Kembali terdengar kata-kata dari para tetangga yang lumayan dekat dengan tempat tinggal amel. Amel yang mendengar suara sumbang itu pun menoleh ke area orang tersebut. Langkahnya menjadi terhenti, sesaat dahinya berkerut, pasalnya kali ini didapatinya seorang perempuan yang tidak ia kenal sedang duduk bersama Bu Markonah. Keduanya melirik sinis pada Amel. “Ibu ngomong sama saya atau siapa?” Amel sempat melirik ke kanan dan kiri, tetapi ternyata hanya dirinya yang lewat di depan kedua Ibu-Ibu rempong itu. Jangan celingak-celinguk. ya sama kamu lah, sama siapa lagi? Kenapa? Kamu jadi terganggu dengan omongan saya? Tapi benar kan kamu hamil lagi sementara anak pertamamu masih balita eh udah nambah lagi. Udah nggak sabaran ya?” jelas Bu Markonah meledek Amel karena dia memang suka mencari masalah dengan siapa pun tak peduli orang itu siapa yang penting dia senang dengan menjulid.“Oh Ibu toh kirain setan soalnya saya hanya mendengar suara nggak lihat wujudnya,” ucap Amel pada mereka
Sita meronta meminta untuk dilepaskan, tetapi Nurma dan yang lainnya tidak mengindahkan permintaan Sita. Mereka teramat geram sebab Sita masih bisa berlaku menyebalkan. Seharusnya Sita meminta maaf dan langsung mengganti rugi bukannya malah mendebat dan mengata-ngatai. “Orang sepertimu pantasnya memang dipenjara! Dasar gak tau malu. Salah bukannya minta maaf malah nantangin!” Brugh! Sita dihempaskan begitu saja oleh Nurma dan teman-temannya di depan petugas yang berjaga hingga petugas itu tergopoh-gopoh menghampiri mereka. “Ada apa ini?” tanya petugas tersebut. “Ini lho, Pak, dia itu penipu. Tangkap sja, Pak.”“Penipu apa?”“Jual skincare dan kosmetik abal-abal, Pak.”“Kalau begitu bawa masuk ke salah satu dari kalian bikin laporan dulu.” Mereka mengangguk kemudian berbagi tugas melakukan apa yang polisi tadi perintahkan. ***Ddrrtt. Ddrrtt. “Ck, siapa sih jam segini waktunya ornag istirahat ganggu aja!” Bu Nurma menggerutu. Wnita yang namanya sama dengan nama perrmpuan yang b
Pada saat Bu Nurma datang menemui Sita di kantor polisi dia berpapasan dengan para korban tokonya Sita yang pernah datang waktu itu. Bu Nurma hendak mengelak, tetapi tidak bisa sebab Nurma dan kawan-kawannya sudah terlanjur melihat sosok ibunya Sita itu. “Hei hei lihat siapa yang datang? Berlagak pura-pura nggak tau, yang katanya hanya karyawan biasa ternyata dia ibunya. Eh malah ikut menyembunyikan Sita dari kita. Dasar perempuan penipu, bermulut manis ternyata sekongkol dengan anaknya sendiri. Mna namanya juga sama lagi sam aku, duh rasanya pengen ganti nama deh. Tapi namaku pemberian orang tua. Astaga … sial bener ketemu orang-orang seperti mereka,” cecar Nurma sembari menatap sinia ibunya Sita. “Iya bener ini dia orangnya yang pernah ikut menipu kita. Ternyata dia ibunya Sita. Dasar perempuan tua enggak tau malu. Udah tua bukannya tobat dan melarang anaknya melakukan kejahatan eh malah mendukung demi uang yang banyak, masih untung kamu masih kami biarkan. Ibu sama anak sama-sama
