Share

Bab 8

Penulis: Bintu Hasan
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Aku tidak bisa melihat rona bahagia di wajah Nona ketika bertemu Tuan Edbert. Apa terjadi sesuatu, Nona?" Maria menatapku lekat.

"Maria, aku mau pipis. Kamar mandinya di mana?" Aku sengaja menghentak-hentakkan kaki di lantai berulang kali agar pelayan itu percaya. Tangannya kemudian menunjuk dengan sopan.

Parah, bahkan pintu kamar mandi lebih indah daripada pintu rumahku. Dalam kamar mandi ini tersedia bathtub tanam berwarna putih, juga terdapat tabung kaca lengkap dengan shower dan spa uapnya. Ada dudukan melingkar dari marmer di tengahnya.

Kamar mandi yang berlapis marmer motif kaca pada dinding dan lantainya juga semakin mewah dengan hadirnya meja rias yang penuh dengan kosmetik. Ini mungkin terkesan sangat mewah. Aroma yang harum menusuk rongga hidung sehingga mandi pun akan terasa nyaman.

Entah bagaimana mewahnya kamar pribadi Tuan Edbert.

Setelah mencuci wajah dengan air yang sangat segar, aku kembali ke luar. Maria ternyata masih berdiri di luar. Dia kembali mengambangkan senyum ramah, kemudian bertanya, "Nona suka dengan kamar mandinya? Kalau tidak, kata Tuan boleh menempati kamar lain saja."

"Tidak, ini sudah lebih dari cukup."

Ponsel berdering, aku melihat nama Mbak Utami tertera di sana. Setelah menjauh dari Maria, aku langsung menekan ikon hijau dan panggilan pun tersambung.

"Tyas, kenapa What$app kamu gak aktif?!"

"Maaf, Mbak. Tadi itu diwawancari sama Tuan Edbert. Ada apa?"

"Kamu tahu, gak, rumah kita kedatangan penagih dan suami kamu yang cacat tidak punya uang untuk membayarnya."

"Lalu?" Aku berusaha meredam emosi. Kalau saja Maria tidak ada di sini, aku ingin memaki perempuan keji yang srlalu menyudutkanku dan Mas Zaki.

"Bego banget, sih kamu?! Minta uang sama Tuan Edbert sebagai DP dong!"

"Gak mau aku, Mbak. Memangnya aku ini pel*cur apa?"

"Lah, memang status kamu sekarang apa, Tyas? Kamu kan sudah jadi wanita simpanan orang kaya," cibir Mbak Utami melukai hati. Ingin sekali aku menangis, tetapi harus terlihat tegar.

Berulang kali aku menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan agar amarah itu segera pergi. Namun, sepertinya susah ketika aku mendengar tangisan Lia yang meminta tolong memanggil papanya.

"Dengarkan aku, Tyas! Kalau kamu tidak mengirim uang hari ini, anakmu akan mati di tanganku!"

Tangisan Lia semakin menggema, aku tidak bisa berbuat banyak selain mengiayakan permintaan Mbak Utami. Kini dia tertawa kecil di balik telepon, kemudian menyebut nominal yang harus dia terima.

"Sepuluh juta? Apa Mbak udah gak waras?!" ketusku.

"Memang aku sudah tidak waras. Kalau kamu tidak mau memberi uang sepuluh juta, maka ikhlaskan saja kepergian anak dan suami cacat kamu itu!" tekannya sekali lagi.

Mbak Utami memang jeli masalah uang, aku tahu dia sudah merencanakan ini jauh hari sebelumnya. Dia bahkan tidak mau berpikir bagaimana cara aku mendapatkan uang sebanyak itu di hari pertama bertemu Tuan Edbert.

"Oke, aku trasnfer sepuluh juta sesuai keinginan kamu, Mbak. Tapi lepaskan Lia!"

