Sera melangkah dengan layu menuju kamar, ia sadar kesalahan yang sudah diperbuatnya sudah sangat fatal, ia tidak menyalahkan siapapun, juga tidak menyalahkan kemarahan Arkan. Dia berhak semarah itu karena yang baru saja Kezia alami berhubungan langsung dengan nyawanya.Sementara kemarahan Arkan belum mereda, ia mendapatkan panggilan dari Karin. "Mas, Kezia sudah sangat membaik, kata dokter boleh dibawa pulang.""Pulang besok saja, pastikan semuanya membaik, aku nanti ke sana.""Baik, Mas!"Panggilan pun ditutup dan Sera yang sedang merapikan pakaiannya didatangi oleh Haliza."Sejak awal memang saya sudah curiga kalau kamu ada maksud tidak baik pada keluarga saya!"Sera diam, ia sedang tidak ingin berdebat, dalam pikirannya kini hanya ingin tahu bagaimana kondisi Kezia."Ingat! Dimana pun kamu bekerja, jangan pernah berpikir kamu bisa seenaknya!"Sera yang sedang merapikan pakaian, kini diam dan menatap ke arah Haliza. "Saya tidak tahu kebencian dengan dasar apa anda pada saya. Tapi, s
"Maaf kekalutanku tadi sehingga asal bicara." Sera mengangguk. "Saya paham." "Setelah kehilangan istriku, terlalu banyak hal yang aku takutkan, salah satunya melihat kondisi Kezia tadi." Sera kembali mengangguk, rasanya ia kehilangan kata. Meski begitu sama sekali tidak ada kemarahan di sana. "Minggu depan aku ada pekerjaan ke Bandung aku akan membawa anak-anak sekalian berlibur, aku harap kamu juga bisa ikut serta." "Tentu, saya kan pengasuh anak-anakmu." "Saya tidak suka dengan sebutan itu." "Lalu? Baby sitter?" "Sudahlah, tak perlu dibahas." Dingin semakin menyeruak ketika rintik hujan mulai turun, tak terasa Sera pun terlelap, Arkan melihat wanita di sampingnya sekilas, ada sebuah perasaan bersalah atas ucapannya tadi. Sekitar satu jam kemudian mereka pun tiba di rumah dan Arkan pun membangunkan Sera. "Kita sudah sampai." Sera mengerjap. "Maaf ketiduran." **** . . Hari keberangkatan tiba, Kalina tidak ikut karena kemarin diambil oleh nenek dari ibunya, mereka akan
"Dasar anak kurang ajar!" Pria itu menjerit seraya melihat ke arah anak yang sedang menggigitnya. Dia adalah Kezia yang sejak tadi memperhatikan gerak gerik pria bertubuh gempal itu, apalagi ketika melihat si bapak tua meremas salah satu organ vital pada tubuh perempuan.Bukannya merasa takut, Kezia malah menjulurkan lidahnya meledek, membuat pria itu semakin geram dan hampir saja melayangkan pukulan bila tidak ditahan oleh Arkan. "Ini anak anda Pak Arkan?""Iya!""Bagaimana bisa anda membesarkan anak anda tanpa sopan santun.""Dia anak yang baik dan manis," jawab Arkan."Jelas-jelas salah mengapa anda membelanya, bagaimana ia menjadi manusia nanti!" jelasnya, aura kemarahan masih terlihat di sana. Sera belum mampu berkata-kata, tangannya masih dingin dan bergetar."Yang pasti anak saya akan tumbuh dengan baik!"jawab Arkan tidak gentar. "Tolong jaga perilaku anda Pak Aldi, dia adalah wanita terhormat di sini!" lanjut Arkan seraya melihat ke arah Sera."Apa maksud anda?" Ia terlihat
Sera panik, ia pun mendekat pada Kenzo yang masih meneriakinya. Tanpa sadar ada serpihan kaca yang menempel, namun ia hiraukan."Kalian terpikir atas ucapan ayah tadi?Mereka tidak menjawab, sejak kakaknya menangis, Kezia pun turut menangis."Kalian jangan khawatir, ucapan Ayah tadi tidak sungguh-sungguh, Ayah hanya sedang melindungi Tante, sama seperti Zia yang tadi berusaha melindungi. Terimakasih banyak, Tante tahu, kalian anak yang baik. Tante janji akan menjaga kalian dengan baik!"Keduanya membisu, tangis mulai mereda. "Tante di sini hanya sebagai orang yang membantu kalian, dibayar langsung oleh Ayah, hanya bekerja, bukan untuk menggantikan bunda, kalau kalian butuh apa pun, Tante siap kapan pun."Sementara Arkan menelpon pihak hotel untuk membantu membereskan pecahan piring yang berserakan. Setelah bersih Sera dengan langkah pincang keluar kamar dan kembali membawa sepiring nasi lagi, merekapun mulai melahapnya, Sera bisa bernapas lega, kemudian ia pamit untuk keluar."Tante
