Bab 14Rumah sudah sepi, orang-orang yang berkerumpul tadi, sudah tidak ada lagi. Aku berada di sofa rumahku. Entah berapa lama aku pingsan. Tante Tika dan Om Heru duduk di sofa depanku. Aku melihat ibu masih dengan gaya arogannya. Sedangkan Mas Angga ada di sampingku.“Kamu keterlaluan, Mas!” teriakku memukul-mukul dada Mas Angga.“Aku bisa menjelaskan semuanya, Dek!” sahut Mas Angga, yang pasrah ketika tanganku memukul dadanya berulang-ulang.“Kenapa kamu berbohong!!! Kamu tahu, bagaimana cemasnya aku mendengar kabar itu? Aku sampai pingsan. Aku sampai nggak bisa tidur. Mataku sampai sembab. Kamu memang keterlaluan! Kamu punya hati nggak, sih???” teriakku kasar dengan tatapan kebencian. Mas Angga hanya menunduk. Seakan pasrah mendengar makianku.“Sudah, Dewi! Tahan emosi, sabar!” Tante Tik
Benalu part 15POV Angga“Mas Angga, sudah ada duit belum?”“Saya harap secepatnya di bayar hutang ibumu!”“Kalau nggak bisa bayar jangan ngutang dong!”“Baru saja pisah sama Dewi, sudah kere aja, Ga? Berarti kamu memang pengangguran dong?”“Padahal hidupmu waktu masih sama Dewi, mewah loo, beli ini itu nggak pernah mikir harganya, sekarang? Miris amat hidup loo, Ga?”Banyak sekali umpatan yang aku terima semenjak pisah dari Dewi. Belum lagi hutang ibu yang semakin hari semakin menumpuk. Orang-orang yang dulu dekat denganku, sekarang menjauh satu persatu. Aku baru menyadari betapa nol nya aku tanpa Dewi. Tanpa Dewi aku tak bisa apa-apa. Tanpa Dewi juga, aku sudah tak di hargai orang lagi.Orang-orang yang dulu sering datang untuk minjam uang atau sekedar minta
POV AnggaAku merasa sangat merasa bersalah dengan Dewi. Memaksanya pulang dengan pemberitaan yang tak wajar. Membuat dia pingsan cukup lama. Aku sangat cemas. Saat dia tersadar, sorot matanya memancarkan kebencian. Semakin menambah rasa bersalahku. Untuk membayar hutang ibu ke Kosim, akhirnya di pinjami uang Om Heru. Rasa malu yang luar biasa menjalar di suluruh tubuh.Belum lagi tingkah dan ucapan Ibu, semakin membuatku malu. Selalu membahas pembagian harta. Aku tahu dan faham, aku tak ada hak atas harta Dewi. Terlebih saat Tante Tika berdebat dengan Ibu. Ingin membentak Ibu, tapi aku tak kuasa. Entahlah. Bingung.“Ibu nggak mau tahu, Ga. Pokoknya kamu harus minta bagian dari harta Dewi!” cerocos Ibu sampai rumah. Membuatku engap.“Bu! Sadar! Angga ini nikah sama Dewi nggak bawa apa-apa,” kesalku.“Yang namanya udah nikah itu, ya, harta bersama!&rd
POV Ibu“Mak Angga, kapan mau di bayar hutangnya? Janji mulu?” sungut Mak Wesi. Membuatku geram. Datang kekontrakan bukannya masuk salam, malah teriak-teriak di depan pintu. Bener-bener nggak punya etika.“Sabar dong, Mak Wesi. Cuma hutang segitu aja, kok.” Aku tak kalah menyungut.“Cuma? Kalau memang cuma, ya di bayar, dong!” bentaknya mengacak pinggang. Berani sekali dia membentakku.“Nggak usah teriak-teriak! Telingaku masih belum budeg,” ucapku melotot. tetangga pada berdatangan. Berkerumun saling tanya dan saling senggol. Mungkin suara kami nyaringnya, mengalahkan speaker masjid.“Lu, kalau di pelanin nglunjak! Anaknya pengangguran aja, malah fitnah Dewi.” Sahutnya malah nyangkut-nyangkut ke Dewi.“Udah bener, tu, Dewi gugat Angga. Biar kere jadi glandangan nggak bisa bayar kontrakan
