Alma berlari ke lantai dua untuk membereskan barang-barangnya. Pergi dari sini dan mendapatkan omelan mama lebih baik dari apapun. Ia tidak bisa maklum pada perbuatan Adam yang membuat kakinya gemetar sepanjang tatapan menyeramkan itu di suguhkan karena kesalahannya yang entah apa.Ia tahu kesalahannya dimana, tapi heran kenapa hal seperti itu membuat suaminya marah sekali. “Sayang, maafin aku. Aku gak sengaja.” Adam mengejar Alma hingga depan pintu, “Jangan pergi ya, biar aku yang pergi.”Alma berusaha sekuat tenaga menahan air matanya, “Kalo kamu mau pergi, pergi sekarang!” ia menutup pintu dan mengunci kamarnya. Ia melanjutkan menangis dan terduduk lemas dibalik pintu.Setelah masalahnya dengan Belle sedikit reda, kenapa malah muncul masalah lainnya yang menunjukkan sifat asli suaminya yang menyeramkan? Dari dulu Alma sangat tidak suka perlakuan kasar, nada tinggi lawan bicara, bentakkan, dan lemparan barang di hadapannya. Hal itu adalah h
Di rumah sakit, Adam tidak fokus melakukan pengecekkan laporan hasil pasien. Ia terus memikirkan Alma. Ia mengacak-acak rambutnya dengan frustasi.Tok-Tok-TokCeklek.“Dam, katanya lo balik. Kok ada disini?” Virza langsung masuk begitu pintunya ia buka. Ia duduk di sofa dan memperhatikan sahabatnya itu dengan wajah serius.“Udah.”“Lo kenapa? Berantem lagi soal Belle?”Adam menggeleng, “Gue dengan sengaja mecahin figura foto Dara depan Alma.”“Hah?” Virza melotot, “Bercanda lo.”Adam melepaskan kedua tangannya dari kepala, “Serius.”“Kenapa tiba-tiba lo pecahin foto Dara?”“Dia diem-diem bawa foto itu dari gudang. Dan lo tau dia taro dimana fotonya?”“Dimana?"“Di kamar Belle.”Virza diam sejenak. Ia mencoba menganalisis sikap Alma yang melakukan itu melalui kacamata medis, “Emang kenapa?”Adam menatap Virza, “Za, lo kan tau gue—"“Ber
Alma membuka pintu ruangan Adam dan mendapati perempuan gila yang mengejar suaminya dan sempat ia cakar beberapa malam lalu di sofa ruangan. Ia mengangkat kepala dan melipat kedua tangannya untuk memberikan kesan bahwa ia setara dengan Tiara.“Halo adek manis.”Alma merajuk dipanggil adek manis. Ia melotot, “Gue udah gede!”“Gede? Oyah? Apanya? Harapannya ya? Hahaha.” Tiara berdiri dan menghampiri Alma yang masih berdiri di ambang pintu. Ia menutup pintunya agar obrolan mereka tak sampai ke luar.“Kenapa pintunya di tutup?” tanya Alma waspada.“Kenapa? Adek manis takut?”“Enggak.”“Aku tau Adam lagi di ICU karena nanganin pasien. Terus kenapa istri kecilnya ada disini? Nungguin karena pengen main ular tangga bareng ya?”Alma tak tahan di ledek anak kecil oleh Tiara. Dengan marah ia melepas lipatan tangannya dan mendorong Tiara ke tembok, “Jaga ya mulutnya! Gue ada disini buat nemenin suami gue tugas. Terus elo, tante girang, ngapain disini? Mau godain suami orang? Dasar gak t