Suara gelas jatuh ketika dengan sekuat tenaga Sera berusaha menahan pria yang tenaganya jauh lebih kuat itu."Jangan dekati aku! Kalau tidak aku tidak akan segan membunuhmu!""Bisa? Sini kalau bisa!" Pria gempal itu seolah meledek.Semenjak peristiwa kemarin beberapa kali pikirannya kosong, masih ada perasaan trauma. Bahkan untuk pagi ini ia sangat kurang berhati-hati. Sedikitpun tak terbesit dalam pikirannya, bila pria gila di hadapannya ini menginap di hotel yang sama, sehingga memiliki kartu akses, mengingat hotel ini adalah bintang lima yang memiliki akses yang cukup ketat.Mata itu menyeringai, seolah kemenangan ada di hadapannya. Dalam sekejap mata ia menerkam Sera, mendekap tubuhnya erat sehingga ia sulit bernapas.Namun tak lama setelahnya pelukan terlepas, ia mengerang seraya memegang bagian belakang tubuhnya. Si kembar yang terbangun karena mendengar suara keributan, segera melihat keluar kamar dan pemandangan menakutkan. Kezia tanpa pikir panjang langsung menelpon resepsion
Mengenal seseorang dalam waktu yang singkat tak bisa melemparkan kepercayaan begitu saja. Sera mengakui dirinya salah ketika merasa nyaman dengan perlakuan Arkan yang baik padanya, juga sikap melindungi yang ternyata palsu.Sambil menyeka air matanya, ia memasukkan satu persatu pakaian. Sera merasa ia bukan lagi dirinya, yang ia tahu, dirinya adalah sosok yang tangguh dan pemberani. Ia merasa kalah, jatuh dan tak berdaya.Sementara Arkan yang baru saja tiba segera menuju ke kamar sambil membawa Kalina dalam pangkuan, di usia yang hampir masuk empat bulan, ia masih sering tidur."Mana Tante Sarah?"Si kembar mengangkat kedua bahunya. "Di kamarnya mungkin!"Kemudian Arkan menyimpan Kalina pada box tempat tidurnya dan hendak menghampiri Sera untuk membicarakan sesuatu. Namun, Arkan terkejut ketika melihat wanita itu baru saja selesai mengemas pakaian dan seolah bersiap untuk pergi."Kamu mau kemana?""Saya ingin berhenti bekerja sekarang juga! Saya tidak ingin lagi berada di rumah ini da
"Ada apa Sera?" tanya Bi Marni. Ia adalah adik dari Almarhumah ibunya. Ketika langkah tak tahu harus kemana, ia membawa kakinya untuk pergi ke pinggiran kota Bandung, menjauh dari hiruk pikuk kota, dan ternyata ini cukup ampuh membantunya untuk sekadar membuat jiwanya lebih segar. "Aku harus kembali ke Jakarta, Bi." "Kenapa? Kok mendadak!" "Anak majikanku sakit, Bi." "Kamu mau kembali kerja, Neng?" tanya sang paman yang baru saja keluar dari kamar dengan pakaian rapi hendak pergi ke masjid. "Iya, Mang. Aku butuh pekerjaan ini." "Ya sudah! Nanti biar diantarkan sama si Ari ke terminal, kamu hati-hati di jalan." Sera mengangguk, kemudian ia bersiap dan berkemas, selepas itu di antar ke terminal oleh adik sepupunya. "Makasih, Ri. Hati-hati pulangnya, nih uang jajan buat kamu!" "Makasih banyak, Teh." Anak bujang kelas tiga SMA itu terlihat senang. Tanpa banyak basa basi lagi, Sera pun menaiki sebuah bus yang akan mengantarkannya lagi pada rumah itu. Rumah yang terkadang