Benalu part 18Rasanya aku sudah tak mengenal Mas Angga lagi. Semakin kesini, tingkah dia semakin di luar batas kewajaran. Mas Angga yang aku kenal dulu, berbeda jauh dengan sekarang. Apa karena memang itu sifat aslinya?“Keputusanmu itu sudah tepat, Wi. Cerai saja! Udah pengangguran, ibunya kayak gitu? Tante bener-bener nggak nyangka Angga seperti itu?” cerocos Tante Tika membuyarkan lamunanku, sambil bantu Bi Ijah beberes. Aku duduk di sofa yang tidak jauh dari mereka. Belum ada seminggu di tinggal, rumah sudah sangat kotor penuh debu.“Jangan jadi kompor beleduk, Ma!” sahut Om Heru, yang duduk tak jauh dariku dengan menikmati kopi buatan Bi Ijah.“Siapa juga yang mau jadi kompor beleduk, Pa? Mama nggak rela, Dewi di perlakukan seperti itu. Apalagi hutang ibunya Angga udah menumpuk kayak gitu, nanti kalau rujuk sama Dewi, bisa-bisa Dewi yang di suruh ngelunasin.”
POV AnggaRasa cemburu berdesir, melihat Dewi tertawa tanpa beban dengan Rama. Mereka terlihat sangat bahagia. Sebenarnya aku bisa nonjok Rama, karena Dewi masih sah istriku. Tapi, dengan kondisiku saat ini, aku merasa tak percaya diri untuk mendekati Dewi. Aku dan Rama bagaikan langit dan bumi. Apalagi Dewi sekarang sudah membenciku. Sudah tak ada tatapan cinta itu lagi di matanya. Yang ada hanya tatapan kebencian.Aku memutuskan pulang. Masih nasib baik, bertemu tetangga dan ngikut di bonceng, hingga sampai rumah. Sesampainya di rumah ibu lagi bertengkar dengan Mak Wesi. Ada Pak RT juga. Ku usap wajahku dengan kasar. Kapan masalah ini akan berakhir?“Itu Angga datang!” Mak Wesi menunjukku. Aku hanya terdiam bingung. Tak ada senyum di bibirku.“Ada apa ini?” tanyaku ketika sampai di teras kontrakan.“Mau nagih hutang ibumu, Ga! Udah berapa lama ini?
Benalu part 20Entah kenapa bayangan wajah Mas Angga yang memprihatinkan tadi, berseliweran di ingatanku. Dia nampak sangat tidak terurus. Badannya juga kurus sekarang. Gaya maconya sudah tak kelihatan. Kasihan sekali.“Hallo ...” Rama memetikan jarinya di wajahku. Membuyarkan lamunanku.“Eh, Ram, maaf, maaf,” jawabku gelagapan,“Mikirin apa, sih? Dari tadi aku ngomong di cuekin?” tanyanya sambil menyeruput minumannya.“Emang ngomong apa?” tanyaku balik. Karena memang tidak fokus.“Nggak, nggak penting! Em, langsung pulang apa gimana?” sahutnya seraya bertanya.“Kalau kamu mau pulang, pulang dulu aja! Aku masih ingin di sini!” jawabku.“Ok. Aku juga akan di sini nemenin kamu!” balasnya dengan senyuman menggoda.&ld
POV Ibu“Dewi!!!” teriakku panik dengan menggedor-gedor rumah Dewi. Angga tiba-tiba pingsan. Aku nggak tau lagi mau minta tolong ke siapa.“Bu, bisa nggak datang ke rumah orang itu salam dulu? Yang sopan gitu?” sahut Bu Tika setelah membuka pintu. Kenapa harus dia yang buka pintu.“Ada apa, Ma?” tanya Pak Heru ikut keluar.“Ibunya Angga ini lo, Pa? Datang teriak-teriak,” jawabnya.“Masuk dulu, Bu!” Pak Heru mempersilahkanku. Kami masuk dan duduk di sofa. Harusnya memang kayak gitu, orang tua bertamu, bukannya di suruh masuk, malah di cerocosin.“Ada apa, Bu, kesini?” tanya Pak Angga terdengar sopan dan berwibawa.“Gini, Pak Heru. Saya nggak tahu mau minta tolong ke siapa lagi, Angga pingsan.” Jawabku dengan nada cemas.
