“Kamu itu yang anak dan adik gak tahu diri! Disekolahin, digedein tapi apa balasannya? Ibu yang merawatmu bukan istrimu, Bayu! Dasar durhaka!”“Ya suka-suka kamu lah, Mbak, mau ngatain aku apa. Kalau kamu bukan anak durhaka ya sudah kamu saja yang rawat dan kasih ibu uang bulanan. toh suamimu juga kerja dan gajinya lumayan kan? Udah ya males aku debat sama orang kayak kamu, Mbak. Maunya menang sendiri.”Perdebatanku dengan mbak Sita melalui telepon akhirnya kumatikan. Tidak ada gunanya kalau diteruskan, yang ada hanya akan menambah masalah dan sakit hati. Tidak lupa juga kublokir nomornya agar tidak lagi bisa menggangguku. Kuhembuskan napas untuk melegakan sedikit sesaknya dada. “Siapa, Mas? mbak Sita ya?” tanya Amel, aku membalikkan badan dan menatapnya yang kini wajahnya sudah tampak sendu. “Iya, Sayang.” “Pasti dia marah gara-gara kita jalan-jalan begini ya? Kamu pasti bikin status di media sosialmu kan?” Aku mengangguk. Amel menghembuskan napsnya lalu berkata, Untuk apa? Kan d
“Apa, Bu? Kenapa gugup? Ayo jawab ini punya Amel kan?” Geram sekali rasanya melihat ibu seperti ini. Aku jadi serba salah, ingin memaki beliau ibuku. Tidak memaki kok ya kebangetan. “Bu jawab ini punya siapa?!” Pada akhirnya aku membentak. Aku hanya manusia yang punya batas kesabaran. Jika punya ibu yang baik perangainya mungkin sangat tidak bisa membentak seperti ini. Dulu aku tidak bisa, tetapi sekarang lain. Ibu benar-benar harus diberi tahu kalau perbuatannya itu sangat salah. Bukan maksud aku menggurui karena mungkin pengalamanku masih kurang dibanding ibu. Namun, yang namanya salah ya tetap salah meski beliau orang tua sekalipun jadi tetap harus diberi pengertian. “Apa sih, Bayu? Kamu itu jangan asal main tuduh karena jatuhnya fitnah tau gak.”“Oh ya? Fitnah yang bagaimana yang ibu maksud?”“Ya itu lah, apalagi? Fitnah itu yang kamu bilang itu milik Amel. Berarti kamu nuduh ibu yang maling perhiasan istri kamu kan?”“Aku gak ada mengatakan hal itu. Asumsi ibu saja kan?”“Hal
Bayu menatap tajam wajah mbak Sita, dadanya tampak naik turun sebab emosinya yang membuncah. Bagaimana tidak jika keluarganya sudah sangat-sangat zalim pada istri dan anaknya hingga mereka hidup kesusahan padahal dirinya di Kalimantan hidup cukup enak. Entah apa yang ada di pikiran ibu dan mbak Sita sampai mereka tega berbuat demikian pada Amel dan juga Arka. “Bayu, kamu jangan salah paham, itu semua punyaku bukan punyamu apalagi Amel. Itu semua mas Fahmi yang membelikannya.” Mbak Sita memberikan alasan. Bayu menyunggingkan senyuman sinisnya lalu berkata, “Oh ya? Berapa banyak emangnya uang suamimu sebagai penjual kasur di sana?”“Kamu menghina suamiku, Bayu? Aku gak nyangka kamu sekarang menjadi angkuh begini.” Mbak Sita menatap Bayu lekat. Ia sungguh tidak percaya kalau adiknya itu bisa mengeluarkan kalimat pedas padanya. “Bukannya aku meremehkan soal pekerjaan suamimu, Mbak. Tapi kita lihat faktanya aja. Pekerjaan suamimu itu hanya tukang jual kasur keliling. Dia bisa belikan i