“Lho, Bay, hallo Bayu! Argh menyebalkan! Dasar anak durhaka!” Bu Nurma sangat kesal lantaran sang anak enggan memberinya uang yang dia minta. Bu Nurma sudah yakin akan seperti ini. Kesalahan mereka di masa lalu terhadap Bayu dan istri juga anaknya tidak semudah itu bisa dilupakan. Bukan maksud Bayu untuk benar-benar melupakan sang ibu. Hanya saja dalam masalah ini Bayu ingin Sita lebih bertanggung jawab atas apa yang sudah diperbuatnya. “Astaga … ke mana lagi aku harus mencari uang sebanyak itu, sementara semua kebutuhanku hanya bersumber dari pensiunan almarhum suamiku itu pun nggak seberapa. Mana bisa buat bantu Sita. Hah, kepalaku jadi pusing kalau begini. Punya anak dua kok ya nyusahin semuanya. Yang satu durhaka gak mau bantu padahal aku tau uangnya banyak, lha yang satu juga sukanya nyusahin. Ya tapi gimana orang aku sayang. Apalagi Sita anak perempuan yang memang sampai kapan pun wajib dibantu. Dahlah, sebaiknya aku tidur saja. Lagian ini sudah larut malam. Besok aku harus men
“A-apa, 170 juta? kok bisa jadi sebanyak itu, jadi bunganya 10 juta setiap bulan? Duh tolong dikurangi dong?.” Bu Nurma jelas terkejut karena dia harus kembalikan uang sebanyak 170 juta. Dan itu hanya dalam jangka waktu lima bulan. Itu artinya Bu Nurma harus membayar bunganya 10 juta perbulannya. Sungguh sangat mencekik dan benar-benar lintah darat si rentenir itu. “Tidak ada penawaran, kamu pikir saya pasar bisa ditawar? Kalau kamu enggak mau ya sudah silakan cari pinjaman ke tempat lain. Saya tidak memaksa kamu untuk pinjam sama saya,” ucap rentenir itu pada Bu Nurma. “Ck, dasar rentenir rakus bisanya dia memeras aku, emang sih uang itu sangat penting untukku tapi gimana cara aku membayarnya nanti? Tapi kalau gak aku ambil gimana dengan Sita? Sedangkan Bayu sudah tidak mau tau.” “Gimana? Jangan kelamaan mikir karena saya gak punya banyak waktu. Kalau memang tidak jadi silakan keluar karena saya masih ada hal yang mesti diurus.”“Eh jangan, iya saya jadi pinjam.”Pada akhirny
Pagi itu seperti biasa, Amel sedang disibukkan dengan mengolah beberapa jenis makanan alias memasak. sementara itu Arka sedang tertidur. Bayi itu sangat suka sekali tidur. Apalagi kalau perutnya sudah kenyang maka tidurlah kebiasaannya. Amel dan Bayu sendiri tidak mempermasalahkan karena usia Arka memang usia tumbuh kenbang. Amel melakukan pekerjaannya dengan hati bahagia, entahlah, setiap melakukan suatu pekerjaan yang ditujukan untik anak dan suaminya, rasanya hati Amel terus saja berbunga. Yah, dia benar-benar ikhlas melakukannya. Apalagi Bayu setiap menyantap masakan buatan Amel selalu saja habis tak bersisa. Itu lah yang membuat Amel bersemangat setiap hari melakukannya. Terlebih lagi memasak adalah kegemarannya. Di saat wanita cantik yang kini sudah pandai merawat diri sedang disibukkan memasak tiba-tiba terdengar suara orang memberikan salam dan juga pintu pagar diketuk. “Ada tamu? Tapi siapa? Apa tamunya mas Bayu? Tapi kan dia lagi kerja. Emm mending aku temui saja takutny
Semenjak kejadian tukang paket itu, Bu Markonah tidak lagi terlalu julid akan urusan orang lain. khususnya Amel dan Mila. Dia juga sudah mengambil paketnya pada Amel meskipun harus rela merogoh kocek sebanyak 500 ribu. Padahal niat awalnya memang sengaja untuk tidak membukakan pintu agar paketnya ditinggal atau dibawa pergi lagi sama kurirnya. Namun, tak disangka sang kurir malah menemui tetangga Bu Markonah yaitu Amel.Di situ lah Bu Markonah memanfaatkan keadaan. Di pikirannya bahwa barang pesanannya akan dibayar oleh Amel dan ternyata benar. Dia senang saat waktu itu melihat Amel membayarkan barang pesanannya. Akan tetapi, apa yang menjadi harapannya ternyata tidak sesuai dengan kenyataannya. Bu Markonah yang mengira Amel akn memberikan barang itu dengan cuma-cuma nyatanya Amel meminta uang terlebih dahulu baru barangnya akan diberikan pada Bu dirinya. Bu Markonah tidak menyangka Amel akan berani melawan. “Huft, ini gara-gara tetangga sebelah yang pelitnya minta ampun, aku ter
