Makan malam keluarga. Acara yang tidak begitu penting sebetulnya, biasa saja. Namun kali ini terasa berbeda. Semenjak Tuan Salomon sadar, baru kali ini Kim Sarang ikut hadir di meja makan.Wanita itu sebelumnya hanya menemani sang suami di kamar. Melakukan seluruh aktivitas di sana. Kim Sarang seolah tak ingin menyia-nyiakan waktu sedetikpun tanpa wajah suaminya.Saat Avram masih merajuk pasca kematian Karina, biasanya Laisa makan bertiga bersama Nada dan Gazza. Nada akan berceloteh tentang lauk pauk yang dia makan, sementara Gazza menimpalinya dengan lelucon renyah. Hari yang menyenangkan, meski di hati Laisa selalu ada saja yang mengganjal.Bagaimanapun, Avram tetap suaminya, kan?Khusus untuk acara makan bersama, Laisa berusaha menepis kegelisahan itu demi menikmati suasana. Sekali waktu ia dan Gazza mencuri-curi pandang. Kadang-kadang juga saling bergenggam tangan kala Nada sedikit lengah.Tetapi malam ini, kursi yang paling digemari Laisa tak bertuan. Manusia favoritenya tidak me
Berpandang dari kejauhan dengan Laisa bukanlah keahlian Gazza. Ya, beberapa hari sejak ia mengumumkan ultimatum tentang 'jangan temui aku' kecuali sudah membuat keputusan, Gazza menahan diri susah payah. Ia rindu Laisa. Rindu mencium perempuan itu, jatuh di pelukannya dan bercanda menghabiskan jatah jumlah kata. Seperti yang sudah berulangkali disebutkan, Laisa ibarat dunia baginya. Gazza telah jatuh sejatuh-jatuhnya dalam urusan mencintai Laisa. Namun nyalinya selalu saja ciut. Meski di hadapan Avram dia tampil berani seolah mampu merebut kekasih hatinya itu, nyatanya Avram telah dipukul mundur. Pernikahan Laisa dan Avram yang diatur sedemikian rupa telah menghancurkan takdir cinta Gazza. Dan entahlah, cinta itu seakan berhasil mengubah seluruh kehidupan. Hubungannya dengan Kim Sarang yang selama ini baik-baik saja, menjadi sedikit renggang. Gazza selalu merasa ada yang salah dengan hubungan mereka. Seolah ada sesuatu yang membuatnya begitu marah. Walau diurai bagaimanapun, ia t
Setelah jutaan kali gagal melihat Gazza berkeliaran di rumah utama keluarga Salomon, betapa terkejutnya Laisa ketika menyaksikan sosok itu lagi. Gazza yang berdiri gamang di antara susunan anak tangga itu tampaknya baru mendengar kabar. Ada kegoyahan dari sorot matanya.Laisa paham, ia bisa merasakan segala hal yang Gazza tunjukkkan walau tanpa sepatah kata. Gazza mungkin tengah kacau berantakan. Tapi apalah daya, keberadaan Avram dan Nada menghambatnya untuk lari mengejar sang pujaan. Laisa terpaksa membiarkan Gazza menyaksikan keromantisan Avram. Meski jauh dalam hatinya, ia ingin berteriak agar Gazza tidak kemana-mana.Merelakan Gazza bukanlah perkara yang mudah. Cinta Laisa ada pada lelaki itu seutuhnya. Sebaik apapun perlakuan Avram, semanis apapun juga, segenap jiwa Laisa lebih dulu jatuh pada Gazza. Lelaki itu tak tergantikan, begitulah seharusnya Laisa menyadari sejak awal.Pada akhirnya Laisa memberanikan diri untuk menghubungi Gazza. Mengatur pertemuan di sebuah kedai kopi
Hari mulai berlalu sejak terakhir kali Laisa dan Gazza kembali memadu kasih. Tanggal menjelang pelantikan resmi Avram sebagai pewaris Salomon Grup kian dekat, dan tak ada yang berubah kecuali suasana hati Laisa. Perempuan itu menghidupkan suasana rumah secara signifikan. Bahkan di hari Minggu pagi seperti sekarang.Jam masih menunjukkan pukul sembilan, dan Laisa sudah menyibukkan diri membuat kue bersama Nada. Mereka bercanda sambil mengikuti tutorial dari influencer ternama. Situasi yang tentu mengundang rasa penasaran Avram.Lelaki itu keluar dari ruang kerjanya dengan seulas senyuman. Memandang punggung Laisa dan Nada yang tampak asik mengadon tepung bersama. Relung hati Avram terenyak, ia seolah menemukan definisi baru tentang kata berkeluarga. Ya, sebagai seorang putra yang dibesarkan tanpa seberkas cinta. Avram cukup lega melihat Nada menemukan sosok ibunda. Dan diam-diam, sekali lagi, Avam harus mengakui bahwa keputusan Kim Sarang adalah benar, bahwa Laisa adalah ibu yang tepa