“Hutang mbak Sita dan kalian mendatangi istriku? Kalian sudah gila? Siapa yang berhutang siapa yang kalian tagih dan kalian ancam? Sinting!” Bayu memaki para penagih hutang itu. Pasalnya ia kesal gara-gara mereka sudah membuat Amel dan Arka ketakutan hingga Arka menangis kencang.“Masalahnya bu Sita mengatakan kalau kita menagih ke rumah bu Amel sebab uangnya dititipkan sama bu Amel,” jawab salah satu dari mereka. “Dia bilang begitu?” Orang tersebut mengangguk. “Logikany aja, ngapain segala uang 15 juta dititipin? Kalau memang ada uang segitu saja untuk membayar jelas lebih baik dia serahkan ke kalian secara langsung atau dia transfer langsung ke rekening bos kalian yang memberi hutangan. Kalian pikir uang 15 juta itu sedikit sampai harus dititipkan?” sanggah Bayu yang membuat ketiga pria itu saling pandang. Meski apa yang dikatakan Bayu sejatinya benar, tetapi mereka tidak mau tau. Mau uang itu dititipkan atau tidak yang mereka tau dan mereka pikirkan adalah uang itu segera disera
Suara salah satu debt collector itu sangat keras saat mengancam Sita yang masih di dalam rumah. Suasana semakin panas dan ada beberapa tetangga ternyata sudah melihat ke arah rumah Sita. Mereka seperti ingin tau ada apa di rumahnya Sita.“Bu gimana dong ini? Mereka mengancam tuh.” Sita panas dingin. Keringat sebesar biji jagung pun keluar dari dahinya. “Bu, jangan diam aja dong bantu mikir kek.”“Mikir apa, Sit? Yaudah sih tinggal keluar aja repot amat.” Sita mendelik mendengar ucapan ibunya. Bagaimana bisa ibunya meminta untuk langsung keluar padahal jelas ia punya uang untuk membayar hutang-hutangnya. “Bu, kok malah suruh aku keluar sih? Ibu lah yang keluar dan bilang ke mereka aku gak ada di rumah.”“Gak ah, ibu juga takut kali, Sit.”“Ck, ibu gak asik ah.” Di saat Sita dan bu Nurma masih berdebat kembali terdengar suara lantang dari para penagih hutang itu. Membuat tubuh Sita gemetar. “Cepat kalian keluar! Kami hitung sampai tiga kalau tidak keluar kami beneran bakar rumah
“Ibu benar, kan sebentar lagi Bayu balik ke Kalimantan. Jadi kita ambil semua punya mereka dan jual. Aku yakin harganya lebih dari 15 juta, Bu, nanti sisanya bisa buat beli perhiasan.”“Yaudah ah ibu mau pulang dulu. Mau masak, udah siang nih ibu lapar.”“Ibu, aku ikut ke rumah ya soalnya aku nggak masak jadi aku mau numpang makan. boleh ya, Bu .…”Meski Bu Nurma kesal pada Sita perkara hutang nya itu, tetapi bu Nurma tidak bisa marah. Bagaimanapun Sita adalah anak kesayangannya, tetap saja hatinya akan luluh setiap Sita merengek. Sedangkan Bayu hanya dijadikan ATM berjalan alias hanya mau duitnya saja. Entah kenapa pemahaman Bu Nurma tentang anak laki-laki itu berbeda dengan anak perempuan. Anak laki-laki itu kuat, dan wajib berbakti padanya sebagai ibu. Ditambah lagi bu Nurma juga merasa sudah menyekolahkan Bayu hingga sarjana. Dan menurutnya Bayu harus balas budi. Anak laki-laki adalah investasi. Yang mana di kala sudah sukses harus gantian memberikan apa pun yang bu Nurma inginka
“Hemm kamu benar, sepertinya kali ini ibu setuju sama idemu itu.”“Haruslah, Bu, karena ideku ini emang udah paling te ope begete.”“Apa itu?” tanya bu Nurna dengan kening berkerut. “Top banget, ih masa gitu aja ibu gak tau sih.”“Ya emang gak tau kok. Udah ah ibu mau lanjut masak lagi.”“Kok lanjut masak sih, Bu? Tapi katanya mau ke rumah Bayu?”“Ya tunggulah dulu, ibu selesaikan dulu ini masaknya. Emang kamu gak laper? Sandiwara itu butuh tenaga dan pikiran jadi harus isi bensin dulu. Nih bantuin biar cepet.”“Males ah, mending aku lanjut scrol hape lagi.” Bu Nurma hanya bisa menggelengkan kepalanya. Meski begitu tetap saja bu Nurma tidak bisa marah pada Sita. Entah apa keistimewaan anak perempuannya itu sampai-sampai setiap perbuatan Sita tidak bisa ia lawan. Akhirnya bu Nurma membiarkan saja Sita melakukan semaunya sendiri sedangkan ia melanjutkan masak yang sempat tertunda tadi. Selang 30 menit kemudian akhirnya masakan bu Nurma pun selesai. Ayam kecap yang sudah ia pindahkan