Mbak Utami tertawa nyaring, kemudian meminta tambahan untuk membiayai kebutuhan suami dan anakku. Siapa yang bisa menolak dijadikan mesin pencetak uang jika ancamannya selalu melibatkan orang yang aku sayangi?

Setelah panggilan terputus, aku mengotak-atik ponsel. Beruntung ada m-banking sehingga tidak harus ke luar rumah. Ternyata Tuan Edbert memberi terlalu banyak sehingga sepuluh juta itu hal kecil.

Dalam dua menit, uang itu sudah terkirim ke rekening Mbak Utami. Aku heran, setelah mengirim struk sampai lima menit berlalu tidak ada ucapan terimakasih darinya.

"Pak Damar ada di mana, Maria?" tanyaku kemudian.

"Ada di bawah, dia sudah menunggu Nona sejak tadi."

Aku mengangguk, lalu melangkah disusul Maria menuju pintu utama. Rumah yang besar ini tidak pernah memberi rasa nyaman karena bukan Mas Zaki pemiliknya. Sejak dulu aku ingin pernikahan suci tanpa noda, memaksa suami untuk berjanji akan tetap setia. 

Namun, pada kenyataannya akulah yang menabur garam pada luka sendiri. Ketakutan yang aku khawatiekan benar terjadi, tetapi bukan salah suami. Tidak lama lagi poliandri akan terjadi, sebuah dosa besar yang entah akan mendapat pengampunan atau tidak.

Mas Zaki dengan kecintaan sepenuh hati kelak akan menuai kecewa yang dalam. Aku menghela napas berat, tiba-tiba berhenti melangkahkan kaki.

"Maafkan aku, Nona!" lirih pelayan yang memakai baju putih itu. Rupanya aku telah menabraknya karena pikiran sedang melayang.

Gelas tinggi itu pecah, aku yakin isinya adalah wine. Mungkin untuk Tuan Edbert. Pelayan itu membersihkan setelah aku mengangguk. Kehidupan yang benar-benar berubah, semua orang memang menghargai kita jika memiliki banyak uang.

Aku jadi ingat pada seorang sahabat. Sejak SMA dan kuliah dia beberapa kali minta tolong, entah berupa tenaga atau uang dan aku akan membantu dengan perasaan senang dan ikhlas. Akan tetapi, ketika Mas Zaki cacat dan aku ingin meminjam uang, dia menolak dengan tegas.

"Aku tidak bisa, Tyas. Uang itu kalau sudah dipinjam sama teman, bakal susah ngebalikinnya. Apalagi sekarang suami kamu dipecat, mau bayar pakai apa?" Itu jawaban Sarah, sahabatku.

Padahal ketika Sarah meminjam uang, aku bahkan memberi senggang waktu atau mengikhlaskan begitu saja. Ini bukan masalah minta balas budi, tetapi saling membantulah.

"Nona?"

"Eh, iya?" Aku mengerjap berulang kali. "Apa?"

"Pak Damar sudah menunggu sejak tadi, hendaknya Nona masuk ke dalam mobil." Maria tersenyum.

***

Sesampainya di rumah setelah perjalanan panjang, aku langsung masuk setelah mengucap salam sekalipun tanpa jawaban sementara Pak Damar sudah kembali melajukan mobil entah ke mana, yang pasti tempat tinggal sudah disediakan Tuan Edbert untuk mengawasiku.

Hari sudah mendekati magrib, aku tersenyum lega ketika melihat Lia sedang disuapi Mbak Utami. Dia melakukan itu pasti karena sudah menerima uang. Mas Zaki tidak terlihat, aku jadi khawatir padanya.

"Lia!" panggilku dengan suara serak menahan rindu.

Gadis kecil berusia dua tahun itu menoleh, lalu berlari mendekat dan menenggelamkan diri dalam pelukanku. Ibu, Mbak Utami dan Mas Bayu ikut menoleh dengan raut wajah bingung. Pasti mereka mengira aku telah kabur dari sana.

