Bagain 16Harusnya Minggu pagi ini cerah, tapi mendung di mata Sera sama sekali tidak bisa ditutupi, ia turun dengan mata berat, sempat tertidur sejenak selepas salat subur, tapi terbangun oleh tangisan si kecil.Sementara Arkan masih diliputi dengan rasa bersalah. Kemarin saat masih di kantor, Renata meminta izin padanya untuk mengajak anak-anak, sementara Kezia dan Kenzo menelpon dan memaksa untuk datang. Semua terjadi tanpa direncanakan, ponselnya mati dan hujan begitu besar, di sana mereka sempat berteduh di villa milik Renata sampai akhirnya Arkan ketiduran.Perasaan bersalahnya semakin tidak karuan ketika pagi ini ia dapati mata Sera membengkak dan tak banyak bicara.“Kemarin seru, ya!” ucap Kezia. “Seneng banget sama Tante Renata aku, kamu seneng gak?” lanjutnya pada Kenzo.Anak laki-laki itu tidak langsung menjawab, ia melihat ke arah Sera sejenak dengan tatapan lain. “Jawab Kenzo!” Kezia memaksa.“Biasa saja! Sama kaya main sama Ayah, nenek, juga Tante Sera ....” jawab Kenzo
Sera pun berlalu tanpa mendengar Arkan mengizinkannya atau tidak. Ia tidak ada rencana untuk bertemu seorang pria sebetulnya, melainkan hanya bertemu teman semasa sekolah dulu yang hampir empat tahun tidak bertemu karena ia kuliah di luar kota, Dinda namanya.Meski ia adalah orang Bandung, tapi Sera tidak begitu mengenali pusat kotanya, karena ia berasal dari pinggiran kota.Sera menaiki ojek online kemudian turun di sebuah jalan yang memiliki panjang sekitar satu kilo meter, namanya jalan Braga, terdapat banyak kafe dan juga tempat makan yang arsitekturnya tempo dulu, bahkan sekadar bangku di jalannya pun memberikan atmosfer yang mengesankan, tempat ini menjadi salah satu tujuan wisata.Sera membawa langkah ke sebuah kafe, kemudian dari kejauhan seseorang melambaikan tangan, Dinda masih saja cantik seperti dulu. Ia ternyata tidak sendirian, ada dua pria di sana yang tidak ia kenal."Kamu cantik banget, Sera! MasyaAllah pakai jilbab sekarang.""Sedang belajar saja, Din. Akhlak mah mas
"Anak bibiku menikah, masa aku tidak datang, Mas?"Arkan diam sejenak, kemudian menatap sambil menelisik, seolah sedang memastikan sesuatu."Kamu pergi dengan siapa?""Sendiri, kenapa memang? Mau nganterin?""Anak-anak siapa yang jaga?" Arkan terlihat ragu, meski terlihat dari sorot matanya ada keinginan itu."Jadi saya diizinkan tidak?""Lihat saja nanti!" jawab Arkan kemudian berlalu pergi meninggalkan Sera begitu saja.Sementara di sebrang sana, di sebuah rumah bercat putih, Renata nampak sibuk dengan adonan kue, setelah berpisah dengan mantan suaminya, ia kembali meneruskan hobi yang tertunda dan justru saat ini menjadi ladang mencari pundi-pundi rupiah."Eh, kok melamun?" ucap Ibu Renata ketika melihat putrinya hanya diam saja di depan oven."Eh, Ibu. Gak kok, Renata gak melamun!""Ah masa ... lagi mikirin siapa sih? Mas duda ganteng depan rumah kita ya!" Sang ibu menggodanya.Renata bersemu merah. "Ah, ibu. Apaan sih.""Jangan bohong! Ibu bisa baca perasaan kamu."Renata terseny
"Maaf ya agak lama, tadi sempet nyasar dulu," ucap Gading di tengah perjalanan mereka."Tidak apa-apa, maaf juga aku ngerepotin karena dadakan banget ngajaknya.""Gak kok, kebetulan hari ini aku lagi gak ada dinas di rumah sakit, jadi bisa ngantar.""Sekali lagi makasih banyak, ya!"Gading mengangguk. "Jadi kamu kerja di situ?"Sera mengangguk. "Gak malu kan Mas bawa baby sitter."Malu kenapa, santai saja. Kenapa memilih jadi Baby sitter? Setahuku kamu sarjana, ya?""Iya, awalnya kepepet sih, tapi lama-lama menikmati pekerjaan itu, sayang juga sama anak-anaknya, happy aja.""Bukan baby sitter sembarangan sih kamu, cantik dan pintar.""Bisa saja buat hati orang senang!" Sera tertawa kecil."Aku serius," jawab Gading juga dengan tawanya.Sepanjang jalan mereka terus mengobrol dan benar-benar seperti teman akrab, hingga tidak terasa mereka tiba di sebuah gedung, pernikahan adik sepupunya itu diadakan cukup mewah, begitu memasuki gedung, Sera mendapati ayah dan ibu tirinya berada di sini