“Maksudnya, Pak?”“Hmm ... ya maksudnya saya akan memastikan tidak ada fitnah bila kamu bekerja dengan saya nanti di luar kota.”“Kenapa harus ada fitnah? Kan saya hanya bekerja.”“Kamu tidak memiliki lisensi sebagai pengasuh anak, takutnya orang menganggap kamu bukan yang sedang bekerja denganku. Selain itu ...” Arkan menghentikan ucapannya, ia terlihat ragu-ragu ketika hendak mengatakan lanjutan dari ucapannya.“Selain itu apa?” Sera masih ingin mendengar lanjutan dari perbincangan ini.Arkan masih terlihat ragu, ia menunjuk wajah Sera tanpa mengatakan apa pun, membuat wanita itu kebingungan dengan maksud bosnya itu. Sera mengernyitkan dahi, menelisik penuh selidik, membuat Arkan seolah terpojok.“Selain itu ... kamu cantik.” Arkan buru-buru mengalihkan dan kembali sibuk pada laptopnya.Sera semakin tidak paham dan menatap aneh pada Arkan. “Jadi menurut bapak kalau pengasuh jangan cantik?”“tidak ... tidak bukan begitu, jangan salah paham!”“Lalu?”Majikannya itu kembali salah tingk
Beberapa saat setelahnya, Dila terbangun. Kini Sera pun menyusul ke rumah sakit, Arkan sengaja memberitahunya menggunakan ponsel yang biasa ia pakai untuk bekerja, ia tak ingin terjadi lagi sebuah kesalahpahaman dan menimbulkan banyak huru hara di rumah tangganya."Mas, sepertinya dia depresi berat!""Iya, dia butuh penanganan pada bidang yang tepat!""Dia pasti butuh seseorang untuk mendengarkan, alangkah lebih baiknya dibawa ke psikiater, Mas."Arkan hanya mengangguk, kemudian setelah itu keduanya diam seraya menatap Dila yang kembali berbaring, keluarganya tidak ada satu pun yang datang, ia yakin bila permasalahan terbesar dalam hidup Sera adalah keluarganya sendiri.Sebagai rasa kemanusiaan, Sera pun akan mendampingi Dila semampunya, ia akan dijadwalkan untuk bertemu dengan psikiater dan ditangani perlahan kesehatan mentalnya.Dila pun dirawat beberapa hari di rumah sakit dan ditunggu bergantian oleh beberapa karyawan Arkan.Sementara Sera dan Arkan sibuk menyiapkan persiapan lama
Waktu seolah bergerak lambat ketika mobil yang Sera tumpangi melewati mobil suaminya."Bu ...," ucap sang supir pelan, ia menyadari bila yang baru saja di lihat adalah majikannya. Sang supir yang bernama Arman itu memelankan laju mobilnya."Lanjut saja dan cepat bawa mobilnya! Katya harus segera dibawa ke rumah sakit!" ucap Sera dengan suara yang tertahan, jelas sekali ia menahan segala macam perasaan yang selama ini bergelayut."Baik, Bu!" jawab supirnya, kemudian ia melajukan mobilnya lebih cepat dan sekitar 15 menit kemudian keduanya sampai di rumah sakit, Katya terlihat kejang dan langsung ditangani oleh dokter. Sementara Arkan hanya mengantarkan karyawannya itu sampai ke depan penginapan. "Sekali lagi terimakasih banyak, Pak!" ucap Dila dengan bibir bergetar.Arkan hanya mengangguk, tak banyak bicara ia pun berlalu meninggalkan Dila. Sesampainya di rumah, ia tidak mendapati Sera di sana, ketika membuka ponselnya, panggilan telepon dan pesan beruntun.[Mas pulang kapan? Katya de
"Apa-apaan kamu, Ren?"Renata masih berdiri di tempatnya dan biasa saja, ia tak berusaha menutupi diri atau pun melakukan hal lainnya."Aku kenapa? Aku sedang berada di kamar dan mengenakan pakaian tidur. Aku tidak keluar kamar dengan pakaian seperti ini, Mas?""Kamu tahu aku akan datang kan?""Lampu mati seketika, aku panik jadi aku tidak berpikir apa pun."Tak ingin berdebat panjang, Arkan segera keluar dari kamar ini, tak menyangka bila dirinya akan melihat hal seperti ini dari Renata. Sementara wanita itu hanya diam dan berdiri di tempat yang sama tanpa melakukan pergerakan apa pun.Arkan meraih gagang pintu hendak keluar kamar, tapi dalam waktu sekejap Renata mengambil gagang pintu itu dan menatap Arkan penuh makna. Jarak mereka kini sangatlah dekat, bahkan nyaris tak berjarak ketika Renata menempelkan tubuhnya."Aku tidak berniat menggodamu, Mas. Tapi sepertinya aku sangat kesepian."Arkan melepaskan Renata, menjauhkan wanita itu dari dekatnya, tapi tidak disangka bila wanita ya