"Mama dari mana saja?"

Aku mencium dahi Lia. "Mama habis kerja, Sayang. Hari ini senang gak?"

"Tyas!" Tiga ular berbisa itu mendekat, tatapan mereka menyalak tajam.

"Iya, Bu?"

"Kenapa kamu pulang ke sini? Harusnya tinggal di rumah Tuan Edbert. Apa kamu kabur?" Ibu melipat kedua tangan di depan dada.

"Ibu tenang saja, aku tidak mungkin kabur. Tuan Edbert memberiku waktu sepekan sebelum kembali ke sana." Aku menjawab santai. Namun, untuk alasan mereka tidak perlu tahu atau uang itu akan habis.

"Dek?" Suara yang sangat aku rindukan.

Bab terkait

  • BEKERJA SEBAGAI ISTRI SIMPANAN   Bab 9

    Pertahananku luluh ketika melihat Mas Zaki dengan wajah penuh kerinduan duduk kursi roda yang selalu menemaninya. Dia ada di beranda pintu kamar, seperti habis mandi.Aku langsung menghambur dalam pelukannya. Dinding pemisah yang mereka ciptakan seperti rubuh berkeping-keping.Air mata semakin mengalir deras ketika bayangan Tuan Edbert melintas dalam pikiran. Pengkhianatan itu benar-benar terjadi."Mas kangen sama kamu, Tyas. Mas bahkan berpikir tidak akan melihatmu lagi. Ini kok bisa balik lagi?" Senyum itu merekah sempurna."Aku diberi waktu sepekan, Mas untuk belajar bagaimana bekerja dengan baik. Di rumah Tuan Edbert juga diminta menjaga penampilan sekalipun hanya pelayan."Aku menunduk ketika menjawab takut Mas Zaki melihat kebohongan di mata istrinya.Sayang sekali karena tangan Mas Zaki memegang daguku dan mengangkat wajah ini hingga kami beradu pandang. Kedua alisnya bertaut sempurna. "Tapi di sana kamu nyaman, 'kan?""Iya, Mas. Aku sudah punya teman, namanya Maria. Dia salah

  • BEKERJA SEBAGAI ISTRI SIMPANAN   Bab 10

    "Uang apa, Bu? Tyas gak ngirim kecuali buat bayar semua utangnya. Dia kan ngutang sama aku juga waktu Zaki kecelakaan itu!" cebik Mbak Utami kesal. Ibu menatap tidak percaya, baru saja aku ingin melangkah ke kamar tiba-tiba tangan ini dicekal kuat oleh mertua. Aku menoleh. "Ada apa, Bu?" "Zaki mana?" "Baru aja mandi tadi, kenapa?" "Lupakan masalah uang, ibu yakin kamu akan memberi jatah padaku nanti. Sekarang jawab dengan jujur, kamu tidak sedang kabur, kan?"Aku menggeleng. "Tidak. Aku tidak kabur, semua demi Mas Zaki dan Lia bukan kalian. Mereka berdua saja yang menganggap aku penting sementara kalian semuanya mata duitan dan Tuan Edbert tahu itu!" Satu tamparan berhasil lolos menyentuh pipiku. Hangat juga perih, tetapi lebih menyakitkan lagi jika kebenaran telah terungkap. Telunjuk ibu mengarah padaku. "Kamu itu menantu durhaka, Tyas! Awas saja kalau ngadu sama Zaki, nyawa kalian akan terancam. Ibu bisa saja melawan suami cacatmu itu, tetapi ada satu alasan sampai membiarkan