Adam tidak mendapati Alma ada di dalam ruangannya. Tas tangannya pun tidak ada. Ia melirik ke sekeliling ruangan pun tidak ada satu pun barang istrinya yang tertinggal disini.“Sayang? Dia kemana ya? Apa di luar?"Adam merogoh ponsel dan memainkannya sebentar. Ia mencari nomor telpon Alma dan menghubunginya. Nomornya tidak aktif. Kemana dia? Baru ditinggal sepuluh menit sudah menghilang.Tidak ada waktu untuk mencari Alma barang hanya mengelilingi rumah sakit ini. Ia harus segera memulai rapat di ruangan aula bersama dokter lainnya. Selama rapat pikirannya kalut sekali memikirkan kemana pergi istrinya. Tidak biasanya begini. Bukankah tidak ada yang salah dengan ucapannya? Kenapa Alma pergi begitu saja? Mereka hanya melakukan pemanasan dan tidak sempat bertukar ucapan lain selain pujian. Dengan langkah lemah, Adam berjalan menuju ruang rapat. Semoga pikirannya masih bisa diajak kompromi untuk beberapa jam kedepan.“Dokter
Alma begitu menikmati pelukannya di dada Mario yang bidang. Badan mantan pacarnya yang tinggi tegap membuatnya selalu merasa disayangi ketika ia sudah merebahkan diri di pelukannya. Telinganya juga terasa nyaman karena tidak mendengar nasehat Adam yang terus di berikannya secara acak. Belum lagi biasanya ia juga mendengar suara tangisan maestro Belleza yang selalu memekakan telinganya.Meski baru delapan hari menjadi seorang istri dari duda beranak balita, tapi hidup Alma benar-benar berubah seratus delapan puluh derajat menyeramkan. Ia memang mencintai Adam, tapi tidak dengan anak menyebalkannya itu. “Ma, aku jadi inget waktu kita pacaran.”Alma bergerak mengubah posisi duduknya. Ia menatap Mario yang kini menatapnya, “Aku juga.”“Dulu rasanya, kamu cuma punya aku. Sekarang... kamu punya suami kamu.”Alma diam. Andai ia tidak gegabah dalam menerima pinangan paksaan itu dari mama, mungkin hidupnya akan baik-baik saja dalam lingkup omelan mama yang selalu mengganggunya ketika tid
Saat Alma dan Mario sedang sarapan di resto hotel, Alma tak sengaja melihat Virza yang baru memasuki area resto tapi langsung putar balik setelah menerima telpon dari seseorang. Ia terlihat berlari dan entah pergi kemana. Semoga saja ia pergi dari hotel ini. Alma terus menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, membuat Mario curiga. Apa ada suaminya disini? “Sayang, suami kamu ada disini?' Alma menggeleng, “Ada temennya.” Mario mengedarkan penglihatannya ke sekeliling resto, “Mana?” “Udah pergi sih, dia keliatan buru-buru abis angkat telpon.” “Oh, ya udah kalo udah pergi.” “Rio, kok kamu santai banget sih. Aku gak mau liat dia. Kalo dia liat aku disini sama kamu, dia bisa lapor sama mas Adam.” “Ya bagus dong, sayang.” Alma mengernyit keheranan, “Kok bagus?” Mario menggenggam tangan Alma, “Semakin cepat semakin baik. Adam emang harus segera tahu hubungan kita. Dia harus tahu kalo kita masih saling mencintai.” Alma diam. Jujur ia tidak nyaman Mario terus membahas masalah ini.