"Detak jantung janin tidak terdengar, Dok!" ucap salah satu bidan yang sedang memeriksa."Coba periksa sekali lagi," ujar Gading.Sera nampak menahan sakit, seketika mulas semakin terasa, ia tak banyak bersuara, mulutnya tak henti berzikir, peluh bercucuran di kening, wajahnya memucat. Bidan kembali memeriksa, sudah ada pembukaan lima.Gading mendekat pada mantan istrinya itu lalu berbisik. "Zikir aja jangan putus, insyaallah bisa melahirkan normal."Sera mengangguk pelan, kemudian Gading pun keluar menghampiri Arkan yang juga terlihat cemas berada di dalam. "Detak jantung janin tidak terdengar," ucap Gading mendekat."Lalu? Maksudnya? Anak saya baik-baik saja kan?""Berdoa saja, Bang! Semoga Allah memberikan kelancaran dan keselamatan untuk keduanya."Arkan masih tidak karuan, kemudian ia diizinkan masuk ke dalam ruangan untuk menemani Sera. Istrinya itu tak banyak mengaduh, bila sakit terasa maka ia memegang tangan Arkan dengan kencang.Rasa mulas yang dirasakan Sera semakin menjad
Rambut basah dan dada bidang itu seketika tidak lagi mempesona ketika pesan terakhir Sera baca di ponsel milik suaminya. Sementara Arkan di ujung sana tersenyum penuh makna, menatap istrinya yang begitu cantik dan seksi di sisi ranjang. Pakaian kebangsaan warna hitam selalu menjadi kesukaannya, Sera berkali lipat jauh lebih cantik dari itu.Ia mendekat dan langsung berhambur memeluk istrinya, tapi seketika Sera menghindar dengan raut wajah yang tidak semanis tadi."Kenapa sayang?" Arkan mengernyitkan dahi."Ada pesan dari Renata? Kalian saling bertemu?""Astaghfirullah ... aku lupa ngabarin. Kemarin saat masih di Bandung Renata ngabarin kalau bapaknya meninggal dunia, jadi aku menyempatkan untuk takziah.""Inalillahi wa inalillahi rajiun," ucap Sera. "Tapi kenapa Mba Renata bisa tahu nomor, Mas? Apa sebelumnya kalian sempet tukeran nomor?""Ya Allah, Sayang ... kamu ini sedang cemburu kah?"Sera diam sejenak, menatapnya dengan tatapan tajam. "Apa perlu yang kaya gitu ditanyain, Mas?"
"Ren ...," sapa Arkan ramah. Ini adalah pertemuan pertama setelah waktu itu pernikahannya batal, sudah bertahun-tahun dan lama sekali."Mas Arkan sedang apa di sini?""Istriku dapat musibah dan dirawat di sini, sekarang sedang mengurus administrasi untuk pulang."Renata mengernyitkan dahi. "Sudah nikah, Mas?"Arkan mengangguk. Renata tersenyum tipis, sudah sembilan tahun berlalu, ternyata masih ada perasaan sesak, tapi ia yakin bila ini bukan perasaan yang dulu, hanya sisa dari kenangannya saja."Menikah dengan orang mana, Mas? Selamat ya, meski terlambat,"jawab Renata mengembangkan senyumnya yang masih tetap cantik seperti dulu. Ia pun tak nampak menua, semakin cantik di usia yang semakin matang "Dengan Sera, Ren."Waktu kemudian hening sejenak, ia tertegun beberapa saat. Enam tahun yang lalu dirinya pernah tak sengaja' bertemu Renata saat di Jogja, mereka berbincang sejenak dan saat itu Renata mengetahui bila Sera sudah menikah dan bukan dengan Arkan."Jodoh tidak kemana ya, Mas!"