  • BEKERJA SEBAGAI ISTRI SIMPANAN   Bab 11

    Sambil menggendong Lia di pangkuan, aku terus memikirkan cara menyampaikan permintaan cerai agar Mas Zaki tidak tersinggung. Bagaimana pun juga tentu hal ini mengundang kecurigaan.Lelaki itu menatapku lekat penuh cinta dan kerinduan. Hati semakin bimbang, apalagi saat ini dia lumpuh, besar kemungkinan hadir prasangka lain dalam hatinya."Mas, aku ...." Kalimat itu sangat sulit untuk keluar."Kenapa, Dek?""Ada satu syarat, Mas untuk menjadi asisten di rumah Tuan Edbert. Mungkin kamu tidak akan setuju. Aku hanya mencoba menyampaikan siapa tahu ada solusi." Terpaksa aku memulai sebuah kebohongan."Syarat apa?"Aku menelan saliva. "Itu, Mas. Semua pekerja di sana diharuskan belum menikah atau tidak berkeluarga karena nanti kalau kerja bisa gagal fokus." Entah ini logis, aku hanya berharap Mas Zaki mengerti."Lalu?""Mas." Lelaki itu diam, mungkin mencoba menunggu kejelasan dengan sabar. "Apa Mas mau menceraikan aku demi pekerjaan–""Tidak!" tegasnya.Lia kubiarkan duduk di lantai memint

  • BEKERJA SEBAGAI ISTRI SIMPANAN   Bab 12

    "Mas tahu kapan waktu berlalu begitu cepat?" tanyaku pada Mas Zaki yang sedang menidurkan Lia."Ketika bersamamu." Dia menjawab sambil memberi seulas senyum."Benar, Mas. Bahkan sepekan terasa satu detik." Aku menunduk dengan hati menyimpan perih.Kebahagiaan itu segera sirna karena pada kenyataannya Pak Damar sudah menunggu di ruang tamu. Aku menghela napas berulang kali. Dosa sebagai istri dan hamba masih terus berlanjut."Kamu semakin cantik, Tyas. Apa selama ini melakukan perawatan?"Mas Zaki memang tidak pernah bertanya aku hendak ke mana sepekan ini karena Mbak Utami rajin menemani. Namun, tetap saja perubahan warna kulit yang semakin cerah dan kenyal pun wajah sedikit glowing menimbulkan tanya di benak suamiku."Maafkan aku, Mas. Aku melakukan ini demi kamu agar bisa diterima bekerja di sana. Doakan aku pula agar Tuan Edbert mengerti keadaanku yang telah bersuami."Lelaki itu mengangguk sementara aku membuang pandangan sekilas meratapi diri yang mendapat takdir ini. Ingin beran

  • BEKERJA SEBAGAI ISTRI SIMPANAN   Bab 13

    Pintu mobil terbuka, aku melangkah pelan menuju rumah yang sangat megah serupa istana itu. Masih menjadi pertanyaan dari mana kekayaan Tuan Edbert ini, mungkinkah karena orangtuanya?Pintu rumah yang tinggi menjulang itu terbuka pelan ketika aku sampai. Maria melangkah cepat menghampiriku dengan senyum merekah indah."Nona, Tuan Edbert sudah menunggu Anda sejak tadi. Silakan!" sambutnya dengan sopan.Aku melangkah mengikuti Maria. Seharusnya dia berdiri di belakang, tetapi aku masih belum hapal ruangan yang ada di sini atau akan tersesat.Maria berhenti melangkah di depan pintu berwarna emas. Aku bingung ini ruangan apa, tetapi sedikit malu untuk bertanya."Tuan Edbert sedang menunggu Nona di dalam," jelas Maria lagi, kemudian meraih handle pintu dan membukanya. Dia menyilakan aku masuk.Jantung berdegup cepat menghadapi kenyataan pahit. Aku melangkah sambil merapalkan doa seperti sedang melihat hantu. Rupanya ini adalah sebuah kamar milik Tuan Edbert. Sangat luas dan megah.Lelaki it