Tanpa terasa sudah satu bulan Sita keluar dari penjara perkara kasus skincare abal-abal. Sita berusaha merubah hidupnya secara perlahan. Walaupun sampai saat ini masih jadi buah bibir banyak orang. Tidak sedikit yang membenci Sita dan ada juga yang menghina. Namun, semua itu dikesampingkannya untuk tetap bertahan hidup bersama ibunya. Di satu sisi Sita juga harus menjaga ibunya serta merawatnya. Memang Sita terbilang penyayang pada orang tuanya. Akan tetapi, dia tidak jarang mengajak ibunya untuk melakukan hal yang salah dan sang ibu juga menurutinya dengan dalih dia sayang. Semenjak Sita bercerai dengan Fahmi jelas dia tidak lagi mendapatkan nafkah. Terkadang terpikir olehnya soal kedua anaknya yang sudah lama tidak ia kunjungi. Sakit hati dan benci terhadap mantan suami masih membekas sampai sekarang hingga ia limpahkan ke kedua anaknya juga. Tidak jarang Bu Nurma memberi pesan padanya agar datang untuk melihat anaknya. Namun, Sita tampak tidak peduli. Keinginan Sita serta Ibunya
“Siapa mereka? Kok tiba-tiba ada di depan rumahku? Apa jangan-jangan … ah tidak mungkin, bukankah tidak ada satu pun yang tahu tentang aku dan anakku? Dan tidak mungkin mas Fahmi yang mengadukan aku ke polisi.” Pikiran Sita menjadi kacau seketika. Sita belum mau membukakan pintu sebab dia masih ragu akan keselamatannya di mana dia juga seorang diri, tidak ada orang lain di rumahnya. “Permisi, Ibu Sita!” Kembali Sita mendengar suara pintu rumah diketuk dan namanya juga disebut oleh salah satu dari mereka. “Duh gimana ini, aku belum siap menghadapi mereka. Dan nggak mungkin mas Fahmi mengadukan semuanya ke polisi, aku ini kan ibunya Rifki aku juga berhak atas anakku.” Tubuh Sita seperti gemetaran. Dia tidak bisa berpikir dengan tenang. Di sekeliling rumahnya pun sudah banyak orang yang memperhatikan seakan ingin tau apa lagi yang terjadi dengan Sita. Karena tidak kunjung dibuka, kedua orang itu menanyakan ke tetangga Sita yang bernama Reni.“Apa Ibu Sita ada di rumahnya?” “Seper
Di perjalanan pulang, Fahmi berniat untuk mendatangi Sita di rumahnya sebab dia tidak menemukan mantan istrinya itu saat menjemput anaknya di jalan tadi. Namun, Bu Tini melarangnya.“Sebaiknya kita langsung pulang saja, percuma kalau kamu ribut dengannya sudah pasti kamu yang kalah. Ibu tau persis watak dan kelicikan mantan istrimu itu. Dia nggak akan semudah itu untuk mengakui kesalahannya,” titah Bu Tini pada Fahmi yang tengah fokus mengendarai sepeda motornya.“Tapi, Bu, aku harus membuat perhitungan dengannya. aku ini juga ayahnya Rifku, aku jelas nggak akan terima kalau anakku disakiti dengan cara seperti ini, Bu.” “Ibu mengerti perasaanmu, tapi kita harus cari waktu yang tepat untuk melawannya, percayalah akan tiba saatnya untuk kita bisa menang melawan Sita. Tapi yang pasti tidak sekarang” Mendengar perkataan sang Ibu, Fahmi akhirnya mengurungkan niatnya untuk melabrak Sita, dan terus melajukan sepeda motornya menuju rumah.Bu Tini sebenarnya tidak ingin terjadi sesuatu pada