"Siapapun dalam doamu, aku juga turut mendoakan yang terbaik," jawab Sera kemudian pergi ke dapur.Arkan menghela napas panjang, ia salah mengira, awalnya ia pikir bila Sera akan bertanya siapa yang ada dalam doanya. Sikap Sera itu seperti meyakinkan sebuah kesimpulan yang selama ini membuatnya ragu-ragu.Berapa kali ia melihat sikap Sera, ia selalu nampak tenang dan biasa saja bahkan ketika dirinya bersama Renata, berbeda dengan Renata yang terkadang tidak bisa menyembunyikan perasaan cemburunya. Sekali lagi ... Arkan menghela napas panjang, seketika sesak menyeruak di seluruh bagian dada. Mungkin tanpa disadari, sebetulnya ada sebuah perasaan yang tidak sengaja tumbuh dengan diam-diam, ia datang sembunyi-sembunyi, seolah pemilik hatinya sendiri tidak boleh tahu. Tapi kemudian setelah pemilik hati sadar, semua kembali dihentakkan, karena perasaan yang sudah tumbuh itu tidak menemukan tuannya, tidak mendapatkan balasan. Lalu akhirnya bertepuk hanya satu tangan.Arkan pun beranjak, ia
Sore hari itu berlalu begitu saja, semua larut dalam perasaan masing-masing, diam tanpa bersuara merasakan duka. Bu Haliza datang dadakan menggunakan kereta dari Jakarta, katanya ia ingin merasakan sensasi lain dan tidak ingin diantar supir."Kenapa gak bilang-bilang, Bu! Kan bisa saya jemput," ucap Arkan."Gak apa-apa, yang penting sudah sampai dengan sehat dan selamat."Ia terlihat membawa banyak tas berisi semua untuk cucunya. Sera akui, meski Bu Haliza sosok yang menyebalkan, tapi rasa sayang ke cucunya luar biasa."Sehat, Bu?" sapa Sera."Ya ... beginilah! Seperti yang kamu lihat.""Terlihat sehat dan bahagia," jawab Sera."Tentunya!"Sera pun membawa tas yang berisi makanan untuk dibawa ke dapur, beberapa dimasukkan ke dalam freezer, sisanya dihangatkan oleh Bi Inah. Sera melihat waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi, ia hendak izin ke bank untuk sekadar mengurus mobile banking miliknya yang bermasalah."Aku izin ya, Mas. Semoga sebentar," ucapnya pada Arkan yang sedang ke dapur
Keduanya terdiam, Arkan menatap Sera dan membeku. Sementara Sera membuang pandangannya ke arah lain, enggan melihat mata bening itu."Aku tidak tahu kenapa, entah ini ada yang salah atau tidak, tapi aku rasa kamu orang pertama yang membuatku nyaman dengan waktu yang sangat cepat!" ucap Arkan.Sera menghela napas panjang, sungguh ia paham maksud ucapan Arkan itu. Ada bagian hati yang berbunga sekaligus kandas juga."Itu karena aku pekerjamu yang loyal, Mas.""Tuti sama Aini juga loyal.""Nyaman juga?" Sera mendelik menatapnya.Arkan tidak kuat menahan tawanya, kemudian ia tertawa kecil, setelah itu membawa dirinya lebih dekat pada Sera dan membelai lembut kepala Sera yang terbungkus jilbab. "Ayo pulang!"Sera pun naik ke atas motor, lalu melesat pergi meninggalkan tempat ini, di tengah perjalanan Bu Haliza sudah menelpon karena Kalina tidak berhenti menangis dan mencari Sera.Saat tiba di rumah, Renata sudah ada di sana bercengkrama hangat dengan Haliza. Ia sempat melihat ke arah Arka