  • BEKERJA SEBAGAI ISTRI SIMPANAN   Bab 14

    "Selesai," gumam Maria tersenyum lembut. Dia sudah berhenti memainkan sisir hitam itu.Cantik sekali, aku yakin perempuan ini lebih dari kata hebat. Rambut yang disanggul dengan model pita di belakang. Aku jadi terlihat seperti boneka."Sore nanti Nona harus mengubah warna rambut sesuai perintah Tuan Edbert.""Kenapa?""Aku tidak tahu."Tidak berapa lama kemudian, beberapa pelayan wanita masuk membawa paper bag yang banyak. "Simpan semuanya di lemari dan rak sepatu Nona Tyas!" perintah Maria.Mereka menurut, aku melihat beberapa tas branded dan juga sandal rumahan yang cantik dengan bulu-bulu halus. Salah satunya diletakkan Maria di dekat kakiku."Ayo, Nona. Aku mengantar Anda ke kamar Tuan Edbert!" ajak Maria masih dengan senyum manis."Ayo!"Aku berdiri dan melangkah canggung. Selama hidup aku tidak pernah berpenampilan seperti ini apalagi memang bukan dari golongan orang kaya. Semua kebaikan Tuan Edbert patut dihargai, dia tidak bersalah karena mengira diri ini perempuan lajang.Se

  • BEKERJA SEBAGAI ISTRI SIMPANAN   Bab 15

    Aku membuka mata ketika tangan seseorang menyentuh pipiku lembut, kemudian ditepuk berulang kali. Kedua tangan mengucek mata karena penglihatan sedikit kabur.Ternyata Maria."Maafkan aku, Nona. Tuan Edbert memintaku membangunkan Anda untuk mewarna rambut." Maria memasang air muka sedih."Sekarang pukul berapa?""Pukul empat sore, Nona."Aku gegas bangun, kemudian pergi ke kamar mandi mencuci wajah. Airnya segar seperti mengalir langsung dari gunung. Sekarang aku memang terlihat berbeda padahal baru sepekan kemarin berwajah kusam. Perawatan wajah yang menghabiskan uang berjuta-juta memang memuaskan."Sekarang aku harus melakukan apa, Maria?" tanyaku setelah ke luar. Perempuan itu memakai celemek hitam menutupi kemeja putihnya."Anda duduk di kursi biar aku yang menyiapkan semuanya." Maria lagi-lagi tersenyum ramah.Aku menurut, kemudian duduk di kursi depan meja rias. Setelah memasang topi higlight untuk bleaching, Maria mulai mewarnai. Rupanya sudah mencampur sebelum membangunkanku.

  • BEKERJA SEBAGAI ISTRI SIMPANAN   Bab 16

    "Ah, tidak. Lupakan saja Tuan. Malam ini aku hanya ingin bahagia denganmu." Aku berusaha tersenyum agar Tuan Edbert tidak menaruh curiga.Tuan Edbert tersenyum. Kami pun menikmati hidangan tanpa saling bicara kecuali jika dia kembali bertanya hal sepele. Misalnya, apakah nanti aku akan mencintainya atau tidak. Jawabannya tentu tidak dan aku hanya bisa bicara dalam hati."Tyas, aku tidak bisa menentukan sekarang apakah nanti kita berpisah setelah kamu melahirkan anakku atau tetap bersamamu.""Itu terserah Tuan. Sebagai istri sari nantinya, kalau boleh jujur aku ingin dilepas saja. Apalagi Nyonya Aluma masih hidup dan sehat. Dia pasti sangat cantik. Jika kelak Tuan ketahuan selingkuh, apa tidak mengapa?""Kamu benar, Tyas. Aku akan menceraikanmu setelah anak itu lahir." Tuan Edbert tersenyum, kemudian kembali menikmati makanan mewah yang tidak cocok di lidahku.Itu masalah yang selalu aku pikirkan sejak awal. Bagaimana mungkin aku pulang ke rumah dalam keadaan hamil sementara Mas Zaki a

