Natasha berjalan mondar-mandir di depan cermin untuk mencocokkan pakaian yang akan ia kenakan. Di antara berbagai pilihan yang tersusun rapi di lemari, Natasha memegang gamis biru muda, lalu memandang dirinya sendiri di cermin. Ia menimbang-nimbang apakah warna itu cocok untuk hari pertama kerjanya. Sesekali, netranya menatap Edgar, yang masih terlelap di atas ranjang. Namun, saat suara alarm berbunyi, ia buru-buru mematikan alarm tersebut dan duduk di sisi ranjang untuk membangunkan Edgar. "Selamat pagi, Mas," ucapnya dengan lembut. Edgar mengerjapkan mata, tersenyum kecil saat melihat istrinya yang cantik duduk di sampingnya. "Selamat pagi, Sayang." "Apa tidurmu nyenyak?" tanya Natasha sambil mengelus pipi Edgar dengan lembut. Edgar mengangguk. "Hmm," jawabnya. Ia menarik lembut tubuh Natasha dan mendaratkannya di atas dada bidangnya seraya berkata, "Kemarilah." Natasha merasa nyaman dalam pelukan Edgar, merasakan kehangatan tubuh suaminya yang menenangkan. Edgar mencium keni
Setelah Natasha menolak semua solusi yang diberikan Edgar, akhirnya Edgar menyerah dan menuruti apa yang Natasha inginkan. Hatinya terasa berat, bukan karena permintaan Natasha yang aneh, tapi karena ia khawatir akan keselamatan dan kenyamanan istrinya itu. Edgar selalu berusaha memberikan yang terbaik untuknya, bahkan jika itu berarti mengesampingkan keinginannya sendiri.“Apa kamu yakin ingin naik kendaraan umum?” tanya Edgar sekali lagi sebelum keduanya keluar dari kamarnya. Suaranya terdengar penuh keraguan, matanya memandang Natasha dengan cemas.Natasha mengangguk semangat. "Iya," jawabnya dengan tangan yang memasangkan dasi Edgar. Edgar menatap Natasha dengan intens, matanya mencoba menyampaikan sesuatu. Sesekali, bibirnya terbuka hendak bicara, namun ia menggigitnya kembali. Natasha, yang peka akan hal itu, bertanya dengan lembut, "Ada apa, Mas? Katakan saja.""Jangan biarkan pria lain mendekatimu," ucap Edgar dengan suara rendah, tatapan matanya terpaku pada sepasang bola ma
***Sepanjang perjalanan Edgar dan Julian menuju kantor, suasana di dalam mobil terasa hening. Hanya suara mesin yang samar-samar terdengar, mengiringi perjalanan mereka di jalanan kota yang mulai ramai. Edgar, dengan matanya yang tajam dan hati yang gelisah, terus menatap ke sisi jalan melalui kaca jendela. Setiap halte bus yang mereka lewati diperhatikan dengan seksama, mencari keberadaan Natasha, yang barangkali saja ada di salah satu halte itu. Julian, yang duduk di sebelahnya, tampak lebih tenang. Namun, ia bisa merasakan kegelisahan sahabatnya itu. Dalam diam, Julian turut memperhatikan jalanan."Bukankah dia Natasha?" ucap Julian tiba-tiba, saat matanya menangkap sosok seorang wanita berpakaian maroon senada dengan hijab dan cadarnya tengah berdiri di halte depan.Edgar segera menoleh, mengarahkan pandangannya ke arah yang ditunjuk Julian. Hatinya berdegup kencang. "Mana?" tanyanya dengan nada penuh antusias. "Di sana," jawab Julian.Edgar buru-buru mengarahkan pandangannya ke
Dengan sedikit rasa canggung, Natasha membungkukkan tubuhnya, mengikuti gerakan para karyawan di sekitarnya. Ia masih mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan baru ini. Edgar, CEO yang terkenal tegas, memberi instruksi kepada seluruh karyawan di sana dengan suara yang lantang. Aura wibawa dan otoritasnya membuat semua orang di ruangan itu diam seketika."Tegakkan tubuh kalian!" perintah Edgar dengan