Terryn masih belajar ketika terdengar ketukan di pintu kamarnya, dia bergegas membukanya karena suara Deva yang memanggil namanya.
“Buatkan aku susu hangat, Bi Inah lupa lagi siapkan itu di mejaku malam ini. Aku terbiasa belajar dengan meminum susu hangat di malam hari.” Deva hanya mengatakan itu lalu berbalik lagi menuju kamarnya, tetapi karena Terryn masih mematung dia pun memutar badannya dan menegur Terryn.
“Yaaah … malah bengong, wooy … denger gak sih aku bilang apa barusan?!”
Terryn tersentak kaget, baru kali ini Deva berbicara padanya untuk meminta sesuatu meski tidak menggunakan kata ‘tolong’ di depan atau di akhir kalimatnya.
“Eeeh … i-iya Kak, dengar, segelas teh hangat," jawab Terryn gugup dan salah sebut.
“Susu hangat cewe cupu, susu hangat bukan teh hangat. Makanya kalo orang lagi ngomong tuh didengerin pikiran jangan kemana-mana dulu," omel Deva kemudian menghilang di balik pintu kamarnya.
Terryn hanya menepuk jidatnya, lalu melangkah masuk ke dapur. Jam segini bi Inah dan mba Wati pasti sudah tidur jadi Deva tidak mau membangunkan mereka.
“Untung ganteng jadi biar jutek gitu manisnya gak hilang, aiihhh … ganteng-ganteng gitu kok judes amat yak? Kayak cewe lagi pms aja.”
“Siapa yang pms hah?” suara galak itu terdengar lagi di belakang Terryn dan membuat gadis itu terlonjak kaget.
“Astaghfirullah … gak Kak, gak ada.”
“Susunya mana?” tanya Deva tanpa ekspresi sedikit pun yang membuat kesan horor semakin menjadi.
“Iya, ini Yin baru panasin airnya sebentar.” Terryn mulai gondok dengan sikap Deva yang bossy dan tidak sabaran.
“Buruan gak pake ngomel.” Deva pun berlalu sambil memegang sebungkus roti coklat.
“Iya Kak,” jawab Terryn pelan dengan wajah yang sedikit ditekuk.
‘Ujian … apa bener ini aku sudah naksir cowok ini? Yaa ampuuun berasa salah orang banget,' keluh Terryn yang merasa konyol.
Deva tak pernah tahu jika sebelumnya di desa dulu Terryn sudah sering melihatnya, tetapi Terryn tidak punya keberanian untuk mengajaknya sekedar berkenalan atau berteman. Deva tipe penyendiri dan hanya bergaul dengan beberapa orang saja. Terry biasa datang ke villa ibu Imelda bersama ibunya membawakan mereka kue pesanan yang dibuat ibu Asih.
Terryn hanya mencuri-curi pandang ke arah Deva yang sedang menikmati kue bolu pisang buatan ibunya yang ternyata cocok di lidah Deva. Anak laki-laki itu tak pernah menyadari jika ada Terryn yang selalu memperhatikannya.
Hingga akhirnya ayah Terryn meninggal dunia karena sakit, ibu Imelda meminta pada ibu Asih agar dia menyerahkan pendidikan Terryn dan disekolahkan di kota. Awalnya ibu Asih menolak tetapi melihat prestasi Terryn yang sangat cemerlang akhirnya ibu Asih setuju untuk mengirim Terryn bersekolah di kota.
Lalu di sinilah Terryn berada, bersekolah di sekolah favorit namun Deva mengancam Terryn agar tidak bercerita kepada siapapun juga jika Terryn tinggal serumah dengannya. Awalnya Terry tidak paham dengan permintaan Deva hingga dia tahu siapa Deva sebenarnya Deva di sekolah.
“Lihat … lihat … kak Deva lagi main basket di lapangan … wiiih … keren banget!” seru beberapa siswi di sekolah mereka. Ternyata Deva adalah idola sekolah, digandrungi dan dipuja banyak cewek-cewek karena ketampanannya serta kepiawaiannya menggiring bola dan melewati lawan-lawannya.
Selain itu Deva juga jago bermain gitar, dia bisa menyanyi dan bersuara bagus tetapi dia lebih memilih memetik gitar saja. Latar belakangnya sebagai putra Imelda Larassati yang terkenal wanita pengusaha bertangan dingin dengan kekayaan berlimpah membuat Deva semakin diburu untuk dijadikan kekasih.
Terryn tak berkecil hati dengan semua kenyataan ini, paling tidak Terryn punya kesempatan untuk dekat dengan Deva. Meski di rumah Deva memperlakukannya seperti babu tak membuat perasaan Terryn surut padanya. Di sekolah mereka pura-pura tidak saling mengenal, berpapasan pun Terryn dilarang senyum kepada Deva jika tidak sampai di rumah Deva akan menyentil telinganya.
“Aaauwwhh … Kak Devaaa … sakit tahu…!” kali ini telinga kiri Terryn memerah karena sentilan jari Deva di telinga Terryn.
“Aku kan udah bilang, jangan senyum-senyum di depan aku kalau lagi di sekolah. Susah amat siih dibilanginnya!” hardik Deva sambil melotot ke arah Terryn yang mengusap telinganya.
“Deva! Jangan gitu dooong, kasihan kan Terryn. Lagian cuma senyum doang kan? Biasa aja deeh,” protes Aluna pada adiknya.
“Lagian anak ini dibilangin susah banget siih? Nanti kalau orang semua tahu kita serumah bakal repot!”
“Repot apanya? Gak jelas juga deeh kamu," sambung Aluna lagi sambil mengunyah snack yang dia pegang. Matanya menatap Terryn kasihan.
“Males banget kalau orang tahu aku tinggal serumah dengan cewek cupu ini, cewek-cewek di sekolah juga nanti pada heboh dan kepo tentang aku sama dia nih.”
“Gak bakalan kok Kak Deva, Terryn janji gak akan bilang ke siapa-siapa. Bener deeh.” Terryn mengangkat jari telunjuk dan tengahnya membentuk huruf V.
“Narsis banget siih jadi orang, kepedean banget bakal di kepoin.” Bibir Aluna mengerucut dan terlihat lucu bagi Terrn. Sebagai anak satu-satunya dia merasa beruntung bisa merasakan jadi adik bagi Aluna dan menjadi … tepatnya babu bagi Deva yang sombong, dingin dan tak berperasaan ini.
Terryn menjaga baik rahasia itu bahkan hingga lulus sekolah dan lulus sarjana Terryn menjaga rahasia itu dengan aman meski Terryn dan Deva satu kampus semasa kuliah. Kepopuleran Deva di sekolah terulang kembali di masa perkuliahan. Sepertinya Deva memang ditakdirkan menjadi idola bagi kaum hawa di mana pun dia berada.
Kini bertahun berlalu, Aluna sudah berhasil menjadi dokter, Deva mendirikan perusahaan konsultan dan konstruksi karena latar belakangnya yang seorang arsitek. Terryn sendiri seorang lulusan teknik sipil tetapi dia bekerja di perusahaan kecil yang masih bagian di deretan gedung-gedung tinggi perkantoran di tengah kota.
Mereka bertiga tinggal di rumah yang dibelikan oleh ibu mereka berhubung mereka tinggal di pusat kota yang jauh dari rumah mereka semasa sekolah dulu.
Ibu Imelda memilih lokasi rumah yang dekat dengan rumah sakit tempat Aluna bekerja, Aluna sendiri sekarang sudah memiliki tunangan dan sebentar lagi akan menikah. Di rumah itu Terryn menolak untuk memakai jasa ART yang ditawarkan ibu Imelda dengan alasan Terryn masih sanggup mengerjakan semuanya sendirian.
“Terryn, kaos kakiku kalo sudah dicuci balikin ke tempatnya semula!”
“Terryn, siapkan sarapan!”
“Terryn, bersihin sepatuku!”
“Terryn, cuci mobil sekarang!”
“Terryn, masakin ikan kuah kuning!”
Tak ada komplain, semua tulus dilakukan Terryn untuk Deva juga Aluna dan kepada ibu Imelda yang sudah menyekolahkan hingga punya kehidupan yang lebih baik. Namun tak bisa dipungkiri Terryn, ada sesuatu di dalam hatinya yang semakin menjalar dan berakar kuat.
Cinta pertamanya pada Deva Danuarta, cinta yang semakin ingin dihilangkan Terryn justru semakin kuat menancap di hatinya. Hal ini disadarinya jika cinta Terryn pada Deva hanya hal yang mustahil, tak mungkin berbalas dan akan bertepuk sebelah tangan selamanya.
Musik berdentum keras di sebuah klub malam yang terkenal dan mewah. Sebuah perayaan ulang tahun sedang digelar di sana dan semuanya ikut berpesta dengan meriah suka cita.Sebenarnya Deva enggan untuk ikut tapi kedua sahabatnya Desta dan Willy memaksanya untuk ikut. Deva yang tidak suka dengan klub serta miras hanya duduk di sudut sambil menunggu Desta dan Willy yang sangat menikmati pesta.“Hai, aku Keke, kamu gak ikut turun?” sapa seorang cewek cantik dan berpakaian terbuka yang menonjolkan bahu serta pahanya yang mulus. Deva mendengus melihat penampilan perempuan yang memakai baju kekurangan bahan.“Aku gak tertarik," jawabnya pendek sambil menenggak cola yang dipegangnya. Desta yang melihatnya dari lantai dansa memberinya kode untuk ikut turun tapi
Pagi-pagi Terryn mendengar suara mobil berhenti sejenak di depan rumah mereka, bergegas Terryn membuka pintu dan yakin jika itu adalah Deva yang pulang.“Kak Deva! kakak nginap dimana? Kak Aluna tanyain Kakak terus, kami khawatir kak, ponsel Kakak juga tidak aktif.”“Berisik! Aku nginap di rumah ibu.” Deva merasa terganggu dengan kehebohan Terryn yang menyambutnya pulang.“Kak Deva mau Yin buatkan teh? Mau sarapan apa?” Terryn sudah tahu betul kebiasaan Deva jika pagi dia harus sarapan jika tidak asam lambung dari laki-laki ini pasti kumat lagi.“Buatkan saja aku susu hangat, dan roti bakar. Apa kemeja biruku sudah kamu setrika Yin?”
Deva tidak segera kembali ke kantornya ataupun ke rumahnya. Dia menuju sebuah café untuk menemui seseorang yang memang sedang ditunggunya.Seorang gadis dengan baju yang masih kekurangan duduk manis menunggu Deva. Keke gadis yang mengejar Deva ini tak kenal kata menyerah.“Halo calon suamiku, tampangmu jangan kusut begitu doong….” Sambut Keke dengan senyum yang manis merekah. Bibirnya yang dipoles warna merah menyala membuat penampilan Keke terlihat maksimal.“To the point aja deh, maksud kamu untuk ketemu di sini apa?” tanya Deva dengan dingin bahkan dia menolak untuk memesan sesuatu di café ini.“Aku mau menikah sama kamu Deva. Aku sudah menyelidiki latar belakang kamu, kamu itu gak punya tunangan atau calon istri, jadi gak usah berkelit lagi deh. Kalo gak fo
Ibu Asih mengusap-ngusap kepala putrinya yang sedang terbaring dengan bantuan selang oksigen di hidungnya. Terryn masih belum sadarkan diri karena asap kebakaran yang membuat paru-paru Terryn sedikit bermasalah. Ibu Imelda mendekat pada ibu Asih yang sudah menjaga Teryn, ini hari ketiga Terryn belum sadarkan diri. “Asih, aku berhutang budi lagi pada putrimu yang pemberani ini. Dia sudah menyelamatkan hidup Deva untuk yang kedua kalinya. Aku meminta maaf jika Terryn harus sampai terbaring di sini Asih, dia sudah kuanggap putriku sendiri, aku menyayanginya.” Air mata ibu Imelda jatuh melihat Terryn yang tergolek lemah. “Terryn hanya melakukan yang harus dia lakukan Kak, dia pasti tahu resikonya, dia tidak mungkin meninggalkan nak Deva di dalam sana celaka. Putriku pasti akan baik-baik saja.” Ibu Asih menggenggam jemari ibu Imelda dengan erat. Air mata kedua ibu itu berlinangan. “Bagaimana kondisi nak Deva sekarang Kak?” “Deva juga belum sadarkan
Terryn duduk dalam kamarnya sambil berpikir apakah ini nyata atau mimpi, semuanya terjadi dengan cepat bahkan suara lantang Deva yang mengucap ijab kabul di ruang tamu tadi masih seperti mimpi baginya. Dia berkirim kabar pada Ashiqa untuk meminta sahabatnya itu datang di pernikahannya tapi sayang Ashiqa dan suaminya sedang berada di luar negeri dan belum bisa kembali.Semuanya mendadak persiapannya pun kilat, namun tak mengurangi aura sakral dari pernikahannya ini. Meski dia harus menelan pil pahit, tanda tangannya sudah dibubuhkan pada kesepakatan kontrak antara dia dan Deva secara rahasia tentu saja.“Tanda tangani ini, dan ingat ibu gak boleh tahu, siapapun juga.” Deva menyerahkan selembar kertas dan pulpen pada Terryn malam menjelang pernikahan mereka hari ini. Terryn mengambil dan membacanya sesaat. Intinya mereka sepakat jika pernikahan mereka ini hanya berumur enam bulan saja dan tak ada hubungan badan layaknya suami istri di dalamnya. Tidak boleh me
Hari ketiga setelah mereka menikah akhirnya mereka kembali pulang ke kota karena Deva tidak bisa meninggalkan pekerjaan lama-lama. Cuti Terryn pun sudah habis dan harus segera masuk kerja lagi keesokan harinya. Tak ada yang tahu tentang pernikahan mereka. Bahkan willy dan Desta tidak diberitahu oleh Deva sementara di pihak Terryn yang tahu hanya Ashiqa saja dan suaminya.Terryn membawa masuk koper mereka, wajah keduanya masih terlihat lelah, dada Terryn sedikit terasa nyeri. Dia merabanya dan mencoba mengatur napas dengan baik.“Kamu kenapa?” tanya Deva dengan nada bicara dingin seperti biasanya.“Oh … gak, gak apa-apa Kak.”“Ingat yaa gak ada apapun yang berubah di antara kita, kita menikah hanya karena berdasarkan kesepakatan saja. Kita tetap tidur di kamar masing-masing dan mengurus urusan kita sendiri-sendiri. Kau mengerti?” tatap Deva dengan tajam pada Terryn. Deva sedang berusaha melupakan mal
Terryn menatap layar laptopnya dan sedang menginput data yang telah disusunnya untuk laporan. Kacamatanya melorot di batang hidungnya yang licin, dengan cepat jari telunjuknya mendorong benda itu agar kembali ke posisinya.“Terryn, kita makan siang sama-sama yuuk.” suara Bagas sudah sangat dihafalnya, dia salah satu bosnya di bagian HRD dan yang sudah lama naksir Terryn.“Maaf Mas Bagas aku gak bisa, ini lho laporan gak kelar-kelar sejak dari tadi pagi.”“Yaa udah aku pesankan makanan dan kita makan di sini aja yaa?” tanya pria muda itu tak mau menyerah.Jemari Terryn berhenti mengetik, sekilas dia melihat jari manisnya yang kosong, andai saja dia bisa memakai cincin kawinnya agar orang tau perubahan statusnya tapi sayang cincin itu ada di dadanya. Menggantung sebagai hiasan kalung dan tersembunyi di balik bajunya.“Gak usah repot deeh Mas Bagas. Saya bisa pesan sendiri kok.” Tolak Terryn halus dan ke
Terryn menatap layar laptopnya dan sedang menginput data yang telah disusunnya untuk laporan. Kacamatanya melorot di batang hidungnya yang licin, dengan cepat jari telunjuknya mendorong benda itu agar kembali ke posisinya.“Terryn, kita makan siang sama-sama yuuk.” suara Bagas sudah sangat dihafalnya, dia salah satu bosnya di bagian HRD dan yang sudah lama naksir Terryn.“Maaf Mas Bagas aku gak bisa, ini lho laporan gak kelar-kelar sejak dari tadi pagi.”“Yaa udah aku pesankan makanan dan kita makan di sini aja yaa?” tanya pria muda itu tak mau menyerah.Jemari Terryn berhenti mengetik, sekilas dia melihat jari manisnya yang kosong, andai saja dia bisa memakai cincin kawinnya agar orang tau perubahan statusnya tapi sayang cincin itu ada di dadanya. Menggantung sebagai hiasan kalung dan tersembunyi di balik bajunya.“Gak usah repot deeh Mas Bagas. Saya bisa pesan sendiri kok.” Tolak Terryn halus dan ke
Apapun bisa terjadi jika Tuhan berkehendak. Dalam kasus Terryn bisa saja dia tidak akan bisa punya bayi yang lucu dan sehat, kegigihannya untuk menjalani program hamil hanya butuh waktu yang singkat. Semua adalah kebesaran Tuhan yang tidak akan pernah berhenti disyukuri Terryn. Hidup dengan paru-paru baru juga merupakan kemurahan Tuhan lainnya, bahkan Deva suaminya yang sudah siap menjadi pendonor di detik-detik terakhir digantikan oleh pendonor lain. Manusia memang berencana dan rencana Tuhan yang akan tetap berlaku dalam hidup manusia. Terryn sedang memilihkan baju untuk Sheira, usianya kini enam bulan. Artinya sudah setengah tahun juga operasi besar yang dijalani Terryn sudah berlalu. Walaupun harus meminum obat seumur hidupnya, Terryn bisa beraktifitas seperti biasa. Hanya saja Deva mengawasi Terryn dengan ketat a
Jantung Terryn berdegup kencang ketika mobil sudah terhenti tepat di halaman rumah, Deva membukakan pintu mobil untuknya dan membimbingnya keluar dari mobil. Ibu Asih dan ibu Imelda sudah menyambut kedatangannya dengan penuh sukacita. Dalam gendongan ibu Asih tampak bayi Sheira yang menatap ke arahnya. Mata Terryn berkaca-kaca ketika tangan Sheira bergerak-gerak seakan ingin menggapainya. “Hey … Baby Sheira, Mama kangen banget Sayang….” Terryn mengambil tangan mungil itu dan mengecupnya, apalah daya Terryn belum bisa menggendong Sheira karena bekas operasi di dadanya itu. “Selamat datang kembali, Nak.” sambut ibu Asih sambil membelai kepala Terryn lembut. Bergantian dengan Ibu Asih kini Ibu Imelda yang hati-hati memeluknya dan mencium dahi Terryn lembut. Deva masih sibuk membawakan barang-barang Terryn dan memasukkannya ke kamar mereka. Matanya hanya mampu membaca betapa bahagianya kedua ibunya menyambut kepulangan Terryn dan betapa berbahagianya pula Terryn melihat putrinya. “Y
Terryn tertawa kecil mendengar lelucon Ashiqa sahabatnya, setelah melahirkan Sheira Terryn baru sekali saja melihatnya. Selebihnya Sheira dirawat di ruang khusus anak dan dirinya pun terkulai tak berdaya di kamar ini.“Jika jodoh mereka tak akan kemana.” Terryn menyunggingkan senyumnya.“Oh yaa Yin, aku dengar dari ibu Asih kalau kak Deva nyaris saja jadi pendonor paru untukmu, gak nyangka banget kalau perjuangan cinta kak Deva memang benar-benar total sama kamu. Untungnya kakak ipar kamu, mba Aluna menemukan donor yang tepat lebih cepat hingga dia meyakinkan adiknya kalau dia tidak perlu jadi donor.” Ashiqa memandang wajah Terryn yang tiba-tiba menegang. Tentunya Terryn tidak pernah tahu tentang rencana suaminya untuk menjadi pendonor baginya.
“Sudah berapa lama Deva tertidur, Bu?” Deva kembali memungut botol minuman yang terlepas dari tangannya. Dengan kegusaran dia menghela nafas berharap mimpinya tadi bukan pertanda buruk.“Sekitar hampir sejam, kau pastinya kelelahan, Nak. Tentang Terryn jangan khawatir, Aluna dan rekan dokter lainnya sedang mengusahakan yang terbaik untuk istrimu.” Ibu Imelda mengusap bahu anaknya dengan lembut. Deva mengangguk perlahan, dengan kekuatan yang tersisa di dalam dirinya dia berusaha untuk tetap tenang.Tak lama kemudian Aluna muncul dan Deva berdiri untuk menyambutnya serta bersiap mendengarkan apa kata kakak perempuannya itu.“Kak ….” Deva hanya mampu menyapanya pendek tak mampu untuk menanyakan lebih lanjut kondisi Te
Deva bergegas menyusuri lorong rumah sakit, jantungnya berdegup tidak karuan. Selain memikirkan operasi Terryn tentunya dia juga gugup dengan operasinya sendiri yang dimajukan lebih cepat dari jadwalnya. Willy tetap berusaha menenangkan Deva yang jelas terlihat cemas.Di ujung selasar matanya menangkap sosok perempuan yang sangat dikenalinya, Aluna. Kakak perempuan Deva itu merentangkan tangannya, jauh-jauh dia terbang dari San Fransisco untuk mendampingi adik dan adik iparnya yang tengah dalam masa sulit. Aluna memeluk erat Deva sambil terisak, dia tidak menyangka jika adik ipar kesayangannya itu akan terbaring dengan kondisi yang memprihatinkan.Aluna berbisik-bisik mengatakan sesuatu pada Deva yang membuatnya tersentak dan melepas pelukan Aluna sambil memandang heran.
Wanita itu tak pernah menduga jika suatu saat nanti putranya adalah seorang laki-laki luar biasa yang melakukan pengorbanan untuk perempuan yang dicintai oleh anaknya. Tidak ada pilihan terbaik selain menyerahkan keputusan kepada Deva sendiri untuk menjadi donor paru bagi Terryn. Ibu Imelda hanya sanggup memeluk putranya itu dan merapalkan doa-doa serta harapan terbaik untuk anak dan menantunya.Senyum Terryn mengembang ketika melihat Deva masuk ke kamarnya, tangannya terulur untuk memegang tangan Deva. Wajahnya pucat dengan bibir yang keunguan, terdengar berat di setiap tarikan nafasnya meski sudah dibantu dengan tabung oksigen.“Bagaimana kondisi anak kita, Kak? Apa dia baik-baik saja?” tanya Terryn dengan suaranya yang parau nyaris seperti tercekik.
Hari yang ditentukan akhirnya tiba, Terryn harus masuk ke ruang operasi untuk melahirkan bayinya. Seorang bayi perempuan yang cantik, tapi bayi mungil itu harus mendapatkan perawatan intensif karena usianya yang lahir prematur. Deva mencium kening Terryn yang masih tak sadarkan diri di ruang perawatannya setelah dipindahkan dari ruang operasi. Berbagai alat penopang kehidupannya membalut tubuhnya yang ringkih. Nyaris tak ada lagi cahaya kehidupan di sana, Deva menahan sesak melihat wanita yang telah menjadi ibu dari putrinya itu terbaring lemah tanpa daya.“Cepatlah kembali Yin, putri kita cantik sekali, jangan iri yaa … Kata dokter dan suster putri kita sangat mirip denganku.” Deva menarik senyumnya dengan terpaksa untuk mengimbangi matanya yang basah. Dikecupnya ujung jemari Terryn lalu Deva berbalik meninggalkan ruangan Terryn untuk melihat putrinya yang juga sedan
“Home sweet home ….” bisik Terryn ketika sudah sampai di rumahnya bersama Deva di kota. Rumah yang dikiranya tidak akan ada jalan pulang kembali ke sana.“Tunggu jangan turun dulu.” Bergegas Deva turun dari mobil dan membuka pintu untuk Terryn. Laki-laki itu pun meraih tubuh Terryn agar digendongnya masuk ke dalam rumah.“A-aku bisa jalan sendiri, Kak!” seru Terryn terkejut melihat apa yang dilakukan Deva. Terryn menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan jika aksi Deva ini tidak dilihat oleh siapapun.“Diam, tidak usah bergerak dan banyak bicara.” perintah Deva lagi sambil mempererat gendongannya. Deva membawanya masuk ke kamar tidurnya bukan di kamar Terryn seperti biasa.
Ibu Asih dan ibu Imelda terlihat sangat senang datang berkunjung ke rumah Terryn. Mereka datang membawakan buah-buahan serta stok cemilan untuk Terryn. keduanya masih berbincang dengan seru ketika turun dari mobil.Bergantian mereka mengucapkan salam, ibu Asih dan ibu Imelda saling bertukar pandangan ketika pintu rumah terbuka dengan lebar tapi tak satu pun ada yang menyahuti salam mereka.“Yiiin … Ini Ibu datang, kamu di mana, Nak?” ibu Asih mengetuk pintu kamarnya dan membukanya sedikit , tidak ada sosok Terryn maupun Deva di dalam sana. Ibu Imelda menuju dapur memanggil bi Ira dan Terryn tapi tak ada sahutan juga. Ibu Imelda mencoba menelpon Deva tapi tidak diangkat, lalu mencoba menelpon Terryn. Bahunya cukup tersentak ketika mendengar dering ponsel Terryn di atas meja makan.