"Ibu berdoa semoga perkawinan kalian panjang, ibu setuju banget kalau sama Renata, sudah cantik, baik dan juga sayang sama anak-anak, itu poin paling pentingnya!""Bu ...." Arkan mencoba menyela."Iya, Alhamdulillah. Kami juga bahagia mendapatkan calon menantu seperti Nak Arkan, orangnya sangat baik. Insyaallah bisa membimbing anak kami Renata!" ucap Ayah Renata.Dihadapkan pada posisi seperti ini seketika membuat Arkan seperti berada di sebuah persimpangan jalan yang tidak tahu harus menentukan langkah kemana. Senyum di bibir ibunya, orang tua Renata dan juga Renata sendiri berbanding terbalik dengan apa yang kini di hatinya.Haruskah ia patahkan semua suka cita ini? Hanya itu yang terbesit di kepalanya saat ini. Bila ia diam saja, maka perasaannya pada Sera tidak akan pernah menemukan tempatnya.Ia pun menghela napas panjang, mencoba bicara sebaik mungkin agar sampainya tidak terlalu sakit apalagi untuk Renata dan keluarganya yang sudah membayangkan lebih dari ekspektasi mereka."Pa
Beberapa saat setelahnya, Dila terbangun. Kini Sera pun menyusul ke rumah sakit, Arkan sengaja memberitahunya menggunakan ponsel yang biasa ia pakai untuk bekerja, ia tak ingin terjadi lagi sebuah kesalahpahaman dan menimbulkan banyak huru hara di rumah tangganya."Mas, sepertinya dia depresi berat!""Iya, dia butuh penanganan pada bidang yang tepat!""Dia pasti butuh seseorang untuk mendengarkan, alangkah lebih baiknya dibawa ke psikiater, Mas."Arkan hanya mengangguk, kemudian setelah itu keduanya diam seraya menatap Dila yang kembali berbaring, keluarganya tidak ada satu pun yang datang, ia yakin bila permasalahan terbesar dalam hidup Sera adalah keluarganya sendiri.Sebagai rasa kemanusiaan, Sera pun akan mendampingi Dila semampunya, ia akan dijadwalkan untuk bertemu dengan psikiater dan ditangani perlahan kesehatan mentalnya.Dila pun dirawat beberapa hari di rumah sakit dan ditunggu bergantian oleh beberapa karyawan Arkan.Sementara Sera dan Arkan sibuk menyiapkan persiapan lama
Waktu seolah bergerak lambat ketika mobil yang Sera tumpangi melewati mobil suaminya."Bu ...," ucap sang supir pelan, ia menyadari bila yang baru saja di lihat adalah majikannya. Sang supir yang bernama Arman itu memelankan laju mobilnya."Lanjut saja dan cepat bawa mobilnya! Katya harus segera dibawa ke rumah sakit!" ucap Sera dengan suara yang tertahan, jelas sekali ia menahan segala macam perasaan yang selama ini bergelayut."Baik, Bu!" jawab supirnya, kemudian ia melajukan mobilnya lebih cepat dan sekitar 15 menit kemudian keduanya sampai di rumah sakit, Katya terlihat kejang dan langsung ditangani oleh dokter. Sementara Arkan hanya mengantarkan karyawannya itu sampai ke depan penginapan. "Sekali lagi terimakasih banyak, Pak!" ucap Dila dengan bibir bergetar.Arkan hanya mengangguk, tak banyak bicara ia pun berlalu meninggalkan Dila. Sesampainya di rumah, ia tidak mendapati Sera di sana, ketika membuka ponselnya, panggilan telepon dan pesan beruntun.[Mas pulang kapan? Katya de
