Hadeh, si Kakek mau apa coba?!
Hans memicingkan matanya menatap punggung Thomas yang berlalu menjauh. Jelas sekali pria tua itu sudah membuat rencana ‘khusus’ untuknya dan Eva. Entah hal yang baik atau buruk, Hans sama sekali tidak bisa mengerti jalan pikiran kakeknya.“Kak!”Tepat saat Hans memalingkan wajah untuk kembali mengamati istrinya, seorang gadis tiba-tiba muncul. Dia Hana, salah satu sepupu jauh yang cukup dekat dengan Hans.“Apa Kak Eva benar-benar hamil? Kenapa perutnya masih kecil?”Hans mendengus, mengulurkan tangan demi mengacak rambut sepupunya yang beberapa bulan lagi berusia lima belas tahun itu. Dia satu-satunya yang masih polos dan murni hatinya, tidak seperti sepupu-sepupu yang lain.“Anak kecil, untuk apa menanyakan hal-hal seperti itu, heh!? Belajar saja yang benar dan masuk sekolah favoritmu. Kakak akan berikan hadiah spesial jika kau mendapat peringkat satu.”Hana mengerucutkan bibirnya sambil mengucap “Puh” pelan, menghempas tangan Hans dengan wajah masam.“Aku nggak butuh hadiah darimu,
Kedua mata Eva terpejam, membiarkan Hans membelit lidahnya. Dia benar-benar tidak bertenaga, memutuskan melingkarkan kedua tangannya di belakang leher sang pria. Ciuman itu benar-benar memabukkan, membuatnya terlena.Sejak kapan Hans menjadi begitu mahir? Apa pria itu memiliki banyak kekasih saat di luar negeri?Berbagai pemikiran menyusup ke dalam akal sehat Eva begitu saja, merasa kacau saat membayangkan ada gadis lain yang pernah atau bahkan sering beradu saliva dengan Hans. Hati kecilnya tidak rela!“Ini masih terlalu dini untuk bercinta. Pergilah ke kamar kalian. Jangan menodai mata orang tua ini.”Suara nenek membuat Eva mendapatkan kembali kesadarannya, membuka mata dan mendorong tubuh Hans sambil menutup mulutnya dengan tangan. Wajahnya terasa panas, pipinya tampak bersemu merah, percampuran antara malu dan salah tingkah karena tertangkap basah.Nenek melewati Hans dan Eva, mengambil keranjang untuk diisi anggur hijau yang baru dipanen. Wanita itu tidak bicara lagi, hanya meli
“Tutup matamu, Eve.”“Apa yang ingin kamu lakukan, Hans?”Evalia mengerutkan kening, menoleh sambil mencoba melepas tautan jemari Hans yang menempel erat di perutnya.“Tutup saja. Aku tidak akan melakukan apa pun. Ciuman tadi sudah cukup memuaskanku.”“Kamu!”Seketika wajah cantik Eva tersipu. Pipinya merona kemerahan, membuat senyuman Hans semakin lebar. Dia menikmati pemandangan di depannya tanpa berkedip. Gadis itu benar-benar menggemaskan!“Sudah, tutup matamu. Menurutlah. Aku tidak akan melakukan hal-hal yang membuatmu marah. Kau bisa memegang ucapanku, Eve.”Suara bisikan Hans yang teramat lembut benar-benar membuat Eva tak bisa berkata-kata. Dia hanya bisa menurut, menutup matanya sambil menetralkan degup jantungnya yang perlahan berdegup semakin kencang.Seberapa kuat pun Eva menolak, pesona Hans berhasil meruntuhkan pertahanannya. Jika boleh jujur, dia mulai menaruh perhatian lebih kepada pria itu. Bibit-bibit cinta mulai tumbuh di hatinya.Tinggal di bawah atap yang sama sel