Benalu part 102POV 3“Pi, motor Angga di bawa kabur mereka,” ucap Angga, dia masih sangat menyayangkan motornya yang belum lunas. Masih kredit.“Biar, Ga! motor bisa di beli lagi. Yang penting nyawa kamu selamat,” jawab Pak Faris bijak.Angga mendesah. ‘Untung nggak mau membawa mobil Papi, kalau sampai memenuhi keinginan Ibu untuk meminjam motor Papi, yang hilang mungkin mobil Papi. Harus dengan cara apa untuk menggantinya?’ lirih Angga dalam hati. Walau kondisinya sudah babak belur begitu, tapi dia masih bersyukur, karena bukan mobil mertuanya yang dia bawa.“Bagaimana keadaan sebenarnya, Ga? kok, kamu bisa sampai seperti ini?” tanya Pak Faris kepada menantunya.“Permisi,” Pak Faris dan Angga mengarah ke asal suara. Ternyata ada dokter dan Martina berjalan mendekat.“Saya periksa dulu, ya?” ucap dokter laki-laki paruh baya itu ramah. “Silahkan dok,” jawab Pak Faris mempersilahkan. Dokter itu menjalankan tugasnya. Memeriksa detak jantung dan yang lainnya. “Kepala saya pusing banget
Benalu part 101POV 3“Yaudah Om, Tante, Mita, kami pulang dulu. Kalau ada apa-apa langsung hubungi Romi,” pamit Romi kepada semuanya.“Iya, Rom, pasti, kamu juga hati-hati di jalan,” balas Om Heru. Kemudian mereka beranjak dan keluar dari kamar Mita.Romi dan Dewi melewati lorong Rumah Sakit seraya bergandengan tangan. Dewi mengedarkan pandang. Matanya melihat sosok laki-laki yang menggunakan masker, kacamata hitam dan jaket, berjalan seraya tolah toleh. Mata Dewi menyipit. Langkah kakinya penuh curiga.“Mas, laki-laki itu, kok, jalannya ngendap-ngendap, ya?” tanya Dewi lirih dengan mata masih memperhatikan laki-laki itu. Romi akhirnya juga ikut menoleh ke arah yang di pandang Dewi.“Iya, mau ngapain, ya? tapi dia ke lorong sana?” sahut Romi lirih. Mata mereka masih fokus dengan laki-laki berjaket itu.“Iya, apa kita ikuti?” tanya Dewi kepada suaminya.Dreettt dreeerrrttt dreetttt gawai Dewi bergetar di dalam tasnya. Tak berselang lama berbunyi. Nada panggilan masuk. Dengan cepat De
Benalu part 100POV 3Ya, di sini, Rizka berpelukkan manja dengan Ibu mertuanya. Dan Rama berpelukkan haru dengan Ibu mertuanya. “Doakan, ya, Bu. semoga Rumah Tangga kami sakinnah ma waaddah wa rohmah,” pinta Rama kepada mertuanya.“Pasti, Nak. Pasti. Tanpa kalian minta, ibu pasti mendoakan kalian,” ucap Bu Sumi. Rama kemudian melepaskan pelukannya.“Pa, kapan Mama Dewi pulang?” tanya Mila tiba-tiba. Membuat Rama tidak bisa menjawabnya. Rama dan mertuanya saling beradu pandang. Rama menarik nafasnya kuat-kuat dan melepaskannya perlahan.“Papa juga nggak tahu, Sayang,” jawab Rama. Membuat bibir Mila cemberut.“Katanya Mama Dewi nggak lama-lama. Tapi, kok nggak pulang-pulang?” sahut Mila seraya bertanya.Mila memang sangat merindukan Dewi. Menunggu Dewi pulang terasa sangat lama baginya. Selalu menunggu hari esok, dengan harapan hari esok mama Dewinya pulang. “Urusan Mama Dewi belum selesai Sayang, makanya Mama Dewi belum bisa pulang,” jawab Rama santai, dengan selalu menyunggingkan s