"Aku akan pergi, mungkin tiga malam. Ada beberapa kota yang perlu kuurus sebelum pelantikan resmi sebagai pewaris Salomon Grup," Avram menjelaskan dengan satu tarikan napas. Lelaki itu baru kembali usai menemui Tej di ruang makan.Sementara Laisa yang baru menidurkan Nada tampak sibuk dengan kegiatannya bersih-bersih badan. Ia hanya menoleh sekilas, menanggapi Avram, "Kapan berangkat?""Besok," pendek Avram menjawab sambil berjalan menuju ranjang."Siang? Atau pagi? Aku siapkan pakaianmu sekarang kalau memang berangkat pagi."Laisa menjawab sambil terus bercermin. Perempuan itu bahkan melewatkan seulas senyum Avram yang amat tipis. Lagi-lagi Avram tersanjung pada perhatian kecil Laisa yang hendak membantunya menyiapkan pakaian sebelum pergi.Namun dibanding terlihat senang berlebih, Avram mengalikan perhatian dengan menepuk sisi kasur milik Laisa yang belum berpenghuni, "Istirahatlah, aku bisa siapkan sendiri."Tentu saja jawaban itu membuat Laisa langsung menoleh, menatap Avram yang
Kedai kopi sederhana yang terpencil dari keramaian kota itu telah menjadi kebiasaan mereka. Terkadang selepas kegiatan kelas memasak, Laisa sempatkan bertemu Gazza di sana. Atau kalau memang tidak ada kegiatan, ia akan mencuri waktu usai mengantar atau hendak menjemput Nada.Semua itu dengan senang hati Laisa lakukan. Ia sama sekali tidak keberatan. Justru berkencan dengan Gazza menjadi jauh lebih menyenangkan ketika mereka tidak serumah. Rupanya Gazza diam-diam sudah menyewa apartemen mini yang jauh dari kata mewah, ia pulang ke sana jika bosan tidur di mess karyawan.Salomon Grup adalah perusahaan yang beranak-pinak amat besar. Secara teknis, Gazza bisa tidur di kantor manapun yang dia suka. Toh, berdasarkan kepribadian, ia lebih mudah dicintai karyawan dibanding Avram. Namun belakangan ia merasa tidak nyaman, semenjak gejolak tentang isu Avram menyebar luas di seluruh lini perusahaan.Gazza tahu betul, banyak yang tidak sepakat dengan gagasan tentang terpilihnya Avram sebagai pewar
Pada akhirnya, mereka bermalam tanpa saling menjamah. Dengan punggung yang saling berhadapan, membelakangi satu sama lainnya. Hingga pagi purna meraja, tak satupun di antara mereka yang benar-benar terlelap.Gazza bangkit lebih dulu dan langsung meninggalkan ranjang, sementara Laisa membiarkan ekor matanya mengikuti tiap jejak langkah sang belahan jiwa.Mudah saja bagi Laisa untuk mengamati seluruh aktivitas Gazza tanpa beranjak dari posisinya. Apartemen Gazza tidak begitu luas. Ia bisa memperhatikan lelaki itu mengaduk dua cangkir minuman.Dan benar saja, tak butuh waktu lama bagi aroma kopi yang dipadukan coklat itu menyeruak ke seisi ruangan. Gazza kemudian berbalik sambil membawa tokoh utama. Memaksa Laisa bangkit sebelum lelaki itu sampai di tepian ranjang."Awas panas," kata Gazza sembari menyerahkan cangkir beraroma coklat kental kepada Laisa. Ia kemudian duduk di sana, menyecap kopi hitam pekat miliknya perlahan, "Aku akan ke rumah utama, bunda menelponku semalam," sambungnya.
Tidak munafik, pertemuan dengan Kim Sarang tentu menggunjang jiwa Gazza. Ia tidak tenang, mungkinkah Kim Sarang menyadari hubungan mereka? Wanita itu juga bukan tipe manusia yang berpegang teguh pada asumsi semata.Melihat dari tabiatnya, jelas, Kim Sarang telah menemukan bukti yang kuat.Di dalam kekalutannya, Gazza secara sadar menekan pedal gas menjauhi kota. Ia seperti sengaja mengalihkan perhatian pada kemudi alih-alih kalut pikiran. Gazza lari menjauhi fakta, bahwa hubungannya dengan Laisa merupakan sebuah kesalahan besar.Tapi Gazza bisa apa? Ia mencintai Laisa. Tak bisakah itu menjadi satu-satunya alasan untuk membenarkan? Toh kalau mau ditarik lebih jauh ke belakang, Gazza lebih dulu bertemu Laisa.Ia lebih dulu jatuh cinta padanya. Mereka layak untuk bersama dibanding dengan siapapun di dunia. Gazza dan Laisa adalah takdir yang sempurna.Tentu saja Gazza marah, kesal, murka, segala perpaduan emosional yang sejujurnya sulit dicerna. Apakah benar semua ini adalah kesalahannya