Hachu!Hachu!Eva terusik mendengar suara bersin-bersin yang terasa begitu dekat dengannya. Dia langsung membuka mata dan mendapati punggung Hans berjalan menjauh, memasuki kamar mandi dan terdengar membuang lendir di hidungnya.Apa yang terjadi dengan Hans? Apa dia sakit?Namun, tanya itu belum terjawab saat Eva kembali mengerutkan kening. Saat memutuskan untuk bangun dari tempat tidur, sebuah kain yang terasa sedikit basah, terjatuh dari dahinya, tergeletak tepat di pangkuan.“Apa ini?” gumamnya lirih, meraba keningnya sendiri. “Apa aku demam semalam?”Suara pintu kamar mandi terbuka, membawa pria dengan wajah sayu keluar dari sana. Tangannya sibuk menyeka hidung dengan tisu sebelum membuatnya jadi gumpalan dan melemparnya ke tempat sampah.Hans masih menunduk, belum menyadari tatapan penuh tanda tanya dari Eva.“Kamu sakit, Hans?”Pertanyaan Eva membuat Hans sedikit tersentak, langsung mendongak dan bertatapan dengan sang istri. Dia tidak tahu kapan wanita itu terbangun dari tidur
“Jangan membodohiku!” Sarah memelotot, sama sekali tidak percaya dengan ucapan Eva yang mengungkap bahwa dirinya akan berpisah dengan Hans. Sarah tahu betul, Hans sudah jatuh cinta setengah mati kepada dokter muda itu.“Apa untungnya aku membodohimu?” Eve menyergah napasnya sebelum lanjut berkata, “Kamu boleh percaya, boleh tidak. Terserah.”Sarah membuka mulutnya, tapi tidak ada satu kata pun yang terucap meski dua-tiga detik telah berlalu. Dia masih syok mendengar pernyataan itu.“Duduklah. Kita bicara sebagai sesama wanita dewasa.”Meski tidak mempercayai ucapan Evalia, toh Sarah menurut dengan menarik kursi di hadapan Eva dan menunggu penjelasannya. Dia sudah melihat sorot mata wanita hamil itu, tidak terpancar kebohongan di sana.“Seperti yang kamu tahu, kami menikah karena sebuah kesalahan. Setelah bayi ini lahir, aku akan pergi dan tidak akan mengancam posisimu. Kamu tidak perlu membuang waktu dan tenagamu untuk memusuhiku.”“Apa jaminannya? Kenapa aku harus percaya padamu?”Su
“Kandunganmu semakin besar, mulailah mengambil cuti,” pinta Hans saat Eva berjalan ke arahnya dan memakaikan dasi melingkari leher. Seperti pagi-pagi sebelumnya, wanita itu membantu Hans bersiap sebelum sarapan bersama.“Baru tujuh bulan. Masih ada banyak waktu sebelum persalinan. Aku baik-baik saja.”Hans menarik tangan Eva, menghentikan gerakannya.“Bagaimana aku tidak khawatir, kamu terus menolak pergi dan pulang bersama, memilih naik taksi. Itu benar-benar mengganggu pikiranku, Eve.”Eva tersenyum, meloloskan jemarinya dari tangan Hans dan memperbaiki simpul dasi yang masih kurang rapi.“Aku baik-baik saja,” ulang Eva meyakinkan suaminya. “Lagi pula, mobilmu ada di belakang taksi yang kutumpangi. Tidak ada hal buruk yang terjadi selama ini, kan? Kamu terlalu banyak berpikir.”Hans menggeleng dengan tegas, “Mulai hari ini, aku sudah siapkan mobil pribadi untukmu. Kamu bebas pergi ke mana pun tanpa takut orang curiga dengan hubungan kita. Hanya dengan itu aku bisa merasa tenang.”“T
“Eve, kamu ada waktu siang ini?”Tepat saat Eva memasuki lobi Dirgantara Artha Graha, Lily menyambutnya dengan wajah kusutnya. Bukan hanya lingkaran hitam disekitar mata, dia tampak tidak bersemangat sama sekali.“Ada apa?” tanya Eva setelah menyingkirkan isi kepalanya sendiri yang rumit. Sepanjang perjalanan, dia memikirkan perilaku ganjil Hans, tapi tetap tidak mendapat jawaban. Sekarang, Lily menghadangnya.“Aku baru saja ditinggalkan oleh pacarku.”Langkah Eva terhenti, menoleh ke arah Lily sebelum mengamati jam tangan mungil di pergelangan sebelah kiri. Masih ada waktu lima belas menit sebelum jam kerja dimulai.“Ayo bicarakan di ruanganku. Masih ada sedikit waktu,” ujar Eva sambil menempelkan ibu jarinya di finger print dan menggesek id card di sisi lainnya. Perusahaan ini mengutamakan kedisiplinan, menetapkan standar ganda untuk mengabsen karyawannya.Liliana yang sudah tiba di kantor sejak tiga puluh menit lalu, segera tersadar dan melakukan hal yang sama. Setelahnya, dia menye
