Rasti gugup. Bahkan saat ini, dia tak berani untuk sekadar mengangkat wajah menatap Arfan.
"Mbak nggak perlu tahu. Yang jelas saya hanya ingin terus melihat orang itu bahagia."Berkali-kali Rasti berusaha menepis bahwa wanita yang sedang dibicarakan Arfan adalah dia sendiri. Tidak ada alasan yang kuat. Dia merasa hanya seorang perempuan sederhana yang tidak memiliki pesona apa-apa. Yang menyedihkan lagi, sekarang malah menyandang status sebagai seorang janda beranak satu."O-oya. Maaf, Bang Arfan ... seharusnya saya tidak punya hak untuk tanya-tanya.""Nggak perlu minta maaf. Mbak nggak salah.""Ta-tapi bukankah sia-sia saja, kalau memang Abang tidak bisa memiliki perempuan itu?" Rasti kembali memberanikan diri untuk bertanya lagi. Dia penasaran dengan jawaban Arfan kali ini. Meski masih belum yakin kalau perasaan itu untuknya, setidaknya dia bisa tahu bagaimana lelaki itu menyikapinya."Ini perasaanSenyum lebar menghiasi wajah perempuan dengan jilbab yang warnanya sudah memudar itu."Nanti kalau Faiz sudah besar pasti mengerti. Sekarang, kita tinggal di sini dulu, ya!" bujuknya lagi.Faiz mengangguk pasrah. Sejujurnya dia masih bingung, kenapa ibunya terus membawanya tinggal ke tempat yang berbeda?Tak lama kemudian, istri pemilik kontrakan datang dengan membawa kunci. Dia lalu mengajak Rasti dan Faiz untuk mengikutinya."Berdua aja, Neng?" tanyanya sambil memerhatikan Faiz."Iya, Bu.""Barang-barangnya banyak, nggak?""Hanya pakaian saja, Bu. Belum ada apa-apa."Bu Zaenal terdiam sambil memandang Rasti dan Faiz."Nanti tidurnya bagaimana? Kontrakan ini nggak ada kasurnya.""Kami bisa tidur di karpet, Bu. Nanti saya beli.""Ya Allah ... ayo masuk, sini lihat-lihat dulu."Mata Rasti berkeliling. Meski hanya sepetak, bangunannya terlihat rapi. Dia langsung yakin menempatinya, begitu juga dengan Faiz."Gimana?""Iya, Bu. Saya mau."Rasti lalu merogoh saku celananya. Mencari dompet
"Emak nggak percaya kalau kamu nggak punya uang segitu. Emak tau gimana hematnya si Rasti selama ini. Biar dia nggak cerita, Emak sering merhatiin. Kalau duitnya bukan buat ditabung, memangnya kamu kemanain?" cecar Mak Saroh gemas."Iya, Mak. Akan saya usahakan," putus Wandi. Terpaksa dia melakukannya, daripada terus-terusan dicecar Mak Saroh.***Wandi menatap layar ponselnya berkali-kali. Dia tak percaya uang gajinya bulan ini hanya tersisa dua ratus ribu. Padahal ini masih pertengahan bulan. Masih ada lima belas hari ke depan sampai menuju tanggal gajian.Biasanya, di akhir bulan, setidaknya paling kecil dia bisa menyisihkan satu juta rupiah untuk masuk ke rekening lainnya sebagai tabungan. Karena dulu, sebagian besar gajinya hanya digunakan untuk rokok dan top up game online. Sedangkan untuk Rasti dan Faiz, dia cukup dengan hanya menyisihkan lima ratus ribu. Dua ratus untuk token, gas dan minyak. Sementara tiga ratus ribu,
Begitu Bu Angga pergi meninggalkan warung, semuanya masih terdiam. Mereka bingung harus memulai dari mana.Arfan dan Ahmad yang tidak menyangka bahwa selama ini Rasti menyimpan masalah rumah tangganya tanpa terlihat sama sekali.Sementara Rasti, tidak tahu harus memulai dari mana. Bukan kewajibannya juga untuk menjelaskan tentang perceraiannya."Jadi, kamu sudah bercerai, Ras?" tanya Sulastri pelan, melihat ketiganya membisu.Khawatir Rasti tak mau bicara, Ahmad dan Arfan memilih pura-pura sibuk. Meski begitu, keduanya tetap menyimak percakapan Rasti dan Sulastri."Iya, Bu ...," aku Rasti.Jawabannya tentu membuat Ahmad dan Arfan saling melempar pandangan. Seolah mereka berbicara melalui tatapan mata."Terus sekarang tinggal di mana?" lanjut Sulastri."Tadinya saya sama Faiz tinggal sama adik ipar saya, Bu. Tapi hari ini rencananya kami mau pindah ke kontrakan."