Kesabaran Bu Tini akhirnya membuahkan hasil, apa yang dia pikirkan terjawab sudah. Semua jawabannya sudah di depan mata, hanya saja dia tidak habis pikir anak seusia Rifki kok ada di tempat keramaian seperti ini. Entah di mana Sita, karena wanita itu tidak tampak batang hidungnya. Bu Tini merasakan shock saat anak yang dia lihat ternyata benar Rifki meski awalnya dia sudah mengantisipasi. Tanpa berpikir lagi, wanita tua itu langsung memeluk cucunya dengan erat. Fahmi yang melihat dari kejauhan mulai melangkah dan mendekati sang anak. Alangkah terkejutnya dia sebab anaknya yang seharusnya berada di rumah bersama Ibunya, tetapi sekarang justru berada di tempat seperti itu. Rasa bersalah bercampur dengan emosi menyatu dalam diri Fahmi, karena dia seorang ayah seharusnya melindungi, tetapi malah seperti menelantarkan anaknya. Tentu saja luapan kemarahannya tertuju pada Sita.“Rifki, kenapa kamu ada di sini, Nak?” tanya Bu Tini pada Rifki.“Nenek, aku … hmm … aku di sini sama Ibu,”
Tak sabar rasanya, Bu Tini ingin sekali kembali ke tempat itu, di mana dia melihat sosok Rifki yang tengah digandeng oleh seseorang dengan pakaian yang sangat lusuh. Tidurnya pun menjadi tidak nyenyak dan tidak tenang selalu dibayang-bayangi kehadiran cucunya. Entah kenapa, Bu Tini tidak ada menaruh rasa percaya pada Sita sedikit pun. ***Keesokan harinya, Bu Tini kembali mengajak dan mendesak Fahmi untuk diantarkan kembali ke simpang lampu merah tempat dia melihat sosok Rifki pertama kali. keyakinan serta rasa penasarannya pada sosok anak kecil itu begitu kuat. “Ibu yakin mau ke situ lagi? Apa nggak kita ke rumah Sita aja terlebih dahulu?” Fahmi sengaja mengalihkan apa yang ada di pikiran Ibunya, setidaknya keinginan Ibunya itu hanya mau bertemu dengan Rifki.“Enggak! Ibu mau kamu juga ikut cari tau apa yang terjadi pada anakmu, memangnya kamu tidak penasaran apa? Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Rifki kamu juga tidak akan Ibu maafkan, ngerti kamu!?” sentak Bu Tini pada Fahmi.
Entah kenapa Bu tini punya firasat kalau yang dia lihat adalah betul Rifki, tetapi dia harus lebih memastikan kalau dugaannya benar. Perhatiannya tidak lepas dari anak yang sangat mirip dengan cucunya itu.“Eh eh, berhenti Fahmi,” ucap Bu Tini sambil menepuk bahu Fahmi yang sedang fokus melihat jalan. “Iya ada apa sih, Bu?” Fahmi menoleh pada Ibunya.“Coba deh kamu lihat anak itu, sepertinya tidak asing bagi Ibu, fisiknya sangat mirip dengan Rifki.” Fahmi menoleh ke arah yang ditunjuk bu Tini. Dia menajamkan penglihatannya. Meski menurut Fahmi memang mirip, tetapi masa iya anaknya afa di tempat seperti itu? “Ah, negak mungkin itu Rifki, Ibu salah lihat kali. Nggak mungkin anakku jadi pengemis.” Pandangan Fahmi juga tidak lepas dari sosok anak yang dia lihat, tetapi dia belum percaya kalau itu adalah anaknya. Pasalnya anak itu terlihat sedang meminta-minta di sekitar lampu merah bersama seorang perempuan paruh baya. Fahmi berusaha meyakinkan kalau Bu Tini kalau dia hanya salah l
Percakapan Amel dan Ibu markonah didengar oleh Ibu-Ibu yang lainnya yang juga lagi belanja di warung tempat langganan mereka. Wajar saja karena setiap pagi adalah waktu untuk membeli bahan untuk dimasak setiap harinya. Begitu juga dengan Amel yang sudah menjadi kegiatannya setiap hari. Ditambah dia harus mengurus sang mertua.Bu markonah tampak kesal karena diminta harus melunasi hutangnya terlebih dahulu jika mau pinjam uang lagi. Apalagi di depan orang banyak, tentunya dia merasa sangat malu jika yang lain pada tahu kalau dirinya punya hutang pada warga baru seperti Amel. Padahal selama ini dia selalu menghina Amel miskin hanya karena tampilannya yang sederhana. “Ck, halah duit segitu aja diminta terus, kayak orang susah. Katanya orang kaya masa hutang nggak seberapa diributin, nggak malu apa?” ujar Bu Markonah dengan expresi wajah mengejek. Dia berusaha membalikan keadaan seolah Amel yang menjadi penyebab keributan.“loh-loh ada apa ini, Mel?” tanya Mila sambil mendekati Amel.“i