“Ada apa denganmu? Apa aku sudah menyinggungmu sebelumnya?”Satu alis Hans naik, tapi tak lantas menjawab pertanyaan Eva. Keningnya berkerut, tampak memikirkan sesuatu.“Kita sudah sepakat sebelumnya untuk saling terbuka dan membicarakan masalah satu sama lain. Kenapa tiba-tiba sikapmu berubah?”“Tidak ada yang berubah. Aku memang seperti ini.”Hans memasang wajah sebiasa mungkin, tapi Eva melihat ketidakjujuran dari sorot mata pria itu. Jelas saja dia tidak sependapat akan hal itu. Hans pasti menyimpan satu ganjalan di hatinya. Pasti!Eva menggeleng tegas, “Kamu sebelumnya bukan pria yang mudah terbawa emosi. Bukan hanya pagi tadi, tapi sepanjang hari ini kamu memusuhi semua orang. Mereka membicarakanmu usai rapat.”“Siapa yang membicarakanku?”“Bukan itu masalah utamanya,” sela Eva sambil meraih lengan Hans. “Kalau kamu marah padaku, lampiaskan saja padaku. Bukan orang lain.”Hans sudah membuka mulutnya, tapi pintu putih di belakang Eva tiba-tiba terbuka. Seorang perawat tersenyum,
“Nyonya, ada tamu untuk Anda.”Eva mengangguk, menyangga perut besarnya sambil keluar dari kamar. Tampak Liliana tersenyum menyambutnya.“Apa kabar, Eva? Lama tidak bertemu,” sapanya sambil mendekati Eva dan memberikan pelukan hangat. Namun, tangan Eva tak menyambutnya.“Silakan duduk. Apa yang membawamu kemari?” tanyanya to the point.Liliana terbiasa mendapati sikap Eva yang cukup pendiam, tidak menyadari bahwa sandiwaranya telah terungkap. Hans sudah menceritakan semuanya, termasuk menegaskan bahwa Liliana ada di bawah pengawasan pria itu.“Sebentar lagi hari persalinanmu, bukan? Aku membawakan makanan enak untukmu selagi kamu bisa makan bebas. Setelah bersalin nanti, kamu nggak mungkin makan sembarangan.”Sebelum sempat Eva merespons, Liliana dengan tidak tahu diri langsung berjalan ke arah dapur dan mengambil mangkuk.“Cicipi sedikit saja, Eve. Kamu pasti suka,” ucap Liliana sambil mendekatkan sendok di tangannya ke arah Eva setelah keduanya duduk berdekatan di atas sofa.“Maaf,
"Tuan, ada kabar buruk!" Bram memasuki ruang kerja Hans tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Ada hal lain yang lebih penting yang harus disampaikan kepada pria itu. Hans mengangkat wajahnya dan bertanya, "Ada apa?" Bram meletakkan lembaran foto yang tersebar ke seluruh karyawan ke atas meja, menampilkan foto-foto Arvin yang sedang menggenggam tangan Eva. Gosip segera merebak di antara ratusan karyawan Dirgantara Artha Graha itu. "Seorang anonim mengirimkan ini di web sebelum salah satu karyawan kita meneruskannya ke grup obrolan. Mereka mengira itu suami Nyonya Eva dan memberikan pujian karena melihat kemesraan keduanya." Hans bungkam, menyipitkan matanya demi menatap potret itu sekali lagi. Dilihat dari sudut pandang orang luar, memang tidak mungkin keduanya tidak memiliki hubungan. Pria dengan kacamata tebal itu sedang meniup luka di punggung tangan Eva yang sedang mengelus perut sambil menatap sayu ke arah si pria. "Apa yang harus saya lakukan, Tuan?" tanya Bram setelah men