Alma dan Mario sengaja pergi untuk sekedar jalan-jalan setelah sarapan untuk menghindari Virza yang mungkin masih berkeliaran di hotel. Mereka yang sebenarnya tidak memiliki tujuan hanya berkeliling saja tak tentu arah. Mario terus bertanya agar membuat Alma kembali mengingat hubungan mereka empat tahun belakang, tapi nyatanya ia hanya diam memikirkan nasibnya ke depan. “Sayang, kamu tegang amat sih. Aku yakin temennya Adam pasti udah pergi kok.” Alma menoleh, “Aku cuma takut harus ribut lagi sama mas Adam.” “Kamu takut sama dia?” “Bukan gitu, Rio. Aku cuma males. Kita ribut hampir tiap hari. Lama-lama aku bisa darah tinggi ngadepin dia.” Mario melajukan mobil dengan pelan, tangan kirinya menggenggam tangan Alma dengan lembut, “Itu tandanya kalian gak cocok. Coba kamu inget-inget, selama empat tahun hubungan, kita jarang banget berantem. Ya aku setuju sih sama pendapat kalo sebuah hubungan memang butuh berantem, tapi kan cukup sesekali aja, kalo tiap hari, itu tandanya... kalian h
Virza menatap Alma, “Apapun, Ma, apapun alesannya kamu gak berhak pergi gitu aja tanpa izin suami kamu. Apa susahnya sih bilang kalo kamu marah sama Adam karena foto itu. Foto itu cuma masa lalu, dan bukan sebuah perselingkuhan.”“Bentar, aku potong. Yang bilang itu perselingkuhan siapa? Aku cuma bilang alesan aku pergi karena udah liat foto itu.”“Itu cuma salah paham, Ma. Foto itu gak bener dan—"“Aku pulang sekarang, jadi berhenti ngomong yang gak perlu."Mario menatap Alma kesal, “Sayang, kok kamu pulang sih?”Alma melirik Mario, “Aku... mau pulang. Kamu juga pulang, besok kerja ‘kan?”Virza menatap Adam yang tengah menyaksikan obrolan menggelikan istri dengan selingkuhannya. Alma ini terbilang berani melakukan itu di depan muka Adam, membuatnya tidak tahu harus berbuat apa lagi.“Iya, besok aku kerja. Ya udah, aku nurut aja sama calon istri. Yang namanya laki-laki yang mencintai dengan tulus itu emang harus banyak ngalah.” Mario melirik Adam ketika mengatakan kalimat itu p
Satu bulan kemudian...Alma merapikan kemeja Adam yang diberikan Virza sebagai bagian dari groomsmen. Adam terlihat sangat tampan karena aura wajah bahagianya keluar. Akhirnya, sahabat dunia akhiratnya, Virza mengakhiri masa lajangnya hari ini dengan satu perempuan yang amat ia sayangi.“Udah rapi, mas.”Adam mengangguk, “Sayang, nanti kita join honey moon sama Virza dan kakak, ya?”Alma menggebung dada bidang Adam, “Mas, aku belum pasang kb loh. Kalo kebablasan gimana? Ngurus Arick aja aku masih bingung.”Adam tertawa, “Sayang, ‘kan aku udah bilang biar aku aja yang pasang kb. Ada banyak pilihan ‘kan buat laki-laki?"“Mas, emang gak papa?”“Ya gak papa lah, yang apa-apa itu kalo kamu pasang tapi malah gak cocok. Perempuan itu udah banyak mengorbankan diri. Menstruasi, hamil, melahirkan, semuanya mengendalikan hormon ‘kan? Masa masalah kb yang bisa aku gantiin harus kamu yang ngerasain juga?”Alma mengangguk, “Ya udah, terserah kamu.”“Aku udah konsul kok seminggu kemarin sam
Alma menggedor pintu rumah Arden dengan kencang. Adam yang berdiri dibelakangnya hanya diam saja karena tidak tahu sesakit apa perasaan istrinya begitu mendengar ucapan pak Bowo tadi dirumahnya mengenai Arden yang akan menikah tanpa memberi tahunya.Ceklek.“Alma, Adam?” Arden menatap Alma dan Adam datar.Alma mendorong tubuh Arden agar bisa masuk ke dalam rumahnya. Ia berjalan cepat mencari seseorang yang mungkin sengaja sembunyi begitu tahu ia datang.“Audy! Audy!”Audy yang sedang bermain salon-salonan dengan Belle di ruang tivi terperanjat kaget melihat kedatangan dan suara menggelegar Alma, “Alma?”“Apa?’Audy beringsut berdiri sejajar dengan Belle yang seolah sama kagetnya melihat Alma.“Mami?”Alma melirik ke arah Belle yang belepotan dengan lipstik mainannya. Rambutnya yang sudah keriting tertempel roll rambut seperti ibu kost yang membuatnya tidak kuat untuk pura-pura marah.“Hahahaha.”Audy dan Belle, serta Adam dan Arden yang baru sampai dengan suster Tiwi yang m
“Kamu habis besuk Mario?”Alma mengangguk.“Ayo duduk sebentar, ada yang mau om sampaikan sama kamu dan suami. Mari Adam.”Adam memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, tunggu di mobil aja, kasian Arick kepanasan. Ini kunci mobilnya.”“Baik, pak, permisi, kak, pak.”Semua mengangguk.Adam menggandeng Alma untuk duduk diruang tunggu yang sedang kosong di lobi ruangan polres.“Gimana kabar kamu?” tanya om Indra setelah mereka bertiga duduk.“Baik, om. Aku... dibantu pemulihan dengan obat dari psikiater sih.”Om Indra membetulkan kaca matanya, “Kamu hebat karena sudah bertahan di situasi sulit itu.”“Iya, om.”“Oyah, persidangan Mario akan digelar minggu depan. Kamu gak perlu ikut kalo gak sanggup memberikan kesaksian. Ibu Ratih aja cukup.”Alma melirik Adam.Adam menggenggam tangan Alma, “Om Indra bener, kalo kamu gak sanggup, kamu gak perlu maksain diri.