tegas. Karyawan-karyawan lain pun segera menegakkan tubuh mereka, mematuhi perintah sang atasan, begitupun dengan Natasha. Ruangan itu terasa hening, hanya terdengar suara napas yang tertahan dan detak jantung yang berdebar. Tiba-tiba, Edgar mengajukan pertanyaan yang tak terduga. "Apa kalian sudah sarapan?" Pertanyaan itu membuat semua karyawan terkejut. Tidak ada yang berani menjawab terlebih dahulu.Semua karyawan saling pandang dengan ekspresi bingung. Sementara tatapan tajam Edgar mengarah pada mereka, menunggu dengan sabar untuk mendengar jawaban. Akhirnya, seorang karyawan wan
"Ada apa datang kemari?" tanya Edgar tanpa basa-basi. Suaranya datar dan tanpa emosi, seolah-olah kehadiran Bianca hanyalah gangguan di tengah kesibukannya.Bianca mengangkat paper bag cokelat di tangannya seraya berkata, "Aku bawa nasi goreng seafood kesukaanmu. Bagaimana jika kita sarapan bersama? Kamu pasti belum sarapan, kan?" ajaknya dengan semangat.Edgar menghela napas dalam-dalam, mencoba menahan rasa kesal yang mulai merayap. "Aku sudah sarapan," tolaknya dengan tegas. Ia mengarahkan pandangannya ke depan, seolah-olah kehadiran Bianca tidak penting baginya. Wajah Bianca langsung berubah. Semangat yang tadi terlihat kini sirna, digantikan oleh ekspresi kecewa. Ia menatap Edgar dengan mata sedih, bibirnya mengerucut ke depan. "Padahal aku sengaja belum mengisi perutku dengan apa pun agar bisa sarapan bersamamu," gumamnya lirih.Namun, Edgar tak menanggapi ucapannya, seolah-olah Bianca tidak ada di sana. Seketika, wajah Bianca kembali tersenyum. Cahaya pagi memantul di matanya
Natasha mengangguk lembut. "Hmm. Aku baik-baik saja," jawabnya. Kendati begitu, perasaannya justru sebaliknya.Pikiran Natasha berputar-putar, penuh dengan kekhawatiran yang enggan dia ungkapkan. Setiap kata yang dia ucapkan terasa seperti kebohongan besar yang semakin menekan hatinya. Dia mencoba mengalihkan pandangannya dari ruangan Edgar, namun kehadiran Bianca membuatnya penasaran.Meskipun suara Bianca tidak begitu jelas terdengar di telinganya, Julian tahu jika kehadiran Bianca cukup mengganggu Natasha. Tatapan Natasha yang biasanya terlihat tenang kini penuh dengan keresahan yang tak bisa disembunyikan. "Bisakah ikut aku sebentar?" ajak Julian dengan ramah. Natasha diam sejenak, mempertimbangkan ajakan Julian. Namun, belum sempat Natasha menyetujui ajakannya, Julian kembali berbicara."Ada sesuatu yang ingin kusampaikan," kata Julian.Mendengar itu, akhirnya Natasha mengangguk setuju. Julian pun melangkah sedikit menjauh dari sana, diikuti Natasha di belakangnya. Keduanya be
Edgar menatap kepergian Natasha dengan pandangan yang terbakar oleh emosi yang bergejolak. Kemudian, dengan tatapan yang lebih tajam, dia memalingkan wajahnya ke arah Bianca yang masih memegang tangannya erat.“Lepaskan!” bentak Edgar, suaranya bergema keras di lorong yang sepi, menggetarkan kesunyian yang sebelumnya mendominasi.Bianca, terkejut dengan nada suara Edgar, perlahan ia melepaskan genggamannya.Tanpa memberikan Bianca kesempatan untuk berbicara, Edgar mengalihkan pandangannya yang dingin ke arah Julian. Julian, yang tampak tidak terganggu oleh kemarahan Edgar, hanya bisa tersenyum dengan santai.Edgar melangkah maju dengan tegas. Dia berhenti tepat di depan Julian, matanya tidak berkedip, seolah ingin melayangkan pukulan pada pria di hadapannya itu.“Ini dokumen yang harus kamu–” Julian mencoba menyampaikan sesuatu, namun Edgar tidak memberinya kesempatan. Dengan langkah yang mantap dan tanpa ragu, Edgar melanjutkan langkahnya, meninggalkan Julian yang masih berdiri denga