"Saya nggak tahu nomornya berapa, Bang. Di sini baru ada nomor Wita saja.""Eh, kebetulan. Boleh saya minta sekalian?" Ahmad begitu bersemangat."Silahkan Bang Ahmad! Jangan lupa perkenalkan diri dulu kalau mau menghubungi."Mata Ahmad bersinar. Tingkahnya seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan kesukaannya."Nah, ini nomor aku dan juga ada nomor Arfan. Yang namanya Faiz ini, itu nomor Mbak Rasti. Siapa tahu ada yang minta nanti. Asal jangan laki-laki, ada yang marah nanti."Untuk kesekian kalinya candaan Ahmad membuat situasi terasa canggung. Sulastri pun semakin yakin dengan pemikirannya. Siapkah dia menerima menantu yang tidak sesuai dengan kriterianya?***Di toko perabot, Rasti membuka amplop gaji yang dia terima. Tujuh ratus lima puluh ribu. Jumlah uang yang cukup banyak bagi Rasti yang selama ini jarang sekali memegang uang dalam jumlah besar
"Mbak, itu yang nganter belanjaan ganteng banget. Orang mana?" tanya wanita bernama Ayu itu terlihat sangat antusias.Tadi siang, Rasti memang sempat berkenalan dengan beberapa tetangga, meski belum bisa menghapal satu persatu nama mereka.Ibunya Faiz itu lalu tersenyum tipis. Arfan memang tampan. Namun, entah kenapa dia merasa risih mendengar tetangganya bilang begitu."Tokonya di mana, Mbak?" Kali ini wanita bernama Nita. Seorang ibu muda dengan bayi kecil di pangkuannya ikut bertanya mengenai Arfan."Di perumahan sebelah, Mbak.""Nanti saya minta nomornya juga, ya. Siapa tahu butuh buat beli gas.""Masa beli gas ambil dari perumahan sebelah, Mbak? Kamu nggak kasihan sama yang antar?" Bu Zaenal yang menyimak percakapan mereka sedari tadi ikut nimbrung juga."Kan, nggak cuma beli gas, Bu. Sama yang lainnya juga," sahutnya membela diri.Melemparkan senyumnya lebar, Rasti kemudian pamit untuk masuk ke dalam dan membiarkan mereka melanjutkan obrolannya. Selain ada hal yang harus segera
"Kok dia jadi bilang begitu, Fan?" tanya Ahmad kecewa sambil terus memerhatikan punggung Wita yang perlahan menghilang."Kamu salah penyampaian, Mat. Akhirnya dia malah mengira saya yang salah paham."Ahmad menggaruk kepalanya. Sia-sia saja dia mengirimkan pesan pada Wita, kalau pada akhirnya malah berujung seperti ini."Nggak perlu terburu-buru, nanti ilfeel jadinya!" sindir Arfan. Menyisakan kekesalan yang begitu kentara di wajah temannya.Di tempat lain, ada Santi yang masih menahan Wandi pulang karena keinginannya belum disetujui. Padahal, sudah hampir tengah malam.Mak Saroh sampai terkantuk-kantuk menunggu di teras rumah agar tidak menjadi fitnah tetangga."Kamu pikirkan dulu baik-baik, San. Daripada uangnya untuk pesta, kenapa nggak ditabung saja untuk beli mobil?" bujuk Wandi."Mas nggak boleh egois. Masalah mobil kan bisa nyicil nanti. Mas itu baru cerai sama Rasti. Orang sini taunya dia istri Mas. Kalau nggak ada pesta besar-besaran, selamanya orang akan berpikiran begitu."