"Presdir, ini jadwal Anda hari ini," ucap Liliana sambil meletakkan komputer tablet di tangannya ke depan Hans setelah dipersilakan memasuki ruangan. "Aku sudah mendapat salinannya dari Bram, tidak perlu merepotkanmu. Untuk ke depannya, tidak perlu masuk ke ruangan ini tanpa panggilan dariku karena mulai hari ini kamu bukan sekretaris utama lagi." Liliana menelan ludah dengan paksa, menyadari sikap atasannya begitu dingin. "Kenapa masih di sini?" "Ah, maaf. Apa saya membuat kesalahan sampai Presdir memindahkan saya ke divisi lain?" "Kau tidak menyadari kesalahanmu?" Liliana menggeleng dengan wajah polos. Gadis itu tentu saja sadar, tapi dia ingin tahu sejauh mana Hanson menyadari rencana liciknya. Mungkin ada sedikit celah yang bisa dia manfaatkan. "Jangan pernah berpikir berlebihan. Istriku hanya Evalia Lesmana selamanya." Dengan wajah tertunduk menahan malu, Liliana meninggalkan Hans. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia membereskan barang-barangnya di meja dan men
“Jadi, kalian bertiga berkomplot menipuku?” tanya Eva sambil menghempas tangan Hans yang sedari tadi menggenggam jemarinya erat-erat sambil menjelaskan hubungan Liliana dan Felix selama ini.“Eve, aku tidak pernah berniat untuk—”“Faktanya, dia mendekatiku karena membantumu!”“Ya, itu benar. Aku minta maaf karena memanfaatkan hubungan kalian, tapi saat itu aku sangat mengkhawatirkanmu dan kau menolak untuk bertemu denganku.”Eva mendengkus, mengubah posisi duduknya jadi membelakangi Hans. Kakinya terulur ke lantai yang dingin.Seketika itu juga, Hans turun dari ranjang dan mengambil sandal rumah milik Eva dan memakaikannya. Namun, wanita yang terlanjur emosi itu menendangnya dengan sengaja. Dia berjalan menjauh dari ranjang dengan bertelanjang kaki.“Eve, dengarkan dulu.”“Aku tidak ingin mendengar apa pun. Diam dan enyahlah dariku!”Hans tidak melawan saat Eva menyingkirkannya. Dia hanya bisa menatap punggung wanita itu keluar dari kamar dan menuju dapur.Segelas air putih langsung d
Saat Hans membuka pintu kamar, semerbak aroma harum menyapa indra penciumannya. Seulas senyum terkembang di wajahnya yang tampan.“Selamat malam, Sayang,” sapa Hans sambil mendekap tubuh Eva yang sedang berdiri di depan lemari, mencari piyama. Tangannya melekat erat di perut buncit wanita itu sambil menyesap leher jenjang yang tak tertutup apa pun.Eva baru selesai berendam. Rambut panjangnya sengaja diikat tinggi di atas kepala agar tidak basah. Siapa sangka, Hans pulang sebelum dia bisa merapikannya.“Kamu sudah pulang,” ujarnya sambil menoleh, mendapati wajah tampan yang hampir bersentuhan dengan hidungnya.“Kenapa mandi di tengah malam begini, hmm?” bisiknya di telinga Eva sambil sesekali melumatnya.Degup jantung Eva tak terkendali mendapat perlakuan seperti itu, membuat wajahnya memerah. Bagaimanapun juga, meski masih belum mencintai Hans, dia tidak bisa menolak pesona pria itu. Terlebih, dirinya juga seorang wanita dewasa.Berbulan-bulan mencoba mengabaikan kebutuhan biologisny
“Hans, akhirnya kita bertemu lagi.”Pemilik resort sekaligus event organizer berusia awal empat puluh tahunan itu langsung menjabat tangan Hans, bahkan memeluknya seperti seorang sahabat yang lama tidak bertemu.“Apa kabar, Dam? Masih betah menyendiri seperti sebelumnya?” balas Hans, memicu tawa mereka berdua.Satu-dua obrolan mengalir lancar, tidak terasa canggung sama sekali. Sebaliknya, Liliana tercengang di posisinya. Dia tidak menyangka Hans dan Adam saling mengenal satu sama lain.“Sudah, kita lanjutkan obrolannya lagi nanti. Jangan sungkan. Ayo duduk.”Hans menempati sebuah kursi, menyisakan Liliana yang masih mematung di tempatnya. Dia terkejut, tidak pernah melihat Hans berpelukan dengan orang lain, terlebih rekan bisnis. Pria itu selalu menjaga jarak dengan orang lain.“Ah, Nona Liliana, kenapa masih diam di sana? Ayo silakan duduk.”Liliana tergagap, “Ba … baik,” jawabnya sambil melirik Hans setelah terpaksa mengulas senyum canggung. Jauh di lubuk hatinya, dia masih bertany