Hari pertama Rifki bersama Ibunya sangat membuatnya senang dan gembira, yang biasa dirasakan di kalangan anak-anak se usianya pada umumnya. Tidak heran, karena anak laki-laki akan cenderung lebih dekat dengan sang Ibu. kerinduannya pun terobati, wajah ceria terpancar dari wajah anak itu.Pagi itu Rifki dibangunkan Sita serta diberi sarapan, tidak seperti biasanya yang dialaminya sewaktu tinggal bersama ayah dan neneknya. Bangun siang adalah hal yang lumrah bagi mereka sebab sang anak masih sangat dini untuk dimintai bangun pagi. Namun, sang anak tentu belum bisa berpikir seperti orang dewasa. baginya dekat dengan sang Ibu adalah kebahagiaan yang selalu ingin dia rasakan. begitu juga dengan Rafa. Hanya saja Sita cuma ingin salah satu dari mereka. “Bu, aku pengen sekolah dong. Aku juga mau kayak teman-teman sekolah dan bisa main sama mereka. Aku juga ingin jajan, Bu.” Ucapan itu membuat Sita yang sedang menyuapi Rifki menghentikan gerakan ta
“Pagi, Sita, kamu mau ke mana?” tanya Reni. Kebetulan hari itu Reni dan keluarganya mau pergi jalan-jalan. Biasanya tak.jauh dari rumahnya tepat di stadion Joyo Kusumo kalau setiap hari minggu selalu ramai. Jadi mumpung hari libur, pagi-pagi sekali mereka sudah siap-siap untuk berangkat.“Iya pagi!” jawab Sita ketus. Akan tetapi, Reni mengabaikan jawaban dari Sita. pasalnya dia sudah tau bagaimana karakter Sita. Mereka bertetangga, tetapi tidak dengan hati mereka. Ya begitu lah Sita, hanya mementingkan dirinya sendiri. Sita juga masih kesal pada tetangganya itu. Pasalnya dulu dia pernah meminjam sejumlah uang yang cukup besar pada tetangganya itu, tetapi tidak didapatkannya. Dan akhirnya Sita kesal lalu membenci Reni. Sita menganggap yang tidak satu frekuensi dengannya adalah musuh bagi dirinya. Seperti yang sudah direncanakan, Sita akan menjemput anaknya di rumah mantan mertuanya. Dengan menggunakan motor yang dia beli bebe
“Tuh lihat, manusia kejam yang tega menghancurkan hidup keluarganya sendiri, dulu adiknya sekarang ibunya. Dasar manusia serakah dan tak tau diri. Perempuan seperti itu tak pantas dianggap keluarga,” ujar tetangga Sita yang sedang belanja di tukang sayur keliling di dekat rumahnya. Intonasi suaranya sengaja dia buat tinggi agar Sita mendengar. Yah, sudah menjadi rahasia umum perlakuan Sita pada bu Nurma. Mereka yang awalnya mengira Sita anak yang berbakti karena mau merawat bu Nurma yang lumpuh nyatanya hanya tipu daya belaka. Sita justru mengeksploitasi ibunya sendiri. Miris ….“Kemarin kalau gak salah si Bayu sam Amel pulang bawa si Nurma kan? Pantas dia tinggal sendirian sekarang. Memang dia itu anak durhaka. seperti yang kita tahu kalau selama ini si Nurma kan lebih cenderung sayang ke dia. Eh bukannya balas budi malah menyiksa orang tuanya sendiri, kalau aku sih amit-amit punya anak kayak gitu. Setidaknya kalau belum bisa membahagiakan orang tua ya jangan menyus