Bab terbaru

  • BEKERJA SEBAGAI ISTRI SIMPANAN   Bab 120

    Mas Bayu sudah dibawa oleh pihak berwajib kemarin sementara Tuan Edbert baru saja dimakamkan. Aku tidak tega melihat Nyonya Aluma terus menangis di atas gundukan tanah itu.Akan tetapi, lebih menyakitkan lagi melihat Maria yang tersenyum padahal matanya menampilkan binar luka. Aku tidak sanggup menyaksikan pemandangan ini."Aku harus kembali ke Detroit untuk memulai lembaran baru. Tenang saja, Islam sudah ada dalam hatiku, aku tidak akan melakukan hal yang dilarang dalam agama," tutur Maria.Mendengar itu aku langsung memeluknya penuh haru. Rasa rindu seketika menyeruak dalam dada padahal aku sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengan Maria. Dia perempuan baik, mungkin itu yang bisa menjadi alasan."Terimakasih atas bantuan kamu selama ini, Maria!" balasku.Perempuan itu tersenyum, kemudian menaiki mobil alphard hitam dan meninggalkan lokasi pemakaman yang sudah mulai sepi. Mbak Utami tidak ada di sini karena dia pulang ke rumah orangtuanya mengadu nasib di sana.Sementara ibu m

  • BEKERJA SEBAGAI ISTRI SIMPANAN   Bab 119

    "Ya, dia ibu kita, Zaki.""Kenapa ibu seperti itu?""Aku menyandranya di rumah ini karena sudah menduga banyak kemungkinan. Andai kamu tahu dalam beberapa hari saja dia sudah serusak itu karena aku terus menyuntikkan racun dalam tubuhnya yang tua itu!""Apa?""Sekarang kamu harus memilih antara menyelamatkan ibu kandungmu atau melepas Tyas untukku!" Tuan Edbert melipat kedua tangan di depan dada.Setelah itu matanya memberi isyarat yang tidak kami mengerti pada Mas Bayu. Di detik yang sama lelaki yang menjadi suami Mbak Utami itu mengeluarkan pistol dan mengarahkannya di kepala Bu Yola.Kami semua tercengang. Aku ingin melarang, tetapi bibir terlalu kaku untuk mengeluarkan sepatah kata pun. Bukan hanya aku, bahkan Mbak Utami pun hanya bisa melotot sembari membekap mulut dengan kedua tangannya."Tidak ada hakmu untuk melakukan ini, Ed! Bu Yola adalah ibumu sementara Tyas adalah istri dari kakak kandung kamu!" sentak Maria dengan emosi yang meluap-luap."Kenapa aku tidak memiliki hak? K

  • BEKERJA SEBAGAI ISTRI SIMPANAN   Bab 118

    "Tidak, kamu salah! Aluma sendiri yang tidak pernah menginginkan anak dariku makanya aku sampai mencari istri simpanan," elak Tuan Edbert."Bagaimana mungkin dia tidak menginginkan anak dari lelaki yang dia cintai, Ed. Apa kamu lupa kalau Aluma merebut kamu dariku?""Dia hanya menginginkan aku, tetapi tidak sampai memiliki anak.""Dia menginginkan anak darimu, Ed. Aluma tidak ingin perempuan lain melahirkan anakmu," selaku.Tuan Edbert membuang pandangan. Dia bersikukuh kalau Nyonya Aluma sama sekali tidak mau melahirkan anak karena bisa merusak postur tubuhnya yang indah.Sementara itu aku terus menentang karena yakin Nyonya Aluma sebenarnya ingin, tetapi Tuan Edbert yang selalu menolak. Bagaimana pun lelaki itu tidak pernah mencintai istrinya.Padahal memang bagus mencintai lelaki yang memikat hati, tetapi lebih bagus lagi mencintai lelaki yang telah menikahi kita. Cinta itu agung dan luas maknanya, tidak boleh disalahgunakan oleh mereka yang hanya mengedepankan ego dan nafsu belaka

