani Tiana, malam ini saja boleh 'kan?" Tiana memasang wajah sedih, gadis itu memegangi kemeja bagian belakang yang suaminya pakai. Aldrich menoleh ke belakang menatap sang istri. Ia tersenyum manis pada istrinya yang begitu manis malam ini."Iya Sayang, aku tidak akan ke mana-mana. Lagian aku pergi juga cuma dua hari kemarin ini. Tiana juga di rumah Papi," jawab Aldrich seraya meletakkan tuxedo hitamnya di atas sandaran sofa. Tiana tersenyum manis, gadis itu langsung duduk di sofa begitu suaminya menepuk tempat di sampingnya. "Duduk di sini, Sayang..." "Heem," jawab Tiana bergumam. Gadis itu langsung duduk di samping Aldrich. Laki-laki itu tersenyum manis mengulurkan tangannya mengusap perut Tiana yang sudah terlihat besar. "Apa dia nakal seharian ini?" tanya Aldrich menatap sang istri. "Emm, tidak kok..." Tiana menatap permukaan perutnya yang diusap oleh Aldrich. Mereka berdua tersenyum membayangkan
"Mulai hari ini aku tidak ke kantor lagi, semua urusan kantor aku serahkan pada Samuel dan Virgo! Aku menemani istriku di rumah, dia sedang hamil besar." Aldrich nampak berbicara dengan seseorang di telepon, laki-laki itu duduk di kursi kerjanya, sementara Tiana diam memandangnya saja.Panggilan mereka tertutup, barulah Tiana menghela napas. "Aldrich memangnya mau libur berapa hari?" tanya Tiana menatap suaminya. "Emmm, tentu saja sampai anak kita lahir. Memangnya kenapa?" "Tidak papa. Kalau begini kan enak, Tiana ada teman!" jawab wanita itu tersenyum tipis. Aldrich terkekeh melihatnya, dia paling gemas dengan ekspresi manis Tiana. Melihatnya duduk di sofa di dalam ruangan kerjanya tiap pagi, lengkap dengan dress cantiknya, Aldrich merasa dia akan lebih bersemangat bekerja di rumah, karena ada yang menemaninya. "Sayang..." "Em?" Tiana menoleh cepat. "Sudah mendengar kabar, belum?" tanya Aldrich pada istrinya. "Kabar apa?" Tiana mengerjap polos. Barulah Aldrich beranjak dar
Sejak sepuluh menit yang lalu, Shela dan Sebastian datang. Mereka berdua dengan wajah paniknya dan Shela yang tidak bisa tenang sedikitpun, dia tetap menangis memeluk Sebastian. Aldrich pun juga dirangkul oleh Sebastian, karena dia tahu Aldrich pun pasti cemas tak terkira. "Tiana, bagaimana dia, Sayang?" tanya Tiana memejamkan kedua matanya dan kembali menangis. "Tidak papa Shela, aku yakin Tiana baik-baik saja. Tenanglah, kalian berdua tenang... Dokter Marisa tidak pernah gagal! Adam juga selalu memberikan yang terbaik!" jawab Sebastian merengkuh Shela dengan sangat erat. Tak lama setelah itu, pintu kaca buram di depan mereka terbuka, nampak Dokter Marisa yang muncul menatap Sebastian dan Shela, juga Aldrich yang bersama mereka. "Dokter, bagaimana keadaan Tiana?" Aldrich lebih dulu mendekat. "Kondisinya menurun drastis, mungkin karena faktor kelelahan juga bisa. Tapi kami harus mengambil tindakan yang cepat, karena Tiana tidak sadarkan diri sejak beberapa menit yang lalu," jela
Sampai beberapa jam lamanya Aldrich menunggu istrinya bangun. Ia menemani Tiana di dalam sebuah ruangan bersama dengan Dokter Adam. Aldrich duduk mengusap punggung tangan Tiana. Sejak malam hingga pagi menjelang siang, Tiana tidak kunjung bangun. "Apa masih lama, Om?" tanya Aldrich tanpa menatap Adam. "Tidak Al, kita harus lebih bersabar lagi. Tiana kehabisan tenaga, tubuhnya sakit, dia juga pasti memikirkan bayinya." Adam memperhatikan Aldrich yang sangat-sangat sedih. Pemuda itu mengecup punggung tangan istrinya dengan penuh harapan. "Cepat bangun, Sayang... Kasihan Arabelle menunggumu. Kau bilang padaku katanya kau ingin menggendong Arabelle saat anak kita lahir, kau ingin menjadi orang pertama yang menggendongnya. Ayo bangun, Sayangku..." Aldrich berucap lirih tanpa suara. Adam yang melihat Aldrich saat ini, dia merasa sangat kasihan dan juga merasa kagum dengan kesetiaan yang Aldrich miliki.Laki-laki itu melangkah keluar, dia membiarkan Aldrich lebih leluasa berbincang den
"Ya ampun Mam, kecil sekali anak ini... Nangisnya tapi keras kayak Mamanya! Dasar...!" Celetuk itu terucap dari bibir Tino saat ia menatap bayi mungil milik Tiana yang kini berada di rumahnya. Mendengar apa yang Tino ucapkan, Shela langsung terkekeh. Wanita itu duduk memangku bayi perempuan mungil yang tengah menggeliat. "Mami berharap Tiana cepat dibawa pulang, dia pasti rindu dengan Arabelle," ujar Shela. "Biar besar di sini Mam, biar aku ada rival," ujar Tino. "Memangnya kau tidak butuh menikah?" tanya Sebastian menyahuti. "Atau kau ingin adik, jangan-jangan!" "Ingin sih ingin, tapi kalian jangan sampai memberikan aku adik! Ingat Pi... Sudah tua, sampai Papi kasih adik buat kembar, bakal aku bawa pergi tuh bocil!" seru Tino dengan nada merajuk. Shela dan Sebastian tertawa, Sebastian langsung mengusak pucuk kepala Tino dengan gemas dan kesal. Sejak dulu hanya Tino yang paling tak setuju bila orang tuanya memberikan dia seorang adik, pasti dia menolak keras dan marah-marah pa
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut