Pagi-pagi Terryn mendengar suara mobil berhenti sejenak di depan rumah mereka, bergegas Terryn membuka pintu dan yakin jika itu adalah Deva yang pulang.
“Kak Deva! kakak nginap dimana? Kak Aluna tanyain Kakak terus, kami khawatir kak, ponsel Kakak juga tidak aktif.”
“Berisik! Aku nginap di rumah ibu.” Deva merasa terganggu dengan kehebohan Terryn yang menyambutnya pulang.
“Kak Deva mau Yin buatkan teh? Mau sarapan apa?” Terryn sudah tahu betul kebiasaan Deva jika pagi dia harus sarapan jika tidak asam lambung dari laki-laki ini pasti kumat lagi.
“Buatkan saja aku susu hangat, dan roti bakar. Apa kemeja biruku sudah kamu setrika Yin?”
Terryn yang sedang menyiapkan sarapan Deva hanya menyahut dari balik dapur.
“Iya sudah kak, celananya juga dan kaos kaki ada di dekat sepatu kak Deva.”
Kadang Deva juga merasa jika dirinya keterlaluan untuk memerintah Terryn melakukan banyak hal tapi itulah cara dirinya agar menjaga jarak dengan Terryn. Entah mengapa jika Deva berada dekat dengan Terryn ada desir halus yang terasa di jantungnya dan dia tidak suka itu.
“Sarapannya sudah siap Kak, bagaimana kabar ibu, apa sehat-sehat saja?”
Deva hanya mengangguk sambil mengunyah roti yang masih hangat itu.
“Kak Deva gak bilang mau nginap di rumah ibu, kak Aluna sampai bolak balik tanyain apa Kak Deva sudah pulang apa belum.”
“Mana dia sekarang?” tanya Deva pendek.
“Sudah berangkat ke rumah sakit Kak di jemput sama kak Roby.”
Deva menatap sekilas Terryn yang sedang tersenyum kepadanya, tiba-tiba kepalanya berdenyut mengingat perintah ibunya untuk segera menyelesaikan masalahnya dengan gadis yang bernama Keke itu. Deva tidak sanggup membayangkan jika Terryn si babu kumal yang sering dibullynya ini akan menjadi istrinya.
"Kenapa Kak Deva ngeliatin Yin kayak gitu?"
Deva tergagap dan kembali mengunyah rotinya dengan cepat. Teryn tidak boleh tahu isi kepalanya yang mengakui jika babu kumal ini sebenarnya cantik.
"Gak apa-apa, habis ini siapkan tas kantor aku. Oh ya, apa kamu ke kantor juga hari ini?"
"Iya Kak, kenapa?" tanya Terryn heran, biasanya Deva tidak menanyakan hal-hal pribadi dirinya.
"Aku akan antar kamu ke kantor jadi siap-siap cepat, kamu telat aku tinggal."
Deva menyelesaikan sarapannya dan meninggalkan Teryn yang masih melongo. Sedetik kemudian Terryn tersadar dan melahap segera sarapannya kemudian bergegas bersiap ke kantor. Durian sedang runtuh pikir Terryn dan ini pastinya tidak terjadi setiap hari. Betapa hari ini adalah hari keberuntungan bagi Terryn.
Terryn masuk ke mobil Deva dan mengambil posisi di bagian belakang. Deva yang duduk di belakang stir berdecak kesal.
"Ck ... kenapa kamu duduk di situ Yin? Aku bukan sopir kamu tau, duduk di depan sini!" perintah Deva.
Lagi-lagi Terryn terkejut dan tersenyum dengan girang, dia masih merasa jika keberuntungannya belum selesai. Dengan senang hati dia pindah tempat duduk di samping Deva. Pemuda itu terlihat biasa saja dan memilih lebih banyak diam hingga di tempat tujuan. Kantor mereka hanya bersebelahan saja dan Deva menurunkan Terryn yang berkali-kali mengucapkan terima kasih.
Deva masuk ke kantornya dan disambut dengan dua sahabatnya yang terlihat cemas menunggunya.
"Kemana aja lu Bro semalam menghilang?" Desta menghampiri Deva yang baru saja masuk ke ruangannya.
"Heh ... lu berdua udah gila yaa jebak gue sama cewe yang namanya Keke itu?" tanya Deva dengan wajah yang menakutkan.
"Yang ulang tahun semalam kan dia, mana kita tahu kalo Keke kenal juga sama lu. Emang Keke kenapa?" Willy juga ikut balik bertanya. Deva membuang napasnya dan mengusap wajahnya dengan gusar. Kemudian dia menceritakan apa yang terjadi semalam. Kedua sahabatnya itu terlonjak kaget mendengar aksi nekat Keke dan ancamannya.
"Waduh Dev, masalah besar buat lu tuh, lu tau gak siapa bokapnya Keke?"
Deva menggeleng dan melihat ke arah Willy yang menanyainya.
"Emang siapa?" tanya Desta ikut penasaran.
"Sandi Atmaja!" seru Willy sambil menepuk dahinya dengan keras.
"Matiii... Sandi pemilik New Sky Corps itu? Dia orang berbahaya Meeen... lu udah nolak dengan kasar anak gadis semata wayangnya Sandi Atmaja!" seru Desta yang tak kalah panik.
"Emang kenapa?" tanya Deva tak mengerti.
"Sabar lu yaa ... mulai sekarang hidup lu udah gak aman dan tenang lagi kecuali lu bisa cari jalan keluarnya. Sandi itu pengusaha kelas kakap yang disebut-sebut juga seorang mafia yang ditakuti."
Deva hanya melongo mendengar kalimat Willy barusan yang seperti ancaman terbesar dalam hidupnya.
Ibu Imelda kembali memanggil putranya untuk datang, dia semakin berang mengetahui latar belakang perempuan yang sedang mengincar putranya.
“Kamu tahu siapa Keke ini hah? Dia putri seorang mafia kejam dan jahat, kok kamu bisa bergaul sama dia siiih Deva Danuarta?!” dengan gemas ibu Imelda menoyor kepala putranya. Deva hanya terdiam jika ibunya sudah menyebut namanya dengan nama lengkap berarti ibunya memang sudah maksimal marah kepadanya.
“Sandi itu orangnya licik, bukan cuma kekuasaan dan tak boleh kalah gertak menghadapi dia tapi juga kita harus pintar. Dia itu manusia yang paling ibu hindari untuk hubungan bisnis. Lha kenapa sekarang kamu malah terjerat jebakan anaknya?”
“Bu, Deva tidak pernah bermaksud untuk menjalin hubungan atau apapun dengan perempuan ini, Deva tuh yang nyaris diperkosa sama dia, dia punya foto-foto Deva waktu Deva setengah sadar.” Anak-anak ibu Imelda tidak menggunakan kata ‘aku’ atau ‘saya’ jika sedang menghadapi ibunya yang tengah marah, mereka akan menyebut nama agar ibunya melunak.
Ibu Imelda terperanjat kaget mendengar penuturan Deva barusan, dengan gemas dia menggulung koran yang ada di meja kantornya dan memukul kepala anaknya itu.
“Hah! Laki-laki apa yang hendak diperkosa perempuan? Jaman memang sudah edan!”
Deva mengusap kepalanya yang tidak merasa sakit. Dia belum bisa menaikkan wajahnya menatap ibunya yang masih murka dan pusing dengan masalah yang terjadi.
“Kamu ngomong apa aja ke perempuan itu?”
Sejenak Deva ragu mengatakannya entah bagaimana reaksi ibunya nanti.
“Deva cuma bilang kalo Deva sudah tunangan dengan seorang gadis dan akan segera menikah, jadi dia gak bisa ganggu Deva lagi.”
Ibu Imelda memijit pelipisnya kini bukan hanya pelipisnya saja yang berdenyut tapi seluruh kepalanya ikut sakit. Berurusan dengan Sandi Atmaja dan keluarganya bakal berbuntut panjang. Mereka tidak akan berhenti jika bukan mereka sendiri yang memutuskan untuk berhenti mengganggu.
“Jadi kamu sebenarnya sudah punya pacar yang siap kamu nikahi gitu?” tanya ibu Imelda lagi karena sebelumnya dia menanyakan hal yang sama pada Deva. keningnya berkerut, sebuah kejutan jika putranya yang tertutup dan pendiam ini sudah punya kekasih.
Deva menggeleng pelan, takut-takut dia melihat wajah ibunya.
“Deva belum punya, Bu.” Laki-laki muda itu tersenyum cengengesan yang membuat ibu Imelda menepuk jidatnya.
“Baiklah Anak Muda, sekarang kamu ingin selesaikan masalah ini sendirian atau ibumu ini juga harus turun tangan?” tanya ibu Imelda dengan serius.
“Deva akan selesaikan ini sendiri Bu, semoga tidak terjadi hal yang lebih buruk lagi.”
Ibunya mengusap kepala Deva dan menepuk-nepuk bahunya penuh kasih sayang.
“Ibu percaya kamu putra Ibu yang baik, kamu gak bakalan macam-macam. Pulanglah, ohh ya kasih tahu Terryn yaa akhir pekan nanti Ibu akan berkunjung, Ibu sudah kangen dengan dua anak gadis ibu itu. Ibu mau dimasakin sama Terryn.”
“Iya, baik Bu.” Deva pun berdiri dan mencium tangan ibunya dengan takzim lalu pamit pulang.
Deva tidak segera kembali ke kantornya ataupun ke rumahnya. Dia menuju sebuah café untuk menemui seseorang yang memang sedang ditunggunya.Seorang gadis dengan baju yang masih kekurangan duduk manis menunggu Deva. Keke gadis yang mengejar Deva ini tak kenal kata menyerah.“Halo calon suamiku, tampangmu jangan kusut begitu doong….” Sambut Keke dengan senyum yang manis merekah. Bibirnya yang dipoles warna merah menyala membuat penampilan Keke terlihat maksimal.“To the point aja deh, maksud kamu untuk ketemu di sini apa?” tanya Deva dengan dingin bahkan dia menolak untuk memesan sesuatu di café ini.“Aku mau menikah sama kamu Deva. Aku sudah menyelidiki latar belakang kamu, kamu itu gak punya tunangan atau calon istri, jadi gak usah berkelit lagi deh. Kalo gak fo
Ibu Asih mengusap-ngusap kepala putrinya yang sedang terbaring dengan bantuan selang oksigen di hidungnya. Terryn masih belum sadarkan diri karena asap kebakaran yang membuat paru-paru Terryn sedikit bermasalah. Ibu Imelda mendekat pada ibu Asih yang sudah menjaga Teryn, ini hari ketiga Terryn belum sadarkan diri. “Asih, aku berhutang budi lagi pada putrimu yang pemberani ini. Dia sudah menyelamatkan hidup Deva untuk yang kedua kalinya. Aku meminta maaf jika Terryn harus sampai terbaring di sini Asih, dia sudah kuanggap putriku sendiri, aku menyayanginya.” Air mata ibu Imelda jatuh melihat Terryn yang tergolek lemah. “Terryn hanya melakukan yang harus dia lakukan Kak, dia pasti tahu resikonya, dia tidak mungkin meninggalkan nak Deva di dalam sana celaka. Putriku pasti akan baik-baik saja.” Ibu Asih menggenggam jemari ibu Imelda dengan erat. Air mata kedua ibu itu berlinangan. “Bagaimana kondisi nak Deva sekarang Kak?” “Deva juga belum sadarkan
Terryn duduk dalam kamarnya sambil berpikir apakah ini nyata atau mimpi, semuanya terjadi dengan cepat bahkan suara lantang Deva yang mengucap ijab kabul di ruang tamu tadi masih seperti mimpi baginya. Dia berkirim kabar pada Ashiqa untuk meminta sahabatnya itu datang di pernikahannya tapi sayang Ashiqa dan suaminya sedang berada di luar negeri dan belum bisa kembali.Semuanya mendadak persiapannya pun kilat, namun tak mengurangi aura sakral dari pernikahannya ini. Meski dia harus menelan pil pahit, tanda tangannya sudah dibubuhkan pada kesepakatan kontrak antara dia dan Deva secara rahasia tentu saja.“Tanda tangani ini, dan ingat ibu gak boleh tahu, siapapun juga.” Deva menyerahkan selembar kertas dan pulpen pada Terryn malam menjelang pernikahan mereka hari ini. Terryn mengambil dan membacanya sesaat. Intinya mereka sepakat jika pernikahan mereka ini hanya berumur enam bulan saja dan tak ada hubungan badan layaknya suami istri di dalamnya. Tidak boleh me
Hari ketiga setelah mereka menikah akhirnya mereka kembali pulang ke kota karena Deva tidak bisa meninggalkan pekerjaan lama-lama. Cuti Terryn pun sudah habis dan harus segera masuk kerja lagi keesokan harinya. Tak ada yang tahu tentang pernikahan mereka. Bahkan willy dan Desta tidak diberitahu oleh Deva sementara di pihak Terryn yang tahu hanya Ashiqa saja dan suaminya.Terryn membawa masuk koper mereka, wajah keduanya masih terlihat lelah, dada Terryn sedikit terasa nyeri. Dia merabanya dan mencoba mengatur napas dengan baik.“Kamu kenapa?” tanya Deva dengan nada bicara dingin seperti biasanya.“Oh … gak, gak apa-apa Kak.”“Ingat yaa gak ada apapun yang berubah di antara kita, kita menikah hanya karena berdasarkan kesepakatan saja. Kita tetap tidur di kamar masing-masing dan mengurus urusan kita sendiri-sendiri. Kau mengerti?” tatap Deva dengan tajam pada Terryn. Deva sedang berusaha melupakan mal
Terryn menatap layar laptopnya dan sedang menginput data yang telah disusunnya untuk laporan. Kacamatanya melorot di batang hidungnya yang licin, dengan cepat jari telunjuknya mendorong benda itu agar kembali ke posisinya.“Terryn, kita makan siang sama-sama yuuk.” suara Bagas sudah sangat dihafalnya, dia salah satu bosnya di bagian HRD dan yang sudah lama naksir Terryn.“Maaf Mas Bagas aku gak bisa, ini lho laporan gak kelar-kelar sejak dari tadi pagi.”“Yaa udah aku pesankan makanan dan kita makan di sini aja yaa?” tanya pria muda itu tak mau menyerah.Jemari Terryn berhenti mengetik, sekilas dia melihat jari manisnya yang kosong, andai saja dia bisa memakai cincin kawinnya agar orang tau perubahan statusnya tapi sayang cincin itu ada di dadanya. Menggantung sebagai hiasan kalung dan tersembunyi di balik bajunya.“Gak usah repot deeh Mas Bagas. Saya bisa pesan sendiri kok.” Tolak Terryn halus dan ke
Terryn menatap layar laptopnya dan sedang menginput data yang telah disusunnya untuk laporan. Kacamatanya melorot di batang hidungnya yang licin, dengan cepat jari telunjuknya mendorong benda itu agar kembali ke posisinya.“Terryn, kita makan siang sama-sama yuuk.” suara Bagas sudah sangat dihafalnya, dia salah satu bosnya di bagian HRD dan yang sudah lama naksir Terryn.“Maaf Mas Bagas aku gak bisa, ini lho laporan gak kelar-kelar sejak dari tadi pagi.”“Yaa udah aku pesankan makanan dan kita makan di sini aja yaa?” tanya pria muda itu tak mau menyerah.Jemari Terryn berhenti mengetik, sekilas dia melihat jari manisnya yang kosong, andai saja dia bisa memakai cincin kawinnya agar orang tau perubahan statusnya tapi sayang cincin itu ada di dadanya. Menggantung sebagai hiasan kalung dan tersembunyi di balik bajunya.“Gak usah repot deeh Mas Bagas. Saya bisa pesan sendiri kok.” Tolak Terryn halus dan ke
Suasana kantor baru cukup menegangkan di bawah manajemen baru Deva Danuarta. Banyak yang bergosip jika bos Deva itu orangnya dingin dan sangat tegas dalam hal pekerjaan. Bagi Terryn yang sudah biasa menghadapi Deva hal itu tidak masalah. Bertahun-tahun dia menghadapi Deva yang ‘bossy’, kelihatannya saja Deva arogan tapi sebenarnya dia pria yang baik dan peduli.Para karyawan baru eks De Sign berada langsung di bawah manajemen Willy. Mereka diberi arahan dan juga pilihan yang merasa tidak nyaman dengan peralihan kepemimpinan bisa mengundurkan diri yang suratnya ditujukan pada Melda’s Constructions. Beberapa rekan Terryn pun akhirnya ada yang resign, ada yang tengah hamil dan persiapan melahirkan, ingin berdikari dan ada yang sedang persiapan pernikahan.Willy sedang berdiri di depan mereka untuk kata penyambutan bagi karyawan eks De Sign yang sudah resmi menjadi karyawan Melda’s Constructions. Tampak di belakang pria yang jauh lebih ramah itu ada
“Kamu kok bandel banget siih Yiiin? Kan udah dibilangin kalo kamu itu gak boleh cape dulu atau aktifitas berlebih, paru-paru kamu belum sembuh benar, nanti kalau ada komplikasi gimana?” Aluna mengalungkan stetoskopnya sambil mengomeli Terryn. Gadis itu hanya cengar cengir sambil menggaruk ujung hidungnya dengan jari telunjuknya.“Ini lagi … siku kamu kenapa sampai baret kayak gini? Mau kamu aku laporin ke ibu? anak bandel.” Aluna mengambil kotak obatnya dan membersihkan luka dan mengolesinya dengan cairan berwarna coklat pekat. Gadis itu meringis kecil dan meniup-niup sikunya.“Hari ini aku diangkat jadi asisten pribadinya Kak Deva, aku tadi bikin kesalahan lupa masukkan laporan penting yang kak Deva butuhkan di rapat tadi siang aku, disuruh bolak balik gedung dalam waktu sepuluh menit aja, aku keserempet motor dan jatuh.”“Anak itu benar-benar yaa!” Aluna beranjak dari tempat tidur kamarnya dan ingin menemu
Apapun bisa terjadi jika Tuhan berkehendak. Dalam kasus Terryn bisa saja dia tidak akan bisa punya bayi yang lucu dan sehat, kegigihannya untuk menjalani program hamil hanya butuh waktu yang singkat. Semua adalah kebesaran Tuhan yang tidak akan pernah berhenti disyukuri Terryn. Hidup dengan paru-paru baru juga merupakan kemurahan Tuhan lainnya, bahkan Deva suaminya yang sudah siap menjadi pendonor di detik-detik terakhir digantikan oleh pendonor lain. Manusia memang berencana dan rencana Tuhan yang akan tetap berlaku dalam hidup manusia. Terryn sedang memilihkan baju untuk Sheira, usianya kini enam bulan. Artinya sudah setengah tahun juga operasi besar yang dijalani Terryn sudah berlalu. Walaupun harus meminum obat seumur hidupnya, Terryn bisa beraktifitas seperti biasa. Hanya saja Deva mengawasi Terryn dengan ketat a
Jantung Terryn berdegup kencang ketika mobil sudah terhenti tepat di halaman rumah, Deva membukakan pintu mobil untuknya dan membimbingnya keluar dari mobil. Ibu Asih dan ibu Imelda sudah menyambut kedatangannya dengan penuh sukacita. Dalam gendongan ibu Asih tampak bayi Sheira yang menatap ke arahnya. Mata Terryn berkaca-kaca ketika tangan Sheira bergerak-gerak seakan ingin menggapainya. “Hey … Baby Sheira, Mama kangen banget Sayang….” Terryn mengambil tangan mungil itu dan mengecupnya, apalah daya Terryn belum bisa menggendong Sheira karena bekas operasi di dadanya itu. “Selamat datang kembali, Nak.” sambut ibu Asih sambil membelai kepala Terryn lembut. Bergantian dengan Ibu Asih kini Ibu Imelda yang hati-hati memeluknya dan mencium dahi Terryn lembut. Deva masih sibuk membawakan barang-barang Terryn dan memasukkannya ke kamar mereka. Matanya hanya mampu membaca betapa bahagianya kedua ibunya menyambut kepulangan Terryn dan betapa berbahagianya pula Terryn melihat putrinya. “Y
Terryn tertawa kecil mendengar lelucon Ashiqa sahabatnya, setelah melahirkan Sheira Terryn baru sekali saja melihatnya. Selebihnya Sheira dirawat di ruang khusus anak dan dirinya pun terkulai tak berdaya di kamar ini.“Jika jodoh mereka tak akan kemana.” Terryn menyunggingkan senyumnya.“Oh yaa Yin, aku dengar dari ibu Asih kalau kak Deva nyaris saja jadi pendonor paru untukmu, gak nyangka banget kalau perjuangan cinta kak Deva memang benar-benar total sama kamu. Untungnya kakak ipar kamu, mba Aluna menemukan donor yang tepat lebih cepat hingga dia meyakinkan adiknya kalau dia tidak perlu jadi donor.” Ashiqa memandang wajah Terryn yang tiba-tiba menegang. Tentunya Terryn tidak pernah tahu tentang rencana suaminya untuk menjadi pendonor baginya.
“Sudah berapa lama Deva tertidur, Bu?” Deva kembali memungut botol minuman yang terlepas dari tangannya. Dengan kegusaran dia menghela nafas berharap mimpinya tadi bukan pertanda buruk.“Sekitar hampir sejam, kau pastinya kelelahan, Nak. Tentang Terryn jangan khawatir, Aluna dan rekan dokter lainnya sedang mengusahakan yang terbaik untuk istrimu.” Ibu Imelda mengusap bahu anaknya dengan lembut. Deva mengangguk perlahan, dengan kekuatan yang tersisa di dalam dirinya dia berusaha untuk tetap tenang.Tak lama kemudian Aluna muncul dan Deva berdiri untuk menyambutnya serta bersiap mendengarkan apa kata kakak perempuannya itu.“Kak ….” Deva hanya mampu menyapanya pendek tak mampu untuk menanyakan lebih lanjut kondisi Te
Deva bergegas menyusuri lorong rumah sakit, jantungnya berdegup tidak karuan. Selain memikirkan operasi Terryn tentunya dia juga gugup dengan operasinya sendiri yang dimajukan lebih cepat dari jadwalnya. Willy tetap berusaha menenangkan Deva yang jelas terlihat cemas.Di ujung selasar matanya menangkap sosok perempuan yang sangat dikenalinya, Aluna. Kakak perempuan Deva itu merentangkan tangannya, jauh-jauh dia terbang dari San Fransisco untuk mendampingi adik dan adik iparnya yang tengah dalam masa sulit. Aluna memeluk erat Deva sambil terisak, dia tidak menyangka jika adik ipar kesayangannya itu akan terbaring dengan kondisi yang memprihatinkan.Aluna berbisik-bisik mengatakan sesuatu pada Deva yang membuatnya tersentak dan melepas pelukan Aluna sambil memandang heran.
Wanita itu tak pernah menduga jika suatu saat nanti putranya adalah seorang laki-laki luar biasa yang melakukan pengorbanan untuk perempuan yang dicintai oleh anaknya. Tidak ada pilihan terbaik selain menyerahkan keputusan kepada Deva sendiri untuk menjadi donor paru bagi Terryn. Ibu Imelda hanya sanggup memeluk putranya itu dan merapalkan doa-doa serta harapan terbaik untuk anak dan menantunya.Senyum Terryn mengembang ketika melihat Deva masuk ke kamarnya, tangannya terulur untuk memegang tangan Deva. Wajahnya pucat dengan bibir yang keunguan, terdengar berat di setiap tarikan nafasnya meski sudah dibantu dengan tabung oksigen.“Bagaimana kondisi anak kita, Kak? Apa dia baik-baik saja?” tanya Terryn dengan suaranya yang parau nyaris seperti tercekik.
Hari yang ditentukan akhirnya tiba, Terryn harus masuk ke ruang operasi untuk melahirkan bayinya. Seorang bayi perempuan yang cantik, tapi bayi mungil itu harus mendapatkan perawatan intensif karena usianya yang lahir prematur. Deva mencium kening Terryn yang masih tak sadarkan diri di ruang perawatannya setelah dipindahkan dari ruang operasi. Berbagai alat penopang kehidupannya membalut tubuhnya yang ringkih. Nyaris tak ada lagi cahaya kehidupan di sana, Deva menahan sesak melihat wanita yang telah menjadi ibu dari putrinya itu terbaring lemah tanpa daya.“Cepatlah kembali Yin, putri kita cantik sekali, jangan iri yaa … Kata dokter dan suster putri kita sangat mirip denganku.” Deva menarik senyumnya dengan terpaksa untuk mengimbangi matanya yang basah. Dikecupnya ujung jemari Terryn lalu Deva berbalik meninggalkan ruangan Terryn untuk melihat putrinya yang juga sedan
“Home sweet home ….” bisik Terryn ketika sudah sampai di rumahnya bersama Deva di kota. Rumah yang dikiranya tidak akan ada jalan pulang kembali ke sana.“Tunggu jangan turun dulu.” Bergegas Deva turun dari mobil dan membuka pintu untuk Terryn. Laki-laki itu pun meraih tubuh Terryn agar digendongnya masuk ke dalam rumah.“A-aku bisa jalan sendiri, Kak!” seru Terryn terkejut melihat apa yang dilakukan Deva. Terryn menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan jika aksi Deva ini tidak dilihat oleh siapapun.“Diam, tidak usah bergerak dan banyak bicara.” perintah Deva lagi sambil mempererat gendongannya. Deva membawanya masuk ke kamar tidurnya bukan di kamar Terryn seperti biasa.
Ibu Asih dan ibu Imelda terlihat sangat senang datang berkunjung ke rumah Terryn. Mereka datang membawakan buah-buahan serta stok cemilan untuk Terryn. keduanya masih berbincang dengan seru ketika turun dari mobil.Bergantian mereka mengucapkan salam, ibu Asih dan ibu Imelda saling bertukar pandangan ketika pintu rumah terbuka dengan lebar tapi tak satu pun ada yang menyahuti salam mereka.“Yiiin … Ini Ibu datang, kamu di mana, Nak?” ibu Asih mengetuk pintu kamarnya dan membukanya sedikit , tidak ada sosok Terryn maupun Deva di dalam sana. Ibu Imelda menuju dapur memanggil bi Ira dan Terryn tapi tak ada sahutan juga. Ibu Imelda mencoba menelpon Deva tapi tidak diangkat, lalu mencoba menelpon Terryn. Bahunya cukup tersentak ketika mendengar dering ponsel Terryn di atas meja makan.