  • BEKERJA SEBAGAI ISTRI SIMPANAN   Bab 117

    Kembali aku merasa lega ketika Tuan Edbert kembali ke kamar utamanya. Dia pasti bahagia karena sudah melakukan permainan selama dua jam lebih menurut cerita Nyonya Aluma yang kini bersembunyi di kamar sebelah.Dia mengaku lelah dan lekas tidur, untung saja tadi malam dia tidak ketiduran sampai pagi atau Tuan Edbert akan marah besar. Aku kasihan karena ternyata perempuan itu menunggu fajar.Untung saja Tuan Edbert tidak banyak bertanya ketika melihatku sudah duduk di meja rias padahal baru pukul enam pagi. Aku tidak mandi melainkan hanya mencuci muka saja karena khawatir dia menyusul dan mengulangi permainan tadi malam."Nona, ada seseorang yang mencari Anda!" kata salah seorang pelayan."Siapa?""Aku melihat Maria, Utami dan seorang lelaki, Nona." Pelayan itu menjawab dengan suara pelan.Aku langsung beranjak dari tempat duduk untuk menemui mereka. Tidak butuh waktu lama karena aku menuruni anak tangga dengan langkah tergesa. Mas Zaki sepertinya rindu berat sehingga langsung membawaku

  • BEKERJA SEBAGAI ISTRI SIMPANAN   Bab 116

    PoV Tyas AryaniBahkan hingga matahari sudah berada di ufuk barat pun aku tetap tidak menemukan ide untuk pergi dari sini. Terutama karena Mbak Utami sudah tidak bekerja sebagai pelayan. Ingin mengobrol dengan Mas Bayu juga enggan.Entah Tuan Edbert ada di mana karena sejak tadi aku menolak ke luar kamar ketika dipanggil pelayan untuk makan siang. Mereka malah langsung membawa makanan itu ketika aku perintahkan.Rasa malas beranjak menguasai jiwa. Bahkan untuk menoleh pun aku enggan. Akan tetapi, ketukan di pintu berhasil membuatku terusik."Pergi atau kuhabisi kau!" teriakku penuh emosi."Keluar jika kamu berani!" sentak suara itu.Aku terkejut bukan main. Ternyata Nyonya Aluma kembali datang padahal aku berharap dia sudah meninggal dunia. Kedatangannya ke sini begitu menganggu, dengan cepat aku beranjak melangkah cepat menujunya.Mata kami saling beradu. Kini tidak ada rasa takut dalam jiwa ketika bertemu Nyonya Aluma. Sekalipun dia tetap sekeji dulu, aku tidak akan mundur walau sel

  • BEKERJA SEBAGAI ISTRI SIMPANAN   Bab 115

    Setelah kepergian Zaki, Utami lekas membuka pintu kamar itu dan menyambar ponsel yang tergeletak manja di nakas. Dia mulai mengotak-atik kontak mencari nama Maria di sana. Tidak lama karena hanya ada sedikit kontak, itu pun tertera dengan nama Veriel Maria. Untung saja nama itu pernah didengar langsung oleh Utami. Dia menyalin kontak Maria ke dalam ponselnya, kemudian melakukan panggilan telepon. Hanya berdering, tanpa ada jawaban. Namun, Utami tidak ingin putus asa sehingga dia terus menelepon. "Halo?" sapa Maria di balik telepon setelah panggilan ke delapan. "Ini Maria, kan? Aku Utami." "Ada apa?" "Kamu harus membantuku menemukan Tyas. Apa kamu bisa ke sini sekarang? Aku tidak bisa menjelaskannya via telepon. Aku mohon." "Ke mana?" "Rumah ibu mertuaku." Sedikit lama mereka berbincang sebelum akhirnya menutup telepon. Utami bernapas lega begitu Maria setuju akan membantu sampai menemukan titik terang. Dua jam menunggu dengan gamang, akhirnya Maria datang juga. Dia cantik sep