"Stok darah kosong dok!" ujar salah satu asisten dokter.Suasana di ruangan ini semakin panik dan tidak terkendali, sementara Sera terbaring di sana berjuang antara hidup dan mati.Gading berusaha tenang, yang saat ini ia lakukan adalah bagaimana caranya memberikan yang terbaik, menyelamatkan keduanya.Sementara Arkan di luar ruangan nampak tak bisa bersikap tenang, ia duduk di sebuah kursi tunggu, kemudian beranjak mencoba melihat situasi di dalam, kemudian membawa langkahnya ke tempat lain, ia benar-benar tidak tenang, peluh bercucuran, tangannya dingin juga basah."Tenang, Nak. Jangan kaya gini. Sera pasti baik-baik saja!" ucap ibunya menghampiri."Gimana aku bisa tenang, Bu? Di sana Istriku sedang berjuang antara hidup dan mati, tidak hanya Sera, ada anakku juga di sana!"Arkan seperti sedang mengulang mimpi buruk ketika ia mendampingi Shanum 10 tahun yang lalu. Ia tak ingin mengulang kesakitan yang sama harus berpisah ruang dan waktu, ia ingin bersama Sera lebih lama, kemudian me
Semenjak akta cerai ada di tangannya, Sera dan Gading sama sekali tidak pernah lagi berkomunikasi, bahkan Sera memblokir nomornya semenjak kejadian tempo hari ketika Gading mengembalikan barang-barangnya."Usia kehamilan sudah 12 Minggu," ucap Gading menatap layar USG. Mau tidak mau ia harus menyampaikan semua informasi ini, walau tangannya masih bergetar. Saat mereka masih bersama dan rutin mengunjungi dokter untuk melakukan program kehamilan, nyaris semua pemeriksaan mengarah pada Sera yang bermasalah, sementara keadaan dirinya bisa dikatakan normal. Tapi hari ini, Tuhan seolah sedang menunjukkan sesuatu, wanita yang pernah ia abaikan kini tengah menangis bahagia karena seorang nyawa hadir di rahimnya, yang berbeda bukan tangannya yang kali ini ia pegang, melainkan tangan orang lain.Sementara saat bersamanya, tangis itu adalah kesedihan karena merasa tak mampu sempurna menjadi seorang istri yang diharapkan."Mas aku betul hamil?" tanya Sera. Arkan mengangguk, seraya mengecup keni
Hujan rintik-rintik terasa syahdu dan romantis menemani malam ini, dua insan memadu kasih menumpahkan kerinduan yang setelah bertahun-tahun dipendam. Hasrat laki-laki Arkan membara tak terjeda, sekian lama menahan diri dari godaan yang datang menghantam luar biasa akhirnya kini mendapatkan tempatnya. Gelora mengangkasa, keduanya dideru perasaan tak terkira, sampai akhirnya sebuah lenguhan panjang terdengar, Sera dibawa ke puncak surgawi dan keduanya terjatuh dalam pelukan dengan keringat yang bercucuran."Aku sayang kamu, Mas!" ucap Sera lirih, napasnya masih terengah-engah."Aku juga!" Arkan membenamkan dirinya dalam pelukan yang sangat dalam, kemudian setelahnya mereka membersihkan diri dan beranjak untuk tidur tanpa melepaskan pelukan masing-masing.Sera bangun lebih dulu ketika sayup-sayup adzan subuh terdengar, ia langsung beranjak ke kamar mandi untuk mencuci muka, kemudian setelah itu membangunkan Arkan."Mas bangun, salat subuh dulu!"Arkan terlihat mengerjap dan masih sangat