Wandi bertanya tepat di dekat telinga Rasti hingga membuat mantan istrinya itu merasa tidak nyaman."Apa kamu melihat penyesalan di wajahku, Mas?" Rasti balik bertanya. "Dan Faiz ... aku percaya kalau dia akan memiliki rezekinya sendiri."Kamu pikir, biaya hidup hanya sebatas untuk makan hari ini?" Wandi mengejek Rasti hingga menerbitkan bulir-bulir bening di sudut matanya.Rasti sadar, dia memang memiliki banyak keterbatasan. Tapi dia akan berjuang sekuat tenaga demi bisa membahagiakan Faiz."Mas!""Jangan angkuh hanya karena kerja di sini, Ras! Kamu nggak akan pernah mendapatkan suami seperti saya. Coba pikir, siapa laki-laki yang yang bisa menerima kamu? Sudah janda, tidak sekolah, keluarga juga nggak punya. Siapa yang mau sama kamu, hah?""Saya!" sahut Arfan sambil menghampiri keduanya. "Saya yang akan menikahinya."Tak ayal, pengakuan Arfan membuat ketiganya terkejut dan tertuju padanya.Wandi tertawa mengejek. Seolah tidak percaya apa yang baru saja didengarnya."Kamu mau sama d
Rasti menghela napas sambil menatap adik iparnya itu."Kamu percaya, Wit?""Ya nggak juga, sih." Jawaban WITA terdengar datar. "Soal perasaan Bang Arfan, Mbak juga baru tahu. Mbak juga masih nggak yakin. Mungkin saja dia ingin membela Mbak tadi." Rasti terpaksa berbohong agar Wita tidak merasa sedih. "Tapi kalau soal perselingkuhan, Demi Allah Mbak nggak melakukannya. Di sana Mbak hanya niat kerja.""Iya, Mbak. Aku percaya sama Mbak Rasti.""Soal perasaan Bang Arfan, Mbak juga nggak yakin soal itu. Kamu nggak perlu khawatir." Lagi, Rasti mencoba meyakinkan."Lho, kok Mbak jadi ngomong kaya gitu?" Wita malah memicingkan matanya, meninggalkan kebingungan dalam benak Rasti. Bukankah ini yang ingin dia dengar?"Mbak nggak ada perasaan apapun sama dia. Percaya deh!""Masya Allah, Mbak ... di saat seperti ini, kayanya Mbak masih mikirin aku? Kalau Bang Arfan punya perasaan sama Mbak, aku nggak masalah. Artinya, dia memang bukan jodohku. Ya ... walaupun ada sedikit rasa iri, aku tetap tidak
"Ah itu ... Rasti cuma kepikiran siapa yang gantiin Ibu popok. Bukannya Ibu nggak nyaman kalau nggak sering-sering ganti?""Memang ... tapi kan, jadi menyita banyak waktu kamu?""Nggak masalah, selagi saya bisa. Cuma ya gitu, Rasti nggak bisa datang tepat waktu, Bu."Mata Sulastri mengembun. Segenap penyesalan menghampirinya. Bagaimana dia tidak bisa merasakan ketulusan Rasti?"Nanti kalau mau ke sini lagi, telepon Arfan saja.""Nggak perlu, Bu. Saya masih bisa sendiri. Kasihan kalau Bang Arfan harus ninggalin toko terus-terusan," kata Rasti sambil mulai membuka pakaian Sulastri. Tanpa sungkan, apalagi merasa jijik."Ibu juga nggak nyangka sama mereka berdua. Toko ini makin ramai setiap harinya. Mungkin, keduanya sudah butuh karyawan baru.""Di sini kan, nggak ada agen, Bu. Dan toko ini membedakan harga ecer dengan harga rencengan. Jadi pembeli yang mau selisih harga, pasti lebih memilih ke sini.""Ya, Ibu nggak ngerti soal begituan. Kamu juga. Katanya, laundryan kamu sekarang makin m
"Sudah jam berapa, Fan?" tanya Sulastri dengan wajah gelisah. Seperti sedang menunggu seseorang."Baru jam sepuluh, Bu. Ada apa?""Nggak apa-apa."Seingat Arfan, ini sudah ketiga kalinya Sulastri bertanya mengenai waktu Dan setiap ditanya kenapa, jawabannya juga selalu sama.Saat ini, Arfan begitu yakin kalau ibunya sedang menunggu kedatangan Rasti. Mungkin karena melihat ketulusan wanita itu saat mengurusnya tadi pikirannya berubah. Begitu dugaannya.Ada segelintir perasaan bahagia yang menghampiri Arfan. Mungkinkah ibunya akan segera merestui hubungannya dengan Rasti?"Ibu mau ke kamar mandi?" Arfan kembali bertanya untuk memastikan. Khawatir ibunya ingin buang air dan menunggu Rasti membantunya."Nggak, Fan ....""Terus, kenapa Ibu gelisah begitu?" Arfan makin penasaran dan berharap ibunya memberi jawaban sesuai harapannya."Nggak apa-apa.""Arfan sudah dapat nomor yayasan yang biasa menyalurkan ART untuk merawat lansia. Cuma masih dua hari lagi mungkin." Arfan kembali memancing p