Benalu part 99POV 3Anga sudah di periksa oleh dokter. Dia juga belum sadar. Martina dan orang tuanya menunggu di luar. Karena belum di ijinkan masuk. Karena Angga masih dalam penanganan.Martina masih terus menangis. Dia mondar mandir dengan hati yang cemas. Berkali-kali melirik ke pintu kamar di mana Angga di rawat. Berharap pintu itu segera di buka dan dokter segera menyampaikan kabar tentang kondisi suaminya.Yusuf sudah tenang. Dia tidur di pelukkan neneknya. Bu Intan juga nggak kalah paniknya. Hatinya juga berdegub nggak jelas. Selalu berdoa untuk kebaikan anaknya.“Dokternya kok, nggak keluar-keluar, ya?” celetuk Bu Intan. Dia juga nggak sabar menunggu dokter keluar.Bu Intan menyesal sekali, menyuruh anaknya membelikan dia makanan. Lebih tepatnya dia memaksa Angga untuk membelikan makan. Padahal waktu itu, kerjaan rumah di besannya masih banyak dan rumah juga masih berantakan. Makanan juga banyak. Hanya demi ingin pamer baju baru dan naik mobil besannya dia memaksa. Ternyata
Benlau part 98POV 3“Ma, tapi Mama dan Papa setujukan Mita nikah sama Gio?” tanya Mita kepada mamanya. membuat mamanya bingung menjawabnya. Langkah kaki Dewi langsung terhenti. Dari kemarin-kemarin dia cuma membayangkan saja, kalau Mita akan menikah dengan Pak Galih. Dan itu sudah membuatnya mual. Tapi, hari ini telinganya mendengar sendiri kalau adiknya ingin menikah dengan laki-laki yang selalu mual jika namanya di sebut. Kemudian Dewi berbalik badan, tak jadi keluar tapi malah menuju ke toilet yang ada di kamar rawat inap Mita. Membuat Tante Tika cemas juga dengan kondisi Dewi. Kemudian menyusul Dewi ke toilet. Memijit tengkuknya. Agar terasa enakkan.“Kamu masih sering muntah, Wi?” tanya Tante Tika dengan nada cemas. Walau dia sering melihat Dewi seperti itu, tapi tetap saja dia cemas dengan kondisi keponakannya.“Iya, Tante,” jawab Dewi dengan nada lemas. Dia sudah duduk di sofa ruang kamar Mita di rawat.“Ibu hami itu memang macam-macam, ada yang cuma trimester pertama, ada y
Benalu part 97POV 3Hati Martina semakin berdegub kencang saat kakinya melangkah menuju rumah Pak Agung. Dia sangat penasaran dengan keadaan suaminya, dan apa yang terjadi sebenarnya. Terus foto yang di berikan Haris itu, apa maksudnya? Dari mana dia mendapatkan foto itu? Semuanya masih menjadi tanya besar di benak Martina. dan sebentar lagi akan terjawab. ‘Mas Angga aku sudah dekat denganmu,’ lirih Tina lagi dalam hati.“Silahkan langsung ke kamar saja semuanya. Karena yang punya hape ini masih di dalam kamar dan belum sadar,” ucap Pak Agung. Semakin membuat hati Tina bergemuruh. Pintu kamar di buka oleh pemiliknya. Bu Intan juga berdebar hatinya, ingin segera melihat kondisi anaknya. Begitu juga dengan Jeng Sella dan Pak Faris. Tak kalah berdebar walau hanya anak mantu. Tapi, mereka benar-benar cemas. Martina masuk lebih di dalam kamar itu. Tak sabar rasanya, ingin melihat suaminya. “Itu, Mbak pemilik hape ini,” jawab Pak Agung seraya menunjuk ke ranjang. Di sana terbaring seso