Bayu menghentikan suapan terakhir yang baru saja akan ia suapkan ke dalam mulut. Wajahnya berubah kesal. Hanya mendengar nama ibu dan kakaknya disebut saja sudah membuat ingatan tentang perlakuan mereka. Mendadak selera makan hilang padahal hanya tinggal satu suapan akhirnya ia kembali memasukkan suapan terakhir itu ke dalam mulutnya. “Mas, kok diam?”"Gak usah!""Tapi aku masak banyak, loh, Mas. Kalau cuma kita berdua yang makan gak bakal habis. Sayang makanannya, Mas," bujuk sang istri."Gak usah, Sayang. Karena kamu terlalu baik sama ibu dan Mbak Sita makanya mereka semena-mena sama kamu."Jelas Bayu menolak permintaan istrinya sebab masih kesal kepada ibu dan kakaknya dan Amel paham kenapa suaminya seperti itu. Amel menggenggam tangan suaminya dan berkata, "Bagaimanapun mereka itu ibu dan kakakmu, Mas. Kamu gak bisa terus-terusan begini.""Tapi ....""Mas," selanya sambil mengeratkan genggaman tangannya. Membuat Bayu menghela napas dan pasrah."Iya deh, iya aku ngalah. Apa, sih,
“Siapa mereka? Kok tiba-tiba ada di depan rumahku? Apa jangan-jangan … ah tidak mungkin, bukankah tidak ada satu pun yang tahu tentang aku dan anakku? Dan tidak mungkin mas Fahmi yang mengadukan aku ke polisi.” Pikiran Sita menjadi kacau seketika. Sita belum mau membukakan pintu sebab dia masih ragu akan keselamatannya di mana dia juga seorang diri, tidak ada orang lain di rumahnya. “Permisi, Ibu Sita!” Kembali Sita mendengar suara pintu rumah diketuk dan namanya juga disebut oleh salah satu dari mereka. “Duh gimana ini, aku belum siap menghadapi mereka. Dan nggak mungkin mas Fahmi mengadukan semuanya ke polisi, aku ini kan ibunya Rifki aku juga berhak atas anakku.” Tubuh Sita seperti gemetaran. Dia tidak bisa berpikir dengan tenang. Di sekeliling rumahnya pun sudah banyak orang yang memperhatikan seakan ingin tau apa lagi yang terjadi dengan Sita. Karena tidak kunjung dibuka, kedua orang itu menanyakan ke tetangga Sita yang bernama Reni.“Apa Ibu Sita ada di rumahnya?” “Seper
Di perjalanan pulang, Fahmi berniat untuk mendatangi Sita di rumahnya sebab dia tidak menemukan mantan istrinya itu saat menjemput anaknya di jalan tadi. Namun, Bu Tini melarangnya.“Sebaiknya kita langsung pulang saja, percuma kalau kamu ribut dengannya sudah pasti kamu yang kalah. Ibu tau persis watak dan kelicikan mantan istrimu itu. Dia nggak akan semudah itu untuk mengakui kesalahannya,” titah Bu Tini pada Fahmi yang tengah fokus mengendarai sepeda motornya.“Tapi, Bu, aku harus membuat perhitungan dengannya. aku ini juga ayahnya Rifku, aku jelas nggak akan terima kalau anakku disakiti dengan cara seperti ini, Bu.” “Ibu mengerti perasaanmu, tapi kita harus cari waktu yang tepat untuk melawannya, percayalah akan tiba saatnya untuk kita bisa menang melawan Sita. Tapi yang pasti tidak sekarang” Mendengar perkataan sang Ibu, Fahmi akhirnya mengurungkan niatnya untuk melabrak Sita, dan terus melajukan sepeda motornya menuju rumah.Bu Tini sebenarnya tidak ingin terjadi sesuatu pada