"Apa-apaan kamu, Ren?"Renata masih berdiri di tempatnya dan biasa saja, ia tak berusaha menutupi diri atau pun melakukan hal lainnya."Aku kenapa? Aku sedang berada di kamar dan mengenakan pakaian tidur. Aku tidak keluar kamar dengan pakaian seperti ini, Mas?""Kamu tahu aku akan datang kan?""Lampu mati seketika, aku panik jadi aku tidak berpikir apa pun."Tak ingin berdebat panjang, Arkan segera keluar dari kamar ini, tak menyangka bila dirinya akan melihat hal seperti ini dari Renata. Sementara wanita itu hanya diam dan berdiri di tempat yang sama tanpa melakukan pergerakan apa pun.Arkan meraih gagang pintu hendak keluar kamar, tapi dalam waktu sekejap Renata mengambil gagang pintu itu dan menatap Arkan penuh makna. Jarak mereka kini sangatlah dekat, bahkan nyaris tak berjarak ketika Renata menempelkan tubuhnya."Aku tidak berniat menggodamu, Mas. Tapi sepertinya aku sangat kesepian."Arkan melepaskan Renata, menjauhkan wanita itu dari dekatnya, tapi tidak disangka bila wanita ya
"Detak jantung janin tidak terdengar, Dok!" ucap salah satu bidan yang sedang memeriksa."Coba periksa sekali lagi," ujar Gading.Sera nampak menahan sakit, seketika mulas semakin terasa, ia tak banyak bersuara, mulutnya tak henti berzikir, peluh bercucuran di kening, wajahnya memucat. Bidan kembali memeriksa, sudah ada pembukaan lima.Gading mendekat pada mantan istrinya itu lalu berbisik. "Zikir aja jangan putus, insyaallah bisa melahirkan normal."Sera mengangguk pelan, kemudian Gading pun keluar menghampiri Arkan yang juga terlihat cemas berada di dalam. "Detak jantung janin tidak terdengar," ucap Gading mendekat."Lalu? Maksudnya? Anak saya baik-baik saja kan?""Berdoa saja, Bang! Semoga Allah memberikan kelancaran dan keselamatan untuk keduanya."Arkan masih tidak karuan, kemudian ia diizinkan masuk ke dalam ruangan untuk menemani Sera. Istrinya itu tak banyak mengaduh, bila sakit terasa maka ia memegang tangan Arkan dengan kencang.Rasa mulas yang dirasakan Sera semakin menjad
Rambut basah dan dada bidang itu seketika tidak lagi mempesona ketika pesan terakhir Sera baca di ponsel milik suaminya. Sementara Arkan di ujung sana tersenyum penuh makna, menatap istrinya yang begitu cantik dan seksi di sisi ranjang. Pakaian kebangsaan warna hitam selalu menjadi kesukaannya, Sera berkali lipat jauh lebih cantik dari itu.Ia mendekat dan langsung berhambur memeluk istrinya, tapi seketika Sera menghindar dengan raut wajah yang tidak semanis tadi."Kenapa sayang?" Arkan mengernyitkan dahi."Ada pesan dari Renata? Kalian saling bertemu?""Astaghfirullah ... aku lupa ngabarin. Kemarin saat masih di Bandung Renata ngabarin kalau bapaknya meninggal dunia, jadi aku menyempatkan untuk takziah.""Inalillahi wa inalillahi rajiun," ucap Sera. "Tapi kenapa Mba Renata bisa tahu nomor, Mas? Apa sebelumnya kalian sempet tukeran nomor?""Ya Allah, Sayang ... kamu ini sedang cemburu kah?"Sera diam sejenak, menatapnya dengan tatapan tajam. "Apa perlu yang kaya gitu ditanyain, Mas?"
"Ren ...," sapa Arkan ramah. Ini adalah pertemuan pertama setelah waktu itu pernikahannya batal, sudah bertahun-tahun dan lama sekali."Mas Arkan sedang apa di sini?""Istriku dapat musibah dan dirawat di sini, sekarang sedang mengurus administrasi untuk pulang."Renata mengernyitkan dahi. "Sudah nikah, Mas?"Arkan mengangguk. Renata tersenyum tipis, sudah sembilan tahun berlalu, ternyata masih ada perasaan sesak, tapi ia yakin bila ini bukan perasaan yang dulu, hanya sisa dari kenangannya saja."Menikah dengan orang mana, Mas? Selamat ya, meski terlambat,"jawab Renata mengembangkan senyumnya yang masih tetap cantik seperti dulu. Ia pun tak nampak menua, semakin cantik di usia yang semakin matang "Dengan Sera, Ren."Waktu kemudian hening sejenak, ia tertegun beberapa saat. Enam tahun yang lalu dirinya pernah tak sengaja' bertemu Renata saat di Jogja, mereka berbincang sejenak dan saat itu Renata mengetahui bila Sera sudah menikah dan bukan dengan Arkan."Jodoh tidak kemana ya, Mas!"