“Presdir, sudah waktunya pergi ke tempat pertemuan.” Suara Liliana terdengar jernih, menghalangi Hans yang berniat pergi menemui Eva.“Aku tahu. Kau siapkan dokumennya, kita bertemu di lobi.”“Baik,” jawab Lily dengan senyum lebar di wajahnya. Sejak sebulan terakhir, dia semakin banyak berkontribusi untuk bisnis Hans. Dia mendapat promosi untuk menjadi sekretaris utama, menggantikan sekretaris sebelumnya yang dipindahkan ke kantor cabang.Bram segera mengikuti Hans, menekan tombol lift dan membiarkan tuannya masuk terlebih dahulu.“Presdir, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan,” ucapnya saat lift mulai bergerak turun.“Ada apa?”“Sepertinya Liliana memiliki maksud tersembunyi dengan Anda.”Kening Hans berkerut, menoleh dan menatap asisten pribadinya.“Jangan asal bicara atau menduga-duga.”Bram menggeleng, mendekat ke arah Hans dengan wajah serius.“Saya juga tidak ingin mempercayainya, tapi dia sudah memesan kamar atas nama Anda di hotel Pacific.”“Memesan kamar untukku?”“Benar. Jik
"Selamat pagi, Tuan, Nyonya," sapa asisten rumah tangga yang melihat Hans dan Eva turun dari lantai dua. Keduanya berjalan bersisian, dengan tangan Hans memegangi lengan istrinya."Selamat pagi. Bibi, apa sarapannya sudah siap?" balas Eva sambil mendekat ke arah meja makan dan melihat hidangan yang sudha tersaji di sana."Sudah, Nyonya. Silakan.""Terima kasih banyak. Tolong panggilkan Liliana untuk makan bersama."Wanita paruh baya itu mengangguk, segera mengetuk pintu kamar tamu dan menyampaikan maksudnya."Kau sangat dekat dengannya?" tanya Hans sambil melirik ke arah Liliana yang baru saja membuka pintu."Bisa dibilang begitu. Dia satu-satunya temanku.""Hanya teman?"Eva mengangguk, "Ya. Teman baik.""Bukan sahabat?" selidik Hans ingin tahu."Apa bedanya? Kami saling membantu satu sama lain saat membutuhkan. Itu sudah cukup. Entah namanya teman atau sahabat, itu hanya sebutan saja."Hans mengangguk, menyadari istrinya tidak terlalu dekat dengan Liliana. Mereka terhubung karena per
“Lepaskan tangan kotormu dari wanita itu!”Suara Hans terdengar bersamaan tangan yang mencekal lengan pria berjaket kulit di depannya. Tatapan tajamnya jelas menunjukkan kekuasaan mutlak yang dimiliki.“Siapa kamu? Jangan ikut campur urusanku dengan jal—”Plak!Belum selesai berbicara, Hans sudah lebih dulu menggunakan punggung tangannya untuk menampar wajah pria itu.“Sial. Apa urusanmu dengannya, hah? Dia pasangan kencanku!” protesnya setelah meludah ke samping dengan wajah merah menahan marah.“Dia sekretarisku. Siapa pun yang menyakiti orang-orangku, aku berhadapan langsung denganku. Jangan berpikir untuk menindasnya atau kau tidak akan bertahan hidup lagi di kota ini.”Pria pasangan kencan buta itu tertawa, sama sekali tidak percaya dengan ucapan Hans.“Kalaupun benar dia sekretarismu, kamu tidak ada urusan lagi karena ini bukan lagi jam kerja. Yang harus pergi itu kamu. Jangan mengganggu kencan kami!”Liliana refleks meraih lengan Hans dan menunjukkan gelengan kepala sambil mengg