Kesabaran Bu Tini akhirnya membuahkan hasil, apa yang dia pikirkan terjawab sudah. Semua jawabannya sudah di depan mata, hanya saja dia tidak habis pikir anak seusia Rifki kok ada di tempat keramaian seperti ini. Entah di mana Sita, karena wanita itu tidak tampak batang hidungnya. Bu Tini merasakan shock saat anak yang dia lihat ternyata benar Rifki meski awalnya dia sudah mengantisipasi. Tanpa berpikir lagi, wanita tua itu langsung memeluk cucunya dengan erat. Fahmi yang melihat dari kejauhan mulai melangkah dan mendekati sang anak. Alangkah terkejutnya dia sebab anaknya yang seharusnya berada di rumah bersama Ibunya, tetapi sekarang justru berada di tempat seperti itu. Rasa bersalah bercampur dengan emosi menyatu dalam diri Fahmi, karena dia seorang ayah seharusnya melindungi, tetapi malah seperti menelantarkan anaknya. Tentu saja luapan kemarahannya tertuju pada Sita.“Rifki, kenapa kamu ada di sini, Nak?” tanya Bu Tini pada Rifki.“Nenek, aku … hmm … aku di sini sama Ibu,”
Tak sabar rasanya, Bu Tini ingin sekali kembali ke tempat itu, di mana dia melihat sosok Rifki yang tengah digandeng oleh seseorang dengan pakaian yang sangat lusuh. Tidurnya pun menjadi tidak nyenyak dan tidak tenang selalu dibayang-bayangi kehadiran cucunya. Entah kenapa, Bu Tini tidak ada menaruh rasa percaya pada Sita sedikit pun. ***Keesokan harinya, Bu Tini kembali mengajak dan mendesak Fahmi untuk diantarkan kembali ke simpang lampu merah tempat dia melihat sosok Rifki pertama kali. keyakinan serta rasa penasarannya pada sosok anak kecil itu begitu kuat. “Ibu yakin mau ke situ lagi? Apa nggak kita ke rumah Sita aja terlebih dahulu?” Fahmi sengaja mengalihkan apa yang ada di pikiran Ibunya, setidaknya keinginan Ibunya itu hanya mau bertemu dengan Rifki.“Enggak! Ibu mau kamu juga ikut cari tau apa yang terjadi pada anakmu, memangnya kamu tidak penasaran apa? Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Rifki kamu juga tidak akan Ibu maafkan, ngerti kamu!?” sentak Bu Tini pada Fahmi.
Entah kenapa Bu tini punya firasat kalau yang dia lihat adalah betul Rifki, tetapi dia harus lebih memastikan kalau dugaannya benar. Perhatiannya tidak lepas dari anak yang sangat mirip dengan cucunya itu.“Eh eh, berhenti Fahmi,” ucap Bu Tini sambil menepuk bahu Fahmi yang sedang fokus melihat jalan. “Iya ada apa sih, Bu?” Fahmi menoleh pada Ibunya.“Coba deh kamu lihat anak itu, sepertinya tidak asing bagi Ibu, fisiknya sangat mirip dengan Rifki.” Fahmi menoleh ke arah yang ditunjuk bu Tini. Dia menajamkan penglihatannya. Meski menurut Fahmi memang mirip, tetapi masa iya anaknya afa di tempat seperti itu? “Ah, negak mungkin itu Rifki, Ibu salah lihat kali. Nggak mungkin anakku jadi pengemis.” Pandangan Fahmi juga tidak lepas dari sosok anak yang dia lihat, tetapi dia belum percaya kalau itu adalah anaknya. Pasalnya anak itu terlihat sedang meminta-minta di sekitar lampu merah bersama seorang perempuan paruh baya. Fahmi berusaha meyakinkan kalau Bu Tini kalau dia hanya salah l
Percakapan Amel dan Ibu markonah didengar oleh Ibu-Ibu yang lainnya yang juga lagi belanja di warung tempat langganan mereka. Wajar saja karena setiap pagi adalah waktu untuk membeli bahan untuk dimasak setiap harinya. Begitu juga dengan Amel yang sudah menjadi kegiatannya setiap hari. Ditambah dia harus mengurus sang mertua.Bu markonah tampak kesal karena diminta harus melunasi hutangnya terlebih dahulu jika mau pinjam uang lagi. Apalagi di depan orang banyak, tentunya dia merasa sangat malu jika yang lain pada tahu kalau dirinya punya hutang pada warga baru seperti Amel. Padahal selama ini dia selalu menghina Amel miskin hanya karena tampilannya yang sederhana. “Ck, halah duit segitu aja diminta terus, kayak orang susah. Katanya orang kaya masa hutang nggak seberapa diributin, nggak malu apa?” ujar Bu Markonah dengan expresi wajah mengejek. Dia berusaha membalikan keadaan seolah Amel yang menjadi penyebab keributan.“loh-loh ada apa ini, Mel?” tanya Mila sambil mendekati Amel.“i