  • BEKERJA SEBAGAI ISTRI SIMPANAN   Bab 114

    PoV AUTHORBahkan sudah tengah malam, Haura masih terus berbalas pesan dengan Tyas. Dia memaksa perempuan itu keluar rumah untuk membicarakan hal penting.Awalnya Tyas menolak karena takut diculik, tetapi Haura bilang datang seorang diri diantar Pak Damar. Akhirnya, perempuan malang itu keluar juga.Mereka bertemu di depan rumah, Haura terus mengalihkan perhatian Tyas agar tidak melihat seorang pelayan perempuan menyelinap masuk rumah menuju kamar dan meletakkan secarik kertas di sana.Setelah pelayan itu keluar, Haura tersenyum ramah. "Baiklah, jadi aku harus bilang pada Edbert kalau kamu belum mendapat izin suami?""Betul. Katakan seperti itu saja.""Baiklah. Kalau begitu aku pamit." Haura masuk ke mobil, kemudian meninggalkan Tyas seorang diri.Perempuan itu tersenyum lega, tetapi hanya sesaat karena kini tangannya dicekal kuat oleh seseorang sementara mulutnya dibekap. Dia ingin meminta tolong, tetapi sudah pingsan oleh obat bius.Mereka membawa Tyas pergi dari sana dan tentu saja

  • BEKERJA SEBAGAI ISTRI SIMPANAN   Bab 113

    Mbak, aku gak bisa mengkhianati Mas Zaki untuk kedua kalinya. Kita harus menemukan cara lain untuk bisa lepas dari sini. Kebohongan seapik gimana pun kita sembunyikan, tetap saja akan ketahuan nantinya.""Tidak jika Tuan Edbert campur tangan!""Bagaimana dengan Abel, Mbak? Bukannya kemarin Tuan Edbert campur tangan, kemudian dia sendiri yang membeberkan hal itu pada Mas Zaki? Aku sudah mendapatkan ridha dan kepercayaannya, mana mungkin mau merusak lagi.""Kalau begitu ... kita coba berpikir cara lain. Jika aku bisa membantumu, maka kamu harus membantuku keluar dari sini. Gimana?""Oke."Mbak Utami memutar otak sementara aku merebahkan diri di tempat tidur. Ingin mengabari Mas Zaki, tetapi ponsel tertinggal di rumah. Memang bisa meminjam, tetapi prasangka lain kembali hadir.Kalau aku mengabari Mas Zaki bahwa kemarin itu orang suruhan Tuan Edbert, tentu dia akan semakin marah dan bisa jadi mengira aku telah bersekongkol dengan mereka.Sementara matahari sudah semakin dekat ke peraduan,

  • BEKERJA SEBAGAI ISTRI SIMPANAN   Bab 112

    Sesampainya di rumah sakit, Haura tidak pernah melepas cekalan tangannya. Untung saja tadi aku sempat berganti pakaian sekalipun hanya memakai sandal rumahan. Kami menuju ke ruang perawatan bayi. Beberapa orang melirik kami, mungkin menyangka aku perempuan yang kurang waras karena belum mandi juga tidak menyisir rambut. "Tyas!" Tuan Edbert langsung menarikku dari Haura dan membawa tubuh ini dalam pelukannya. Aku ingin melepaskan pelukan itu, tetapi Tuan Edbert menangis pilu. Rasa iba menyeruak dalam dada hingga aku balas memeluk berusaha menenangkannya. Memang sedikit risih dan takut karena kembali berkhianat, tetapi Tuan Edbert membutuhkan pelukanku. Dia sedang rapuh melihat anak kami sedang dirawat. "Abel sakit apa, Ed?" tanyaku setelah dia mengurai pelukan. Mata yang biasa menyalak tajam itu berubah teduh. Bulir bening tidak berhenti mengalir di sana. Aku bisa merasakan bagaiman sakitnya hati Tuan Edbert kini. "Meningitis," jawabnya pelan. Kedua mataku membola mendengar itu.

DMCA.com Protection Status