"Stok darah kosong dok!" ujar salah satu asisten dokter.Suasana di ruangan ini semakin panik dan tidak terkendali, sementara Sera terbaring di sana berjuang antara hidup dan mati.Gading berusaha tenang, yang saat ini ia lakukan adalah bagaimana caranya memberikan yang terbaik, menyelamatkan keduanya.Sementara Arkan di luar ruangan nampak tak bisa bersikap tenang, ia duduk di sebuah kursi tunggu, kemudian beranjak mencoba melihat situasi di dalam, kemudian membawa langkahnya ke tempat lain, ia benar-benar tidak tenang, peluh bercucuran, tangannya dingin juga basah."Tenang, Nak. Jangan kaya gini. Sera pasti baik-baik saja!" ucap ibunya menghampiri."Gimana aku bisa tenang, Bu? Di sana Istriku sedang berjuang antara hidup dan mati, tidak hanya Sera, ada anakku juga di sana!"Arkan seperti sedang mengulang mimpi buruk ketika ia mendampingi Shanum 10 tahun yang lalu. Ia tak ingin mengulang kesakitan yang sama harus berpisah ruang dan waktu, ia ingin bersama Sera lebih lama, kemudian me
Semenjak akta cerai ada di tangannya, Sera dan Gading sama sekali tidak pernah lagi berkomunikasi, bahkan Sera memblokir nomornya semenjak kejadian tempo hari ketika Gading mengembalikan barang-barangnya."Usia kehamilan sudah 12 Minggu," ucap Gading menatap layar USG. Mau tidak mau ia harus menyampaikan semua informasi ini, walau tangannya masih bergetar. Saat mereka masih bersama dan rutin mengunjungi dokter untuk melakukan program kehamilan, nyaris semua pemeriksaan mengarah pada Sera yang bermasalah, sementara keadaan dirinya bisa dikatakan normal. Tapi hari ini, Tuhan seolah sedang menunjukkan sesuatu, wanita yang pernah ia abaikan kini tengah menangis bahagia karena seorang nyawa hadir di rahimnya, yang berbeda bukan tangannya yang kali ini ia pegang, melainkan tangan orang lain.Sementara saat bersamanya, tangis itu adalah kesedihan karena merasa tak mampu sempurna menjadi seorang istri yang diharapkan."Mas aku betul hamil?" tanya Sera. Arkan mengangguk, seraya mengecup keni
Hujan rintik-rintik terasa syahdu dan romantis menemani malam ini, dua insan memadu kasih menumpahkan kerinduan yang setelah bertahun-tahun dipendam. Hasrat laki-laki Arkan membara tak terjeda, sekian lama menahan diri dari godaan yang datang menghantam luar biasa akhirnya kini mendapatkan tempatnya. Gelora mengangkasa, keduanya dideru perasaan tak terkira, sampai akhirnya sebuah lenguhan panjang terdengar, Sera dibawa ke puncak surgawi dan keduanya terjatuh dalam pelukan dengan keringat yang bercucuran."Aku sayang kamu, Mas!" ucap Sera lirih, napasnya masih terengah-engah."Aku juga!" Arkan membenamkan dirinya dalam pelukan yang sangat dalam, kemudian setelahnya mereka membersihkan diri dan beranjak untuk tidur tanpa melepaskan pelukan masing-masing.Sera bangun lebih dulu ketika sayup-sayup adzan subuh terdengar, ia langsung beranjak ke kamar mandi untuk mencuci muka, kemudian setelah itu membangunkan Arkan."Mas bangun, salat subuh dulu!"Arkan terlihat mengerjap dan masih sangat