Adam membukakan pintu mobil untuk Alma yang tengah menggendong Arick. Begitu sampai di depan polres yang memenjarakan Mario sementara karena ulahnya, Arick terus menangis. “Mas, apa aku gak perlu ikut masuk ya?” Adam diam sejenak lalu menatap suster Tiwi yang berdiri dekat mereka, “Arick biar sama suster Tiwi aja. Nanti kalo Arick udah tenang boleh dibawa ke dalem, takutnya Mario pengen liat.” Alma mengangguk. Ia memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, kita masuk dulu ya.” “Iya, kak Alma, silakan.” Alma menggandeng lengan Adam dan berjalan pelan ke dalam pelataran polres. Alma merasa bulu kuduknya berdiri ketika masuk. Ini pertama kalinya ia datang kesini, dan semoga untuk terakhir kalinya. Karena tidak terbayang bagaimana mentalnya yang belum stabil jika harus kembali datang kesini. “Selamat siang, pak, ada yang bisa kami bantu?” tanya seorang personil polisi yang menjaga di meja depan. “Pagi. Saya ingin bertemu dengan pelaku penculikkan dan penganiaya istri saya, namanya Mar
Pov AudyAudy berjalan pelan ketika tangannya sibuk membawa banyak paper bag pesanan Alma. Temannya yang satu itu memang senang membuatnya kewalahan. Alma memintanya membelikan banyak makanan dan pernah-pernik untuk dipakainya diruang rawat inap karena belum bisa pulang hari ini, karena kondisinya yang harus dalam bawah pengawasan dokter.“Emang bener-bener si Alma. Awas aja kalo gue nanti lahiran, gue bakal lebih ngerepotin elo!”Seseorang tertawa dibelakangnya, membuat Audy membalikkan badan. Ia berhenti dan menatap orang itu, “Ini mas Adam atau dokter Arden?”“Menurut kamu?”Audy membuang nafas pelan, “Dokter Arden.”Arden memegang dua bahu Audy dan menyeretnya ke pinggir agar tidak menghalangi mobilitas lorong menuju ruang perawatan, “Mau kemana?”“Mau kasih pesenan tuan puteri.”Arden menatap banyak paper bag yang Audy bawa, “Jangan sekarang.”“Kenapa?”“Adam lagi dinas.”“Aku perlunya sama Alma, bukan sama mas Adam.”“Kan saya bilang Adam lagi dinas.” tutur Arden pen
Alma dan Adam saling lirik. Mereka menatap Sezan yang tersenyum manis seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa belakangan ini. “Sezan?” mama yang sedang memangku Arick melirik Sezan tidak suka. Mama takut kehadiran Sezan membuat Alma yang belum sembuh benar bisa stress. “Tante, aku boleh masuk?” Mama melirik Alma, Alma malah melirik Adam. Ia tidak tahu harus bagaimana. Tampak Virza melongokkan kepalanya dibelakang tubuh Sezan, ia mengangguk meminta Alma dan Adam mengizinkan Sezan masuk. “Boleh, sini masuk, Zan.” pinta Alma. Sezan masuk, ia melewati papa yang masih berdiri kaget di dekat pintu. Ia langsung menghampiri Alma yang tengah duduk diranjang, “Aku turut seneng sama kelahiran bayi kamu. Selamat ya, Ma.” Alma mengangguk. Kedatangan Sezan kesini baik-baik, maka ia harus tetap bersikap baik padanya. Kecuali kalau Sezan mulai membuat kegaduhan, ia tak segan mengusirnya dengan kasar. Virza yang seda