"Bang, jadi saat ini kita pacaran?""Terserah Dik Wita mau menyebutnya apa. Abang masih nggak percaya semua ini bisa terjadi dengan cepat.""Ya ampun, Bang. Wita juga nggak sesempurna yang Abang bayangin. Banyak kekurangan aku yang mungkin bikin Abang kaget nanti.""Apa?""Aku nggak pinter masak!""Abang cari pendamping, Dik, bukan cari tukang masak!""Yakin?""Serius.""Eh, bentar! Kata Mbak Rasti, Abang aktifin handphonenya!""Habis baterai. Kenapa memang?""Katanya, ibunya Bang Arfan jatuh di kamar mandi. Sekarang masih di klinik.""Inalillahi wa innailaihi rojiun ... terus, Mbak Rasti bilang apalagi? Keadaannya bagaimana?""Tadi masih diperiksa, Bang. Coba telepon Bang Arfan.""Kamu punya nomornya?""Nggak. Kan bisa minta sama Mbak Rasti.""Jangan!""Kenapa?""Abang takut kamu berubah pikiran.""Abang ... !!! Sini lihat mata aku! Aku tuh udah nggak naksir lagi sama Bang Arfan. Masa mikir gitu, sih?""Abang cemburu karena merasa jauh kalau dibandingkan sama Arfan.""Masya Allah Aba
lMenggigit ujung bibirnya, Rasti kebingungan harus menjawab apa. Haruskah mengatakan kalau dia juga merasa sangat kehilangan?Hanya dengan mengambil banyak orderan, dia bisa sedikit mengalihkan perasaan itu. Meski di dalam dirinya masih merasa hampa."Biasa saja," jawabnya berbohong. Bagaimanapun juga, Sulastri belum memberi restu. Dan Rasti tidak ingin jawabannya menyisakan harapan untuk Arfan."Nggak masalah."Rasti menoleh cepat. Kenapa Arfan merespon begitu?"Nggak masalah kalau saat ini kamu merasa biasa saja. Saya akan menunggu sampai kamu merindukan saya. Entah kapan.""Ka-kalau tidak pernah?""Tidak apa-apa. Saya akan terus menikmati perasaan ini. Anggap saja kamu masih bersama dia. Tak bisa digapai!" kata Arfan melebarkan senyumnya.Rasti bergeming. Kehabisan kata-kata untuk menanggapi pengakuan Arfan barusan. Padahal, dia sudah berusaha memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan isi hatinya."Jangan anggap pengakuan saya menjadi beban buat kamu sampai harus menghindar begi
Pernyataan Faiz membuat Wandi terkejut bukan main. Matanya langsung tertuju pada sosok wanita yang masih menyisakan rasa di dalam hatinya."Jadi kalian mau menikah? Kapan?" Wandi masih memburu pertanyaan dengan mata melotot tajam. Seolah tak peduli ada Santi dan Mak Saroh di samping kanan dan kirinya. Juga tetamu yang mungkin saja mendengarnya.Rasti tidak menjawab. Dia membiarkan saja Wandi bergelut penuh teka-teki. Meski selintas rasa tak enak pada Arfan yang berada di sampingnya."Doakan saja!" Arfan menimpali meski tak kuasa menahan tawa melihat ekspresi Wandi."Kalau kalian sampai menikah, aku akan ambil Faiz untuk tinggal sama kami!" ancam Wandi dengan emosi yang semakin menjadi-jadi. Entah apa yang membuatnya jadi marah begitu."Apakah ini sebuah ancaman, Mas? Kamu kan, sudah hidup bahagia dengan Santi. Kenapa harus mencampuri urusanku lagi?" Rasti tak mau kalah. Wandi sendiri yang membuatnya berubah menjadi perempuan kuat dan tidak menerima begitu saja perlakuan buruk yang men