Benalu 96POV 3“Sayang, aku sudah melacak alamat-alamat nomor baru yang menghubungi kamu. Cuma banyak nomor baru, jadi kamu ingat-ingat ya, nomor mana yang menghubungimu, saat kamu di kabari kalau papamu kecelakaan,” jelas Pak Galih seraya memberikan gawai Mita yang dia bawa dari tadi.Mita menerima gawainya. Kemudian melihat nomor-nomor baru itu. Matanya kembali nanar lagi. Nggak ingin membahas masalah ini. Tapi, kalau nggak di bahas, nggak akan selesai-selesai ini kasus.“Yang ujungnya 29, sahut Mita,” sahut Mita kemudian, meletakkan gawainya di sebelahnya.Pak Galih langsung memeriksa alamat nomor yang di bilang Mita. Dari sekian banyak nomor baru, hanya satu yang ujungnya 29. Pak Galih tersenyum.“Kita bisa lapor polisi dan segera menggerebeknya,” ucap Pak Galih yakin dan mantab.“Alamatnya mana, Pak?” tanya Om Heru penasaran.“Ini, Pak!” Pak galih menyerah kertas yang sudah tercantum semua alamat-alamat nomor baru yang menghubungi Mita. Om Heru langsung menerimanya. Kemudian men
Benalu part 95POV 3Dreett dreet dreettt gawai Tina bergetar. Tak berselang lama berbunyi.“Ma, tolong lihatkan siapa yang menelpon?” pinta Tina kepada mamanya. “Iya, Sayang,” ucap Jeng Sella, kemudian langsung mengambil gawai yang masih di saku baju Tina. “Astaga!” ucap jeng Sella saat melihat siapa yang menelpon.“Siapa yang nelpon, Mi? Peneror itu lagi kah?” tanya Tina masih dengan Mata sedikit membuka. Karena kalau membuka sempurna dia nggak tahan. Karena melihat semuanya berputar-putar.“Angga, yang nelpon,” sahut Jeng Sella. Seketika Martina terperanjat dari baringnya. Membuka paksa matanya saat mendengar nama suaminya menelon ke nomornya.“Cepat angkat, Mi!” perintah Martina semangat. Jeng sella mengangguk dan kemudia mengangkat telpon itu.[Hallo, Angga] ucap Jeng Sella memulai percakapannya. Kemudian dia meloundspeaker gawainya.[Hallo] terdengar suara dari seberang. Suara laki-laki. Martina mengerutkan keningnya. Karena dia faham kalau itu bukan suara suaminya.[Ini siapa
Benalu part 94POV 3Pak Galih memutuskan pulang, seraya membawa hape Mita. Karena dia ingin mengeceknya di rumah. Om Heru nggak percaya gitu saja tentunya dia membawa pulang gawai Mita. Karena baru saja ketemu. Walau dia tahu anaknya sangat dekat dengannya. Akhirnya Pak Galih meninggalkan KTPnya, agar Om Heru dan yang lainnya percaya, kalau dia memang serius ingin membantu Mita.“Gio mana, Mbak?” tanya Mita kepada Dewi. Langsung mual perut Dewi jika nama itu di sebut. Seakarang di kamar itu tinggal mereka berdua. Om Heru dan Tante Tika pulang. Romi sedang mencari ke kantin rumah sakit untuk membeli makanan.“Pak Galih, udah pulang,” jawab Dewi dengan susah payah menahan rasa mualnya.“Mbak, salah nggak aku jatuh cinta dengan Gio?” tanya Mita. Semakin membuat Dewi mual. Liur sudah naik ke mulut. Susah payah dia menelan ludahnya sendiri.“Eh, namanya kan Pak Galih. Kenapa kamu panggilnya Gio?” tanya Dewi balik, sengaja mengalihkan pembicaraan, karena memang nggak mau menjawab pertanyaa