Hari pertama Rifki bersama Ibunya sangat membuatnya senang dan gembira, yang biasa dirasakan di kalangan anak-anak se usianya pada umumnya. Tidak heran, karena anak laki-laki akan cenderung lebih dekat dengan sang Ibu. kerinduannya pun terobati, wajah ceria terpancar dari wajah anak itu.Pagi itu Rifki dibangunkan Sita serta diberi sarapan, tidak seperti biasanya yang dialaminya sewaktu tinggal bersama ayah dan neneknya. Bangun siang adalah hal yang lumrah bagi mereka sebab sang anak masih sangat dini untuk dimintai bangun pagi. Namun, sang anak tentu belum bisa berpikir seperti orang dewasa. baginya dekat dengan sang Ibu adalah kebahagiaan yang selalu ingin dia rasakan. begitu juga dengan Rafa. Hanya saja Sita cuma ingin salah satu dari mereka. “Bu, aku pengen sekolah dong. Aku juga mau kayak teman-teman sekolah dan bisa main sama mereka. Aku juga ingin jajan, Bu.” Ucapan itu membuat Sita yang sedang menyuapi Rifki menghentikan gerakan ta
“Pagi, Sita, kamu mau ke mana?” tanya Reni. Kebetulan hari itu Reni dan keluarganya mau pergi jalan-jalan. Biasanya tak.jauh dari rumahnya tepat di stadion Joyo Kusumo kalau setiap hari minggu selalu ramai. Jadi mumpung hari libur, pagi-pagi sekali mereka sudah siap-siap untuk berangkat.“Iya pagi!” jawab Sita ketus. Akan tetapi, Reni mengabaikan jawaban dari Sita. pasalnya dia sudah tau bagaimana karakter Sita. Mereka bertetangga, tetapi tidak dengan hati mereka. Ya begitu lah Sita, hanya mementingkan dirinya sendiri. Sita juga masih kesal pada tetangganya itu. Pasalnya dulu dia pernah meminjam sejumlah uang yang cukup besar pada tetangganya itu, tetapi tidak didapatkannya. Dan akhirnya Sita kesal lalu membenci Reni. Sita menganggap yang tidak satu frekuensi dengannya adalah musuh bagi dirinya. Seperti yang sudah direncanakan, Sita akan menjemput anaknya di rumah mantan mertuanya. Dengan menggunakan motor yang dia beli bebe
“Tuh lihat, manusia kejam yang tega menghancurkan hidup keluarganya sendiri, dulu adiknya sekarang ibunya. Dasar manusia serakah dan tak tau diri. Perempuan seperti itu tak pantas dianggap keluarga,” ujar tetangga Sita yang sedang belanja di tukang sayur keliling di dekat rumahnya. Intonasi suaranya sengaja dia buat tinggi agar Sita mendengar. Yah, sudah menjadi rahasia umum perlakuan Sita pada bu Nurma. Mereka yang awalnya mengira Sita anak yang berbakti karena mau merawat bu Nurma yang lumpuh nyatanya hanya tipu daya belaka. Sita justru mengeksploitasi ibunya sendiri. Miris ….“Kemarin kalau gak salah si Bayu sam Amel pulang bawa si Nurma kan? Pantas dia tinggal sendirian sekarang. Memang dia itu anak durhaka. seperti yang kita tahu kalau selama ini si Nurma kan lebih cenderung sayang ke dia. Eh bukannya balas budi malah menyiksa orang tuanya sendiri, kalau aku sih amit-amit punya anak kayak gitu. Setidaknya kalau belum bisa membahagiakan orang tua ya jangan menyus