"Di sini?" Rasti menatap ke sekeliling. Syukurlah, mereka semua paham situasi. Satu persatu beranjak pergi menuju meja prasmanan supaya Rasti dan Arfan bisa bicara."Di mana lagi selain di sini? Kamu selalu menghindar belakangan ini," ceplos Arfan tak sabar melihat wanita yang dicintai kini ada di hadapannya.Wita yang datang menghampiri untuk mengajak mereka makan, justru mendengar perkataan Arfan. Dia bisa membaca situasi dan langsung menggandeng Faiz pergi ke tempat es krim, diikuti Ahmad yang mengekor di belakangnya."Bang Ahmad mau juga?" tawar Wita yang berbalik badan ketika menyadari Ahmad mengikutinya."Bo-boleh ...," jawab Ahmad gugup setelah 'tertangkap basah'.Wita lalu berjalan lebih dulu dan meminta tiga cup es krim untuk mereka. Setelah itu, baru kembali pada Ahmad dan Faiz."Bang, sebenarnya aku mau hubungin Bang Ahmad. Tapi malu, takut ganggu!" kata Wita jujur, sambil menyerahkan satu cup es krim pada lelaki yang wajahnya terlihat sangat gugup itu."Lho kenapa harus m
"Nggak tahulah, Mbak. Aku belum ada rasa.""Lebih baik dicintai daripada mencintai. Mbak yakin, Bang Ahmad orang yang baik."Semenjak mengetahui nomor teleponnya, Ahmad memang selalu mengirim pesan untuk sekadar memberi perhatian. Namun, Wita masih mengabaikannya begitu saja. Takut menghadirkan harapan palsu."Mbak, kenapa nggak diganti motor aja sih sepedanya? Kan lebih enak. Nggak capek juga." Wita mencoba mengalihkan. Begitu setiap kali membicarakan tentang Ahmad."Kamu kaya Bu Zaenal saja. Pasti nyuruh Mbak buat ganti motor terus. Mbak kan, nggak bisa naik motor, Wit!" "Belajarlah, Mbak! Aku kasihan lihatnya kalau lagi banyak kirim barang! Lagipula, kan lebih hemat waktu, Mbak. Kalau pakai motor jauh lebih cepat.""Nantilah Mbak pikir dulu. Tabungannya juga belum cukup untuk membeli motor. Mbak ada rencana mau sewa kios kecil di ujung jalan situ.""Wah ... makin besar usahanya, Mbak!""Alhamdulillah ... ini bisa juga jadi semangat juga supaya kamu nggak terlalu terpuruk karena la
"Coba lihat, Fan! Ini bukannya mantan suami Mbak Rasti ya?" kata Ahmad sambil menyerahkan undangan pernikahan yang baru saja dibagikan ketua RT."Iya." Arfan menjawab datar tanpa menoleh sedikitpun dari nota-nota yang dia kerjakan."Kira-kira Mbak Rasti bakal datang nggak ya? Kangen juga aku sama si Faiz."Mendengar Ahmad menyebut nama Faiz dan Rasti, mata Arfan mengembun. Ada rindu yang tak bisa dia ungkapkan saat ini.Meski Rasti berjanji akan main ke toko, nyatanya malah selalu menghindar setiap kali Arfan datang. Selalu saja pemilik kontrakan mengatakan Rasti sedang mengantar cucian atau pergi keluar.Ketika Arfan berinisiatif menemuinya di tempat Faiz bersekolah, pun tak ditemuinya Katanya, Faiz tak lagi bersekolah di sana.Arfan mundur perlahan. Bukan ingin menyerah, dia hanya takut keberadaannya menjadi beban untuk wanita yang dia cintai. Karena sampai saat ini juga, Arfan belum mengetahui perasaan Rasti terhadapnya. Apakah Rasti merasa terganggu oleh kehadirannya?Apakah wani
"Bang, nggak bisa seperti ini!" Rasti masih terus berusaha, hingga dia menangkap Arfan mengedipkan matanya memberi isyarat pada Faiz.Kali ini Rasti tak boleh terkecoh. Dia harus terus berusaha menguatkan hatinya agar tidak terjebak perasaan yang semakin dalam."Faiz ke kamar lagi, ya? Nanti beli makanan sama Ibu," bujuk Rasti. Meski dia sebenarnya tak sampai hati melihat kekecewaan di wajah putranya.Meskipun menyukai Arfan, Faiz lebih mencintai ibunya. Dengan patuh, dia masuk ke dalam lagi dengan wajah ditekuk."Bang, saya belum resmi diceraikan. Ada banyak hal yang harus saya persiapkan untuk menerima semua ini. Tolong, untuk saat ini biarkan saya memilih jalan sendiri," pinta Rasti dengan suara tertahan. Bukan itu saja, dia juga mati-matian, berusaha mencegah airmatanya jatuh."Tapi kamu nggak harus berhenti kerja di toko, kan? Bersikap biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa.""Sedikit banyak, Abang tahu bagaimana saya selalu direndahkan karena hanya lulusan SD. Saya punya impia