***Julian berjalan di sepanjang koridor dengan mata yang terus mencari keberadaan Edgar. Langkahnya cepat, seolah diburu waktu, sementara pikirannya dipenuhi berbagai spekulasi. Dalam benaknya, ia sudah mengira jika Edgar pasti sangat murka padanya, dan setiap detik yang berlalu membuat kegelisahan Julian semakin memuncak.Saat ia melewati ruang meeting, langkahnya terhenti. Lampu di dalam ruangan itu menyala. Julian sangat yakin jika Edgar mungkin berada di sana. Ia menatap pintu yang sedikit dengan pandangannya yang tajam."Apa dia di dalam sana?" gumam Julian dalam hati, matanya menyipit mencoba menangkap bayangan Edgar.Dengan langkah mantap, Julian pun melangkah masuk ke dalam ruangan tersebut, tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Pintu yang sedikit terbuka langsung terayun pelan saat ia memasukinya. "Ternyata kau di sini," ucap Julian, suaranya terdengar tenang meskipun hatinya berdegup kencang. Langkahnya terdengar samar-samar di atas lantai yang dingin.Kendati Edgar tahu ke
Edgar menepikan mobilnya di pinggir jalan dengan perasaan putus asa setelah berbicara dengan Barra. Hatinya terasa kosong, dan pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Ia meremas kemudi mobil dengan erat, berusaha meredam emosi yang terus bergemuruh di dalam dirinya. "Apakah Natasha benar-benar membenciku?" gumamnya pelan, suaranya nyaris tertelan oleh keheningan mobil. Ia tidak bisa memahami mengapa semuanya berubah begitu cepat. Edgar menutup matanya sejenak, berharap menemukan kedamaian di tengah kekacauan pikirannya. Tapi, justru yang muncul adalah bayangan Natasha—wajahnya yang selalu tenang dan tatapannya yang dalam.Tiba-tiba, suara notifikasi pesan masuk memecah kesunyian. Edgar membuka matanya dan meraih ponselnya dengan lesu, mengira itu hanya pesan dari Julian yang mungkin ingin membahas urusan pekerjaan. Namun, saat melihat nama pengirim di layar, tubuh Edgar menegang. Nama yang tertera di sana bukan Julian, melainkan Barra.Dengan cepat, Edgar membuka pes
Keesokan harinya, Edgar duduk di ruang kerjanya dengan tatapan kosong. Penampilannya jauh dari rapi seperti biasanya– dasi yang seharusnya terikat sempurna kini menggantung longgar di lehernya, dan rambutnya yang sedikit acak-acakan memperlihatkan betapa berantakannya kondisi Edgar. Ia menatap kosong ke arah jendela ruang kerjanya, tapi yang dilihatnya bukanlah pemandangan di luar sana, melainkan kekacauan yang ada di dalam pikirannya sendiri. "Natasha.. Di mana kamu sekarang?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar di tengah keheningan ruangan.Edgar menggenggam kepalanya, jari-jarinya mencengkeram rambutnya yang sudah kusut. Ia tidak pernah merasa sekacau ini sebelumnya. "Kenapa semalam kamu tidak pulang?" Pertanyaan itu terus bergema di kepalanya. Edgar merasa seolah-olah ia telah kehilangan kendali atas hidupnya. "Aku harus menemukannya, harus... tapi di mana harus memulai? Bagaimana jika semuanya sudah terlambat?" Keraguan itu terus menghantuinya, membuatnya semakin tenggelam