Alma kembali ke kamar setelah selesai berbincang dengan Arden. Begitu kembali ia tidak menemukan mama-papa, ibu, Audy dan suster Ruth. Mungkin mereka pergi untuk makan siang. Ia hanya melihat Adam yang sedang menciumi wajah Adam junior dan menyanyikan lagu improvisasi buatannya sendiri.“Anak papa oh anak papa, kamu kuat dan begitu tampan.”Alma tertawa.Adam melirik ke arah pintu, dimana Alma berdiri memegangi besi infusan, “Kamu kapan dateng?”Alma berjalan mengampiri Adam, “Ternyata bener, cowok kalo lagi fokus istrinya dateng aja dia gak sadar.”Adam tersenyum. Ia mencium kening Alma, “Kamu udah ketemu kakak?”Alma mengangguk, “Aku seneng mas, akhirnya sekarang aku punya kakak ipar.”“Dia juga pasti seneng bisa punya adik ipar, masih muda begini lagi. Dia bisa jailin kamu sepuasnya.”Alma duduk di ranjang, “Mas, soal Belle—"“Sayang...”“Kembaliin Belle sama kak Arden bukan karena
Alma ditinggalkan berdua bersama Arden di taman rumah sakit. Audy dan suster Ruth beralasan pergi untuk menemani Adam junior. Padahal anak tampan itu sedang jadi rebutan antara mama dan ibu.“Cuacanya lagi bagus banget ya.” tutur Arden sebagai pembuka pembicaraan mereka.Alma mengangguk, “Iya, kak.”Arden melirik Alma, “Alma, saya minta maaf untuk semuanya.”Alma menoleh. Ia hanya mengangguk.“Seandainya dari awal saya gak pergi begitu Belle dilahirkan, semuanya gak akan terjadi seperti ini.”“Takdir. Semuanya harus terjadi gini, kak.”Arden tersenyum, “Saya janji akan membereskan semua masalah yang saya buat dalam rumah tangga kalian.”“Misalnya?”“Belle. Saya akan ambil Belle biar kalian fokus membesarkan anak kalian sendiri. Saya tahu Adam berencana untuk punya banyak anak.”Alma membuang nafas pelan.“Kenapa?”Alma tertawa kecil, “Aku rasa mas Adam gak berniat
Alma melendot manja di lengan kekar Adam yang sedang menggendong anak tunggal mereka, “Mas, aku kangen.”Adam tersenyum, “Ini kangen yang mana nih maksudnya?”Alma tertawa, “Aku emang lahiran caesar, tapi... kamu tetep jangan nakal.”“Aku pikir kamu mau nambah adeknya Adam junior cepet-cepet.”“Adam junior?”Adam mengangguk, “Anak ini ‘kan anak aku.”Alma duduk tegap dan menatap Adam serius, “Kamu... udah buka hasil DNA nya?”Adam menaruh Adam junior di box bayi. Ia mengubah posisi duduknya menatap Alma. Dengan lembut ia membelai lembut pipi istrinya. Ia juga sempat mengusap pelan ujung bibir Alma yang semalam berdarah.“Udah. Dan anak ini anak aku.”“Kamu... serius, mas?”Adam mengangguk.Alma menangis. Ia memeluk Adam sangat erat, “Aku tahu ini anak kamu.”“Terus kenapa kamu tetep kaget?”“Aku cuma.... takut selama ini denial kalo ini anak Mario.”Adam tertawa, “Kenapa kamu gak bilang udah lakuin tes DNA sebelum kita kontrol terakhir? Hm?”“Aku cuma takut sama hasilny