Sesaat setelah mobil Edgar berhenti dengan keras di halaman mansionnya, ia keluar dengan tergesa-gesa. Hatinya berdebar kencang, seakan ada sesuatu yang mendesaknya untuk segera menemukan seseorang. Tanpa menunggu lebih lama, ia segera melangkah masuk ke dalam rumah."Natasha!"Nama itu terucap berkali-kali, berputar dalam pikirannya seperti mantra yang terus bergema. Dengan langkah cepat, Edgar menyusuri lorong-lorong yang panjang dan sepi, berharap menemukan istrinya di salah satu sudut rumah yang luas ini. Ketika ia tiba di ruang tamu, Bi Murni, pembantu setianya, muncul dari dapur, mendengar kegaduhan yang tak biasa dari majikannya."Tuan Edgar, ada apa?" tanya Bi Murni, sedikit khawatir melihat raut wajah pria itu yang tampak cemas.“Natasha di mana?” Edgar langsung memotong tanpa basa-basi, pandangannya tajam mencari jawaban dari wajah tua yang telah mengabdi di rumah itu selama bertahun-tahun.Bi Murni mengerutkan kening, sedikit bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba.“Sejak
"Tidak. Aku tidak ingin meneruskan pernikahan kontrak ini."Barra dan Julian saling pandang, terkejut mendengar jawaban yang tak mereka sangka-sangka. Baru beberapa menit yang lalu Edgar mengatakan jika ia bahagia dengan pernikahannya, namun, kini dia dengan memutuskan untuk mengakhirinya. Barra dan Julian benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Edgar.Edgar melanjutkan, "Aku ingin menjadikan pernikahanku bersama Natasha sebagai pernikahan yang sesungguhnya."Barra hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Dengan alis terangkat dan suara yang sarat dengan ironi, dia berkata, "Hampir saja aku memakimu, Edgar. Aku kira kau sudah kehilangan akal."Namun, alih-alih marah atau tersinggung, Edgar hanya terkekeh pelan, sebuah senyum samar menghiasi wajahnya. Ketenangan itu hanya berlangsung sejenak, sebelum Julian tiba-tiba terpaku, pandangannya terarah pada pintu di sudut ruangan, seolah melihat sesuatu yang tak seharusnya ada di sana.Edgar, yang menangkap perubaha
"Jika kamu memang benar-benar menyukainya, maka nikahilah Dita."Barra terdiam, matanya bergerak gelisah seolah mencari jawaban yang tepat. Dia menyukai Dita, itu jelas. Namun, setiap kali berpikir tentang pernikahan, bayangan masa kecilnya tentang pertengkaran tanpa henti orang tuanya menghantui pikirannya. Trauma itu masih begitu nyata, membuatnya ragu untuk melangkah lebih jauh."Edgar, ini tidak semudah yang kamu pikirkan," Barra akhirnya angkat bicara, suaranya terdengar goyah. "Aku... aku takut. Pernikahan bukan sekadar soal cinta. Aku melihat bagaimana orang tuaku berakhir, dan aku tidak ingin mengalami hal yang sama."Edgar mengangguk, memahami perasaan sahabatnya. "Aku mengerti ketakutanmu, Barra," Edgar menekankan, suaranya lebih lembut tapi tetap tegas. "Tapi kamu harus ingat, jika kamu tidak menikahi Dita, mungkin suatu hari nanti dia akan berubah pikiran dan menerima perjodohan yang diatur orang tuanya dengan pria lain."Barra menelan salivanya, perasaan tidak nyaman mul
Natasha mendadak terdiam, mengalihkan pandangannya sejenak dari perbincangan yang sedang berlangsung. Barra dan Julian, yang sedari tadi saling melirik, bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikiran Natasha. Edgar, yang duduk di sebelah Natasha, menangkap kegelisahan itu. Dengan lembut, ia meraih tangan Natasha dan mengusapnya, mencoba menenangkan istrinya yang terlihat mulai resah. "Sayang..." panggil Edgar dengan suara rendah, penuh perhatian.Natasha tersadar dari lamunannya dan menatap Edgar, lalu beralih pada Barra dan Julian yang masih memandanginya dengan penuh tanya. Senyum tipis terukir di balik cadarnya, meskipun matanya masih menyiratkan kekhawatiran. "Aku akan cari minum untuk kalian dulu," ucapnya tiba-tiba.Namun, sebelum Natasha sempat bangkit dari tempat duduknya, tangan Edgar sudah menahan lengannya. "Duduklah," katanya. "Biar aku minta mereka yang membelinya."Edgar melirik ke arah beberapa bodyguard yang tengah berjaga di sudut ruangan. Sinyal singkat dari Edg
"Terima kasih atas traktirannya," ucap Natasha dengan ceria, sambil menjilat es krim cone cokelat yang manis dengan perpaduan rasa vanila yang lembut. Ia menikmati setiap gigitan dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya, seolah-olah es krim itu adalah hadiah paling istimewa yang pernah ia terima. "Aku hanya memberimu sebuah es krim, bukan sebongkah berlian. Kenapa kau terlihat begitu senang?" tanya Edgar, suaranya terdengar santai tapi penuh perhatian.Natasha berhenti sejenak dari menikmati es krimnya, lalu menoleh menatap Edgar. "Jelas aku senang. Ini pemberian dari suamiku."Mendengar jawaban Natasha, Edgar tertawa pelan, suaranya rendah dan penuh kehangatan. "Kamu tidak menawariku?" tanyanya, dengan nada sedikit menggoda, sambil menatap es krim di tangan Natasha dengan senyuman iseng."Kalau kamu mau, cobalah," ucap Natasha lembut. Ia menyodorkan es krim di tangannya ke arah Edgar.Namun, Edgar tidak langsung menerima tawaran itu. Alih-alih mengambil es krim dari tangan Natasha
“Menjauhlah dari Ayahku!” seru Edgar dengan nada tegas, suaranya memecah keheningan yang memenuhi ruangan. Sosoknya tiba-tiba muncul di ambang pintu, bayangannya membingkai tubuhnya yang tegap namun tampak tegang. Matanya tajam menatap Rio, seakan tak ingin pria itu mendekati figur yang terbaring di atas ranjang. Natasha yang sejak tadi berdiri di samping Rio, langsung menoleh begitu mendengar seruan itu. Dalam hatinya, ada kecemasan yang mulai merayap. Sementara itu, Rio, yang duduk di kursi roda, hanya menghela napas panjang. Pandangannya turun, seolah sudah bisa menebak arah pembicaraan yang akan terjadi. “Sudah kuduga akan seperti ini,” gumamnya, nada suaranya rendah namun cukup terdengar oleh Natasha.Rio hendak mendorong roda kursinya maju, ingin menghadapi Edgar yang kini menguasai ruangan dengan kehadirannya. Namun, sebelum dia bisa melakukannya, Natasha segera menahan kursi roda agar tetap di tempat. “Tetaplah di sini. Biar aku yang bicara padanya."Edgar, yang menyaksikan
"Astaga!" pekik Dita, terkejut saat melihat jam di pergelangan tangannya. Ia tidak menyangka waktu telah berlalu begitu cepat. Segera, ia meneguk sisa minumannya hingga tandas, meninggalkan rasa manis yang sedikit asam di lidahnya. Barra, yang duduk santai di depannya dengan cangkir kopi di tangan, mengangkat alis. "Kenapa?" tanyanya, suara tenangnya seolah tak terganggu oleh kegaduhan Dita yang tiba-tiba."Aku harus ke restoran sekarang," jawab Dita tergesa. Tangannya gemetar saat ia meraih tas di sampingnya, mencari dompet dengan jari-jarinya yang tak sabar. Ketika dompet itu akhirnya ditemukan, ia segera membuka bagian dalamnya, mencari beberapa lembar uang. Tanpa berpikir panjang, ia menarik uang itu dan menyerahkannya pada Barra. "Ini untuk kopiku," katanya, setengah menunduk agar uang itu lebih cepat berpindah tangan.Barra ikut berdiri saat Dita bersiap melangkah keluar. Dengan nada yang tenang namun terdengar sedikit bercanda, ia berkata, "Kau melukai harga diriku sebagai pri